Mahakarya Sang Pemenang

Newcastle dan Shania Bagian 2



Newcastle dan Shania Bagian 2

0Twain sedang melihat sekeliling saat dia tiba-tiba melihat orang yang dikenalnya. Hal itu membuatnya sangat terkejut, sampai-sampai dia meninggalkan Kerslake dan berjalan ke arahnya.     

Saat orang itu melihat Twain berjalan ke arahnya, dia kelihatan senang. Dia melompat-lompat dan melambai dengan antusias ke arah Twain.     

"Paman Tony, Paman Tony!" Suara yang memanggil namanya itu tak lain dan tak bukan adalah milik Shania.     

"Shania, kenapa kau ada di sini?" Menggunakan kata "heran" untuk menggambarkan suasana hatinya saat ini tidaklah akurat. Lebih tepat untuk menggunakan kata "terkejut tapi senang."     

Mengenakan mantel hijau, Shania berdiri di tepi kerumunan dengan rambut cokelat panjang diikat ekor kuda yang berayun sejalan dengan gerakannya yang melompat-lompat. Melihat Twain, dia tersenyum cerah.     

"Apa aku tidak boleh datang?" Shania berhenti melompat, mencondongkan tubuhnya ke arah Twain di atas pagar pembatas logam, dan tersenyum.     

"Bukankah seharusnya kau ada di kelas?"     

"Tidak apa-apa untuk membolos sesekali ..." Shania cemberut. "Kalau aku tidak membolos, aku takkan bisa melihatmu!"     

"Yah, kalau kau ingin menemuiku, kita kan bisa mengobrol lewat video secara online."     

"Tidak! Bagaimana mungkin online dibandingkan dengan berbicara secara langsung?" kata Shania, mengerutkan kening. Dia sepertinya menyadari sesuatu. "Kau tidak terlihat sehat."     

"Yah, hari ini mendung dan tidak ada cukup cahaya di cuaca seperti ini, jadi aku tidak kelihatan sehat." Twain menggaruk kepalanya.     

Mereka berdua berbicara dengan gembira disana ketika, tiba-tiba saja, ada suara seseorang yang terbatuk disamping mereka. Twain melihat ada seorang pemuda yang berdiri disamping Shania. Dia kelihatan sama tinggi dengan Shania, tapi jelas lebih tua daripada Shania.     

Shania menjulurkan lidahnya. Dia barusan melupakannya.     

"Paman Tony, ini sepupuku, Tom." Shania menunjuk ke arah pemuda itu dan memperkenalkannya pada Twain, lalu menoleh ke arah pemuda itu dan berkata, "Ini Paman Tony; Aku sudah mengatakannya padamu sebelum ini. Aku tidak bohong padamu."     

Alasan kenapa Twain mengabaikan pemuda itu sejak awal adalah karena dia memakai jersey Newcastle United. Dia mengira kalau pemuda itu adalah fans Newcastle United yang datang bergabung untuk ikut bersenang-senang. Dia tidak mengira pemuda itu adalah sepupu Shania.     

Tunggu sebentar! Sepupu? Sepupu yang tinggal di bawah atap yang sama?     

Twain memandang Shania, memandang ke arah pemuda itu, dan mengulurkan tangannya. "Hai, aku Tony Twain. Senang bertemu denganmu."     

"Halo, aku Tom Sawyer, sepupu Judy. Senang bertemu denganmu." Kedua pria itu saling berjabat tangan singkat.     

Judy ... kenapa dia memanggilnya begitu akrab? pikir Tang En, lalu berbalik ke arah Shania dan berkata, "Shania, apa kau tidak ada acara malam ini? Aku ingin mengajakmu makan malam."     

"Oke, tentu saja ..." kata Shania senang sebelum kemudian dia tiba-tiba mengerutkan kening. "Oh, di malam hari, bibiku ..."     

Dia tidak perlu menyelesaikan kalimatnya; Tang En sudah bisa menebak situasinya secara kasar. Ah, kelihatannya keluarga kandung Shania bukan satu-satunya yang menanamkan pola asuh yang ketat. Bahkan kerabatnya juga sama ...     

Apa kami akan kehilangan peluang langka ini? Tidak mudah untuk bisa bertemu dengannya, dan kami bahkan tidak bisa makan malam bersama? Tang En merasa sedikit kecewa.     

Saat mereka berdua merasa canggung, Tom, yang berdiri di sampingnya, berkata. "Aku bisa menghubungi ibuku dan memberitahunya kalau aku akan makan malam dengan Judy. Seharusnya tidak apa-apa kalau begitu."     

Shania sangat senang dan menoleh untuk melihat ke arah sepupunya. "Sungguh?"     

"Tentu saja." Tom hanya tersenyum saat dia menghadap ke arah Shania.     

Tang En diam-diam memutar matanya. Sekarang dia harus mengajak satu orang lagi untuk makan malam. Bukan karena dia enggan berpisah dengan uangnya; tidak akan terlalu mahal untuk membayarkan makan malam satu orang lagi. Hanya saja tidak akan nyaman untuk berbicara dengan orang asing di sekitar mereka. Tapi apa dia punya pilihan lain?     

"Itu ide yang bagus," kata Twain santai.     

Kemudian Tom pergi dan mencari tempat yang lebih sepi untuk menghubungi ibunya. Shania mengomeli Twain, menunjuk ke arah wajah Twain dan mengatakan bahwa dia tidak menjaga kesehatannya. Twain tidak menyangkalnya; dia hanya menundukkan kepala dan mengakuinya.     

Tidak lama kemudian Tom Sawyer sudah kembali. Dia tersenyum pada Shania dan mengangguk, berkata, "Aku sudah mengatakan pada ibuku kalau kita tidak akan makan malam di rumah."     

"Itu bagus sekali!" Shania bertepuk tangan.     

Twain menoleh dan melihat ke arah para pemain, yang sebagian besar sudah selesai memberikan tanda tangan dan kembali ke bus. Sekarang mereka akan kembali ke hotel untuk beristirahat. Jadi dia segera berkata kepada Shania, "Kalian tunggu aku disini."     

Dia kemudian berbalik dan berjalan ke arah David Kerslake, yang berdiri di pintu bus. Kerslake tersenyum dan menatapnya, dan dia juga melihat para pemain tersenyum ke arahnya saat dia melirik ke dalam bus.     

"Uh ... David, aku tidak akan kembali dengan kalian. Aku ..."     

"Kami tahu, Tony," kata David. Ada ledakan suara tawa di dalam bus di belakangnya. "Selamat bersenang-senang."     

Twain menggaruk hidungnya. Apa yang dipikirkan oleh sekelompok orang itu? Tapi dia tidak punya waktu untuk mengoreksi mereka. Dia tahu ada pepatah yang berbunyi, "menjelaskan berarti menutup-nutupi." Biarkan saja mereka berpikir sesuka hati mereka. Aku tidak melakukan apapun yang salah!     

"Yah, oke ... Oh, ya, tolong berikan padaku tiket pertandingannya," Meskipun besok adalah pertandingan tandang, tim mereka masih menerima sejumlah tiket. Jelasnya, jumlah tiket itu takkan sebanyak pertandingan kandang, tapi masih ada cukup banyak untuk diberikan sebagai hadiah.     

Kerslake mengeluarkan setumpuk tiket. "Satu atau dua?"     

Twain mengacungkan dua jari. "Hanya dua."     

"Bocah Newcastle United itu seharusnya punya tiket, kan?"     

Twain melihat ke belakang. Tom kelihatannya masih mengobrol dengan senang bersama Shania. "Aku tidak yakin. Tidak jadi masalah kalau dia sudah punya tiket. Dia tidak akan menolak kalau aku ingin memberinya tiket gratis. Biarkan saja dia menonton pertandingan besok di antara para fans Forest. Itu jelas akan jadi perasaan yang sangat istimewa baginya."     

Kedua pria itu saling memandang dan tertawa saling paham.     

Twain mengambil tiket dan berbalik. Kerslake naik bus dan meminta sopir untuk membawa mereka kembali ke hotel. Dari dalam bus, tatapan para pemain masih mengikuti manajer mereka. Beberapa dari mereka menunjuk ke arah Shania sambil menjulurkan lidah. Saat Kerslake melihat ini, dia bertepuk tangan untuk memberi tanda agar semua orang melihat ke arahnya.     

"Baiklah, kalian semua sudah melihatnya."     

"Tentu saja!" Sekelompok orang menjawab serempak.     

"Kita tidak punya alasan untuk kalah dalam pertandingan besok," kata Kerslake, tertawa.     

"Itu benar!" terdengar ledakan tawa yang keras di dalam bus.     

Bus melaju melewati Twain dan kenalannya, dan para pria di dalam bus bersiul padanya. Twain memelototi mereka dengan ekspresi tegas, tapi sikapnya yang sok tegas itu tidak efektif.     

Setelah bus itu pergi, Twain memandang ke arah dua orang muda di depannya dan berkata, "Aku tidak terlalu mengenal Newcastle; di mana kalian ingin makan malam? Atau, kita bisa pergi belanja dulu. Shania, apa kau punya sesuatu yang ingin kau beli?"     

※※※     

Akhirnya, mereka memutuskan untuk pergi belanja dulu dan makan malam sesudahnya. Shania tidak ingin membeli apa-apa. Twain membelikan Tom sepasang sepatu olahraga Adidas model terbaru sebagai hadiah pertemuan. Setelah menerima hadiah itu, Tom memiliki sikap yang jauh lebih baik terhadap Twain dan dia lebih banyak tersenyum. Ia juga lebih banyak bicara.     

Selama makan malam, Twain awalnya ingin bertukar kabar terkini dengan Shania, tapi dia dialihkan oleh Tom. Pemuda itu adalah penggemar berat sepak bola, dan dia bisa bicara tanpa henti dengan fans lain, bahkan dengan fans yang hanya memiliki sedikit pengetahuan tentang sepakbola. Tapi Twain bukan fans yang hanya tahu sedikit tentang sepakbola. Dia adalah manajer sepakbola profesional.     

Sebagai akibatnya, setelah Tom membuka mulutnya, rasanya seperti membuka pintu air Sungai Thames.     

Shania menjadi tamu yang hanya ikut serta dan duduk di samping mereka, tidak bisa bicara sepatah kata pun. Dia tersenyum saat Twain meliriknya.     

Kalau saja anak itu bukan sepupu Shania, Twain pasti ingin memasukkan sepotong steak utuh ke dalam mulutnya.     

Percakapan kemudian beralih ke pertandingan besok. Tom merasa penuh percaya diri dengan tim yang didukungnya, dan sama sekali tidak peduli dengan perasaan Twain. Dia yakin kalau tim Forest takkan bisa memenangkan pertandingan ini.     

"Shearer sangat bagus, dan dia dalam kondisi puncak baru-baru ini! Bowyer juga sangat kuat; kaki kirinya sangat menakjubkan! Dan kemudian ada Kluivert ... saat ini dia adalah striker nomor satu di tim!"     

Twain mendengarkan kesombongannya dengan tenang, lalu kemudian berkata dengan nada datar, "Terima kasih sudah mengingatkan, aku akan kembali dan memberitahu para pemainku untuk memusatkan perhatian mereka pada para pemain itu."     

Si sombong Tom yang masih mengoceh hingga saat itu tiba-tiba saja terdiam. Shania, yang duduk disampingnya, terkekeh.     

Tang En merasa bahwa malam ini waktunya telah terbuang percuma saat sebenarnya dia punya kesempatan untuk mengobrol dengan Shania, dan dia ingin menyingkirkan fans Newcastle United yang sombong itu.     

Dia melirik ke arah jam tangannya; pukul 8.45 malam.     

Saat Shania melihat ini, dia tahu sudah waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal, jadi dengan bijaksana dia berkata kepada sepupunya, "Tom, sudah larut. Kita harus kembali."     

"Oh? Oh, oke. Baiklah." Tom mengangguk setuju.     

Saat mereka tiba di pintu masuk hotel, Twain mengeluarkan dua tiket dari sakunya dan menyerahkannya pada Shania. "Kau bisa menonton pertandingan dengan sepupumu besok sore, Shania."     

Shania mengangguk dan memberikan selembar tiket ke sepupunya.     

Tom tampak senang. "Ini fantastis, aku khawatir aku tidak bisa membeli tiket!"     

Twain tertawa kecil. "Baiklah, sampai ketemu besok sore."     

"Oke, tentu."     

Taksi, yang dipesan oleh hotel untuk para tamu, telah berhenti di pintu masuk. Tom membukakan pintu mobil agar sepupunya bisa naik. Shania masuk ke dalam mobil, dan Tom berputar untuk masuk dari sisi lain. Pada saat itu, Shania mencondongkan tubuh ke luar jendela mobil dan bertanya pada Twain, "Paman Tony, ke mana kau akan pergi untuk Natal?"     

"Aku tidak pergi kemana-mana." Twain mengangkat bahu.     

"Itu bagus, aku akan pergi mengunjungimu kalau begitu!" katanya sambil tersenyum.     

"Aku juga ikut!" sahut Tom dari dalam mobil.     

Shania menoleh ke arahnya dan berkata, "Apa kau tidak pergi ke Swiss dengan teman-teman sekelasmu?"     

"Aku tidak benar-benar ingin pergi ..."     

"Bukannya kau bilang kalau kau akan mengirimiku banyak foto?"     

"Uh ... tentu saja. Tapi aku hanya bercanda ..."     

Shania mencondongkan tubuhnya ke luar jendela lagi dan melambai pada Twain sambil tersenyum. "Sampai jumpa, Paman Tony!"     

"Sampai jumpa, Shania." Twain melihat taksi mereka bergabung dengan lalu lintas sebelum berbalik ke arah taksi yang sedang menunggunya.     

Saat dia masuk ke mobil, radio sedang menyiarkan segmen olahraga, yang merupakan rekaman konferensi pers sore itu. Souness menjawab pertanyaan wartawan dengan sangat percaya diri. "Tim Forest memang kuat, tapi Newcastle United bermain di kandangnya sendiri. Aku berharap kami bisa menunjukkan permainan yang luar biasa bagi para fans kami; kalau pertandingannya hebat, hasilnya juga akan hebat."     

Duduk di kursi belakang, Twain mencibir.     

Aku juga menantikan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.