Mahakarya Sang Pemenang

Selamat Tinggal, Ian Bagian 2



Selamat Tinggal, Ian Bagian 2

0 Dia memang sibuk. Menjadi manajer Liga Utama sama sekali berbeda dengan menjadi manajer tim Liga Championship EFL. Karena itu, dia hanya bisa tersenyum mendengar kata-kata Ian MacDonald.     

"Oh, ya, aku perlu memberitahumu sesuatu, Tony. Aku berencana untuk menggantung sepatuku."     

Awalnya, Twain sama sekali tidak bereaksi. "Menggantung sepatumu?" Untuk apa penjaga gerbang menggantung sepatunya? Tapi dia segera memahaminya dan meninggikan suaranya karena terkejut. "Kau akan pensiun!"     

"Ya, kesehatanku sudah tidak begitu baik. Anak-anakku bersikeras agar aku berhenti." Ian berdeham. "Awalnya aku berkata kalau aku akan mengundurkan diri dari klub bulan Januari besok. Tapi kurasa aku ingin menunggu hingga akhir musim. Aku ingin melihat tim melangkah sedikit lebih jauh. Saat para pemain berhenti bermain, bukankah mereka biasanya mengatakan kalau mereka menggantung sepatu mereka? Well, aku juga akan menggantung sepatuku!" Ian menyeringai dan tertawa geli.     

Twain tak bisa berkata apa-apa. Dia tahu kalau Ian memiliki kesehatan yang buruk dan telah dirawat di rumah sakit untuk beristirahat beberapa waktu yang lalu. Untuk sementara, klub memindahkan seorang penjaga keamanan dari tim pemuda untuk menggantikannya. Dalam kurun waktu itu, Twain tidak terbiasa melihat wajah yang dingin dan tegas dari pria berseragam di gerbang keamanan setiap hari, dan bukannya pria tua yang selalu tersenyum dan menyapa semua orang.     

Mengingat kesehatan pria tua itu, meninggalkan jabatan itu memang merupakan pilihan yang bijak, dan Twain tidak punya alasan untuk menghentikannya melakukan itu. Itu pula yang menjadi alasan kenapa dia tidak bisa berkata apa-apa.     

Melihat Twain terdiam, Ian berkata, "Tapi itu bagus. Sekarang, aku bisa menonton pertandingan secara langsung. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku menonton pertandingan Forest di City Ground. Kadang-kadang ..." Dia melihat ke arah radio di atas meja. "Tidak nyaman mendengarkan radio di sini dan tidak menonton pertandingan."     

Bibir Twain bergetar. "Kau masih belum terbiasa dengan itu?"     

"Tentu saja. Tapi, aku sudah bekerja di sini selama lebih dari sepuluh tahun." MacDonald menoleh untuk melihat bagian dalam kompleks latihan itu. "Saat aku bekerja untuk pertama kalinya disini, itu adalah musim terakhir Brian Clough di tim Forest. Aku masih bisa mengingat hari dimana 'Big Ead' (julukan Brian Clough) mengucapkan selamat tinggal pada tempat ini. Dia sendirian, memegangi anjingnya sambil berjalan keluar..." MacDonald menunjuk ke arah jalan di depan gerbang dan melambaikan tangannya. "Saat dia melewatiku, dia berkata padaku: 'Selamat tinggal, Ian. Semoga beruntung.' Dan aku berkata: 'Semoga beruntung bagimu juga, pak.' Kemudian dia berjalan pergi tanpa menoleh lagi.      

"Aku sudah melihat banyak orang berjalan keluar dari gerbang ini dan tidak pernah kembali. Terkadang aku berpikir, 'Aku benar-benar tidak beruntung. Saat aku mulai dekat dengan mereka, mereka semua pergi. Tim Forest juga terdegradasi.' Kemudian aku melihat banyak orang masuk, tim Forest dipromosikan, dan kembali didegradasi, dipromosikan lagi, dan kemudian didegradasi... Setelah kita dikalahkan oleh Manchester United dengan skor 1:8, mereka datang kemari dengan lesu untuk berlatih. Itu adalah waktu yang sulit.     

"Apa kau tahu apa yang kupikirkan saat aku pertama kali melihatmu disini, Tony?"     

Twain menggelengkan kepalanya.     

"Kupikir, dia adalah pria sial yang lain!" Ian MacDonald tertawa terbahak-bahak. Dia tertawa sangat senang hingga terbatuk-batuk.     

Twain tertawa bersamanya.     

"Aku sudah melihat banyak manajer baru menjalankan pekerjaan baru mereka dengan sombongnya dan pada akhirnya tak punya pilihan kecuali meninggalkan tempat ini. Aku sama sekali tidak berharap banyak padamu. Saat itu, aku merasa cemas tentang apakah tim Forest akan menghilang dari sini karena bangkrut. Kurasa banyak orang juga mencemaskan itu. Tidak ada yang peduli tentang bagaimana si manajer baru waktu itu."     

"Tapi kau membuktikan kalau kau berbeda, dan yang paling istimewa. Terima kasih, Tony."     

Twain baru akan mengatakan sesuatu saat dia melihat MacDonald melambaikan tangannya ke arah belakangnya. "Mobil ketua sudah tiba, Tony."     

Audi A6 berwarna merah itu berhenti di samping Twain selama percakapan mereka.     

"Selamat pagi, Ian!" Edward Doughty menjulurkan kepalanya keluar dari kursi pengemudi untuk melambai pada Ian MacDonald.     

"Selamat pagi, Tuan Ketua." Ian mengangguk kecil, dan kemudian berkata pada Twain, "Sampai nanti, Tony."     

"Sampai nanti, Ian."     

"Ayo pergi, Tony!" Evan memberi isyarat pada Twain agar masuk ke dalam mobil. "Sampai jumpa, Ian!"     

"Sampai jumpa, Tuan Ketua."     

Twain masuk ke dalam mobil. Edward menyalakan kembali mesin mobil dan melewati gerbang kompleks pelatihan. Dia menoleh ke belakang dan tidak bisa melihat Ian MacDonald. Mungkin dia sudah masuk lagi ke pos jaganya yang kecil.     

Meskipun tidak ada latihan hari ini, dia masih harus ada di sana untuk bekerja.     

"Hei, Edward."     

"Ya?"     

"Ian baru saja memberitahuku kalau dia akan pensiun saat musim ini berakhir."     

Doughty memandang Twain, dan Twain menunjuk ke arah depan. "Kau sedang mengemudi."     

Edward Doughty kembali memandang ke depan. "Apa itu karena kesehatannya?"     

"Ya. Anak-anaknya tidak setuju kalau dia terus bekerja sebagai penjaga keamanan di kompleks latihan."     

"Ian MacDonald sudah bekerja di sini selama tiga belas tahun. Dia adalah saksi terakhir era itu, kan? Saat ayahku mengambil alih tim, dia sudah lama bekerja di sini."     

Twain bersandar di kursi penumpang dan berkata, "Semua orang-orang tua sudah pergi."     

"Bukankah itu menyenangkan? Siklus kehidupan. Kau lihat apa yang dikatakan media tentang kita? 'Tim Forest Muda'! Aku suka label itu, muda dan penuh vitalitas!"     

"Tapi ... Aku sudah terbiasa dengan seseorang yang menyapaku setiap hari."     

Edward Doughty terdiam sesaat dan berkata, "Tentu saja, klub tidak akan membiarkannya pergi begitu saja. Aku akan mempertimbangkan untuk memberinya gelar kehormatan sebagai 'Penggemar Seumur Hidup' dan memesan kursi seumur hidup untuknya di tribun penonton."     

Twain tidak mengatakan apa-apa. Itulah yang bisa dilakukan Edward sebagai ketua klub. Bagaimana dengannya? Dia seharusnya menyiapkan hadiah perpisahan untuk orang tua itu juga.     

Tapi apa yang harus dia berikan padanya?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.