Mahakarya Sang Pemenang

Liburan di Cuaca Cerah Bagian 1



Liburan di Cuaca Cerah Bagian 1

0Jika berbicara tentang Brasil, hal pertama yang dipikirkan Tang En adalah sepak bola. Yang kedua masih sepakbola. Saat dia tiba di Rio de Janeiro, itu masih mengingatkan Tang En tentang sepakbola. Dia adalah penggemar sepakbola sejati; sepakbola adalah segalanya di Brasil. Brasil adalah sepakbola; keduanya identik satu sama lain.     

Tapi ketika dia tiba di Rio de Janeiro, matanya tak lagi tertarik pada sepakbola, melainkan pada atmosfernya yang eksotis, yang berbeda dari Inggris dan Cina.     

Dia tidak asing dengan sepakbola. Sepakbola adalah pekerjaannya setiap hari. Di Brazil, dia tiba-tiba saja mengacuhkan anak-anak yang bermain sepakbola di jalanan.     

Pantai-pantai yang cerah, cuaca tropis, gadis-gadis cantik berbikini yang penuh gairah, dan pohon-pohon palem yang bergoyang tertiup angin laut. Bunyi ombak dan riak gelombang air laut terdengar di telinganya.     

"Sayang sekali sekarang bukan Februari, atau kau tidak akan bisa mengalihkan pandanganmu." Di sampingnya, Shania tiba-tiba saja mengatakan itu.     

"Februari? Kenapa Februari?" tanya Twain agak bingung.     

"Karena Karnaval Rio; karnaval yang terkenal di dunia diadakan di Rio de Janeiro-" Shania memanjangkan suaranya.     

Twain menoleh untuk menatap ke arah Shania. Gadis muda itu semakin tidak terlihat seperti anak kecil. Tentu saja, sekarang mereka berdua sedang berada di pantai Copacabana yang paling terkenal di Rio de Janeiro, ada banyak sekali orang di pantai yang putih keperakan itu. Disini sangat ramai.     

Twain menatap Shania selama beberapa waktu hingga Shania merasa agak sadar-diri. Lalu Twain tertawa kecil sambil kembali menatap ke depan. "Aku tidak tertarik dengan itu." katanya sambil berbaring. "Semua orang berdesak-desakan, tidak ada apapun yang bisa dilihat. Tapi Brasil memang tepat yang benar-benar bagus untuk dikunjungi." Dia membuka matanya untuk memandang langit biru yang cerah dan awan putih. Pada dasarnya mustahil bisa melihat langit seperti ini di Inggris.     

Di sampingnya, Shania bersenandung lembut.     

"Bagaimana pendapatmu tentang ibu dan ayahku?" Dia menoleh ke arah Twain dan bertanya.     

"Lebih baik daripada yang kubayangkan ..." Twain masih menatap ke langit. Dia masih terpesona dan tak bisa memalingkan pandangannya dari langit sebiru safir itu.     

"Hah? Memangnya apa yang kau bayangkan?" Shania terdengar sangat penasaran. Twain tidak pernah memberi tahu Shania tentang kesan yang dimilikinya terhadap orang tua Shania.     

Arah pandang Twain masih tidak berubah, tapi adegan kemarin seolah muncul kembali di depan matanya.     

※※※     

Dia dan Shania tiba di Brasil kemarin. Mereka baru saja tiba di bandara dan ayah Shania sudah berada di luar bandara, menunggu mereka dengan mobilnya.     

Ayah Shania sama sopannya seperti ketika mereka pertama kali bertemu. Dan ibu Shania jauh lebih ramah daripada ketika mereka pertama kali bertemu.Sikap ibunya sangat konsisten dengan citra kelas menengah yang kaya. Selalu ada senyum yang tersungging di wajah ibunya, dan itu membuat Twain merasa kurang familiar. Mungkin karena dia sudah sangat terbiasa dengan kelancangan Shania jadi dia tidak terbiasa dengan sebuah pertemuan yang sedikit formal.     

Tanpa tahu kenapa, Twain cukup santai saat mengobrol dengan Shania, tapi saat dia berbicara dengan orang tua Shania, tanpa sadar punggungnya akan menegak, gaya bicaranya akan menjadi lebih lambat, dan nada suaranya datar. Tidak ada orang yang memintanya melakukan itu, dan Shania juga tidak memberinya peringatan tentang bagaimana dia harus berbicara kepada orangtuanya. Semua itu adalah perilaku bawah sadarnya.     

Penemuan itu membuatnya merasa sedikit terganggu, tapi dia tidak bisa menunjukkannya. Dia tidak ingin meninggalkan kesan buruk di benak orang tua Shania.     

Mereka memperlakukannya seperti tamu yang berkunjung dari jauh dan sangat memperhatikannya. Tidak ada yang bisa dikeluhkan olehnya. Kedua orang tua Shania bekerja dan sangat sibuk. Jadi, mereka membiarkan Shania mengurusinya di Brasil dan menemaninya berjalan-jalan. Mereka berdua bisa mengatur jadwal dan kegiatan mereka sendiri tanpa keterlibatan kedua orang tua. Dari sudut pandang ini, mereka tampak cukup nyaman dengan Twain.     

Pagi hari ini, saat Twain terbangun dari tidurnya setelah dia terbiasa dengan perbedaan waktu, dia melihat Shania sudah membuat sarapan.     

Sambil sarapan, Shania bertanya pada Twain ke mana dia ingin pergi. Twain tidak mengenal Brasil, jadi tentu saja dia tidak bisa menjawabnya. Lalu Shania memutuskan untuk pergi ke pantai paling terkenal di Rio de Janeiro, dan pantai paling terkenal di dunia: Pantai Copacabana.     

Tempat ini adalah perhentian pertama bagi hampir semua orang yang mengunjungi Rio de Janeiro. Shania juga punya motif egoisnya sendiri: dia benar-benar ingin pergi ke pantai untuk berjemur. Di Inggris, sangatlah mustahil bisa melihat pantai seperti itu di Newcastle yang dingin dan lembab.     

Twain tidak keberatan. Bagaimanapun juga, sebagai pelatih, tubuhnya masih cukup bagus. Dia tidak takut memakai celana renangnya di pantai.     

※※※     

"Pokoknya ... Orang tuamu lebih santai dari yang kuduga." jawab Twain.     

"Apa kau memiliki kesan itu setelah melihat orang tuaku datang menjemputku di Inggris?" Shania tertawa geli.     

"Bagaimana mungkin kau bisa menertawakan kejadian itu?" Twain memelototinya, "Itu semua kesalahanmu. Kau membuatku terlihat bodoh."     

Ucapannya membuat Shania tertawa semakin keras. Kakinya mengetuk-ngetuk pasir pantai, kepalanya tertunduk dan bahunya bergetar karena tawa.     

Twain berdehem. Akhirnya, saat tawa Shania mereda, dia menyibakkan rambutnya yang acak-acakan dan tersenyum sambil melihat sekilas ke arah Twain "Kadang kupikir kau terlalu imut."     

Twain mendengus dan mengulurkan tangannya ke arah ketiak Shania. "Aku akan menggelitikmu karena kau sangat nakal."     

Shania menarik lengannya, tapi Twain tidak menyerah dan mengulurkan tangan ke sisi lainnya. Kali ini, Shania hanya bisa bersandar ke arah Twain untuk menghindari serangan dari sisi lain. Twain mengambil kesempatan ini untuk bergerak maju dan memblokir jalur lari Shania. Kali ini, Shania hanya bisa melepaskan diri dari dalam pelukannya sambil terkikik dan memohon ampun.     

"Maafkan aku, Tony. Paman Tony!"     

Shania berbaring di pantai dan Twain menyangga tubuhnya sendiri dengan kedua lengan. Wajah Shania memerah karena gelitikan Twain. Shania terengah-engah sambil berbaring, napasnya berat. Pusarnya seperti mulut kecil yang membuka dan menutup seiring tarikan napasnya.     

Mereka berdua tiba-tiba saja terdiam. Senyum Shania seolah membeku di wajahnya, dan tangan Twain juga tidak lagi bergerak. Mereka bisa mendengar suara tawa orang-orang yang masih muda dan cantik di sekeliling mereka, diiringi suara deburan ombak.     

Twain tiba-tiba saja kembali tersadar dan membalikkan tubuhnya untuk berbaring. Dia takut melihat Shania yang berbaring disampingnya. Dia bisa mendengar suara Shania yang takut-takut, "Paman Tony ..."     

Saat suara gadis itu mencapai telinga Twain, dia bisa merasakan rambut-rambut halus di telinganya seolah digelitik oleh nafas yang hangat. Rasanya geli. Jantungnya bergetar saat pandangannya menatap ke kejauhan dan tak terfokus pada apapun. Dia hanya ingin menjauhkan perhatiannya dari orang yang ada di sampingnya untuk saat ini.     

"Cuacanya sangat bagus. Disini jauh lebih baik daripada di Inggris," dia berdehem.     

"Yah, sebenarnya, aku sama sekali tidak suka Inggris!" Shania duduk. Suaranya sudah kembali seperti semula.     

"Lalu kenapa kau pergi kesana untuk jadi model? Kalau kau ingin jadi model, bukankah kau juga bisa melakukannya di Brasil? Modeling bukan sepakbola; pusat dunia tidak terletak di Inggris."     

Di sampingnya, Shania terdiam sejenak, dan kemudian berkata dengan suara lembut, "Cuaca dan makanan di Inggris sangat buruk, tapi tidak semuanya buruk."     

"Tempat seperti Inggris, kau akan terbiasa setelah tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama. Aku baru saja memikirkan lelucon tentang cuaca. Apa kau mau dengar?"     

"Ya, aku mau. Ayo ceritakan!" Shania selalu sangat tertarik pada hal-hal menyenangkan seperti lelucon.     

"Yah, ini sebenarnya bukan lelucon. Ini benar-benar terjadi. Dikatakan bahwa di suatu tempat di Inggris, ada batu ajaib yang bisa secara otomatis memprediksikan cuaca, dan prediksinya sangat akurat!"     

Twain berhasil memicu rasa penasaran Shania dengan kata-katanya. Shania mengerutkan kening dan bertanya, "Apa itu mungkin? Apa sebuah batu benar-benar bisa memprediksi cuaca?"     

"Tentu saja, itu bisa. Jadi begini ... Batu ajaib itu diikat ke tali dan digantung di udara terbuka. Di belakang batu itu, ada tulisan: batu ramalan cuaca Gary. Kau akan tahu persis bagaimana cuacanya kalau kau membandingkannya dengan apa yang dituliskan oleh Gary baris demi baris. Disitu dikatakan, "Kalau batunya basah, berarti hujan. Kalau batunya kering, berarti tidak hujan. Kalau batunya membentuk bayangan di tanah, matahari akan bersinar. Kalau bagian atas batu tertutup sesuatu yang putih, itu artinya turun salju..."     

Shania mulai tertawa saat dia mendengar Twain mengatakan itu. Mula-mula dia tertawa pelan dan kemudian menjadi semakin keras hingga bahunya bergetar.     

Twain masih berbicara tentang batu itu dengan nada suara serius seperti layaknya seorang pembawa berita cuaca. "Kalau batunya tidak bisa dilihat, itu artinya ada kabut. Kalau batunya berguncang naik turun, itu artinya gempa bumi. Kalau batunya hilang, itu artinya ada badai tornado!" Dia membuat ekspresi berlebihan dengan tangan digerakkan seperti tiupan angin yang berhembus.     

Shania duduk di tanah dan memukul tanah dengan tangannya.      

Twain melihat ke arah Shania yang tampak senang. Dia mengulurkan tangan untuk membersihkan butiran pasir pantai yang halus di rambut panjang Shania dan kemudian menggunakan tangannya untuk menyisir lembut rambut gadis itu. Dengan hati-hati Twain mengumpulkan dan menyisir helaian rambut hitam Shania yang berantakan.      

Tawa Shania perlahan mulai mereda. Dia membenamkan kepalanya diantara lengannya, "Paman Tony..."     

"Ya?"     

"Aku sangat senang bersamamu .."     

"Oke."     

"Jadi, terima kasih."     

"Tidak perlu berterima kasih padaku. Akulah yang harus berterima kasih padamu. Tanpamu, hidupku akan membosankan."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.