Mahakarya Sang Pemenang

Tekanan Bagian 2



Tekanan Bagian 2

0Ada ungkapan Cina yang sangat masuk akal: carilah keseimbangan antara bekerja dan istirahat. Sekarang saat dia berada di bawah tekanan yang kuat, dia benar-benar harus beristirahat. Kalau tidak, tim mungkin takkan runtuh di bawah tekanan itu, tapi justru sebaliknya, dialah yang akan kolaps lebih dulu - segera setelah dia mengingat kembali momen-momen terakhir di stadion Portman Road, rasa takut kalau jantungnya akan berhenti berdetak tetap terbayang. Kalau Eastwood tidak mencetak gol dengan tendangan bebas itu, tim Forest harus menyerah dalam meraih mimpi mereka mendapatkan peringkat kedua di Kejuaraan Liga.     

Baiklah, aku akan pergi ke bar Burns dan bersantai. Berkumpul dan bersantai dengan John dan yang lainnya akan bagus juga. Aku akan mengesampingkan masalah promosi ini untuk sementara.     

Tang En sama sekali tak mengira bahwa di malam berikutnya, dia takkan melihat Big John dan yang lain di Forest Bar, melainkan justru sekelompok orang lain. Tang En tak mengenal kelompok pria paruh baya itu, yang kurang lebih seusia dengan Burns.     

Para pria itu berkerumun di sekeliling seorang pria yang lebih tua di tengah lingkaran. Pria yang lebih tua itu, yang sedang berbicara dengan orang lain dengan gelas di tangannya, adalah fokus dari semua orang yang hadir disana. Dia adalah manajer legendaris Nottingham Forest, Brian Clough.     

Tang En tak menduga akan melihat Chief di sini. Dia menatap kosong di pintu masuk bar hingga Burns berjalan menghampirinya.     

"Ini ..." Twain yang kebingungan baru saja akan membuka mulutnya, sebelum ucapannya dipotong oleh senyuman Burns.     

"Ini adalah makan malam sederhana untuk memperingati 25 tahun Nottingham Forest memenangkan Liga Champions UEFA. Kecuali kau, semua orang yang ada disini adalah mereka yang ikut berpartisipasi dalam final Liga Champions UEFA tahun 1979." Kenny Burns membawa Twain masuk ke bar, dan Clough, yang berdiri di tengah ruangan dan sedang berbicara, melihat mereka berdua.     

Dia mengangkat gelasnya ke arah Twain, "Lihat siapa yang datang. Bagaimana rasanya memenangkan kejuaraan?"     

Komentarnya mengalihkan perhatian semua orang ke arah Twain, yang baru saja masuk. Mereka semua tertawa saat melihat siapa yang baru saja masuk.     

"Tn. Twain, kau sudah menjadi tokoh berita selama dua bulan terakhir!"     

"Chief, kurasa kalian berdua sangat mirip!"     

Clough tidak berkomentar atas pernyataan seperti itu, dan Twain merasa agak kurang nyaman. Dia tidak mengenal orang-orang ini, kecuali Burns dan Clough. Tapi mereka sepertinya familiar dengannya. Burns membantunya keluar dari kesulitan dengan memberinya segelas anggur.     

Dia mengambil gelas itu dan berterima kasih pada Burns. Lalu, dia menjawab pertanyaan pertama Clough, "Rasanya menyenangkan, Chief."     

Saat dia mengatakan ini, yang lain tertawa lagi. Kemudian, diskusi beralih ke kejadian menarik sebelum final EFL Cup: "Aku hampir tak bisa mempercayai mataku sendiri saat aku melihat seluruh tim Forest berjalan turun dari bus di TV."     

"Aku juga, Peter. Penampilan Tn. Tony Twain sangat mengesankan!"     

"Ha ha!"     

Tang En tahu mereka berbicara tentang kostumnya. Saat dia menonton siaran ulang setelah hari pertandingan, dia merasa dia terlihat konyol, dan dia tak ingin melakukannya lagi.     

"Meskipun kau kelihatan seperti badut, ... tapi itu efektif, kan?" kata Clough menyesap minumannya lalu memandang Twain.     

Twain mengangguk. Meskipun orang-orang yang berdiri di depannya ini telah memegang trofi Liga Champions UEFA di tangan mereka, sebagai pemenang EFL Cup, Twain juga percaya diri untuk berbincang dengan mereka dari posisi yang setara. "Saat itu tim sedang tidak baik, dan aku hanya bisa memikirkan pendekatan itu untuk membantu mereka membangun kepercayaan diri. Aku juga merasa aku terlihat konyol, saat aku melihat diriku sendiri di siaran ulang. Tapi, karena kami akhirnya memenangkan kejuaraan, tak jadi masalah kalau aku harus memerankan badut."     

Topik itu tampaknya berkembang ke arah komunikasi di antara kedua pria itu. Merasakan ini, yang lain dengan bijaksana mulai memisahkan diri, satu per satu, untuk mengobrol bebas satu sama lain dengan gelas anggur di tangan mereka. Sekarang, hanya kedua pria itu, Clough dan Twain, yang tersisa di depan meja di tengah ruangan. Clough membuat isyarat untuk "duduk", dan kedua pria itu duduk saling berhadapan.     

"Bisa melihat jersey merah tim Forest di final EFL Cup rasanya sangat menyenangkan," kata pria yang lebih tua itu perlahan. "Apa kau tahu kapan kita terakhir kali berada di final EFL Cup?"     

"Dua belas tahun yang lalu, Chief," jawab Twain tanpa ragu.     

Clough perlahan mengangguk, "Bahkan Stadion Wembley sudah direkonstruksi, jadi itu sudah lama sekali." Dia mengalihkan pandangannya ke pintu masuk bar, mengingat tahun-tahunnya sebagai manajer Forest.     

Dua belas tahun yang lalu, di tahun 1992, musim terakhir sebelum pembentukan Liga Utama Inggris, tahun terakhir Brian Clough sebagai manajer Nottingham Forest, tim Forest maju ke final EFL Cup musim 91-92. Itu adalah sorotan terakhir dari Nottingham Forest yang dulu sangat populer. Mereka kalah dari Manchester United, dan hal itu menyelamatkan Manajer Alex Ferguson, yang sedang mengalami krisis kepercayaan diri. Dan prestasi pemain Skotlandia itu lalu membuat Manchester United sebagai dinastinya, dan kemudian dia dianugerahi gelar kebangsawanan oleh Ratu Inggris. Sementara untuk Brian Clough, ia dan Forest-nya yang legendaris perlahan-lahan memudar dari sejarah.     

Chief dua tahun lebih muda dari Bobby Robson, yang masih bertanggung jawab atas Newcastle, dan dia hanya tujuh tahun lebih tua dari Ferguson. Di usia itu, ia jelas masih bisa memimpin pertandingan dari area teknis, daripada duduk di rumah, minum sepanjang hari, dan kemudian dipaksa menjalani transplantasi hati.     

Apa yang akan terjadi, kalau tim Forest menang atas Manchester United saat itu? Apakah tim Forest akan mengambil kesempatan itu untuk menghidupkan kembali kejayaannya? Apakah Ferguson akan diberhentikan? Dan, bagaimana dengan nasib pemain-pemain Manchester United generasi 1992, seperti Beckham, Ryan Giggs, Paul Scholes, dan lain sebagainya?     

Tak ada gunanya memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu sekarang. Saat Twain tersadar dari lamunannya, dia menyadari bahwa Clough sedang menatapnya.     

"Aku dengar dari Burns kalau kau sedang berada di bawah banyak tekanan belakangan ini."     

"Yah ... ya, Chief. Di putaran Kejuaraan Liga kemarin, aku merasa hampir terkena serangan jantung di momen terakhir."     

Clough meringis, "Tidak mudah menjadi manajer, Nak. Aku menghabiskan delapan belas tahun menjabat sebagai manajer Forest. Hal-hal apa yang belum kualami? Tak terkalahkan selama empat puluh dua putaran, masuk ke putaran final Liga Champions UEFA selama tiga tahun berturut-turut, tapi aku ..." Dia menunjuk ke arah orang-orang yang sedang mengobrol, "tak pernah membiarkan mereka tahu apa yang ada dalam pikiranku, terutama hal-hal yang buruk. Apa kau masih ingat pertemuan pertama kita, Nak?"     

Twain mengangguk. Burns, Walker, dan Bowyer telah membawanya ke Derby County. Seolah-olah hal itu baru terjadi kemarin, mereka minum teh di rumah Chief.     

"Apa yang kutanyakan padamu waktu itu?"     

Percakapan ini terasa mirip dengan percakapan yang sering dilakukan Twain dengan para pemainnya, kecuali perannya kini dibalik. Dia bukan manajer, melainkan lebih seperti pemain, di bawah arahan Brian Clough. Dia berpikir sebentar, dan kemudian menjawab, "Anda bertanya padaku apa yang menurutku dilakukan oleh seorang manajer."     

"Dan bagaimana kamu menjawabnya?"     

"Untuk memimpin tim menuju kemenangan ..."     

Clough kembali menyesap minumannya, dan kemudian dia menjawab, sama seperti yang diingat Twain waktu itu, "Salah, Nak, itu hanya bagian dari pekerjaan. Sekarang, kurasa kau sudah mengerti arti kalimat itu?"     

Twain mengangguk, "Aku tahu dengan jelas, Chief."     

"Salah lagi. Sudah berapa lama kau berada di posisi itu? Kursimu bahkan masih belum hangat, dan kau bilang kau tahu dengan jelas. Apa yang kau tahu?"     

Twain tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan retorik semacam ini.     

"Jalanmu masih panjang, Nak ..." Clough perlahan bangkit, lalu menatap Twain. Kemudian, dia mengambil gelasnya dan pergi untuk mengobrol dengan para mantan pemainnya.     

Setelah ini, makan malam kembali menjadi tema utama acara ini. Semua orang menceritakan tentang hari-hari kejayaan tim Forest. Twain duduk di samping kerumunan itu, mendengarkan dengan diam. Disaat yang sama, ia membayangkan - Suatu hari nanti, aku juga akan duduk di sini dengan mantan staf-ku, mengingat tahun-tahun kejuaraan Eropa. Berapa tahun lagi hal itu akan terjadi?     

Makan malam itu sederhana dan tertutup. Acara itu juga tak dihadiri media, dan tak ada pengumuman yang diberitahukan kepada mereka. Sudah lewat jam 10 malam. Di pintu masuk bar, semua orang sibuk mengucapkan selamat tinggal.     

Pada saat ini, Twain kembali menjadi orang tersibuk. Semua orang secara khusus akan datang menghampirinya untuk mengucapkan selamat tinggal padanya, dan kemudian mengatakan satu atau dua kata untuk menyemangatinya. Bagaimanapun, semua orang itu pernah bermain untuk tim Forest, dan masih ada semacam keterikatan pada tim.     

Akhirnya, giliran Brian Clough. Dia duduk di dalam mobil, menurunkan jendela mobil, dan memandang Twain. Twain, tahu bahwa pria tua itu mungkin punya sesuatu untuk dikatakan, dengan cepat berdiri membungkuk di luar jendela mobil.     

Pria yang lebih tua itu menatap Twain, berpikir sejenak dengan kepala dimiringkan, lalu mengangkat bahu, "Aku hampir melupakan sesuatu ... Selamat, Nak." Kemudian, dia menaikkan jendela mobil, dan mengetuk bagian belakang kursi pengemudi sebagai isyarat untuk menjalankan mobilnya.     

Ford putih itu perlahan-lahan menjauh dari Twain, dan semua orang juga pergi setelah mengucapkan selamat tinggal. Pintu bar yang tadinya semarak kini tampak kosong. Saat Twain masih berdiri di tepi jalan, Burns menghampirinya dan bertanya, "Apa kau baik-baik saja? Kau hanya duduk di sana dan mendengarkan kami semua bicara tentang masa lalu?"     

Twain balas menatap pria yang baik hati itu, dan menjawab, "Aku baik-baik saja ... Aku sudah sering melakukan ini di masa lalu." Dia merujuk pada dirinya sendiri di Cina. Saat menghadiri reuni kelas, semua orang dengan gembira berbicara tentang pengalaman mereka baru-baru ini, tapi hanya dia yang tampak seperti orang luar, tak tertarik dengan topik itu.     

"Yah, jujur saja ... Chief-lah yang memintaku untuk menghubungimu. Awalnya, kami hanya mengundang teman setim yang ikut bermain di final Liga Champions '79. Sebelum membahas tentangmu, final EFL Cup muncul dalam pembicaraan saat aku mengobrol dengannya, dan dia bilang kalau taktik yang kau gunakan dalam pertandingan itu mengingatkannya pada saat tim Forest memenangkan Liga Champions untuk pertama kalinya, karena kami memang menggunakan pertahanan yang sangat ketat untuk menang. Oh, satu hal lagi, meskipun Chief tidak mengatakan apa-apa, kurasa, kalau tim Forest benar-benar bisa kembali ke Liga Utama di akhir musim ini, dia akan sangat bahagia." kata Burns sambil memandang langit malam yang jauh.     

Twain tersenyum, "Terima kasih, Kenny."     

"Jangan berterima kasih padaku, berterima kasihlah pada Chief. Kami semua para orang-orang tua bisa menghidupkan kembali tahun-tahun yang pernah memudar itu melalui tim Forest-mu, jadi semua orang memiliki harapan besar padamu. Bagaimana menurutmu? Sekarang setelah aku mengatakan ini, apa tekanan di hatimu jadi semakin berat?" tanya Burns sambil tertawa.     

"Kenny, kalau aku tak berhasil melakukannya, aku akan datang kemari, dan menghabiskan semua alkoholmu!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.