Mahakarya Sang Pemenang

Selamat Datang Kembali Bagian 1



Selamat Datang Kembali Bagian 1

0Urusan terkait Freddy Eastwood diselesaikan dengan sangat mudah. Karena saat ini ia bermain untuk tim amatir, ia dibandrol dengan harga yang sangat murah. Nottingham Forest hanya perlu membayar £100.000 untuk membawanya pergi dari Grays Athletic. Sebenarnya, bisa saja mereka tak mengeluarkan uang satu sen pun. Tapi, karena Tang En masih merasa tidak enak pada Eastwood, dia setuju memberikan uang itu. Lagipula, berkat Grays Athletic yang bersedia menerima striker yang patah kaki itu dan membiarkannya berpartisipasi dalam pertandingan untuk menjaga kebugaran tubuhnya, maka Tang En bisa melihat Eastwood yang penuh energi.     

Kedua belah pihak menandatangani perjanjian transfer klub. Mulai tanggal satu Januari dan seterusnya, Eastwood akan dianggap sebagai anggota tim Nottingham Forest.     

Tang En, yang baru saja kembali dari Basildon, mendengar kabar bahwa malam itu tim Collymore kalah lagi di pertandingan yang lain. Dia tahu orang itu tak lama lagi akan mundur dari posisinya.     

Pada hari Senin pagi, Bursa Saham London dibuka, dan klub Nottingham Forest mengumumkan melalui pengumuman pasar saham, perubahan yang terjadi di dalam saham klub — Edward Doughty saat ini memiliki 75 persen saham Nottingham Forest melalui pembelian saham.     

Berita itu mengkonfirmasi dugaan Tang En. Dia juga sepenuhnya memahami apa yang telah dilakukan Doughty dan penasihat keuangannya selama setengah musim terakhir.     

Apa artinya seseorang memiliki 75 persen saham klub sepakbola Inggris? Itu artinya orang itu akan berada dalam posisi otoritas yang lebih tinggi daripada dewan direksi, dan bahwa seluruh klub akan sepenuhnya menjadi miliknya. Dia bisa segera mengumumkan keluarnya klub dari pasar saham, dan membuat perusahaan swasta dengan sistem pemegang saham itu menjadi klub pribadi. Juga dia tak perlu mengadakan rapat dewan direktur untuk menjalankan kebijakan baru dan rencana pengembangan masa depan klub, termasuk rekonstruksi, ekspansi, lapangan sepakbola baru, pembelian dan penjualan pemain, pengangkatan eselon atas klub... Dengan kata lain, dia akan menjadi kaisar klub, dan tak ada seorangpun yang bisa menentang keputusannya.     

Bahkan kalau Doughty mengatakan "mulai musim depan dan seterusnya, harga tiket satu musim untuk pertandingan Nottingham Forest akan naik 300 persen, dan harga makanan dan minuman yang dijual di dalam stadion akan dinaikkan sebesar 100 persen", hal itu akan menjadi keputusan yang tak bisa diganggu gugat meskipun para fans memprotesnya.     

Tentu saja, Tang En percaya bahwa Doughty tidak akan sebodoh itu.     

Tang En melihat peringkat poin di liga. Karena Nottingham Forest telah mengalami kekalahan berturut-turut dalam pertandingan mereka, mereka telah jatuh dan berada di peringkat keempat terbawah. Patut diketahui bahwa tiga tim terbawah di klasemen liga akan diturunkan ke Liga Dua setelah akhir musim. Kalau Nottingham Forest benar-benar terdegradasi, persentase saham yang dimiliki Doughty tak lagi penting.     

Kalau dia ingin membuat tim menjadi mesin penghasil uang bagi beberapa orang tertentu, tim harus menunjukkan hasil yang baik.     

Tang En tahu bahwa debutnya akan segera terjadi.     

Edward! Telepon aku! Katakan kau membutuhkanku!     

Baru saja Tang En selesai berteriak di dalam hatinya, teleponnya tiba-tiba berdering.     

"Tak mungkin ini dia, kan?" Tang En bergumam saat dia mengangkat telepon.     

Yang menghubunginya memang Doughty, tapi tujuannya menghubungi Twain bukan untuk memintanya kembali ke Stadion City Ground, melainkan untuk memberitahunya tentang berita yang tak terduga.     

"Tony, aku baru saja menerima telepon, memberitahuku bahwa Collymore baru saja diserang di gang kecil diluar sebuah bar, dan saat ini dia sedang dibawa ke rumah sakit. Apa kau tahu ada berita apapun tentang masalah ini?"     

"Ah?" Tang En tertegun selama beberapa saat, sebelum kemudian menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak, aku tidak tahu. Insiden itu takkan memberikan dampak negatif, kan?" Sebenarnya, dia benar-benar ingin mengatakan, "Siapa yang menyerangnya? Aku ingin menulis surat padanya untuk menyatakan terima kasihku." Tapi, memikirkan bahwa insiden seperti itu terjadi ketika Doughty baru saja mengambil kendali atas klub, tak diragukan lagi akan ada sejumlah tanggapan negatif.     

"Mungkin ya mungkin tidak." Tapi saat mendengar suara Doughty, dia kelihatannya tak terlalu cemas. "Aku baru akan menelepon untuk memverifikasi. Aku khawatir entah bagaimana kau mungkin terkait dengan insiden ini."     

Tang En memikirkan seseorang. Memutar matanya, dia berkata, "Tidak, kenapa insiden itu ada kaitannya denganku? Kau tahu aku baru-baru ini cukup sibuk dengan urusan Eastwood."     

"Mhmm. Kalau begitu, aku lega. Ngomong-ngomong, Tony ... Apa kau sudah siap?"     

"Aku sudah siap selama setengah tahun, Edward."     

Di tengah tawa mereka berdua, Tang En menutup telepon.     

Tang En berdiri dan berpakaian. Meski sudah mendekati jam 10 malam, dia harus melakukan perjalanan.     

Sophia melihat jam Quartz tua yang tergantung di dinding dengan cemas. Jarum jam sudah melewati angka 10, sedangkan jarum menit menunjuk ke enam. Sudah jam setengah sebelas.     

Satu jam yang lalu, dia menyuruh Wood keluar untuk membeli beberapa barang. Dengan kecepatan lari Wood yang bisa menyaingi atlet atletik, ia hanya membutuhkan setengah jam lebih sedikit untuk kembali ke rumah. Tapi sekarang...     

Dia mendengar suara ketukan ragu-ragu yang berasal dari pintu di lantai pertama. Dia bergegas ke jendela dan mengintip melalui celah kecil di tirai. Orang yang dilihatnya mengetuk pintu membuatnya terkejut — Tony Twain!     

Sudah larut malam. Kenapa Tuan Twain ada di sini?     

Sophia ingin turun dan membuka pintu, tapi tepat ketika dia mencapai tangga, dia berbalik dan kembali ke kamarnya. Berdiri di depan cermin, Sophia mengambil sisirnya dan merapikan rambutnya meskipun rambutnya tidak berantakan sama sekali. Setelah memastikan bahwa tak ada masalah di rambutnya yang bisa dilihat dari sudut manapun, senyum gembira seperti senyum seorang gadis muda muncul di wajahnya sebelum kemudian dia berlari untuk membukakan pintu.     

Menunggu si wanita yang sangat terkejut dengan kunjungan mendadak itu untuk merapikan penampilannya, Tang En sudah diterpa angin dingin selama sekitar semenit dan mengetuk pintu beberapa kali.     

Saat Tang En yang merasa kecewa hendak melangkah pergi, pintu berderit terbuka. Cahaya dari dalam rumah menembus keluar, berkilauan di kaki Tang En. Tang En menunduk, dan melihat sosok seorang wanita berdiri di dalam rumah.     

Dia sedikit terkejut. "Nyonya?"     

"Tuan Twain, kenapa Anda di sini?" Sophia sedikit terengah-engah dan wajahnya sedikit memerah. Sepasang matanya yang cerah tertutup selapis tipis kabut, entah apakah itu karena kelelahan akibat berlari atau ada beberapa alasan lain...     

"Erm, aku di sini untuk mencari George. Apa dia ada disini?" Sebenarnya, saat Tang En mengajukan pertanyaan ini, dia sudah tahu jawabannya.     

Sophia membuka pintu lebih lebar dan menjawab, "Dia keluar untuk membeli sesuatu. Silakan masuk Tuan Twain. Di luar dingin."     

Tang En merasa ragu selama beberapa saat, tapi dia masih melangkah masuk.     

Penyewa yang tinggal di lantai pertama masih belum kembali. Mungkin dia masih bekerja keras di luar untuk mencari nafkah. Saat ini, hanya ada dua orang di rumah, dirinya dan wanita yang ada di depannya. Tiba-tiba, jantung Tang En berdetak kencang.     

"Tuan Twain, apa Anda masih tidak suka menambahkan apa pun ke dalam teh merah yang Anda minum?" Sophia sedang membuatkan teh untuk Tang En.     

"Ya .... Erm, tak perlu repot, Nyonya. Aku akan pergi setelah aku melihat George." Tang En ingin menghentikan si wanita yang tampak antusias, tapi jelas bahwa itu tak ada gunanya. Sophia membuka kulkas dan mengeluarkan dua kotak biskuit, sebelum berbalik dan melambaikan biskuit itu pada Tang En.     

"Apa Anda suka yang rasa susu atau rasa coklat?"     

"Yang mana saja tidak jadi masalah."     

Karena itu, Sophia meletakkan kedua kotak biskuit di atas meja, sebelum mengambil piring dari lemari. Melihat Sophia yang kelihatan senang menyibukkan diri, Tang En menyerah untuk membujuknya, tak jadi masalah selama Sophia senang melakukannya.     

Sebelum dia mengenal Sophia, seberapa sering dia begitu energik, dengan senyum di wajahnya?     

Sophia sepertinya ingin mengambil piring dari deretan paling atas di lemari. Melihatnya berjinjit dan berusaha keras tapi masih tak bisa mengambilnya meski sudah mengulurkan tangannya, Tang En memutuskan untuk membantunya.     

Dia berdiri dan berjalan mendekati Sophia, berdiri di belakangnya. Kemudian, dia mengulurkan tangannya dan dengan mudah menyentuh deretan piring itu.     

"Apa ini yang kau inginkan, Nyonya? Erm..." Tang En, yang mengajukan pertanyaan itu, merasa ada sesuatu yang salah.     

Tanpa sadar dan tak disengaja, kedua tubuh mereka saling bersentuhan. Meski saat ini musim dingin dan mereka mengenakan pakaian yang pantas, kecanggungan yang timbul setelahnya tak dapat dihindari.     

Kamar itu sunyi untuk sesaat. Lampu kuning menimbulkan bayangan samar-samar di dinding di samping mereka berdua. Kalau Tang En menurunkan tangannya yang sedang terangkat tinggi, dia akan terlihat seolah sedang memeluk Sophia.     

Sophia tidak tinggi, jadi saat Tang En berdiri di belakangnya, rambutnya berada tepat di bawah hidung Tang En. Aroma yang wangi tercium jelas di sepanjang rambutnya yang halus, dan Tang En tak bisa menahan diri untuk tidak menarik napas panjang.     

Tang En merasakan tubuhnya yang bersentuhan dengan Sophia gemetar. Dia segera tersadar dan mundur beberapa langkah. Agak bingung dengan apa yang harus dilakukan, Tang En menjelaskan kepada Sophia, "Ma, maaf! Aku .. aku tak sengaja melakukannya. Maaf! Maaf." Dia masih memegangi piring porselen di tangannya sambil melambai-lambaikan lengannya. Refleksi cahaya membuatnya seolah-olah dia sedang berakrobat.     

Sophia merasa geli melihat tindakan Tang En. "Bisakah Anda memberikan piring itu pada saya, Tuan Twain?" Dia mengulurkan tangannya dengan normal, tapi pipinya sedikit bersemburat merah.     

Tang En menatap piring yang ada di tangannya dengan malu, sebelum kemudian menyerahkannya.     

Sophia berdiri di depan meja dengan kepala menunduk, saat dia memindahkan beberapa biskuit ke atas piring. Rambut hitam panjangnya terjuntai seperti air terjun. Melihat ini, Tang En mengingat insiden barusan. Apa aroma wangi itu sebenarnya berasal dari helaian rambutnya yang tak terhitung jumlahnya, atau dari leher yang telanjang dan terbuka?     

Menutup matanya, dia tiba-tiba merindukan perasaan itu.     

Dia bisa dengan jelas merasakan bola api menyala yang bersentuhan dengan tubuhnya saat itu. Udara dipenuhi aroma memikat yang sangat sulit untuk dipahami. Saat seseorang ingin mempertahankan aroma itu, aroma itu akan lolos tepat dari ujung hidungnya.     

"Baunya sangat enak," desahnya ringan.     

Ketika Tang En kembali membuka matanya, dia melihat Sophia sedang menatapnya dan tersenyum. Biskuit sudah diletakkan di atas piring, dan aroma teh yang wangi tercium di udara.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.