Mahakarya Sang Pemenang

Tertinggal Bagian 2



Tertinggal Bagian 2

0Crouch menundukkan kepala sambil tersenyum dan menjawab, "Sangat baik, chief."     

Twain mengangguk. "Kau telah memanfaatkan kesempatan ini. Kuharap kau akan selalu seperti ini di masa depan. Cepatlah kembali, jangan sampai kena pilek."     

Wood adalah pemain Forest terakhir yang muncul di hadapan Twain. Twain menatap anak yang pendiam itu dan berdeham. "Peter Crouch mengangkat kausnya untuk merayakan gol. Apa kalian tahu tentang itu sebelum pertandingan?"     

Wood mengangguk.     

"Gagasan siapa itu?"     

"Dia sendiri."     

"Kenapa kau tidak memberitahuku tentang itu?"     

"Crouch bilang ... Dia tidak tahu apa dia bisa mencetak gol. Dia takut ... kalau dia memberitahumu dan tidak mencetak gol, semua itu akan sia-sia."     

Twain tersenyum. "Kenapa kau tidak merayakannya bersama mereka?"     

Twain bisa melihat dengan jelas apa yang tidak ditangkap oleh kamera televisi.     

Wood ragu-ragu sejenak dan kemudian berkata, "Tidak ada cukup tempat untukku."     

Twain tiba-tiba saja menarik kepalanya ke belakang dan tertawa. Dia tidak berpura-pura. Dia benar-benar terhibur oleh Wood dan tertawa sampai air matanya keluar. Wood tidak merasa terganggu dengan tawanya. Dia hanya berdiri di sana, menunggunya selesai tertawa.     

Tidak ada banyak orang di lapangan saat itu. Para wartawan semua berbondong-bondong ke area umum untuk mewawancarai para pemain. Twain dan Wood berdiri di pinggir lapangan tanpa menarik banyak perhatian.     

Tawa itu akhirnya berhenti dan Twain menyeka matanya, tersenyum, dan berkata, "Oh, George. Apa yang harus kulakukan denganmu? Tolong, bisakah kau menemukan alasan yang lebih bagus lain kali?"     

Wood meringis.     

"Aku tahu apa yang kau pikirkan." Twain melangkah maju dan meletakkan tangannya diatas bahu Wood, "Jangan khawatir. Aku tidak akan memaksamu melakukan hal-hal yang tidak ingin kau lakukan atau mengatakan hal-hal yang tidak ingin kau katakan. Aku hanya ingin kau mengerti."     

Wood mengatupkan bibirnya dengan erat dan mengangguk.     

"Oke, ayo, kembalilah ke ruang ganti dan ganti bajumu. Lihatlah dirimu. Kau basah, lengket dan tidak nyaman. Sana pergilah."     

Twain memutar badan Wood agar langsung menghadap ke arah koridor pemain dan kemudian mendorongnya sedikit ke depan.     

Melihat Wood menghilang ke dalam koridor yang terang, Twain hanya bisa menggelengkan kepalanya dan membalikkan badan untuk berjalan ke arah yang lain. Ada pintu masuk yang langsung mengarah ke lokasi konferensi pers.     

※※※     

Babak 31 liga telah berakhir. Baik tim Forest dan Liverpool sama-sama menang. Setelah Everton kalah dari tim Forest, tidak ada perubahan di dalam peringkat, tapi selisih poin antara Everton dan dua pengejarnya sekarang hanya satu poin.     

Tiga hari setelahnya, Liverpool akan melaksanakan pertandingan yang dijadwal ulang. Untuk pertandingan ini, Twain duduk di depan televisi dan menonton seluruh pertandingan. Saat dia melihat Liverpool menyamakan kedudukan dengan Newcastle sebelum akhir pertandingan, dia merasa sangat senang sampai-sampai dia melompat bangkit dari sofa.     

"Sudah kubilang mereka akan tertinggal! Pasti akan tertinggal! Kemungkinannya seratus persen! Hanya orang bodoh yang akan melepaskan Liga Champions UEFA dan bersaing dengan kita untuk mendapatkan peringkat di liga. Pergi sana dan menangkan Liga Champions UEFA. Piala kejuaraan yang jauh telah memanggil, cepatlah dan buatlah keajaiban, anak-anak Liverpool! Kau adalah milik arena Eropa! Musim ini, kau jelas akan memenangkan Liga Champions! Berikan saja kualifikasi untuk Liga Champions musim depan pada kami. Terima kasih!" Dia berdiri di tengah ruangan seolah-olah dia sendirian dan melolong dalam bahasa Mandarin. Dia sama sekali tidak berakting seperti manajer tim profesional. Dia merasa sangat senang seperti seorang anak kecil.     

Dunn duduk di sofa dan melihat Twain yang terlihat sangat bahagia. Dia menolehkan kepalanya dan tersenyum.     

Dia tahu kalau Twain sedang berada di bawah banyak tekanan belakangan ini karena mereka hidup bersama di bawah satu atap. Meskipun Twain tidak memberitahunya, dia bisa melihatnya. Sebagai seorang pelatih, skill pengamatannya cukup tajam.     

Tekanan semacam ini tidak bisa diceritakan kepada orang lain, dan Dunn juga tidak pernah bertanya.     

Tapi tidak baik menyimpannya sendirian. Bagus sekali dia bisa melampiaskan diri melalui cara-cara ringan seperti ini.     

Setelah melolong dan menurunkan pandangannya, Twain menoleh untuk melihat ke arah Dunn dan mengayunkan tinjunya. "Aku cinta Souness! Aku cinta Newcastle! Aku tidak akan menekannya di konferensi pers lain kali!"     

Dunn sedikit mengangkat kepalanya dan berusaha menyembunyikan rasa gelinya. "Kau sesenang itu?"     

"Tentu saja! Semakin cepat Liverpool berhenti, semakin sedikit tekanan yang akan dirasakan Forest." kata Twain dengan serius, "Aku khawatir kalau aku akan hancur di bawah tekanan sebelum mereka mencapai titik akhir. Sekarang setelah Liverpool keluar dari permainan, kurasa ini akan menjadi sebuah dorongan yang besar terhadap kepercayaan diri para pemain. Kau tidak bisa selalu mengtakan kepada mereka seberapa sulit atau gelap jalan di depan. Kita harus memberikan harapan kepada mereka dari waktu ke waktu. Sekarang ada harapan yang bisa digunakan." Twain menunjuk ke arah layar televisi.     

Di layar, para pemain Liverpool tampak lesu dan bertukar jersey dengan para pemain Newcastle. Gerrard bertelanjang dada, dengan jersey pemain Newcastle yang tak dikenal di bahunya. Mungkin jersey itu milik Shearer. Dia terlihat frustasi saat dia berdiri di sudut lapangan, menatap para pemain yang lain dengan sedikit bingung.     

"Setelah menyamakan kedudukan di pertandingan ini, para pemain Liverpool sadar bahwa mereka perlahan-lahan telah menjauhkan diri dari peringkat empat besar di liga," kata komentator. "Dengan empat puluh delapan poin setelah tiga puluh satu pertandingan, hanya selisih dua poin dari Nottingham Forest di peringkat kelima, dan tiga poin dari Everton di peringkat keempat ... Manajer Benítez sebaiknya mengerahkan semua upayanya untuk semi final liga Champions."     

Dunn sekarang paham kenapa Twain sesenang itu tapi dia masih berkata, "Faktanya, sekarang akan mudah bagi tim Forest untuk tetap berada di peringkat enam teratas di klasemen liga."     

Twain menggelengkan kepalanya dan menyela ucapan Dunn. "Aku tidak lagi ingin bermain di Liga Eropa UEFA. Aku lebih suka tidak memiliki trofi itu di ruang trofi-ku daripada harus bermain di Liga Eropa UEFA lagi. Orang-orang harus selalu memiliki target yang tinggi, kan?"     

"Kau benar, Tony." kata Dunn sambil mengangguk.     

Siaran televisi dilanjutkan ke konferensi pers paska-pertandingan. Saat Benitez diwawancarai, dalam bahasa Inggris yang kurang sempurna, pria Spanyol itu berkata, "Aku belum memikirkan tentang rencana musim depan; itu akan dipikirkan nanti setelah akhir musim ini. Sekarang ini kurasa kami harus mendapatkan sebuah trofi di dalam kompetisi ini dulu."     

"Apa Anda merujuk pada Liga Champions UEFA?" tanya salah satu reporter.     

"Memangnya ada yang lain?" Benitez tersenyum.     

Kedua pria itu kini sepenuhnya menyimak wawancara itu. Dunn menunjuk ke layar televisi dan bertanya, "Apa menurutmu suatu hari nanti ... kau juga akan begitu?"     

Twain menatap Benitez dan kemudian beralih ke Dunn. Lalu dia mengangguk. "Untuk memenangkan Liga Eropa UEFA, aku agak sedikit gila dan melepaskan Liga Utama. Untuk mendapatkan gelar Liga Champions, aku tidak keberatan menjadi sedikit gila lagi. Tapi ..." Tiba-tiba saja dia tertawa terbahak-bahak, dan itu adalah tawa licik. "Kenapa kita tidak bisa menggenggamnya dengan kedua tangan dan memastikan kedua tangan memegangnya dengan erat?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.