Mahakarya Sang Pemenang

Kita Menang Bagian 1



Kita Menang Bagian 1

0"Pertandingan telah berjalan selama delapan puluh enam menit dan tim tuan rumah, Nottingham Forest, telah dihadiahi tendangan bebas langsung di lini depan. Ini adalah kesempatan yang sangat berharga; hampir semua pemain Forest bergegas untuk menyaksikannya."     

"Arteta memberikan bola kepada Gareth Bale muda. Ini adalah pertama kalinya dia berdiri di depan bola untuk melakukan tendangan bebas sejak debutnya yang pertama. Gareth Bale, yang berusia enam belas tahun, adalah pemain luar biasa dari pelatihan Tim Pemuda Forest. Dia bisa memainkan dua posisi yakni bek kiri dan gelandang kiri. Dia mampu memberikan assist dan sangat bagus dalam hal tendangan bebas."     

"Mari kita lihat apakah Bale muda bisa mencetak gol pertama dalam karirnya di pertandingan melawan Chelsea! Ini adalah gol krusial yang menentukan kemenangan! Tekanan yang dirasakan olehnya pasti sangat kuat."     

"... Tapi penampilan pemuda ini sudah berulang kali mengejutkan kita. Kalau dia benar-benar bisa bertahan di bawah tekanan dan mencetak gol, aku tidak akan terlalu terkejut."     

"Pada usia enam belas tahun, bocah Wales, Gareth Bale, berdiri di depan bola. Di hadapannya adalah tembok lima pemain Chelsea. Ini mungkin tendangan bebas yang akan menentukan hasil akhir dari pertandingan ini dan gol yang akan menentukan masa depan Bale."     

Komentator itu menghentikan ucapannya. Para penonton di tribun dan di rumah semuanya menahan napas mereka.     

Di layar televisi yang mungil, Bale melangkah mundur. Saat peluit wasit berbunyi, dia berlari dan mengayunkan kakinya untuk menembak.     

Bola melengkung di atas kepala botak Makelele, melewati jari Čech yang terentang dan menyerempet tiang lalu masuk ke dalam gawang!     

Lengan yang tak terhitung banyaknya terangkat, dan tidak ada yang bisa mendengar suara komentar yang datang dari televisi. Bahkan gambar di layar bergoyang keras. Seluruh stadion City Ground seolah meledak dalam hiruk-pikuk.     

"GOOOL!" Di tribun penonton, ayah Bale berbalik untuk memeluk pria yang lebih gemuk darinya.     

"GOOOL!" Para fans Forest berpakaian merah yang tak terhitung jumlahnya melompat dengan tangan mereka terangkat tinggi di tribun.     

"Stadion City Ground bergetar. Gary, apa kau merasakannya?" Motson bertanya di boks siaran untuk komentator.     

"Tentu saja, John. Bale telah menyulut gunung berapi merah ini, dan itu benar-benar indah! Sangat sempurna! Pada usia enam belas tahun, penampilan Gareth Bale di permainan ini sangat sempurna!"     

"Tunggu, Gary, ada sesuatu yang bahkan lebih indah." Motson tiba-tiba bangkit dan melihat ke bawah.     

Di dalam cuplikan televisi, Twain, yang bergegas keluar dari area teknis, tiba-tiba saja melakukan jungkir balik 360 derajat ke arah samping dan mendarat dengan mantap. Dia mengayunkan tinjunya dengan penuh semangat seolah-olah dialah yang mencetak gol itu!     

Lineker tertawa.     

Dikelilingi oleh rekan satu timnya yang sangat gembira, Bale mungkin melihat atau tidak melihat adegan perayaan di tepi lapangan itu.     

"Tony Twain pasti pernah ikut sirkus. Dia melakukannya dengan mudah!"     

"Para editor surat kabar pasti akan pusing memutuskan siapa yang akan menjadi berita utama."     

"Tony? Tony?" David Kerslake memanggil Twain yang masih mengayunkan tinjunya.     

"Ya?" Twain kembali menatap rekannya.     

"Bagaimana kau bisa berpikir untuk melakukan itu?"     

"Aku sudah berjanji pada Bale kalau dia mencetak gol, aku akan memberinya perayaan yang jauh lebih keren. Bagaimana menurutmu?"     

"Itu luar biasa!" Kerslake tertawa, "Kita menang, kan, Tony?"     

Twain menoleh untuk melihat ke arah papan skor elektronik. Skor yang ditampilkan telah berubah dari 2:2 menjadi 3:2. Dia menatap jam tangannya. Tidak ada banyak waktu tersisa sampai akhir pertandingan.     

"Aku sebenarnya tidak ingin mengatakan apa-apa disaat pertandingan belum berakhir, tapi ..." Dia mengangguk pada Kerslake dan berkata, "Kau benar, David. Kita semua siap untuk menang!"     

※※※     

Gol Bale adalah pukulan berat bagi semangat Chelsea. Mereka diungguli oleh lawan mereka saat pertandingan hanya tersisa empat menit. Bahkan Mourinho tidak punya ide yang lebih baik saat itu.     

Sebaliknya, tim Forest menjadi lebih berani setelahnya. Mereka masih memiliki peluang untuk menjebol gawang Chelsea di tahap akhir pertandingan. Kalau bukan karena penampilan heroik Čech, pertandingan itu akan membuat Mourinho kehilangan muka.     

Saat wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan, stadion City Ground menjadi lautan kegembiraan. Para supporter tim Forest menyanyikan lagu-lagu tim dengan suara mereka yang paling keras untuk merayakan kemenangan mereka atas Chelsea lagi.     

"Pertandingan sudah berakhir! Setelah pertarungan sengit, Nottingham Forest mengalahkan Chelsea dengan skor 3:2 di kandang mereka! Sejak kembali ke Liga Utama, tim Forest telah mempertahankan rekor tak terkalahkan mereka saat melawan Chelsea. Mourinho masih belum bisa mengalahkan mereka."     

"Dengan kemenangan di pertandingan ini, poin tim Forest bertambah dari dua puluh dua menjadi dua puluh lima poin. Sejak awal musim, Chelsea, yang tak terkalahkan selama sepuluh putaran, kini mengalami kekalahan pertama mereka. Poin mereka tidak berubah dan tim Forest yang berada di posisi kedua mempersempit jarak menjadi tiga poin. Liga ini mulai terlihat bagus!"     

Kali ini, Mourinho, yang telah dikalahkan, tidak berbalik dan pergi. Sebagai gantinya, ia mengambil inisiatif untuk berjabat tangan dengan Twain sesuai dengan kebiasaan yang ada.     

"Sampai ketemu di Stamford Bridge," kata Mourinho saat mereka berjabat tangan. Twain tahu dia sudah merencanakan balas dendamnya untuk pertandingan kandang.     

"Aku menantikan itu," jawabnya.     

Mourinho tidak mempedulikan yang lain. Dia melepaskan tangannya dan berjalan pergi.     

Twain tidak keberatan. Saat ini dia tidak punya waktu untuk memperhatikan perasaan pihak yang kalah. Dia berbalik dan berjalan menuju lapangan. Pada saat itu, dia ingin merayakan kemenangan bersama para pemainnya.     

Bale menjadi fokus semua orang. Banyak pemain berkumpul untuk memberi ucapan selamat padanya atas gol liga pertamanya. Dia melihat Twain juga muncul.     

"Selamat, Gareth." Twain mengedip padanya. "Apa kau melihat perayaan yang kulakukan?"     

Bale mengangguk dengan sungguh-sungguh dan terus tertawa. "Itu benar-benar hebat, chief."     

"Penampilanmu jauh lebih baik." Twain tersenyum dan menyentuh kepala Bale. Bibit yang dibawanya secara pribadi dari Southampton untuk ditumbuhkan di Wilford akhirnya berbunga. "Apa kau sudah melatih tanda tanganmu?"     

Semua rekan setim di sekitarnya tertawa.     

Setiap pemain Forest sedang berada dalam mood yang bagus.     

"Baiklah, guys!" Twain berdiri di tengah kerumunan dan berkata dengan suara keras, "Pergi sana dan berterima kasihlah pada para fans! Gareth, jangan lupa berterima kasih pada ayahmu!"     

Para pemain berbaris sebagai sebuah tim dan melambaikan tangan untuk berterima kasih kepada kerumunan merah di tribun penonton.     

Twain berbalik dan melangkah pergi.     

Dia berjalan sangat lambat dan bahkan tampak seolah berjalan tanpa tujuan. Dia hanya mondar-mandir di lapangan.     

Dia ingin menikmati suasana di sini, suasana setelah memenangkan pertandingan ...     

Para wartawan sudah pergi ke area umum untuk mewawancarai para pemain yang telah meninggalkan lapangan. Twain tidak khawatir akan diganggu. Staf stadion sedang membersihkan sisa sampah di lapangan dan tribun penonton. Setelah kemenangan yang menyenangkan, selalu ada banyak sampah.     

Twain menyukai ketenangan setelah semua keriuhan itu berlalu. Dia berjalan bolak-balik dengan tangan terbenam di dalam sakunya. Dia tidak terburu-buru ingin pergi ke konferensi pers.     

Tiba-tiba saja seorang pria mendekatinya.     

"Kalau kau menginginkan wawancara, kau harus pergi ke area umum," kata Twain. Dia menunjuk ke arah Pierce Brosnan, yang berjalan menghampirinya dari koridor pemain.     

"Aku di sini bukan untuk wawancara." Brosnan tersenyum. "Lihat."     

Twain memandang ke dadanya, dan tampak jelas, kartu persnya tidak ada disana.     

"Apa yang kau inginkan?"     

Brosnan memandang ke arah tribun penonton yang mulai berangsur-angsur kosong dan menarik napas dalam-dalam. "Aku suka ketenangan setelah kemeriahan tadi, jadi aku datang kemari untuk berjalan-jalan. Apa yang kau lakukan di sini, Tn. Twain? Konferensi pers tidak diadakan disini."     

"Aku sama sepertimu." Twain melihat ke sekeliling tribun.     

"Itu tadi adalah permainan yang luar biasa. Semua orang dan setiap segmennya sangat bagus, termasuk perayaan jungkir balik milikmu."     

"Terima kasih atas pujianmu, Tn. Reporter. Apa kau juga akan mengatakan itu di koran?"     

"Kenapa tidak?"     

Twain tidak menjawabnya. Dia hanya melihat staf stadion yang sedang sibuk.     

"Tn. Twain, kau tahu, kadang-kadang aku teringat tentang konferensi pers yang kau berikan di gerbang rumah sakit." Brosnan tertawa.     

"Yah, kita masih pemula saat itu."     

"Aku benar-benar tidak menyangka akan datang hari ketika kita akan berdiri disini dan bercakap-cakap setelah kau mengalahkan Chelsea."     

"Mungkin suatu hari nanti, setelah kami mengalahkan Real Madrid, AC Milan, Inter Milan, Barcelona, ​​Bayern Munich ... Kita akan mengobrol seperti ini lagi."     

"Aku percaya itu."     

"Yah, aku harus pergi sekarang." Twain melambai dan berjalan menuju koridor pemain.     

Pierce Brosnan menatap sosok pria itu, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ah, rasanya tidak pas untuk menghubungkan pria yang dulu pernah mempermalukanku di konferensi pers dengan pria ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.