Mahakarya Sang Pemenang

Wood Belajar Menjadi Seorang Pemain Bintang Bagian 1



Wood Belajar Menjadi Seorang Pemain Bintang Bagian 1

0Di Forest Bar di Wilford, Nottingham, semua bir di dalam gelas memercik ke atas, dan semua orang mengacungkan tinju mereka dan berteriak. Teriakan mereka bahkan menenggelamkan suara televisi, tapi memang tidak ada yang ingin mendengar suara si komentator saat itu.     

"Meskipun hasil akhirnya imbang, satu poin itu sama berharganya seperti tiga poin dalam hal proses pencapaiannya. Tim Forest berusaha keras untuk mendapatkan hasil imbang dengan Manchester United di pertandingan tandang ini. Sebagai sebuah tim yang baru dipromosikan, sangatlah sulit untuk bisa mendapatkan hasil seperti ini! George Wood tidak diragukan lagi adalah pahlawan dan pemain utama di pertandingan sore ini! Baik itu proses ataupun hasilnya, gol itu sempurna!"     

※※※     

Di stadion Old Trafford di Manchester, George Wood masih berdiri di tempat dia menembakkan bola. Dia tidak berlari dengan tangan terbuka lebar, tidak melepaskan bajunya dan melemparkannya ke langit, bahkan tidak mengacungkan tinjunya. Dia hanya berdiri di tempat yang sama, berbalik, dan melihat rekan-rekan setimnya yang tampak gembira berlari kencang ke arahnya.     

Dia tidak pernah mencetak gol dalam pertandingan, juga dia tidak tahu bagaimana harus merayakan setelah mencetak gol. Apa aku harus berteriak dan memaki untuk mengekspresikan perasaanku?     

"Bagus sekali!" Ashley Young bergegas menghampiri, memeluknya, dan berteriak di telinganya, "Gol yang indah!"     

Kemudian ada lebih banyak rekan setim yang berkerumun di sekelilingnya; bahkan kiper mereka, Darren Ward, juga melesat menghampirinya dari lini belakang. Para pemain Forest yang tampak kelelahan itu sekarang terlihat energik seperti saat mereka baru memasuki lapangan.     

Twain berlutut di tanah dan memukul rumput dengan tinjunya. Kerslake yang tampak sangat gembira menariknya berdiri. "Dia berhasil melakukannya! Dia benar-benar berhasil melakukannya!"     

Para pemain Forest di lapangan dan para pemain di bangku cadangan semuanya berpelukan bersama. Wasit melihat arlojinya dan meniup peluit tiga kali untuk menandakan akhir pertandingan.     

Tim Manchester United masih memiliki "nasib buruk" mereka untuk musim ini, sehingga memungkinkan Nottingham Forest untuk menyamakan skor dalam sepuluh detik terakhir di kandang mereka.     

Meskipun tim Forest hanya mendapat hasil imbang, mereka terlihat seperti pemenang saat mereka merayakan gol terakhir Wood.     

Twain mengacungkan kepalan tinjunya saat dia melihat para pemainnya. Kemudian dia ingat kalau dia seharusnya berada di tempat yang penting. Dia memutar badan ke bagian tengah dari kedua area teknis, dan melihat Sir Alex Ferguson menunggunya di sana.     

"Ini benar-benar permainan yang bagus." Meski kalah, Ferguson masih menunjukkan senyum di wajahnya. Tidak mudah mengembalikan ekspresinya agar terlihat normal dalam kurun waktu sesingkat itu. "Tim Anda memang hebat, Tuan Twain."     

"Terima kasih banyak atas pujian Anda, Sir Ferguson." Nada bicara Twain tidak setajam dan sekasar sebelumnya. Bagaimanapun juga, baginya, hasil imbang ini adalah kemenangan. Tidak perlu menjadi orang yang tak tahu berterima kasih.     

Ferguson mengangguk dan melangkah pergi. Saat dia berbalik, senyum pria Skotlandia itu telah menghilang sepenuhnya dari wajahnya. Pertanyaan yang ada di benaknya selama musim panas kini sudah terjawab: apakah mereka akan menjadi ancaman bagi kita? Ya, mereka sudah menjadi ancaman.     

※※※     

Twain masih berdiri di pinggir lapangan sambil melihat Ferguson melangkah pergi. Kemudian dia kembali melihat ke arah para pemainnya, yang masih merayakan gol. Senyum muncul di wajahnya saat dia melihat George, yang tampak terpana saat dikelilingi oleh segerombolan orang.     

Dia yakin kalau Wood harus mengulangi tembakan yang sama persis seperti itu, kemungkinannya adalah 99% dia tidak akan bisa mencetak gol.     

Sebenarnya, tidak jadi masalah bagaimana gol itu dibuat; yang penting adalah hasilnya. Wood telah menjadi seorang superman sejati kali ini. Seorang pahlawan. Yang satu.     

Kurasa dia akan mengingat pertandingan ini untuk waktu yang sangat lama.     

Kerja bagus, Nak. Teruslah bermain seperti ini, dan masa depanmu akan cerah.     

※※※     

Wood akhirnya berhasil melepaskan diri dari pelukan rekan setimnya setelah banyak kesulitan. Semua orang lalu berjalan menuju ke koridor pemain dan kembali ke ruang ganti. Wood baru saja akan meninggalkan lapangan saat dia melihat Roy Keane di tepi lapangan.     

Sepertinya kapten Manchester United itu sedang menunggunya.     

Saat dia melihat Wood datang, Keane melepas kausnya dan menyerahkannya pada Wood. "Kau sudah tampil dengan baik, Nak."     

Ini adalah pertama kalinya Wood menghadapi situasi di mana lawannya secara sukarela meminta untuk bertukar kaus. Dia sedikit terkejut. Twain kebetulan melihatnya. Pertukaran kaus antar pemain biasanya tidak ada hubungannya dengan manajer, tapi dia berjalan menghampiri mereka untuk mengingatkan Wood, "Kenapa kau hanya menatapnya seperti itu? Tukar kausmu!"     

Wood mendengar Twain dan balas menatapnya. Twain mengedipkan mata.     

Mematuhinya, Wood menundukkan kepalanya untuk melepas kausnya dan menukarnya dengan kaos Manchester United nomer 16 milik Keane.     

Saat Keane menyentuh kaus jersey Wood, dia bisa merasakan kaus itu benar-benar basah karena keringat; kaus itu lembab dan berat. Anak ini benar-benar menggunakan semua kekuatan fisiknya untuk berlari. Dia memikirkan gol yang terakhir itu. Hanya jersey seperti ini yang pantas untuk gol itu.     

Itu adalah peluang yang dihasilkan dari sembilan puluh menit berlari.     

Dia melihat bayangan dirinya pada pemuda ini. Dia teringat bagaimana dia mengenakan jersey Nottingham Forest untuk tampil di Anfield dan bertanding melawan tim terkuat saat itu. Pada hari itu, kariernya telah dimulai.     

Menatap Wood, dia mengangguk. "Kita akan sering bermain melawan satu sama lain di masa depan. Jangan mengecewakanku, Nak." Setelah itu, Keane berbalik dan berjalan ke koridor pemain.     

Wood tidak mengatakan apa-apa; dia tidak tahu harus mengatakan apa. Twain menepuk pundaknya. "Bagaimana perasaanmu, George?"     

Wood memandang Twain dan berkata, "Sangat baik."     

"Kau sama sekali tidak rendah hati ..."     

"Apa maksudmu?"     

"Tidak, bukan apa-apa. Ini bagus." Twain tersenyum. "Apa kau tahu siapa orang yang bertukar kaus denganmu?"     

Wood mengangguk.     

"Tidak mudah untuk mendapatkan kekaguman atau pengakuan darinya ... Pergi sana, kembalilah ke ruang ganti." Twain menunjuk ke arah kiri dari jalan yang bercabang, yang mengarah ke ruang ganti tim tamu. Jalan yang lurus akan menuju ke ruang konferensi pers, yang menjadi tujuan Twain.     

"Satu hal lagi, George. Di saat-saat seperti ini kau seharusnya tersenyum." Twain menunjuk wajah Wood dan kembali berkata sebelum dia pergi, "Kau sudah tampil dengan sangat baik. Kenapa kau tidak tersenyum?" Twain tersenyum lebar.     

Wood menggerakkan bibirnya dan akhirnya tersenyum. Yah, lebih tepatnya dia hanya meniru ekspresi Tony Twain.     

Twain tertawa senang saat dia melihat senyum aneh Wood.     

"Ingat, George. Jangan berkecil hati saat kau gagal. Nikmati kemenanganmu sepenuhnya. Kita akan kembali ke Nottingham besok pagi, jadi nikmati malam ini!"     

Setelah menepuk bahu Wood, Twain langsung pergi ke ruang konferensi pers.     

※※※     

Di konferensi pers paska-pertandingan, Twain membuat para wartawan yang hadir tertawa saat dia angkat bicara.     

"Pertandingan sepakbola itu seperti hidup: penuh pasang surut." Dia mengangkat bahu dan berkata sambil tersenyum, "Aku merasa sangat senang dengan penampilan para pemainku. Pertandingan ini memang berakhir imbang, tapi aku tidak bisa meminta mereka melakukan lebih dari ini. Ini benar-benar sempurna. Manchester United tidak kalah di stadion kandang mereka, dan kami juga tidak kembali dengan tangan kosong."     

Ferguson melirik Twain.     

"Aku merasa sangat puas dengan hasil pertandingan, dan bahkan lebih puas lagi saat melihat penampilan George Wood. Kurasa ... para wartawan itu, mereka yang sangat bersemangat membahas konflik internal tim Forest beberapa hari yang lalu, pasti merasa sangat bodoh sekarang." Setelah dia memuji tim dan selesai berbicara tentang pertandingan, Twain mengganti topik pembicaraan dan kembali memerangi media. "Dan, bagi mereka yang mengira kalau aku menyukai Wood tanpa alasan ... Setelah menonton pertandingan ini, apa masih ada yang berani bilang kalau aku telah mempercayainya tanpa alasan?"     

Para wartawan tidak tertawa, tapi mereka juga tidak membalasnya.     

Melihat mereka semua, Twain kembali tersenyum. "Itulah sebabnya kenapa aku merasa sangat senang melihat penampilan para pemainku di pertandingan ini. Aku merasa sangat, sangat puas."     

Setelah mengatakan itu, Twain berhenti bicara. Dia hanya bersandar ke sandaran kursi dan mendengarkan pidato Ferguson dengan tenang dan menunjukkan senyum rileks di wajahnya.     

Rasa senangnya karena bisa membalas media sangatlah intens; dia takut kalau dia terus bicara, dia akan tertawa terbahak-bahak. Kalau gol terakhir Wood tadi tidak terjadi, moodnya mungkin akan berbeda sekarang. Para wartawan mungkin akan terus mengganggunya dengan pertanyaan tak berujung tentang kekalahannya. Tak peduli seberapa keras dia berusaha, semua itu akan sia-sia begitu dia kalah. Media selalu pandai dalam membuat semua hal yang tampak normal menjadi berita yang sensasional, dan membuatnya seperti sesuatu yang kelihatan seperti akhir dunia.     

Tidak ada yang istimewa dari pidato Ferguson. Sebelum pertandingan, kedua tim saling bertukar komentar tajam terhadap satu sama lain. Sekarang, nadanya telah jauh lebih ringan. Tanpa ada hinaan atau sarkasme terselubung, Ferguson memuji performa tim Forest di dalam pertandingan dan secara khusus memuji keuletan George Wood. Dia kemudian mengkritik performa Manchester United. Dia memang tidak menyebutkan nama, tapi dia mengatakan kalau ada pemain yang tidak memikirkan tentang seluruh tim. Adapun orang yang ia maksudkan, siapa pun yang menonton pertandingan pasti mengetahuinya.     

Sekarang, perhatian media telah beralih ke pertikaian di dalam tim Manchester United.     

Saat Ferguson mengkritik Cristiano Ronaldo, Twain memandangnya sekilas. Rona merah di wajah lelaki tua itu bahkan terlihat lebih gelap, dia mungkin sudah melampiaskan kemarahannya di ruang ganti beberapa saat yang lalu.     

Twain duduk, mencoba mengingat. Cristiano Ronaldo dikeluarkan sementara dari Manchester United oleh Ferguson dan kembali ke Portugal untuk memulihkan diri di pertengahan Desember 2004; sekarang sudah tanggal 28 November, tidak terlalu jauh dari hari itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.