Mahakarya Sang Pemenang

Selamat Natal Bagian 2



Selamat Natal Bagian 2

0Saat mereka mengobrol, ada suara langkah kaki di tangga di belakang mereka. "Paman Tony."     

Twain dan Dunn berbalik di saat yang bersamaan, dan mereka berdua berdiri dengan takjub.     

Shania mengenakan gaun hitam yang ketat. Gaun itu membalut erat kaki Shania, dan rumbai-rumbai gaun yang berlapis-lapis secara bertahap mulai melebar dari betisnya, menyentuh lantai. Gaun itu membuatnya terlihat seperti bunga teratai hitam yang cantik. Dia tidak memakai aksesoris apapun, hanya gaun hitam sederhana itu. Berdiri di tangga, dia terlihat seperti model yang memang sangat sesuai dengannya.     

"Aku tidak membawa pakaian bagus, hanya ada gaun ini yang biasanya tidak kupakai. Apa ini oke, Paman Tony?"     

"Ya Tuhan ... Shania, apa kau akan melakukan fashion show? Tidak perlu berpakaian seperti itu ..." kata Twain setelah kembali menguasai dirinya.     

"Kau sendiri yang memintaku untuk memakai bajuku yang paling bagus!" rengek Shania.     

"Yah, itu salahku ... Aku lupa kalau kau seorang model. Jujur saja, kau terlihat cantik meski memakai baju apapun. Hanya saja, jangan pakai yang itu. Kau bisa kena flu," Twain meminta maaf dengan cepat.     

Shania tampak gusar, lalu dia mengangkat ujung gaunnya untuk berlari ke atas. Langkah kakinya yang cepat tidak sesuai dengan citra dirinya yang anggun dan elegan.     

Twain menyeka keringat di dahinya dan menoleh untuk melihat Dunn menatapnya sampai dia merasa sedikit bersalah. "Apakah ada sesuatu di wajahku?"     

Dunn memalingkan muka.     

Saat Shania muncul lagi di depan kedua pria itu, dia sudah mengganti bajunya dan memakai sepasang skinny jeans dan sepatu bot panjang, sweater krem muda dengan syal merah di lehernya dan mantel abu-abu yang belum dipakainya.     

"Yah ..." Twain merasa kalau saja dia tahu sebelum ini, dia takkan meminta Shania berganti pakaian. Setelah semua bolak balik itu, gadis itu kembali memakai pakaian yang sama dengan saat dia melihatnya duduk di depan pintu rumahnya, hanya saja kali ini Shania tidak membawa tas ransel besar itu bersamanya. "Bagus sekali! Kau kelihatan cantik!"     

Shania memutar matanya ke arah Twain dan kemudian menatap Dunn.     

Dunn juga mengangguk. "Sangat cantik."     

"Ayo pergi, kita seharusnya tidak membuat tuan rumah menunggu." Twain ingin segera mengakhiri situasi yang cukup memalukan ini, jadi dia mengingatkan semua orang agar segera berangkat.     

※※※     

Rumah baru Wood berada dekat dengan kompleks latihan Wilford; Wood biasanya berlari ke kompleks latihan, tidak seperti pemain bintang lainnya, yang mengemudikan mobil. Karena itu, rumah Wood tidak terlalu jauh dari tempat Twain, dan mereka bertiga berjalan kaki menuju kesana.     

Di sepanjang jalan, Shania sangat bersemangat dan banyak bicara. Twain berusaha untuk tidak menunjukkan bahwa dia hanya setengah mendengarkan semua ocehannya itu, karena dia merasa kepalanya berdenyut sakit: saat mereka tiba di rumah Wood nanti, bagaimana dia bisa memperkenalkan Shania pada ibu Wood, Sophia?     

"Ini temanku, Shania."     

Apa hubungan antara aku dan Shania? Kelihatannya agak terlalu aneh untuk mengatakan bahwa kami adalah teman. Jadi, kalau kami bukan teman, lalu apa hubungan kami? Keluarga? Itu jelas bohong.     

Sebagai akibatnya, Twain masih belum menemukan cara bagaimana dia memperkenalkan Shania saat mereka sudah mencapai ambang pintu rumah Wood.     

Saat membuka pintu rumahnya, Wood terkejut melihat ada orang lain disana. Twain berdehem. "George, ini Judy Shania Jordana. Kurasa kau sudah melihatnya saat kita di Newcastle?"     

Wood mengangguk, lalu berkata pada Shania, "Halo, Selamat Natal."     

Wood sekarang adalah pemain bintang di tim Forest, tapi Shania tidak terintimidasi. Dia menyapanya dengan senyum santai. "Halo Wood, Selamat Natal! Kau harus memberiku tanda tangan nanti!"     

Di hadapan gadis yang begitu ceria, Wood tidak bisa menolak; Apalagi, Twain adalah orang yang membawanya. Dia mengangguk dengan sedikit ragu. "Oke, oke."     

Twain tertawa kecil di samping mereka, dan Wood menatapnya tajam sebelum kemudian melangkah ke samping untuk membiarkan mereka masuk.     

Masih sibuk menyiapkan makan malam, Sophia keluar dari dapur, tersenyum dan siap menyambut Twain dan Dunn. Dia sedikit terkejut melihat Shania, tapi ekspresi terkejutnya menghilang dengan cepat, dan tidak ada yang memperhatikan.     

Dalam perjalanan ke rumah Wood, Twain telah memberikan semacam pengenalan singkat tentang Sophia kepada Shania, termasuk peristiwa bagaimana dia bertemu dengan Sophia. Tentu saja, dia menghilangkan bagian tentang bagaimana mereka berdua hampir tidur bersama dalam waktu lima menit setelah bertemu untuk pertama kalinya. Meskipun mereka tidak melakukan apa-apa, lebih baik tidak memperumit masalah dengan mengungkitnya. Twain telah mengubur hal itu dalam-dalam.     

Selain dirinya dan Sophia, akan lebih baik kalau tidak ada orang lain yang tahu.     

Shania sangat senang bertemu dengan Sophia. Kisah yang diceritakan oleh Twain, dipadukan dengan pemikirannya tentang orang tua kandungnya, membuatnya merasa sangat iri pada Wood karena memiliki ibu seperti Sophia. Orang tuanya selalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tak ingin dilakukannya, sementara ibu Wood selalu ingin agar Wood melakukan apa yang disukainya.     

Karena kekontrasan ini, kesan Shania terhadap Sophia cukup baik. Dia bahkan membeli syal sebagai hadiah untuk Sophia dalam perjalanan menuju kesana.     

Sophia menatap ke arah Twain, lalu ke arah Shania, yang tersenyum cerah. Dia tersenyum dan menerima hadiah itu. Kemudian, setelah berbasa-basi, dia kembali ke dapur untuk menyibukkan diri. Shania menawarkan bantuannya, tapi Sophia merasa bahwa sebagai tamu, Shania tidak seharusnya membantu.     

Kemudian, Twain memberi saran agar tidak ada yang merasa canggung. "Bagaimana kalau begini — Sophia bisa membuatkan kita makanan Jamaika terbaiknya, Dunn dan aku akan menyiapkan makanan Cina untukmu. Dan lalu ..." Dia memandang ke arah Shania. "Shania juga cukup pandai memasak."     

"Tapi Tuan Twain, kalian semua tamu kami, bagaimana mungkin aku bisa membiarkan tamu-tamuku ..."     

Twain sudah mengantisipasi kata-kata Sophia ini sambil tersenyum. "Nyonya, kalau kau menganggapnya seperti itu, itu artinya kita saling menjaga jarak! Kurasa akan bagus bagi semua orang untuk membuat hidangan terbaik mereka di dapur, belum lagi itu akan meriah. Siapa bilang kita harus mengikuti tradisi Natal? Ini adalah hari libur. Apa bedanya, selama kita bersenang-senang?"     

Shania adalah yang pertama menanggapi sarannya itu. "Itu benar! Paman Tony benar, kurasa itu akan menyenangkan! Di tempat bibiku di Newcastle, mereka selalu punya aturan seperti itu, dan aku sama sekali tidak menyukainya."     

Melihat Shania yang begitu menawan, Sophia akhirnya tertawa. "Baiklah, Tuan Twain. Kurasa merayakan Natal yang berbeda akan menyenangkan."     

Jadi kelima orang itu semuanya berkumpul di dapur. Untungnya, Wood dan ibunya sudah pindah dari pemukiman kumuh itu. Dapur di rumah baru mereka cukup besar untuk menampung lima orang yang sibuk memasak pada waktu yang bersamaan. Meski tempatnya masih agak sedikit sesak, tapi mereka saling berdesakan dan saling berseru dengan gembira.     

"Ah! Airnya mendidih, Dunn! Cepat, masukkan dagingnya. Hati-hati, jangan sampai airnya memercik ..." Saat Twain memerintahkan Dunn untuk memasukkan daging ke dalam panci, dia juga menoleh ke arah Shania, yang sedang mengawasi pot aluminium yang isinya mulai mendidih. "Baunya enak, Shania, apa yang kau masak?"     

"Feijoada!" kata Shania sambil masih memperhatikan pot yang mengepul itu.     

"Apa itu?"     

"Makanan lezat ... Sayangnya, tidak ada krim atau tepung tapioka di sini ..." Shania memukul bibirnya dengan ringan.     

"Oh, maafkan aku, Shania. Aku tidak tahu kalau kita perlu menyiapkan bahan-bahan itu ..." Sophia buru-buru minta maaf karena dia adalah tuan rumah yang kurang siap.     

"Tidak apa-apa, Bibi Sophia! Ini semua salah Paman Tony. Kalau saja dia mengatakannya lebih awal, kami bisa pergi berbelanja!"     

"Well, maafkan aku, semua ini baru terpikir olehku. Shania, kau seharusnya memujiku karena aku bisa memikirkan ini dengan cepat."     

"Dagingnya akan jadi terlalu matang," Dunn mengingatkannya, memperhatikan mereka yang mengobrol dengan gembira.     

"Ah ... cepat angkat dagingnya!" Twain hampir saja meraih panci tanpa sarung tangan.     

"Apa itu?" Di sampingnya, Wood mengambil wadah saringan dan menghalangi tangan Twain.     

"Terima kasih ... Ini daging babi yang dimasak dua kali! Twain menggunakan sendok sayur untuk mengeluarkan daging babi dari panci, dan kemudian bersiap untuk mengirisnya.     

"Daging babi yang dimasak dua kali?" Dari nama yang disebutkan oleh Twain, Wood agak sulit memahami hidangan itu.     

"Um ..." Twain tidak tahu bagaimana dia bisa menerjemahkannya dengan benar. Nama hidangan Cina selalu menjadi pertanyaan yang serius dan memusingkan "para ahli" setempat. Dia ingat bagaimana, saat mempersiapkan Olimpiade 2008, serangkaian nama yang diterjemahkan secara khusus untuk hidangan Cina diperkenalkan. Saat dia membaca daftar itu secara online, dia tertawa terbahak-bahak. Dia tidak menduga kalau dia akan berada di posisi itu sekarang.     

"Yah, ini hidangan yang lezat, namanya tidak penting. Kuncinya adalah apa yang ada di dalamnya ..."     

"Hui Guo Rou." Twain tidak tahu bagaimana mengatakannya, tapi Dunn menggunakan Pinyin untuk membacanya.     

Karena sudah pernah pergi ke Cina sebelum ini dan memakan hidangan itu, Shania terkikik di sebelah mereka.     

Setelah satu jam memasak, hidangan lezat dari berbagai negara ditempatkan di atas meja. Daging babi Twain yang dimasak dua kali tidak terlihat menarik. Wood mengerutkan kening saat dia melihat hidangan berwarna gelap itu.     

"Apa itu bisa dimakan?"     

"Jangan bicara lagi!" Twain menegurnya dan melanjutkan, "Makanan itu seharusnya untuk dimakan, bukan untuk dilihat."     

Shania berusaha keras untuk tidak tertawa hingga bahunya gemetar, membuat Tang En meragukan ucapanya sendiri. Sophia juga menundukkan kepalanya dan tersenyum sopan. Hanya Dunn yang tidak menertawakan Twain. Dengan tenang dia berkata, "Biar Tony yang memakannya lebih dulu."     

Shania akhirnya tidak bisa menahan diri. Dia bersandar ke meja dan tertawa keras-keras.     

Melihat itu, Twain terbatuk dan mengangkat gelasnya. "Ahem! Baiklah ... Mari kita bersulang atas pertemuan kita di malam yang indah ini. Um, ayolah, angkat gelasmu. Shania, berhentilah tertawa! Kalau kau tertawa lagi, kau tidak boleh makan apa-apa!"     

Shania mencari gelasnya. Karena dia banyak tertawa, wajahnya semerah minuman anggur di dalam gelas. "Ini sangat menyenangkan! Aku akan datang lagi Natal tahun depan, dan kita semua bisa menghabiskannya bersama-sama!" Dia menyatakan itu dengan suara keras.     

"Oh, sangat menyenangkan kalian semua bisa datang." Sophia jarang sekali merasakan peristiwa yang menggembirakan. Hari-hari yang dingin dan suram di masa lalu telah berakhir.     

Wood jelas merasa bahagia saat ibunya bahagia.     

Dunn memandangi gelas di tangannya; gelas itu mencerminkan lima wajah yang tersenyum, termasuk wajahnya sendiri. Sudah berapa lama sejak aku melihat ekspresi ini di wajahku?     

"Aku setuju dengan Shania. Kita akan bersama-sama di Natal berikutnya!" Twain mengangguk dan melanjutkan, "Ayo ..." dia mengangkat gelasnya. "Selamat Natal!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.