Mahakarya Sang Pemenang

Aliran Waktu di Sisi Lain Bagian 1



Aliran Waktu di Sisi Lain Bagian 1

0Saat Tang En menginjak lantai bangunan terminal Bandara Internasional Shuangliu, Chengdu di Sichuan, ia merasa tersentuh. Tak peduli apa warna kulitnya yang terlihat dari luar saat ini, bagian dalam dirinya masih 'made in China'. Saat ini ... bisakah dia dianggap kembali ke kampung halamannya?     

Perasaan ini benar-benar tak bisa dijelaskan. Setelah mengalami transmigrasi misterius, ia menggunakan identitas barunya untuk kembali ke Chengdu, Sichuan, Cina di tahun 2004. Saat ia mengobrol dengan seorang pramugari yang cantik di pesawat menggunakan bahasa Mandarin yang lancar dan benar-benar tanpa aksen, hal itu menarik perhatian banyak penumpang di pesawat. Bahkan Shania, yang duduk di sampingnya, memandang Twain dengan ekspresi terkejut dan kagum. Bagaimanapun juga, dia tidak mengira Twain bisa berbahasa Mandarin dengan lancar.     

Tang En diam-diam merasa senang. Aku bahkan belum mulai berbicara dengan dialek Sichuan-ku yang lancar!     

Keluar dari bandara, Twain menggandeng Shania yang sama mencoloknya dengan dirinya ke stan taksi, untuk mengantri sebelum mendapatkan sebuah taksi. Di samping mereka, seorang staf bandara menyarankan, dengan bahasa Inggris yang terpatah-patah, agar mereka naik bus bandara. Twain dengan sopan menolak saran itu dalam bahasa Mandarin dan langsung menuju ke taksi.     

Setiap kali dia naik bus bandara, dia tidak tahu ke mana saja bus itu akan pergi. Karena itu, akan jauh lebih nyaman untuk naik taksi, mengatakan tujuannya, dan langsung pergi menuju ke sana.     

Melihat bahwa mereka tidak hanya orang asing, tapi juga orang yang lebih tua dan lebih muda, laki-laki dan perempuan yang juga sangat cantik ... Sopir taksi menyambut mereka dengan hangat, dan membantu mereka memasukkan barang bawaan mereka ke dalam bagasi. Anggota staf bandara, yang sebelum ini menyarankan mereka agar naik bus bandara, memasukkan tujuan perjalanan Twain, dan kemudian melambaikan tangan kepada mereka.     

"Shifu, Hotel Sichuan." Twain berbicara dengan penuh percaya diri, seolah dia akrab dengan daerah itu. Tapi, sebenarnya, dia hanya tahu sedikit tentang hotel-hotel di Chengdu. Di dekat Chunxi Road, tempat dia berbelanja dan melihat gadis-gadis cantik, dia selalu melihat Hotel Sichuan, dan bahkan biasanya mencegat taksi dari sana. Itu adalah salah satu hotel yang memiliki kesan baginya.     

Saat dia mendengar Twain menyatakan tujuannya dalam bahasa Mandarin, sopir taksi itu menatapnya dengan heran. Twain tersenyum padanya, lalu membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu yang bahkan membuat pengemudi itu semakin terkejut, "Aku juga dari Sichuan. Mengemudilah, Shifu." Dia sekarang berbicara dengan aksen Sichuan.     

Sopir itu akhirnya kembali menghadap ke depan dan menyalakan mesin mobilnya lalu mulai mengemudi. Merasa senang dengan dirinya sendiri, Twain menoleh ke arah Shania dan mengedipkan sebelah matanya.     

Meskipun dia tidak mengerti apa yang tadi dikatakan oleh Twain, Shania masih bisa menebaknya dengan melihat ekspresi wajah dan reaksi si pengemudi. Dia membenamkan wajahnya ke boneka lembut Totoro yang selalu bersamanya, dan tertawa kecil.     

Perjalanan mereka cukup mulus, mungkin karena Twain membantu si pengemudi untuk mengarahkan jalan mereka. Taksi mereka tidak mengambil jalan memutar, dan tidak mengambil rute panjang. Saat mereka akhirnya mencapai tujuan, harga di meteran taksi itu cukup masuk akal. Twain segera membayar ongkosnya dan memberinya tip. Lalu Twain turun dari taksi dengan Shania. Segera saja, ada seorang bell boy yang membantu mereka dengan barang bawaan mereka dan memimpin jalan ke dalam hotel.     

Sebenarnya... Kalau bukan karena isyarat dari bell-boy itu, Tang En takkan tahu kemana dia harus pergi. Dia belum pernah pergi ke hotel ini sebelumnya, dan karenanya, tidak tahu kemana dia harus pergi untuk memesan kamar atau melakukan prosedur lainnya.     

Pemuda bell boy itu membawa mereka ke meja penerimaan, dan Twain memberikan tip yang biasa kepada bell boy itu. Kemudian, dia melihat staf yang bertugas di meja penerimaan tersenyum hangat ke arahnya, dan dia mulai merasa cemas tentang bagaimana dia harus memesan kamar.     

Dia adalah seorang laki-laki, dan Shania adalah seorang perempuan. Laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Mereka seharusnya memesan dua kamar. Tapi ... kenapa dia merasa enggan menggunakan rencana itu? Bagi dua orang seperti mereka untuk tinggal di dua kamar standar yang terpisah akan terasa sepi dan tak menyenangkan, apalagi kamar itu mewah dan mahal ... dan, kalau terjadi sesuatu, rasanya tak nyaman kalau harus keluar kamar dan saling mencari satu sama lain.     

Melihat Twain masih belum mengatakan apa-apa, wanita yang bertugas di meja penerimaan hotel bertanya dalam bahasa Inggris, "Apa ada yang bisa saya lakukan untuk Anda, Tuan?"     

Twain mengerutkan kening, "Kau bisa bicara dengan bahasa Mandarin karena aku bisa memahaminya."     

Melihat ekspresi wanita cantik itu, Shania membenamkan wajahnya ke boneka berbulu lembut Totoro-nya dan tertawa. Tawa kecil Shania mengingatkan Twain bahwa dia baru saja mengatakan sesuatu yang kasar dan tidak sopan. Jadi, dia segera tersenyum pada wanita itu, dan berkata, "Maaf. Aku bisa berbicara dan memahami bahasa Mandarin, jadi bahasa takkan jadi masalah sama sekali. Yah, aku ingin memesan ..."     

Mungkin wanita di meja penerimaan itu terpesona oleh Shania yang menggemaskan, atau dia ingin membuat hati para tamu asing ini senang, karena wanita muda di meja penerimaan itu memandang Shania, dan tersenyum lalu berkata, "Tidak apa-apa, Tuan. Apa ini putri Anda? Dia benar-benar cantik! Apa Anda ingin memesan satu kamar untuk kalian berdua?"     

Ini adalah pertanyaan yang diajukan tepat waktu, dan Twain segera mengiyakan pertanyaan itu, "Ya, satu kamar ... Kami butuh satu kamar." Dia kembali menatap Shania. Kelihatannya Shania tak terlalu tertarik dengan percakapan ini, terutama karena dia tidak mengerti bahasa Mandarin. Dia hanya melihat ke arah sekeliling dengan rasa ingin tahu dan memperhatikan orang-orang datang dan pergi dari lobi. Sebagian besar diantara orang-orang itu adalah orang Cina berkulit kuning dan berambut hitam. Terlepas dari warna kulit yang berbeda, dia merasa kalau orang-orang itu mirip dengannya.     

Meskipun sebagian dari dirinya juga termasuk orang Cina, dia sama sekali tidak bisa memahami bahasa mereka, seolah-olah mereka berasal dari dunia yang sangat berbeda. Saat dia melihat bagaimana Twain berkomunikasi dengan orang lain menggunakan bahasa Mandarin yang lancar, Shania mengerutkan kening. Dia juga ingin belajar bahasa Mandarin, jadi setidaknya dia takkan merasa dikucilkan seperti saat ini.     

Setelah Twain selesai membayar di meja penerimaan, petugas hotel mengantar mereka ke kamar mereka. Shania tidak mengajukan keberatan atas pengaturan kamar ini. Twain masih merasa sedikit gugup. Dia baru mulai merasa sedikit tenang setelah melihat Shania tak bereaksi terhadap pengaturan kamar ini.     

Jujur saja, meskipun Shania masih anak-anak, selain memiliki dada yang kecil, dia tak terlihat berbeda dengan gadis berusia dua puluh tahunan untuk aspek yang lain. Saat Shania menginap di rumahnya, mereka takkan tidur di kamar yang sama ... Tapi sekarang di hotel ...     

Dia memberi tip kepada petugas hotel, dan mengusir pemuda itu, yang kelihatannya sangat tertarik pada Shania. Twain menunjuk ke arah kamar mandi, "Kau bisa mandi duluan, Shania."     

Shania pergi ke kamar mandi. Tak lama kemudian, Tang En mendengarkan suara air yang datang dari kamar mandi, dan pikirannya perlahan melayang.     

Sebenarnya, dia tak terlalu mengerti kenapa Shania suka bergaul dengannya. Gadis itu baru saja tiba di Inggris, setelah lebih dulu mengunjungi bibinya di Newcastle, dan kemudian datang ke Nottingham untuk mencarinya.     

Tang En mengakui bahwa dia juga merasa senang saat dia melihat Shania. Ada sesuatu yang membuat anak itu mudah disukai, meskipun dia tidak bisa menjelaskannya secara spesifik. Bagaimanapun juga, saat dia bepergian dengan Shania, dia tidak merasa terganggu. Sebaliknya, dia merasa cukup nyaman. Kalau moodnya sedang tidak bagus, dia tak bisa menahan senyum di wajahnya saat dia melihat Shania yang lincah. Shania memiliki semangat yang riang, dan mungkin itulah alasannya.     

"Aku sudah selesai, Paman Tony!" Shania berjalan keluar dari kamar mandi, sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Tang En melirik ke arahnya, dan tiba-tiba saja, semua detil itu membanjiri pandangannya.     

Shania memakai atasan kamisol bertali kuning, yang menunjukkan tulang selangka dan lehernya yang ramping ... dan dia memasangkannya dengan celana jeans yang sangat pendek, yang menurut Tang En, agak terlalu terbuka untuk situasi ini. Jantungnya berdetak semakin cepat saat dia memikirkan tentang itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.