Mahakarya Sang Pemenang

Sampai Jumpa Lagi, Brasil



Sampai Jumpa Lagi, Brasil

0Setelah dia menangani urusan Pepe, Twain benar-benar merasa puas. Memang ada banyak pemain sepakbola jenius dari Brasil. Tapi, Twain tidak perlu menambah pemain baru di beberapa posisi. Apalagi, bagi pemain berbakat yang belum menjadi target klub papan atas Eropa, mendapatkan izin kerja di Liga Utama adalah urusan yang rumit.     

Setelah Kaka direbut oleh AC Milan, Manchester United amat sangat marah. Mereka menganggap bahwa omong kosong kebijakan ijin kerja dari Football Association Inggris–lah yang menyebabkan Manchester United berulang kali kehilangan pemain jenius non-Uni Eropa seperti Kaka. Musim pertama Kaka dengan AC Milan sangatlah sukses, dan hal itu juga mengirimkan gelombang kejutan bagi Football Association Inggris. Mereka sadar bahwa kalau mereka masih berpegang teguh pada pola pikir lama itu, mungkin mereka akan semakin dikesampingkan oleh dunia sepakbola global.     

Sebagai akibatnya, "klausul bakat luar biasa" dirilis khusus untuk para pemain non-UE.     

Klausul ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan bagi klub Liga Utama dalam bersaing dengan klub-klub di Benua Eropa untuk mendapatkan pemain berbakat non-UE. Saat sebuah klub tertarik pada seorang pemain non-UE yang belum pernah bermain untuk tim nasional negaranya atau jumlah penampilannya belum memenuhi ketentuan, maka klub bisa menggunakan hak ini untuk mengajukan permohonan ijin kerja bagi si pemain. Setelah ditinjau oleh Football Association, si pemain akan diperbolehkan untuk mewakili klub tersebut. Terlepas dari apakah pemain itu memang cukup berbakat atau memenuhi syarat ketentuan akan bergantung pada standar humas dari tim yang bersangkutan.     

Itu adalah klausul yang bagus. Satu-satunya masalah adalah bahwa setiap klub hanya diperbolehkan mengajukan satu permohonan per musim.     

Football Association selalu ingin melakukan reformasi agar bisa selaras dengan sisa dunia yang lain, tapi mereka tidak bisa mengambil lompatan yang terlalu jauh. Kuota itu jelas mencerminkan sikap mereka yang ragu-ragu dan setengah-setengah.     

Tapi sekarang, Twain tidak perlu memikirkan masalah itu. Masalah itu adalah urusan Football Association Inggris. Sekarang ini dia hanya ingin menghabiskan liburan yang menyenangkan bersama Shania di pantai Brasil yang indah.     

※※※     

Dulu, saat Tang En masih di Cina, dia belum pernah melihat ada begitu banyak gadis-gadis berbikini selama dua puluh enam tahun hidupnya. Mereka muncul berbondong-bondong di depan Twain dan kemudian berlari menjauh sambil terkikik. Tapi, Twain yang sekarang bukan lagi Twain yang baru pertama kali tiba di Brasil. Kali ini, dia tampak lebih tenang.     

Twain menoleh untuk melihat ke arah Shania, yang menghabiskan es krimnya dengan senang.     

Tahun lalu, dia membawa Shania kembali ke kota asalnya. Tahun ini, Shania membawanya kembali ke kota asalnya. Keduanya benar-benar memiliki ikatan.     

Twain tidak lagi melihat Pepe selama beberapa hari belakangan. Mungkin setelah dia tahu tentang masa depannya, dia telah kembali ke Portugal.     

Saat membayangkan bagaimana dia akan bisa bekerjasama dengan pemain seperti itu, Twain merasa sedikit bangga. Dia telah terbiasa bermain FM, dan sangat menantikan bursa transfer pemain karena dia bisa merekrut pemain favoritnya. Sekarang setelah dia menjadi manajer sepakbola yang sesungguhnya, kesenangan itu terasa semakin nyata dan intens.     

Twain tersenyum saat memikirkan itu.     

Shania, yang masih menjilati es krimnya, memberikan pandangan aneh pada Twain. "Paman Tony, kenapa kau pura-pura tersenyum?"     

Twain menoleh dan menatap Shania dengan tajam, "Bagaimana bisa aku berpura-pura tersenyum? Ini adalah senyum yang tulus!"     

"Terserah apa katamu." Shania mengangkat bahunya. "Apa kau merasa bosan, Paman Tony?"     

Twain sedikit terkejut mendengar pertanyaan Shania. "Bosan? Kenapa aku merasa bosan?"     

"Aku selalu menyeretmu ke banyak tempat, dan aku tidak membiarkanmu melakukan hal-hal favoritmu. Pasti membosankan menemani gadis kecil sepertiku."     

Twain tersenyum. Dia menoleh untuk melihat ke arah Shania dan mengulurkan tangan untuk menyentuh kepalanya. Tapi dia tiba-tiba merasa bahwa tindakannya itu akan terlihat seolah dia memperlakukan Shania seperti anak kecil. Jadi, dia menarik kembali tangannya. "Bagaimana mungkin? Main denganmu adalah hal favoritku."     

Shania mengangkat dagunya untuk menatap Twain, "Bahkan lebih penting daripada sepakbola?"     

"Yang terpenting. Nomer satu. Sepak bola ada di bawahmu." Twain mengedipkan mata padanya.     

Shania tersenyum. "Ayah dan ibuku ingin mengundangmu makan malam hari ini."     

"Bukankah kita selalu makan malam bersama tiap hari?" Twain merasa sedikit aneh dengan undangan itu.     

"Bukan, maksudku mentraktirmu. Bukan makan malam di rumah. Kita akan pergi ke restoran."     

※※※     

Tempat itu bukan restoran mewah dimana dia akan membutuhkan jaket untuk masuk. Banyak pelanggan yang dilewati Twain dan yang berjalan masuk kesana hanya memakai kaos lengan pendek dan celana pendek. Beberapa orang bahkan ada yang memakai sandal seolah-olah mereka baru saja kembali dari pantai Copacabana.     

Pada malam hari, Rio de Janeiro memiliki suasana yang berbeda. Pada siang hari, suasananya seperti seorang gadis muda yang penuh gairah, ceria dan bersemangat, dan sinar matahari yang cerah terlihat seperti senyum di wajahnya. Pada malam hari, Rio lebih mirip seperti gadis misterius berbaju hitam, dimana setiap inci tubuhnya memancarkan sensualitas yang menggoda. Lampu-lampu yang berkilauan tampak seperti perhiasan yang sangat berharga bagi seorang wanita muda.     

Twain mengalihkan pandangannya dari jendela. Shania dan ibunya sedang pergi ke kamar kecil. Twain ditinggalkan bersama ayah Shania, Bruce Tenório, yang duduk di meja.     

"Terima kasih banyak telah menemani Jordie selama ini. Ibunya dan aku hanya punya sedikit waktu untuk melakukannya sendiri." Tenório tampaknya adalah pria yang sopan.Twain merasa nyaman dengannya.     

"Tidak masalah. Aku suka bersama Shania."     

Tenório memandang Twain dan berkata, "Sebagai orang tuanya, ini juga pertama kalinya kami melihatnya sering tersenyum. Dia tersenyum setiap hari, setiap saat. Aku tidak melebih-lebihkan. Kapanpun dia bersama kami sebelum ini, dia akan selalu berwajah datar. Kami tidak pernah bisa tahu apa yang ada di dalam pikirannya."     

Twain mengangguk paham. Setiap orangtua itu sama. Lebih sering daripada tidak, mereka tidak memahami anak mereka. "Karena perbedaan perspektif dan cara dalam memandang masalah, orang tua biasanya memiliki kesenjangan generasi dengan anak-anak mereka."     

Tenório tersenyum. "Tn. Twain ..."     

"Panggil saja aku Tony, Tn. Tenório. Itu terlalu formal. Kita sedang tidak membicarakan bisnis, kan?"     

"Kalau begitu, kau bisa memanggilku Bruce."     

Kedua pria itu saling tersenyum dan menerima panggilan masing-masing.     

"Yah ... Tony, kau sepertinya tahu banyak tentang ini. Tapi apa kau masih single sekarang?"     

"Aku memang tidak punya anak, tapi aku dulu juga anak-anak."     

Pernyataan ini membuat Tenório terdiam sesaat; dia mengangguk sambil berpikir.     

"Bruce, apakah Shania pernah memberitahumu kalau dia tidak suka berlatih sebagai model?" tanya Twain.     

Tenório menggelengkan kepalanya. "Dia tidak mengatakannya, tapi kami selalu tahu. Kebencian yang dia tunjukkan selama latihan modeling, melarikan diri ke Inggris dan bertemu denganmu. Semua itu dilakukan untuk menunjukkannya pada kami. Ibunya dulu juga seorang model, jadi dia berharap Jordie bisa menjadi seorang model juga."     

Twain tersenyum dan mengangguk untuk mengungkapkan pengertiannya. Masalah semacam ini terjadi di seluruh dunia. Orang tua selalu menginginkan anak-anak mereka mengikuti jalan yang telah direncanakan karena mereka percaya bahwa pengalaman mereka bisa mencegah anak-anak itu mengambil jalan memutar. Tapi anak-anak akan merasa bahwa orang tua mereka mengganggu kebebasan mereka, bahwa mereka telah menjadi boneka orang tua mereka, dan bahwa hidup mereka hampa.     

Tidak ada yang benar atau salah. Masing-masing pihak memiliki alasannya sendiri.     

Sejak zaman kuno, bahkan pejabat pemerintah yang jujur ​​dan tulus ​​akan mengalami kesulitan saat harus menyelesaikan perselisihan keluarga dan Tang En tidak ingin menjadi salah satu dari mereka.     

"Tapi ... Jordie menerima latihan modeling-nya sejak usia muda, dimulai dengan ibunya. Kalau dia tidak menjadi model, apa lagi yang bisa dia lakukan?" Tenório menunjukkan bagian penting dari masalah ini. Shania tidak seperti Yang Yan, standar emas dari seorang gadis luar biasa yang merupakan siswa cerdas dan rajin sejak muda dan mampu mendapatkan gelar master dari universitas luar negeri.     

Mungkin orangtua Shania ingin agar gadis itu menjadi model untuk memberinya mata pencaharian untuk masa depannya, bukan untuk membuat putri mereka terkenal dan bergelimang kejayaan. Bagaimanapun, kedua orang tua Shania tidak tampak seperti keluarga miskin yang akan mengandalkan putri mereka untuk menghidupi diri mereka sendiri.     

Itulah sebabnya kenapa Twain menganggap masalah ini tidak hanya hitam dan putih, dan bahwa tidak mungkin bisa menyatakan siapa yang benar atau salah.     

Twain menghela nafas pelan. Benar-benar tidak mudah bagi seseorang untuk menemukan pekerjaan yang dia sukai dan menjadi keahliannya. Dibandingkan dengan banyak orang lain, dia, Tang En dan Tony Twain, beruntung. Mungkin Langit telah mengirimnya ke Inggris untuk mengarahkannya ke lintasan yang benar dalam hidupnya.     

"Aku masih ingin mengucapkan terima kasih, Twain ... Tony. Kau telah membuat hidup Shania dalam dua tahun terakhir lebih kaya dan lebih berwarna. Kau memberinya banyak hal yang tidak bisa kami, aku dan ibunya, berikan padanya. Bibi Ryan adalah seseorang yang sangat keras kepala dan wanita Inggris tradisional. Shania pasti tidak senang tinggal bersamanya. Jadi ... Dia masih akan tinggal di sana untuk waktu yang lama, dan kuharap kau bisa terus mengurusinya."     

Twain tertegun sejenak. Dia menatap Tenório dan melihat bahwa pria itu juga tersenyum dan menatapnya.     

"Apa ini permintaan dari seorang ayah?"     

Tenório tidak menjawab; dia masih tersenyum.     

"Kalau begitu, aku janji akan melakukannya."     

"Terima kasih, Tony. Kau pria yang baik. Aku tahu itu sejak pertama kali aku melihatmu ..."     

Twain bermuka masam. Merupakan satu hal jika dilihat sebagai orang yang baik oleh Shania, tapi sekarang ayah Shania juga berpikiran seperti itu. Apa aku benar-benar orang yang baik? Sepertinya itu tidak benar. Apa yang telah kulakukan untuk menunjukkan kalau aku adalah orang baik?     

Pada saat itu, Shania dan ibunya telah kembali. Mereka sepertinya membutuhkan waktu yang lama untuk pergi ke kamar kecil. "Apa yang kau bicarakan?" Shania sedang dalam suasana hati yang baik. Dia melonjak kecil dan duduk disamping ibunya lalu menatap Twain dan ayahnya yang duduk diseberangnya.     

"Aku mengadukanmu, kubilang kalau kau sama sekali tidak mematuhiku." kata Twain dengan tegas. Percakapan mereka barusan membuatnya lebih terbuka di hadapan orang tua Shania.     

Shania mendengus, tapi dia melihat sekilas ekspresi ayahnya di saat yang bersamaan. Saat dia melihat kalau ayahnya masih tersenyum, dia merasa lebih tenang.     

Saat Tenório melihat semua orang sudah duduk, dia membalikkan benda di atas meja yang berbentuk seperti tempat tusuk gigi biasa yang sering dilihat Tang En di restoran-restoran di Cina. Warna yang semula merah di satu sisi telah berubah menjadi hijau.     

Segera setelah itu, seorang pelayan datang dengan daging yang ditusuk dengan tusukan bercabang yang panjang.     

"Jordie pasti telah membawamu ke sebuah restoran barbekyu Brasil, tapi aku jamin kalau ini yang paling otentik." Tenório tersenyum dan menunjuk ke arah pelayan itu.     

※※※     

Liburan di Brasil sangatlah menyenangkan. Khususnya setelah percakapan dengan Tn. Tenório, Twain merasa kalau dia memiliki kesan yang jauh lebih baik terhadap ayah Shania.     

Sebelum ini, dia selalu mengira bahwa Tn. Bruce Tenório, yang sibuk dengan pekerjaannya saat itu, terlalu dingin terhadap Shania dan sepertinya diantara mereka tidak ada hubungan ayah dan anak. Karena dia dan Shania berada di pihak yang sama, tentu saja dia merasa tidak nyaman saat melihat Shania ditelantarkan. Tapi setelah percakapan itu, Twain tahu kalau pria itu masih sangat peduli tentang apa yang dipikirkan Shania. Itulah sebabnya kenapa orang tua Shania senang melihat putri mereka bersamanya setiap saat.     

Tapi, cara dimana para ayah mengungkapkan perasaannya bisa membuat anak-anak mereka salah paham. Mereka seringkali tidak sejelas dan seekspresif para ibu. Cinta kasih mereka, tak peduli berapa banyak, hanya bisa disimpan di dalam hati.     

Twain teringat adegan dimana mereka berdua menunggu di depan pintu rumahnya di Nottingham untuk menjemput Shania. Perilaku kedua orang tua itu sangat sesuai dengan peranan mereka masing-masing. Ibunya sangat cemas dan putus asa semetnara ayahnya tetap diam dan tenang, tidak lupa untuk menunjukkan otoritasnya.     

Dia tersenyum.     

"Paman Tony, kenapa kau tersenyum bodoh seperti itu?"     

Twain memutar matanya. "Dasar tidak sopan."     

Liburannya sendiri sangat singkat, tapi liburan Shania masih sangat panjang. Twain harus kembali ke Inggris untuk menangani urusan klub. Liburan satu minggu mungkin tidak cukup untuk membebaskannya dari tekanan dan stress musim lalu, tapi dia tidak ingin membuang waktu untuk melakukan relaksasi pribadi. Masih ada banyak hal penting yang menunggunya di klub. Kontrak perpanjangan para pemain, pengenalan pemain baru, transfer para pemain yang ada ... Semua itu membutuhkan keputusannya.     

Karena itu, hari ini adalah hari dimana liburannya telah berakhir di Brasil. Dia akan terbang kembali ke Inggris untuk mulai bekerja dan akan mengucapkan selamat tinggal pada Shania, yang masih akan tinggal bersama orang tuanya di Brasil.     

Karena orang tua Shania masih sibuk seperti biasa, hanya Shania yang bisa mengantarnya pergi. Tapi ini adalah perpisahan yang memang diharapkan Twain.     

Melihat Shania, yang menunggu di sampingnya sebelum dia naik ke pesawat, Twain mengenang masa-masa bahagia minggu itu dan tiba-tiba saja merasa sedikit enggan. Dia harus menemukan cara untuk mengalihkan perhatiannya.     

"Shania, kupikir ayahmu ... um, cukup baik."     

"Ya." Shania mengangguk, "Aku memang sangat menyukai ayahku."     

"Apa kau menyukainya dan takut padanya?" kata Twain sambil nyengir.     

Shania merengut ke arah Twain. "Aku tidak tahu kenapa. Meski aku menghabiskan lebih banyak waktuku dengan ibuku saat tumbuh dewasa, aku lebih dekat dengan ayahku. Aku sangat senang setiap kali melihat ayahku. Tapi dia selalu terlihat sangat serius bagiku."     

Ah, masalah para ayah.     

Twain berdeham, "Itu karena kau masih muda. Sekarang setelah kaupikir-pikir, ayahmu tidak lagi menatapmu dengan wajah datar, kan?"     

"Itu karena aku sudah lama tidak tinggal di Brasil." kata Shania sambil nyengir. "Dan kau ada di sini bersamaku, jadi dia tidak berani menatapku seperti itu!"     

Tang En memikirkan masa kecilnya. Kalau kerabat dan teman datang berkunjung, dia bisa lebih sering bertingkah dan berkelakuan buruk tanpa khawatir akan dihukum oleh orang tuanya. Orang-orang dewasa memanggilnya si badut, selalu bermain dan bertingkah sepanjang waktu. Kalau tidak ada yang datang berkunjung ke rumah, dia tidak akan berani bertingkah. Shania mirip dengan dirinya saat itu. Shania mungkin sudah hampir menyamai tinggai badannya, tapi sebenarnya dia masih anak-anak.     

Dia menduga Shania akan jadi lebih patuh di rumah setelah kepulangannya hari ini.     

Saat dia memikirkan hal itu, Twain merasa bahwa Shania agak menyedihkan, dan dia merasa enggan untuk pergi. Dia kembali mendapati dirinya merasakan mood yang sama.     

Penyiar bandara mulai memberi tahu penumpang penerbangan dari Rio de Janeiro ke London untuk mulai naik. Shania memandang ke langit-langit bandara dan sepertinya mencari tempat darimana pengumuman itu disiarkan.     

"Shania ..." Melihatnya seperti itu, Twain berkata dengan suara serak, "Aku pergi."     

Shania melihat sekilas ke bawah dan wajahnya tampak bersinar karena senyumannya, "Baiklah, Paman Tony. Selamat tinggal."     

"Selamat tinggal, Shania."     

Pada akhirnya, keduanya masih tidak bergerak.     

"Aku benar-benar akan pergi."     

"Oke, Paman Tony. Ingatlah untuk menghubungiku saat kau sudah tiba disana." Shania membuat gerakan menerima telepon dengan tangan di dekat telinganya.     

Setelah hening sejenak, pengumuman itu kembali disiarkan. Suara wanita yang manis itu terdengar sangat tidak menyenangkan bagi Twain. Dia mendongak dan mengambil napas dalam-dalam. "Shania, kalau kau... yah, kalau kau merasa kesepian dan bosan di Brasil, kembalilah ke Inggris lebih awal."     

Dia tidak mengira Shania akan tersenyum dan menolak tawaran Twain. "Aku ingin tinggal di sini bersama mereka selama sisa liburanku."     

"Ah ..." Twain merasa agak kecewa. Tapi dia segera sadar kalau itu tidak sopan. Jadi dia segera membungkuk untuk mengambil kopernya.     

Tepat disaat dia meletakkan tangannya di pegangan koper, dia mendengar Shania berkata, "Tapi saat aku bosan, aku akan meneleponmu. Jangan mematikan ponselmu! Jika aku tidak bisa menghubungimu saat aku merasa bosan, aku tidak akan mengampunimu saat aku kembali ke Inggris!"'     

"Hei, kapan kau pernah melihatku mematikan ponselku? Aku bahkan tidak mematikannya saat aku tidur. Aku akan selalu siap siaga 24/7!" Twain meraih gagang kopernya dan menegakkan tubuh. Tiba-tiba saja hatinya terasa ringan. Ah, cuaca yang sangat indah, begitu penuh dengan sinar matahari ...     

"Aku benar-benar pergi kali ini, Shania. Aku sungguh senang bisa bersamamu di Brasil untuk liburan; lebih bahagia daripada saat aku memimpin tim untuk lolos kualifikasi Liga Champions UEFA. Terima kasih."     

Twain menarik kopernya dan berbalik untuk melangkah pergi saat Shania masih melambaikan tangannya dengan lembut di balik punggungnya.     

"Terima kasih juga, Paman Tony."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.