Mahakarya Sang Pemenang

Sebuah Pertunjukan Jenius Bagian 1



Sebuah Pertunjukan Jenius Bagian 1

0Tendangan penalti di menit ke-31 babak pertama merupakan pukulan berat bagi tim Forest. Selama waktu yang tersisa, Nottingham Forest bermain dengan agak lesu. Mereka telah kebobolan dua gol dari lawan mereka dalam waktu tiga puluh menit, dan apalagi, lawan mereka adalah Manchester United. Bagaimana mereka bisa membalas?     

Beberapa orang memikirkan tentang kekalahan mereka dari Liverpool di pertandingan liga. Saat itu, skornya juga 0:2 di babak pertama pertandingan, dan tim benar-benar hancur sesudahnya.     

Hari ini juga sama, hanya George Wood yang masih berlarian; tapi satu orang saja sangatlah tidak signifikan dalam menghadapi lini tengah Manchester United yang perkasa.     

Saat peluit ditiup untuk akhir babak pertama, sorak-sorai Red Devils terdengar di seluruh Old Trafford seolah-olah mereka bisa melihat bahwa kemenangan sudah ada di dalam genggaman mereka.     

Twain tidak langsung beranjak ke ruang ganti. Dia masih berdiri di pinggir lapangan, mengawasi para pemainnya memasuki koridor. Semua pemain Forest yang telah bermain di lapangan menundukkan kepala mereka saat melewati sang manajer. Mereka semua merasa kalau mereka bermain sangat buruk dalam empat puluh lima menit pertama pertandingan hari ini.     

Di sisi seberang mereka, Ferguson juga tidak segera beranjak ke ruang ganti. Dia berdiri di pinggir lapangan sambil tersenyum. Setiap kali seorang pemain Manchester United melewatinya, ia akan menepuk bahu pemain itu.     

Kontras antara kedua manajer ini, yang satu dengan wajah tanpa ekspresi dan yang lainnya dengan wajah penuh senyum, sama lebarnya seperti selisih skor yang ditampilkan di papan skor elektronik.     

Saat lapangan hanya menyisakan pemain cadangan dari kedua tim yang melakukan pemanasan, Twain dan Ferguson memasuki koridor pemain satu persatu.     

Saat mendorong pintu ruang ganti, Twain sejenak mengira kalau dia telah masuk ke sebuah ruang kosong. Ruangan itu benar-benar sunyi, seolah-olah sama sekali tidak ada orang di dalamnya.     

Melihat para pemainnya yang tampak terpukul, pidato asli yang telah disiapkan Twain lenyap tak berbekas. Kali ini, dia perlu mengubah strateginya.     

Dia berdehem untuk memberitahu semua orang kalau dia sudah datang. Dehemannya itu menarik perhatian banyak pemain.     

Setelah dia menarik perhatian semua orang, Twain mengangkat pergelangan tangannya untuk melihat arlojinya dan pura-pura terkejut lalu berkata, "Apa ada yang salah dengan arlojiku? Apakah pertandingannya sudah selesai? David, apa kita harus membandingkan jam kita?"     

Kerslake tahu apa yang ingin dilakukan oleh Twain, dan dia menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu, Tony. Ini baru akhir babak pertama."     

"Ini akhir babak pertama? Kau yakin?" Twain merespon dengan membelalakkan matanya.     

"Aku yakin," Kerslake mengangguk sebagai balasan.     

"Yah..." Saat dia mendengar jawaban itu, Twain memandang para pemainnya. "Sepertinya arlojiku normal ... dan ingatanku juga baik-baik saja ... Kalau begitu ..."     

Dia sengaja memanjangkan suaranya dan berhenti sejenak. "Kita masih punya empat puluh lima menit lagi, jadi apa yang kalian lakukan? Kalian semua terlihat sangat muram, kupikir aku tadi masuk ke ruangan yang salah atau mengingat waktu yang salah. Apa pertandingannya sudah usai? Belum? Kalau begitu, kenapa kalian semua terlihat seperti itu? Atau itu karena..." dia menunjuk ke arah pintu ruang ganti dan meninggikan suaranya. "Kalian pikir kita tidak akan bisa menyusul? Bahwa kita tidak punya peluang di babak kedua, dan bahwa pertandingan ini sudah berakhir? Begitu saja? Jawab aku!"     

Ada beberapa jawaban acak diantara para pemain, "Tidak, bos ..."     

"Di timku, aku tak akan pernah mentolerir pengecut yang kehilangan harapan dan berpikir mereka telah kalah bahkan sebelum pertandingan berakhir! Kalau ada orang disini yang tidak percaya pada dirinya sendiri atau pada rekan setimnya, kau bisa mengangkat tanganmu sekarang. Waktunya sudah dekat untuk transfer pemain musim dingin!"     

Tidak ada yang mengangkat tangan mereka.     

"Apa? Tidak ada yang mengangkat tangan? Jadi, apa kalian barusan masih tidur? Oke, kita kesampingkan masalah itu untuk sementara..." Twain mengesampingkan masalah itu. "Aku tidak ingin membuang waktu membicarakan tentang omong kosong ini selama lima belas menit waktu istirahat kita. Ya, kita memang tidak berada dalam posisi yang bagus saat ini; kita tertinggal dua gol di dalam pertandingan. Kelihatannya memang sulit untuk bisa menyusul. Tapi semua itu bukan alasan untuk menyerah. Kita tidak punya alasan untuk menyerah kalau ingin meraih kemenangan."     

Saat mereka mendengar nada manajer mereka melunak, para pemain, yang menundukkan kepala dan bahkan tidak berani bernapas terlalu keras karena takut dimarahi, perlahan-lahan mulai mengangkat kepala mereka satu per satu.     

"Franck." Twain menoleh ke sudut ruang ganti untuk memandang Ribéry dan berkata, "Kau adalah seorang gelandang dan bahkan pemain sayap. Ingat, kau hanya membantu Baines bertahan. Aku tidak akan mengkritikmu karena memberikan kesempatan lawan melakukan diving demi mendapatkan penalti, tapi kau harus tahu bahwa kau adalah pemain penyerang. Bertahan bukanlah tugas utamamu. Berapa kali kau terlibat dengan Ronaldo di dekat area penalti kita? Bagaimana kita bisa menyerang balik saat kita berhasil mencegat bola?"     

Nada bicara Twain tidak keras, dan semua yang dikatakan olehnya memang masuk akal. Ribéry berulang kali mengangguk saat dia mendengarkan. Dia terlalu terburu-buru di lapangan; dia hanya memikirkan tentang bagaimana dia bisa menang dalam pertandingan satu lawan satu melawan Ronaldo, dan sepenuhnya melupakan kebutuhan taktis tim. Setelah memikirkannya lagi, tindakannya tadi memang kurang pertimbangan.     

"Kita semua tahu bahwa selain menciptakan peluang untuk mencetak gol dari sayap, memfokuskan upaya kita di sayap memainkan peranan penting dalam menekan serangan lawan kita di sana. Jadi, Franck, kalau kau mundur terlalu jauh, itu sama saja dengan membiarkan lawan kita menekan serangan kita di sayap kiri ..."     

Ribéry sepenuhnya memahami apa yang dikatakan oleh Twain hingga titik ini. Dia telah sepenuhnya dikendalikan oleh Ronaldo.     

"Aku mengerti sekarang, bos. Aku tak akan membiarkan mereka merasa nyaman di babak kedua," katanya, mengepalkan tinjunya.     

Twain mengangguk dan menoleh ke arah Wood. "Dan ... George. Apa kau ingat misimu sebelum pertandingan?"     

Wood mengangguk.     

"Bantuanmu untuk sayap masih kurang. Kalau kau lebih aktif, Ribéry tak akan terlalu tertekan."     

Wood membuka mulutnya seolah ingin membela diri. Tapi dia berubah pikiran dan tidak mengatakan apa-apa. Sebaliknya, di sampingnya, Albertini berbicara untuknya. "Boss, aku tidak ... Sebenarnya, Keane memberikan tekanan yang besar pada George."     

Twain mengangguk untuk menunjukkan kalau dia tahu itu. Tapi, dia melanjutkan kata-kata Albertini. "Siapa saja akan berada di bawah tekanan besar saat bermain melawan Keane. Apa kau pikir kapten tim Arsenal, Patrick Vieira, tidak merasakan tekanan yang besar itu? Dia juga sama. Roy Keane memang pemain seperti itu. Jadi, George, aku akan mengatakannya lagi: kalau kau tidak bisa menyelesaikan misi yang kuberikan padamu, aku akan membuat penggantian pemain."     

Twain berbicara dengan ramah pada Ribéry. Tapi kepada George Wood yang paling disukainya, ia malah berbicara keras sampai terkesan tak masuk akal. Dalam menghadapi pengaturan yang konyol seperti ini, pemain lain mungkin sudah mengeluh.     

Tapi Wood tidak seperti mereka. Ekspresinya sama sekali tidak berubah; dia hanya mengangguk. "Okay." Nada suaranya sangat datar sampai-sampai beberapa pemain lain mengira bahwa dia pasti tidak mendengarkan kata-kata Twain, melainkan hanya langsung menjawabnya.     

Twain juga tidak bertanya lagi apa mereka mengerti. Dia kemudian memandang berkeliling dan berbicara kepada semua pemain. "Guys, kalian harus tahu bahwa sepakbola adalah olahraga tim. Baik itu serangan atau bertahan, semua itu tidak ditentukan oleh satu atau dua pemain saja. Jadi ... kalian juga perlu membantu Wood." Dia tersenyum. "Jangan biarkan Wood menjadi superman sendirian, aku butuh sebelas supermen!"     

"Itu gampang, bos!" Eastwood mengangkat tangannya dan berdiri.     

"Apa kau punya saran yang bagus, Freddy?" Twain menatapnya.     

Freddy mengangguk dan berkata dengan serius, "Pakai saja celana dalammu di luar!"     

Bahkan Mark Viduka, yang biasanya serius, tidak bisa menahan tawa saat dia mendengar partner lini depannya mengatakan itu. Tawanya di ruangan yang sunyi itu seperti pemicu. Semua orang, termasuk para pemain dan pelatih, ikut tertawa keras. Suasana tegang di ruang ganti menghilang tersapu oleh tawa.     

※※※     

Saat kedua manajer dari kedua tim kembali ke pinggir lapangan dan menunggu tiupan peluit yang menandakan dimulainya babak kedua, Twain mencuri pandang ke arah Ferguson, wajah pria tua Skotlandia yang tampak tersenyum itu memerah.     

Saat dia melihat wajah yang tersenyum samar itu, dia merasa tidak nyaman dan dengan cepat mengalihkan wajahnya.     

Masih ada empat puluh lima menit lagi; jangan gembira dulu, Sir Ferguson ...     

※※※     

Setelah babak kedua dimulai, kelihatannya seperti ada pengulangan babak pertama. Manchester United memanfaatkan keunggulan pertandingan kandang untuk meluncurkan gelombang serangan ke gawang tim Forest, satu per satu gelombang serangan itu menghantam tim Forest.     

Ribéry mengingat kata-kata Twain selama jeda turun minum. Tapi, saat dia sadar bahwa dia bahkan tidak bisa mendapatkan bola selama pertandingan, dia merasa ragu dan berlari mundur. Serangan balik? Pertama-tama, kita tidak boleh kehilangan bola sebelum kita bisa melakukannya.     

Saat dia melihat situasinya tidak membaik, Twain berdiri dari area teknis dan berjalan ke pinggir lapangan. Dia melambai ke arah lapangan dan berteriak, "George!"     

Wood mendengar panggilan Twain, tapi dia tidak menoleh ke belakang. Dia tahu alasan kenapa Twain memanggilnya.     

Keane lebih sering menekannya di babak kedua, yang tampaknya memang diperintahkan oleh Ferguson. Scholes dan Roy Keane, bersama dengan Wayne Rooney dan van Nistelrooy saling bergiliran maju dan mundur, membuat pertahanan di lini tengah menjadi sangat tegang.     

Wood tidak pernah mengalami perasaan seperti ini di dalam sebuah pertandingan. Saat dia menghadapi Roy Keane, dia akan merasa sangat gugup. Tidak ada waktu untuk bernapas. Kelalaian apa pun bisa menimbulkan hasil yang fatal. Dia tidak punya tempat di benaknya untuk memikirkan tentang masalah-masalah lain; dia hanya bisa memperhatikan pemain Manchester United nomor 16.     

Tang En bisa memahami situasi Wood saat ini, karena dia ingat bahwa saat Keane mengumumkan pengunduran dirinya di masa depan, musuh bebuyutannya di Liga utama, Patrick Vieira, memberikan penghormatannya pada kapten Manchester United itu, dengan mengatakan bahwa Keane adalah gelandang terbaik yang pernah dilawannya. Dia harus mengeluarkan kemampuan terbaiknya saat bermain melawan Keane di dalam pertandingan dan menghabiskan semua energinya. Dia menyukai sensasi dimana dia benar-benar asyik saat bermain melawannya.     

Tang En tidak tahu apakah Wood juga menyukai perasaan seperti itu, tapi dia yakin bahwa setelah bermain melawan Keane, yang sedang dalam kondisi prima, di sebuah pertandingan hidup dan mati, George akan jauh lebih berkembang daripada jika dia berlatih keras selama tiga bulan di lapangan latihan.     

Ada hal yang terkubur dalam-dalam di hati Tang En dan tak dikatakannya kepada siapa pun: Bahkan meski mereka kalah di pertandingan ini, selama prosesnya memenuhi harapan Tang En, dia tidak akan mengeluh. Dia bisa bertahan di bawah tekanan akibat kekalahan beruntun.     

Semua yang dia tunjukkan sejauh ini adalah untuk memotivasi para pemain, dan bukan bukti bahwa dia tidak bisa menerima kekalahan seperti yang mungkin dipikirkan oleh orang lain.     

Kekalahan adalah satu-satunya jalan menuju kemenangan. Tentu saja, kekalahan itu haruslah bermanfaat.     

※※※     

"Roy Keane memiliki bola, tapi dia tidak bisa menembak ke gawang ... Dia selalu diikuti oleh George Wood di sampingnya, dan Wood tak terpisahkan darinya, dia seperti bayangannya. Ini pasti pengaturan taktis dari manajer Tony Twain."     

Keane melihat George Wood semakin mendekatinya dan segera mengoper bola ke Ronaldo di sayap. Wood melihatnya dan bergegas ke Ronaldo lagi. Pemain Portugis itu melihatnya datang dan kembali mengoper bola ke Keane. Bek tengah, Piqué, melangkah maju untuk mengisi celah yang ditinggalkan, tapi bola itu lewat di belakangnya. Untungnya, bek kanan tim Forest, Leighton Baines, berhasil mendapatkan bola di kotak penalti tepat waktu dan menghalangi Wayne Rooney dengan jalan menendang bola keluar lapangan.     

Twain menggelengkan kepalanya di pinggir lapangan saat dia melihat pemandangan itu. Ini tidak akan berhasil, tak peduli seberapa cepat dia bisa berlari, manusia tak akan bisa berlari lebih cepat daripada bola.     

Wood berdiri di samping Keane dan melihat kiper tim, Darren Ward, memberi acungan jempol pada Baines, berterima kasih atas penyelamatannya yang tepat waktu dan menghilangkan ancaman terhadap gawang tim. Tiba-tiba saja, ada kilasan inspirasi di benaknya.     

Kenapa kami tidak melakukannya seperti itu?     

Dia berjalan menuju Albertini dan dengan ringkas menyampaikan idenya. Albertini dengan cepat memahami apa yang ada di dalam pikiran Wood. Dia mempertimbangkannya, dan kemudian mengangguk. "Ini bukan pengaturan bos, kurasa kita bisa mencobanya."     

Lalu, dia berbalik untuk memberi tahu semua orang tentang ide Wood; tidak semua orang setuju. Beberapa dari mereka merasa ragu karena George Wood tidak pernah berlatih sebagai bek sayap, dan pemain Spanyol itu, Piqué, tidak pernah menjadi gelandang bertahan.     

Mengambil keuntungan dari bola mati, Albertini memberi tahu beberapa rekan tim yang perlu turut ambil bagian di dalam rencana tersebut. "Aku rasa kita tidak perlu ragu. Lihat saja skornya, kita sudah tertinggal dua gol. Kalau kita tidak bisa menghentikan serangan Manchester United, kita takkan punya peluang untuk menyerang balik. Ide George tidak buruk. Piqué, apa kau pernah bermain sebagai gelandang bertahan?"     

Pemuda Spanyol itu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Demetrio."     

"Kalau begitu kenapa tidak menggunakan kesempatan ini untuk mencobanya?"     

"Tapi ini pertandingan yang penting ..."     

"Lupakan itu, ini bukan pertandingan final. Oke, kalau begitu beres. Piqué, kau masih akan tetap bermain sebagai bek tengah seperti biasa. Kalau kau melihat Keane datang untuk merebut bola, kau bisa mengarahkan bola keluar untuk mengulur waktu. Lalu Baines, kau akan menerima operan di dalam area penalti sebagai bek tengah dan biarkan George menangani bagian sayap. Ada masalah? Tidak? Ayo kita lakukan!" Di saat-saat yang kritis, Albertini menunjukkan kemampuan dan keberaniannya sebagai kapten tim, dan dengan ringkas membagikan tugas-tugas baru. Tentu saja, ini ada hubungannya dengan kemahiran bahasa Inggrisnya. Dia selalu menghindari penggunaan kalimat yang panjang dengan tata bahasa yang rumit dan menggunakan frase untuk mengekspresikan makna yang diinginkannya sehingga semua orang bisa memahaminya dengan baik.     

Tidak ada yang keberatan saat dia melakukan ini karena semua orang tahu bagaimana Twain sangat menghargai kapten tim asal Italia itu. Hubungan diantara mereka berdua kadang tidak terlihat seperti hubungan seorang manajer dan pemain.     

Dari pinggir lapangan, Twain melihat para pemainnya berkumpul lalu berpisah dengan cepat. Dia tidak tahu apa yang terjadi. Lalu, saat Manchester United kembali menyerang, dia terkejut saat melihat Piqué berada di posisi Wood!     

"Gelandang bertahan!" Dia tidak bisa menahan diri untuk berteriak, dan disampingnya, Kerslake bertanya, "Apa ada masalah, Tony?"     

Twain buru-buru menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak, ini bagus ..."     

Dia masih ingat bahwa, karena Piqué tidak bisa bermain di turnamen apa pun sebagai bagian dari tim utama Manchester United dan Ferguson merasa dia hanya akan membuang waktu kalau bermain di pertandingan tim cadangan, maka dia dipinjamkan ke Real Zaragoza FC, sebuah tim di La Liga. Sejak awal, dia menghadapi dilema yang sama karena tidak bisa bermain di dalam pertandingan. Tapi kontrak antara Manchester United dan Real Zaragoza FC mensyaratkan jumlah penampilan untuk Piqué. Dia harus bermain dua puluh kali dalam satu musim, jadi Real Zaragoza mengatur agar Piqué bermain di menit-menit terakhir pertandingan sambil memanfaatkannya sebagai pemain serba bisa, seorang pemain pelengkap. Dia akan bermain di posisi manapun yang kekurangan pemain. Termasuk posisi gelandang bertahan.     

Pada awalnya, Piqué hanya bisa bermain sebagai bek kanan dan bek tengah. Tapi, karena situasi yang ada di Real Zaragoza, ia juga mengembangkan posisi ketiga sebagai gelandang bertahan.     

Ternyata, Piqué bisa mengisi posisi gelandang bertahan dengan baik, meski posisi favoritnya masih sebagai bek tengah.     

Aku tidak menduga kalau posisi ketiga Piqué akan muncul di Liga Utama dua tahun sebelum di Zaragoza, pikir Tang En.     

Piqué benar-benar didorong melampaui batas kemampuannya saat ia bermain sebagai gelandang bertahan untuk pertama kalinya. Dia tampak bingung saat menghadapi Keane. Dia juga mudah dilewati. Untungnya, Albertini bisa membantunya menghentikan terobosan itu dan menghilangkan krisis yang terjadi.     

Piqué memberi isyarat meminta maaf kepada kapten tim. Albertini tersenyum padanya dan berkata, "Itu tak bisa dihindari karena ini adalah yang pertama kalinya bagimu. Sebenarnya tidak ada banyak perbedaan antara kedua posisi, kau hanya perlu memperhatikan gerakanmu. Bertahan di luar dan di dalam area penalti tidaklah sama. Jangan sering menyerang dengan kakimu, kau hanya perlu melekat padanya!"     

Piqué mengangguk untuk menunjukkan kalau dia mengerti.     

Di sisi lain, si jenius Portugal Cristiano Ronaldo agak terkejut saat menemukan bahwa lawannya telah berubah. Leighton Baines telah pergi ke area penalti; kelihatannya dia bermain sebagai bek tengah, dan Scarface itu ...     

Ribéry ingin kembali untuk membantu pertahanan, tapi dia seharusnya hanya "membantu." Meskipun berlarian ke depan dan ke belakang terlalu sering akan membuatnya lelah, dia tetap berusaha keras dengan gigi terkatup.     

Wood mendongak dan melihat Ribéry berlari ke arahnya. "Apa yang kau lakukan?"     

"Bos bilang aku harus membantu bertahan ..." Pria Perancis itu diam-diam menunjuk ke pemain nomer 7 Manchester United.     

"Tidak perlu." Wood dengan terus terang menolak niat baik Ribéry. "Kalau kau di sini, siapa yang akan menyerang?" Dia menunjuk ke lini belakang Manchester United.     

Ribéry ingin menyangkal Wood, tapi dia menutup mulutnya setelah membukanya, berbalik dan lari kembali ke depan.     

Cristiano Ronaldo berada cukup dekat dengan Wood, dan dia bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas. Bocah itu bahkan tidak meliriknya saat dia mengatakan itu, dan pemain Portugis itu tiba-tiba merasa diremehkan. Apa kau meremehkanku? Apa kau pikir kau bisa bertahan sendirian melawanku? Oke, coba saja kalau kau bisa!     

Saat Keane kembali menerima bola dan menghadapi Piqué sambil bersiap melakukan terobosan, dia tiba-tiba melihat Ronaldo melambai ke arahnya dari sayap, memintanya untuk mengoper bola ke arahnya.     

Dengan tujuan operan bola yang tampak jelas seperti itu, idiot mana pun pasti akan bersiap-siap untuk bertahan terhadapnya!     

Keane mengabaikannya dan memilih untuk mengumpan ke Paul Scholes. Scholes kemudian memberikan bola ke Giggs di sayap kiri. Giggs memberikan umpan silang ke van Nistelrooy, memberinya kesempatan untuk menembak ke gawang; tapi sundulannya luput.     

Semua ini memberi Ronaldo kesempatan untuk menunjukkan ketidaksenangannya. Dia mengibaskan tangannya dan merasa kesal karena Keane tidak memberikan bola padanya. Keane meliriknya sekilas dan berbalik untuk berlari ke belakang.     

Twain merasa terhibur melihat adegan itu. Ronaldo, yang baru saja bergabung dengan Manchester United, memiliki hubungan yang sangat buruk di ruang ganti pemain karena terlalu sombong sebab dia memiliki skill menggiring bola yang luar biasa dan penampilannya yang tampan, manajer juga sangat menghormatinya, dia juga arogan dan tidak sopan. Saat itu, ada banyak sekali berita negatif tentang dirinya. Dia bahkan pernah langsung dipulangkan ke negara asalnya, Portugal, oleh Ferguson untuk waktu yang lama setelah terlibat pertengkaran dengan rekan satu timnya. Dia juga pernah diberitakan akan ditransfer keluar dari Manchester United.     

Bocah itu sama sekali belum dewasa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.