Mahakarya Sang Pemenang

Nasib Si Romani Bagian 2



Nasib Si Romani Bagian 2

0"Hmm ..." Twain mengetuk hidungnya dengan ringan. "Kau tahu, saat lawan mencetak gol yang kedua, pada akhirnya tidak jadi masalah bagaimana kita bermain; tim Forest akan tetap dianggap kalah. Kau cedera, dan George diusir dengan kartu merah. Di leg kedua, tim Forest akan kehilangan dua pemain utamanya. Aku tidak punya harapan tinggi untuk pertandingan tandang nanti."     

Si Romani tersenyum. "Chief, sejak kapan kau menjadi orang yang penuh keraguan?"     

"Saat kami kehilanganmu dan George."     

"Aku? Aku tidak mungkin sepenting itu, kan? Bahkan meski aku tidak bisa bermain, masih ada hewan buas dan mesin raksasa Australia. Dan ada bocah Denmark yang selalu suka pamer itu. Kita punya banyak penyerang yang kuat."     

"Mereka adalah mereka dan kau adalah kau. Tidak ada yang bisa digantikan oleh yang lain. Pemain pengganti memang bisa mengisi posisimu, tapi mereka tidak bisa menggantikanmu. Tanpamu, kita akan mengalami kesulitan di sisa musim ini. Tapi kurasa tim masih akan bisa bertahan sampai kau kembali. Aku tidak meminta mereka untuk melakukannya. Itulah yang mereka inginkan."     

Eastwood tidak mengatakan apa-apa. Dia memikirkan tentang apa yang akan terjadi kalau dia kembali bermain di lapangan. Bermain dengan kaki cedera ibaratnya seperti membawa bom yang bisa meledak kapan saja. Dia bisa menjadi beban bagi tim di momen yang paling penting; seperti pertandingan Liga Eropa UEFA kali ini.     

"Apa kau khawatir kalau kau akan menjadi beban bagi tim?" Seolah-olah Twain bisa membaca pikiran Eastwood. Dia bertanya pada si Romani, menatap lurus ke matanya. "Dimana Eastwood yang kukenal? Orang yang selalu optimis dan ceria, selalu berbicara paling cepat dan paling keras? Orang populer yang suka bercanda dan memberikan julukan kepada rekan setimnya? Setiap kali aku melihatmu menunggang kuda di pagi hari, aku teringat pertemuan pertama kita dan aku tertawa. Kau adalah orang paling menarik yang pernah kutemui, Freddy. Kurasa aku takkan pernah bisa bertemu dengan seseorang sepertimu lagi. Kau pikir lutut kananmu takkan bisa bertahan? Tapi saat kau menjadi anggota tim Forest, apa keraguan itu menghancurkanmu? Saat kau berada di Stadium of Light dan melakukan debutmu mewakili tim Forest di dalam turnamen, apa pelecehan dari fans Sunderland membuatmu takut? Orang-orang yang menganggapmu tidak layak menjadi pesepakbola bagi Forest, yang menganggap kau tidak punya hak berdiri di lapangan dan memakai jersey merah Forest, mengejekmu karena kau adalah pemain amatir dan mengira kau takkan pernah bisa sukses... dan apa yang mereka peroleh? Tamparan yang keras dan menyakitkan di wajah mereka! Kau tidak pernah meragukan dirimu sendiri. Kau selalu percaya bahwa kau bisa bermain sepakbola profesional sejak kau bermain di tim amatir dua tahun yang lalu. Kenapa kau merasa takut sekarang?"     

Eastwood mengeraskan rahangnya. Apel di tangannya berubah bentuk dan jus apel itu merembes keluar dari jari-jarinya.     

"Apa kau percaya pada takdir, Freddy? Sabina sering menggunakan kartu untuk memberi tahu keberuntungan orang-orang. Kau juga pasti tahu tentang satu atau dua hal. Apa kau pernah mempercayainya? Apa menurutmu takdir itu? ... Bagiku, kelihatannya takdir bukanlah sebuah jaring yang membentangkan jalan untuk kau lalui. Takdir adalah sebuah jaringan persimpangan jalan, dan kau akan selalu dihadapkan pada beragam pilihan." Twain memikirkan tentang Tang En, bagaimana dia berpindah ke dunia ini dan ke periode waktu ini tanpa bisa dijelaskan. Mungkin ini juga bisa dianggap sebagai takdir. Jika dia membiarkan dirinya berputus asa saat itu, memanjakan diri dengan budaya pub Inggris, dan bekerja dengan sikap setengah-setengah dan tak punya keinginan untuk melakukan yang terbaik, apa yang akan terjadi padanya? Dimana dia berada sekarang, apa yang akan dia lakukan, siapa yang akan dikenalnya? Dia sama sekali tidak tahu jawabannya, tapi Twain percaya bahwa jika dia melakukan itu, dia tidak akan lebih baik daripada dirinya saat ini.     

"Kalau kau memilih A, kau harus melepaskan B, C, dan D. Kalau kau memilih B, kau harus melepaskan A, C, dan D ... Pilihanmu akan menjadi takdirmu. Aku memilih untuk menjadi manajer legendaris, dan aku akan terus mencoba yang terbaik. Tak peduli berapa banyak persimpangan jalan yang kuhadapi, aku hanya akan memilih arah yang bisa kuambil untuk mencapai tujuanku. Mungkin itu kiri, mungkin itu kanan. Tapi arah manapun yang kupilih, aku tidak akan pernah memilih untuk tetap diam di tempat. Karena aku tidak tahu apakah aku akan memiliki keberanian untuk melangkah maju setelah aku berhenti untuk beristirahat. Dan sekarang, Freddy!" Twain tiba-tiba meninggikan suaranya, "Kau telah tiba di persimpangan seperti itu. Apa yang akan kaupilih? Untuk terus maju atau berhenti disini saat ini juga? Apa kau bisa menerimanya? Berhenti sekarang? Apa kau sudah lelah secara fisik dan emosional?"     

Dengan suara letupan, Freddy Eastwood menghancurkan apel di tangannya menjadi potongan-potongan kecil, menyebarkannya ke seluruh tempat tidur.     

"Aku ... aku tidak mau, chief. Saat aku melihat orang yang sehat, aku tidak bisa menerimanya. Kalau ... kalau saja kau bisa memberiku sepasang lutut yang sehat, aku bisa mencetak lebih banyak gol. Kurasa aku ingin menjadi striker legendaris ... aku ingin membantumu, chief."     

Selalu optimis dan ceria, tawanya selalu terdengar sebelum wajahnya terlihat, si Romani sekarang mengubur kepalanya di dalam selimut dan menangis. Pemuda yang juga seorang ayah, yang akan segera menyambut anak keduanya, menangis tersedu seperti anak kecil.     

Melihatnya menangis, Twain tersenyum. Dia meletakkan tangannya ke atas kepala Eastwood dan mengelus rambutnya dengan lembut.     

"Kita bisa melakukannya. Aku akan menjadi manajer legendaris, dan kau akan menjadi striker legendaris. Semuanya akan baik-baik saja. Lututmu akan sama sehat dan aktifnya seperti sebelumnya dalam beberapa bulan. Jangan khawatir; tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kau sudah melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain dengan sepasang lutut yang sehat. Oke, jangan menangis. Sekarang masih belum 'waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal.'"     

Eastwood mengangguk dan perlahan-lahan berhenti menangis.     

Saat sudah tiba saatnya bagi Twain untuk mengucapkan selamat tinggal, dia berkata kepada Eastwood, "Rileks dan bekerjasamalah dalam perawatan dan rehabilitasi. Tim sedang menunggumu kembali, sama halnya denganku."     

※※※     

Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Eastwood, Twain menemui Constantine, berharap kalau Professor itu akan bisa membawanya menemui kepala ahli bedah operasi Eastwood sehingga dia bisa merasa tenang.     

Setelah mendengar permintaannya, ekspresi Constantine tampak agak aneh. Dia mengatakan pada Twain bahwa ahli bedah itu adalah penggemar berat Notts County dan keluarganya telah menjadi penggemar Notts County selama beberapa generasi. Dia khawatir mereka akan merasa canggung saat bertemu satu sama lain.     

"Kurasa itu tidak akan apa-apa ... Aku ingin menemuinya dalam kapasitas pribadi, bukan sebagai manajer tim Forest."     

Constantine mengangguk setuju setelah didesak oleh Twain.     

Ahli bedah yang bertanggung jawab atas operasi penghilangan meniskus Freddy Eastwood adalah Stephen Albert, seorang pria botak paruh baya yang memakai kacamata dengan frame emas dan menunjukkan ekspresi muram. Dia terlihat agak sulit untuk diajak bicara.     

Twain dengan bijak menjelaskan tujuannya menemui Albert. Pria itu tampak serius dan sama sekali tidak menunjukkan senyum hangat.     

"Kurasa Profesor Constantine pasti telah menjelaskan beberapa hal tentang diri saya kepada Anda ..." Saat dia mengatakan ini, dia melirik ke arah Constantine. Tapi, Constantine memandang keluar jendela dan pura-pura tidak menyadarinya.     

"Ya, aku adalah fan Notts County. Notts County dan Nottingham Forest adalah rival berat. Tapi Tn. Twain, ada satu hal yang saya ingin Anda paham; Saya adalah seorang dokter sebelum saya menjadi penggemar Notts County. Merupakan pekerjaan saya untuk menyelamatkan nyawa. Pekerjaan saya di meja operasi sama sekali tidak ada hubungannya dengan apakah saya mendukung Notts County atau Nottingham Forest."     

Twain tersenyum. "Terima kasih, Dr. Albert. Profesor Constantine mengatakan kalau Anda adalah dokter yang terhormat, dan kurasa dia benar."     

Twain hanya berbohong tentang ini. Tentu saja Constantine tidak akan mengatakan hal konyol semacam itu.     

Tak heran, saat Albert mendengar Twain mengatakan itu, dia menoleh ke arah Constantine yang berdiri di samping keduanya dan tampak tidak nyaman, lalu tersenyum. "Constantine, pria tua itu, tak akan pernah mengatakan hal-hal baik tentang saya. Meski begitu, saya ingin berterima kasih atas pujian Anda, Tn. Twain. Saya juga mengagumi dedikasi Anda terhadap para pemain Anda."     

Setelah kebohongan itu terbongkar, Twain tidak merasa malu dan hanya tertawa kecil. Dia mengajukan beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan operasi Eastwood dan kemudian meminta diri.     

※※※     

Setelah mengucapkan terima kasih kepada Constantine atas bantuannya dan mengucapkan selamat tinggal, Twain meninggalkan Royal Hospital of Nottingham University. Eastwood telah mendapatkan kembali semangat juang dan kepercayaan dirinya, jadi Twain sedang berada dalam mood yang bagus. Meski dia harus kehilangan si pria Romani itu selama lima bulan, itu masih lebih baik daripada kehilangan dia selamanya.     

Jadi Twain sedang tidak terburu-buru untuk kembali. Dia memutuskan untuk berjalan-jalan.     

Saat itu, daerah dekat pintu masuk rumah sakit tidak terlalu ramai. Rumah sakit itu memang tidak berada di pusat kota. Jalanan disana cukup sepi dan alur lalu lintasnya tidak terlalu sibuk. Hanya ada beberapa pejalan kaki di trotoar.     

Ada seseorang yang berjalan ke arahnya sambil memegang buket bunga. Twain merasa kalau orang itu tampak sangat familiar, dan pria itu juga melihatnya.     

Setelah dia melihat Twain, pria itu tampak agak bingung. Dia merasa ragu sejenak dan kemudian membalikkan badannya untuk kemudian melangkah menjauh.     

"George!" panggil Twain.     

Wood mulai berlari seolah-olah dia takut melihat Twain di sana.     

"Berhenti disana, George! Kalau kau lari lagi, aku akan mengirimmu ke tim cadangan untuk menenangkan diri!" teriak Twain.     

Seruannya berhasil. Pria di depannya berhenti berlari dan hanya berdiri diam di tempatnya. Dia memandang Twain yang berjalan ke arahnya dengan agak canggung. Twain tersenyum senang. "George, apa kau ingin mengunjungi seseorang? Kebetulan aku tahu di bangsal mana dia menginap." Dia menunjuk ke arah buket bunga yang ada di tangan George Wood.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.