Mahakarya Sang Pemenang

Tak Bisa Diterima Bagian 2



Tak Bisa Diterima Bagian 2

0George Wood adalah orang pertama yang berada di ruang ganti. Dia sudah mandi dan berganti pakaian. Dia hanya duduk di sana, mendongak dan menyaksikan siaran televisi.     

Saat dia mendengar seseorang masuk ke dalam ruang ganti, Wood memandang sekilas dan mendapati bahwa orang itu adalah Twain. Dia tidak memalingkan muka; dia hanya menatapnya.     

"Kalau kau masih di lapangan, skornya takkan terlihat seperti ini." Twain mengangkat bahu. "Tapi aku tidak menyalahkanmu. Kurasa pilihanmu memang bisa dipahami dalam situasi seperti itu. Aku hanya berharap lain kali kau bisa lebih pintar, George. Kau bisa menunggu sampai menit ke-89 sebelum kau mengeluarkan bajingan itu."     

Wood terkejut sesaat, lalu mengangguk. Dia menunduk. "Maafkan aku, bos."     

Twain tersenyum lebar, melangkah masuk, dan menepuk bahu Wood, "Sudahlah, jangan memikirkannya lagi. Tidak akan ada yang menyalahkanmu. Aku tidak, dan mereka juga tidak." Dia menunjuk ke arah pintu saat suara-suara di luar terdengar semakin keras dan semakin dekat. Para pemain sudah kembali.     

Twain tahu kenapa Wood melakukan apa yang tadi dilakukannya, jadi dia mengatakan kalau dia memahaminya dan tidak menyalahkannya. Bagi orang-orang yang tidak pandai mengungkapkan perasaan mereka kepada orang lain, mereka hanya bisa memilih metode yang menurut mereka paling tepat, meski mereka mungkin akan terlihat bodoh di mata orang lain.     

Orang pertama yang melangkah masuk ke dalam ruang ganti adalah Ribéry. Dia tidak terkejut melihat Wood dan Twain berdiri berdua disana. Dia memberikan acungan jempol pada Wood dan berteriak, "Bagus sekali, George!"     

Suaranya menarik perhatian anggota tim yang lain saat mereka memasuki ruang ganti setelahnya. Mereka juga menyatakan pendapat yang sama dengan Ribéry.     

"Itu benar! Aku ingin menghabisi bajingan itu sejak tadi!" kata Leighton Baines.     

Seperti yang dikatakan Twain, tidak ada yang mengeluh bahwa pelanggaran yang dilakukan Wood tadi adalah dorongan sesaat dari sikap sok pahlawan yang egois dan mengabaikan kepentingan tim. Tidak ada yang merasa bahwa Wood bertanggung jawab atas perubahan keunggulan dua gol mereka menjadi satu gol. Semua orang memuji tindakan Wood yang telah membalaskan dendam mereka.     

Eastwood sangatlah populer di tim. Meskipun semua orang berspekulasi bahwa ada hal yang tak bisa didamaikan antara Wood dan Eastwood, sulit untuk mempercayai rumor itu lagi setelah melihat apa yang dia lakukan hari ini.     

Albertini dan asisten manajer David Kerslake adalah orang terakhir yang memasuki ruang ganti. Dia melihat situasi di ruang ganti dan berbalik untuk bertanya pada Twain, "Chief, bagaimana kondisi Freddy?"     

Semua orang terdiam. Mereka masih dihantui oleh pemandangan ketika Eastwood dibawa ke rumah sakit dengan menggunakan ambulans. Sebagai pemain sepakbola profesional, mereka sangat akrab dengan cedera. Jelas tadi itu bukan cedera ringan.     

Twain menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu, belum ada kabar dari rumah sakit. Tapi tujuan kita sekarang adalah bermain dengan baik." Dia menepukkan kedua telapak tangannya, memberi isyarat agar semua orang kembali fokus. "Lawan kita memanfaatkan timing kita yang kacau untuk mencetak gol. Kita tidak boleh memberikan peluang yang sama kepada mereka di babak kedua. Dalam babak kedua nanti, kita akan berkonsentrasi untuk bertahan. Kita akan bertahan terhadap serangan lawan dan menunggu kesempatan untuk melakukan serangan balik."     

※※※     

Jeda turun minum berlalu dengan cepat. Periode lima belas menit mungkin terasa lama bagi para penonton, yang merasa bosan menonton iklan di layar televisi sementara mereka menunggu dimulainya babak kedua. Tapi bagi Tony Twain, yang sedang memberikan penyesuaian mendadak di ruang ganti, lima belas menit tambahan pun akan masih terlalu sedikit baginya.     

Keluarnya Eastwood karena cedera dan diusirnya George Wood dari lapangan benar-benar mengganggu rencana pra-pertandingannya. Dia hampir sepenuhnya mengubah rencana pra-pertandingan itu selama jeda turun minum. Menjaga Nani adalah kuncinya.     

Mereka tidak bisa terus membiarkan Nani merajalela. Tapi siapa yang akan menjaganya? Ini benar-benar sebuah masalah.     

Gunnarsson tidak bisa mengimbangi kecepatan Nani. Albertini bertanggung jawab atas lini tengah dan sama sekali tidak bisa dipindah dari posisinya. Kalau Wood ada di sini, maka dia bisa menjaga pemuda yang aktif itu. Tapi tidak sekarang...     

Pada akhirnya, Twain memutuskan untuk tidak menjaganya satu lawan satu. Sebaliknya, dia akan menggunakan zona pertahanan. Ke mana pun Nani pergi, fokus tim akan diarahkan pada pertahanan dan berusaha mencegahnya menerobos.     

Setelah babak kedua dimulai, zona pertahanan membuat Nani kesulitan. Dia harus menghadapi dua bek setiap saat. Meskipun tim Forest memiliki jumlah pemain yang lebih sedikit daripada Sporting Lisbon, seluruh tim mundur ke sisi lapangan mereka untuk bertahan. Tidaklah sulit menjadi lebih unggul melalui kekuatan seluruh tim untuk menutupi kurangnya jumlah pemain.     

Nani segera saja mengalami kesulitan untuk menerobos dari sayap.     

Twain telah mengubah posisi lini tengah tim Forest. Sebelum ini formasinya adalah sebuah layout segitiga dengan dua gelandang bertahan dan satu gelandang serang. Setelah kebobolan gol, dia menemukan bahwa kombinasi bertahan semacam ini tidak cukup efektif. Memberikan posisi gelandang serang juga akan menyia-nyiakan sumberdaya manusia yang sudah terbatas. Karenanya, dia hanya menarik Ribery ke kanan di babak kedua.     

Tiga gelandang berposisi paralel. Ribéry di sebelah kiri, Gunnarsson di sebelah kanan, dan Albertini di tengah. Dengan begini, dia telah menyelesaikan masalah kekuatan pertahanan yang terlalu lemah di tengah, dan juga menyeimbangkan sisi kiri dan kanan. Baik di kiri atau di kanan, Nani harus menghadapi pertahanan ketat dari dua pemain Forest (bek dan pemain sayap).     

Melihat Nani yang kesulitan untuk menerobos pertahanan, Twain merasa sedikit lega di pinggir lapangan. Mereka telah kebobolan gol, tapi itu masih lebih baik daripada kalah dalam pertandingan.     

Dia sama sekali tidak menduga Nani akan tampil disini. Apa anak itu adalah senjata rahasia Sporting Lisbon?     

Saat Twain baru saja menghela nafas lega, tim Forest kebobolan gol lagi.     

Ini terjadi karena tim Forest berusaha keras dalam bertahan untuk menghentikan Nani, dan mengabaikan pemain yang lain.     

Kali ini, pemain yang memanfaatkan peluang untuk mencetak gol adalah gelandang Sporting Lisbon lainnya, Pedro Barbosa.     

Saat Nani berhasil menarik banyak perhatian tim Forest, dia dan João Pinto menggunakan operan two-versus-one yang sederhana di lini tengah dan menggiring bola memasuki jarak tembak, kemudian diikuti dengan tendangan panjang yang kuat!     

Edwin van der Sar sudah berusaha yang terbaik untuk menyelamatkan gawang, tapi dia hanya berhasil sedikit menyentuh bola. Dia tidak bisa sepenuhnya mengubah lintasan bola, dan bola akhirnya menghantam jaring gawang!     

Melihat bola terbang ke dalam gawang, tim Forest seolah membeku sejenak dan sepertinya mengira bahwa mereka salah lihat; kelihatannya bola tidak masuk ke gawang, melainkan melewati tiang atas gawang dan jatuh di atas jaring gawang...     

Tapi kenyataan memang kejam. Peluit dan isyarat dari wasit tampak jelas: itu adalah gol yang sah.     

Di tengah keheningan, sorak-sorai para fans tim tamu di tribun terdengar sangat keras.     

※※※     

Twain, yang duduk di area teknis, tidak melompat bangkit dari kursinya dengan marah karena kebobolan gol. Dia hanya tiba-tiba saja mengayunkan tinjunya dan meninju atap di area teknis.     

Bermain seperti ini di rumah sendiri sangatlah buruk sekali!     

Kerslake meletakkan kedua tangan di kepalanya. Keunggulan dua gol mereka disamakan menjadi 2:2 dengan begitu saja! Dia tak bisa menerimanya; tidak ada orang yang akan diam saja melihat hasil ini!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.