Mahakarya Sang Pemenang

Penentuan Grup Liga Champions Bagian 1



Penentuan Grup Liga Champions Bagian 1

0Karena pertandingan leg kedua kualifikasi Liga Champions antara Forest dengan Villarreal dilangsungkan bersamaan dengan putaran ke-3 Liga Utama Inggris, maka pertandingan putaran ketiga untuk Nottingham Forest ditunda hingga tanggal 14 Desember. Tim Forest kini berada di blok atas dengan perolehan enam poin dari dua kemenangan.     

Setelah lolos dari pertandingan kualifikasi Liga Champions, tim Forest kini tampak sebagai tim yang kuat.        

Disaat semua orang mulai merasa seperti itu, tim Forest kalah dari Fulham 0:1 dalam pertandingan tandang yang terjadi dua hari kemudian di tanggal 27 Agustus.     

Hasil pertandingan itu mengejutkan semua orang. Usai pertandingan, media menggunakan kata "tak terduga" untuk mendeskripsikan pertandingan itu. Sebelum pertandingan, tidak ada seorangpun yang mengira bahwa Forest akan kalah. Perusahaan taruhan memberikan peluang yang cukup besar dan merasa optimis tentang tim Forest. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa tim Forest akan kalah dalam pertandingan tandang melawan Fulham, yang berada di peringkat menengah bawah.     

Para pemain Forest sangat aktif dan telah mengerahkan semua upaya mereka. Tapi, formasi pertahanan Fulham yang ketat sangatlah efektif. Tim Forest akhirnya menjadi tidak sabaran setelah tujuh puluh lima menit berlalu tanpa bisa mencetak gol.     

Twain tahu apa yang terjadi.     

Setelah lolos ke turnamen Liga Champions, kelompok anak laki-lakinya merasa terlalu bersemangat. Mereka tampak energik di lapangan tapi tidak menyalurkan energi itu ke tempat yang tepat. Dia melihat mereka berulang kali berlari cukup jauh untuk mencegat bola, membuat kesalahan saat mengoper, merebut bola lagi, dan kemudian melakukan kesalahan lagi saat mengoper bola. Tidaklah mengherankan kalau mereka kalah dalam pertandingan itu.     

Twain tidak terlalu marah dengan hasil ini. Dia merasa kalau itu masih merupakan hasil yang bagus. Terkadang, kalah dalam pertandingan memang perlu. Lebih baik kebobolan gol di saat ini daripada kebobolan di saat-saat yang krusial. Dia tidak ingin timnya menjadi tak terkalahkan selama tiga puluh delapan putaran untuk memenangkan kejuaraan liga dan kemudian mengalami penurunan drastis di musim berikutnya. Dia tidak peduli dengan rekor semacam itu. Tidak ada yang lebih penting baginya daripada hasil. Kalau satu kekalahan akan bermanfaat dalam mencapai kemenangan akhir, dia akan kalah dengan senang hati.     

Itulah yang terjadi sekarang. Kalau timnya menang secara berturutan, dia tidak akan bisa yakin apakah kekalahan ini akan memunculkan pemikiran yang negatif di dalam tim, tapi hal itu jelas akan merusak kemajuan tim selanjutnya. Meski tidak disengaja, ini hanyalah kalah dari tim lemah di putaran keempat liga. Itu akan bisa membuat para pemainnya yang terlalu bersemangat bisa memahami kenyataan dan mulai tenang. Kalau tidak, mereka mungkin akan menerima pukulan yang lebih besar dalam perjalanan mereka nantinya.     

Oleh karenanya, di konferensi pers paska-pertandingan, Twain berkata, "Kurasa tidak buruk kalau sesekali kami kalah di pertandingan."     

Beberapa orang mengira bahwa dia hanya bersikap keras kepala dan menolak mengakui kegagalan. Tapi, apa memang itu yang terjadi atau tidak, pada akhirnya Twain akan menunjukkannya pada mereka.     

※※※     

Twain tidak mengikuti tim kembali ke Nottingham. Bersama dengan Edward Doughty, dia langsung terbang ke Zurich, Swiss dari London untuk turut ambil bagian dalam acara pengundian babak penyisihan grup Liga Champions untuk musim baru ini di markas UEFA.     

Dia telah berpartisipasi dalam acara pengundian grup untuk Liga Eropa UEFA sebelum ini. Tapi, acara pengundian untuk Liga Champions berada di level yang berbeda. Ini bisa dilihat sebagai pertemuan para manajer paling kuat di Eropa, dan yang juga penuh dengan ketegangan.     

Pengundian masih belum dimulai. Mereka yang datang lebih awal ke lokasi acara dan para manajer yang saling mengenal satu sama lain akan berkumpul bersama untuk mengobrol. Twain masih termasuk pendatang baru di kancah sepakbola Eropa. Dia tidak mengenal para manajer disana. Meski dia datang lebih awal, tidak ada orang yang datang untuk berbicara padanya. Jadi, dia dan Edward duduk tenang sebagai penonton.     

Fabio Capello tidak tampak seserius saat dia berada di area teknis. Saat ini, dia tersenyum dan mengobrol dengan beberapa orang lain. Dia terlihat berbeda dengan kacamatanya.     

Frank Rijkaard dibanjiri keberhasilan dalam dua musim terakhir. Popularitas timnya telah melonjak di kancah sepakbola Eropa. Popularitasnya juga tampak meningkat dengan pesat di kalangan para pelatih. Banyak orang yang berbincang-bincang dengannya. Twain menghitung kalau setidaknya ada lima orang yang selalu ada di sekitarnya.     

Ferguson memiliki status yang tinggi di Inggris. Sama halnya dengan di arena sepakbola Eropa. Sebagai pencipta era Manchester United, dia memiliki reputasi bintang di dunia para pelatih. Tentu saja, seseorang takkan pernah menemukan si pria Prancis itu, Arsene Wenger, berada dalam jarak sepuluh kaki darinya.     

Manajer Arsenal masih belum tiba disana.     

"Kupikir kau akan pergi kesana dan mencari topik untuk masuk ke dalam percakapan." Edward menunjuk ke arah sekelompok kecil manajer.     

Twain mendengus. "Aku tidak tertarik." Timnya adalah salah satu dari tiga puluh dua tim yang berpartisipasi di dalam turnamen. Dia datang untuk berpartisipasi dalam acara pengundian, bukan untuk pesta minum teh.     

Edward tertawa. "Tapi aku merasa sangat senang karena timku bisa ada disini untuk ini. Dua tahun yang lalu, semua ini hanyalah rencana."     

"Dalam dua tahun, semua orang-orang itu akan datang berbicara dengan kita atas inisiatif mereka sendiri." Twain menunjuk ke arah kerumunan orang di Aula itu.     

Twain bukan satu-satunya orang yang tampak tidak ramah. Media di luar pintu tiba-tiba saja menjadi ramai ditemani banyak kilatan lampu kamera, disertai suara teriakan para wanita dari para fans yang menonton.     

Adegan seperti itu jarang terjadi di dalam pertemuan para pelatih. Sebagian besar suporter biasanya lebih tenang. Mereka hanya meminta tanda tangan atau meminta foto. Tidak pernah ada teriakan yang terdengar karena sebagian besar manajer tidak memiliki hal-hal yang akan diteriakkan oleh para wanita.     

Jenis perilaku seperti itu hanya diberikan untuk penampilan para pemain bintang.     

Beberapa manajer yang terlibat dalam percakapan merasa tertarik dengan keributan yang terdengar di pintu. Bahkan Edward bangkit berdiri dan melihat arah pintu. Twain mendengus di kursinya. "Jangan lihat. Cara masuk yang sangat hebat seperti itu hanya bisa dilakukan José Mourinho."     

Dia masih terus menatap ke depan seolah-olah apa yang terjadi di pintu tidak ada hubungannya dengan dirinya.     

Edward kembali duduk. "Sangat menarik melihat ada seorang manajer yang lebih populer dan disambut lebih baik daripada para pemainnya."     

Orang yang masuk memang Mourinho yang berpakaian kasual. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda kalau dia menyadari sambutan yang diberikan untuknya saat dia melangkah masuk ke aula dengan ekspresi datar. Dia menyapukan pandangannya sekilas ke seluruh ruangan dan sama sekali tidak mempedulikan orang-orang yang melihat ke arahnya. Dia menemukan sebuah kursi kosong dan langsung menuju kesana.     

Tapi…     

Kebetulan, kursi kosong yang ditemukannya berada di samping Twain. Mourinho baru menyadarinya saat dia berjalan menuju kesana. Dia tampak terkejut sesaat.     

Akan menjadi masalah bagi mereka berdua kalau mereka pura-pura tidak saling melihat di jarak yang sudah begitu dekat.     

Mourinho tersenyum. "Tn. Twain, kita bertemu lagi begitu cepat."     

"Halo." Twain harus berdiri untuk menyapanya.     

"Oh, aku lupa mengucapkan selamat padamu karena berhasil lolos ke Liga Champions." Mourinho mengulurkan tangannya.     

"Terima kasih." Twain juga mengulurkan tangan. Kedua pria itu berjabatan tangan dengan singkat.     

"Tn. Twain, tiba-tiba saja aku merasa sangat tertarik. Kau memang pernah bilang kalau kita akan bertemu lagi di Liga Champions, bukan?" Twain mengira kalau mereka tidak akan berbicara lagi setelah mereka sama-sama duduk di akhir percakapan singkat mereka. Dia tidak menduga Mourinho akan melontarkan pertanyaan lain.     

"Maksudmu di babak penyisihan grup?" Twain berpura-pura bingung.     

"Tidak, itu tidak mungkin. Tim dari liga yang sama memiliki peluang yang kecil untuk berada di grup yang sama."     

"Kalau begitu kurasa kita tidak akan memiliki peluang untuk bertemu."     

Mourinho mengangkat bahu. "Sayang sekali. Itu akan menarik." Lalu dia menarik kursinya dan duduk.     

Awal percakapan mereka yang tak bisa dijelaskan mencapai akhir yang juga tak bisa dijelaskan.     

Twain menatap Mourinho yang duduk di sampingnya, tidak melakukan apa-apa. Tidak ada yang mengambil inisiatif untuk datang menyapa si manajer muda yang telah menjadi pusat perhatian selama dua tahun terakhir.     

Dia mengingat beberapa komentar dan artikel yang pernah dibacanya sebelum ini tentang Mourinho. Laporan-laporan itu mungkin bias, tapi hubungan antara pria Portugal itu dengan orang-orang lain tampaknya tidak terlalu baik.     

Saat dia pertama kali datang ke Inggris, dia hampir menyinggung perasaan semua manajer di dunia sepakbola Inggris. Mungkin beberapa orang tetap menjauh darinya karena iri dengan prestasi yang dicapai Mourinho saat ini. Apapun alasannya, Mourinho dan Twain saat ini memiliki kesamaan. Ada kerumunan yang ramai di hadapan mereka, tapi tidak ada siapa-siapa di sekitar mereka berdua.     

Arsene Wenger dan manajer AC Milan, Carlo Ancelotti, baru datang di menit terakhir. Setelah mereka memasuki aula satu demi satu, Wenger tampak senang melihat Twain dan datang untuk menyapanya. Tapi, dia benar-benar mengabaikan Mourinho yang duduk disampingnya. Perseteruan antara kedua pria itu pastilah begitu mendalam hingga itu jelas bukan hanya rumor.     

Setelah kedua pria itu tiba, acara pengundian akan segera dimulai. Para ofisial UEFA meminta para manajer untuk kembali ke tempat mereka masing-masing. Setelah semua orang duduk, media mulai terfokus pada pengundian grup Liga Champions musim ini, dengan lensa kamera mereka berjajar rapi.     

Disaat yang bersamaan, para supporter dari semua tim di seluruh dunia sangat menantikan hasil pengundian itu. Bagaimanapun juga, semua ini akan menentukan nasib tim yang mereka dukung musim ini.     

Tang En tidak melakukan hal yang sama saat dia menjadi fans sepakbola karena dia tidak memiliki tim tertentu yang didukungnya. Tapi dia telah dikelilingi oleh banyak orang yang akan merasakan segala jenis emosi dengan tim-tim favorit mereka.     

Karena ini hanyalah acara pengundian Liga Champions, tidak ada pertunjukan budaya yang rumit. Setelah memperkenalkan tiga puluh dua tim yang akan bertanding, mereka memasuki tahapan yang paling krusial, yakni pengundian itu sendiri.     

Tang En tidak bisa mengingat grup-grup Liga Champions UEFA musim 05-06 dari dunia sebelum dia bertransmigrasi. Lagi pula, ia percaya bahwa grup-grup itu takkan tepat sama seperti yang diingatnya. Villarreal telah digantikan oleh Nottingham Forest. Mustahil jika semua itu tetap sama sekarang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.