Mahakarya Sang Pemenang

Kehendak Langit



Kehendak Langit

0Meski mereka bertemu di bawah Menara Eiffel, keduanya tidak membayar untuk naik lift dan menikmati pemandangan Paris dengan teropong. Mereka juga tidak pergi ke tempat wisata terkenal lainnya. Setelah mereka mengambil foto Champ de Mars dan menghabiskan es krim, Twain dan Shania berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai Seine. Mereka mengobrol sambil berjalan-jalan, sambil sesekali mengambil foto. Twain sama sekali tidak tahu apa-apa tentang mode dan tidak terlalu tertarik dengan berbelanja, dan karena Shania memiliki akses ke mode dan kosmetik terbaru karena pekerjaannya, dia juga tidak perlu pergi berbelanja. Keduanya hanya berjalan-jalan tanpa tujuan.     

Twain bertanya tentang perkembangan terbaru Shania tapi tidak akan mengkritiknya atas kesalahan kecil yang dibuatnya saat bekerja atau menegurnya dengan ekspresi serius seperti orang tuanya. Shania sangat menyukai saat-saat seperti ini dan benar-benar merasa bebas dari stres.     

Twain juga menyukainya. Bersama dengan Shania membuatnya bisa melupakan sejenak tentang babak final Liga Champions. Dia tidak harus mencemaskan pengaturan taktik lawan atau strategi timnya sendiri. Dia tidak perlu cemas tentang ini atau itu, memikirkan tentang tugas para pemainnya, atau membuat pertunjukan yang menggemparkan dengan para reporter. Dia tidak perlu melakukan apa-apa. Dia merasa bebas saat berjalan-jalan di sore hari yang nyaman di Paris.     

Kalau Shania adalah tipe gadis yang suka mengunjungi toko-toko kelas-atas saat mereka berjalan-jalan dan pulang ke rumah dengan banyak tas belanja, Twain dan Shania mungkin tidak akan memiliki hubungan sebaik yang mereka miliki saat ini.     

Twain bukanlah seseorang yang tahu bagaimana harus berurusan dengan seorang wanita. Dia kadang merasa bingung dengan apa yang harus dilakukan saat menghadapi hangatnya sambutan Sophia. Dan dia akan merasa malu saat menghadapi keberanian Clarice; bahkan saat dia sendirian bersama Yang Yan, dia akan lebih pendiam. Hanya saat dia bersama dengan Shania maka dia tidak harus berpura-pura, tidak merasa canggung ataupun formal. Dia bisa merasa rileks baik fisik maupun mental.     

Dia tidak bisa membaca pikiran dan sama sekali tidak tahu apa yang ada di benak Shania saat gadis itu sedang bersamanya. Melihat senyum di wajah Shania, dia berharap kalau gadis itu juga merasakan hal yang sama sepertinya.     

Waktu seolah berlalu dengan cepat sore itu. Meski matahari masih bersinar, Twain dan Shania harus berpisah jalan. Untuk menghindari gosip di media, Twain tidak mengantarkan Shania kembali ke hotelnya. Shania juga tidak menemani Twain kembali ke hotelnya. Pasangan itu berpisah di jalanan kota Paris.     

Twain kembali ke hotel setelah menghabiskan sore hari itu dibawah matahari yang hangat dan mood yang bagus. Para pemainnya berbondong-bondong kembali ke hotel. Setelah mereka berkumpul, tim segera naik bus yang akan membawa mereka ke Stade de France sebagai persiapan untuk pertandingan final.      

※※※     

Sampai saat ini, Tang En memiliki perasaan yang tak bisa dijelaskan; Dia menonton babak final Liga Champions ini di televisi. Di bawah hujan yang mengguyur, sepuluh pemain Arsenal menantang dan unggul atas Barcelona selama kurang dari dua puluh menit sebelum akhirnya dikalahkan di menit-menit terakhir.     

Oleh karena itu, sekarang saat dia berada di sebuah peristiwa bersejarah dan menjadi salah satu tokoh utamanya, transmigrasinya kemari terasa semakin jelas dan nyata.     

Arsenal, yang seharusnya berada di babak final Liga Champions, dikalahkan oleh timnya; sebelum ini, tim Spanyol, The Yellow Submarine, Villarreal, yang seharusnya berada di Liga Champions musim ini, juga dieliminasi oleh Nottingham Forest, yang menggantikan posisi Villarreal di Liga Champions. Kalau semuanya berjalan sesuai dengan timeline yang diingat Tang En, tim Forest seharusnya dikalahkan oleh Arsenal di pertandingan semifinal.     

Semuanya berubah dan dialah yang menjadi pemicu perubahan itu, bug yang bertransmigrasi melalui ruang dan waktu.     

Karena dia adalah bug (seperti dalam virus komputer), Nottingham Forest, yang dipimpinnya juga menjadi sebuah bug. Akankah bug ini mengubah masa depan ataukah Barcelona, yang dinilai tinggi oleh UEFA, mengembalikan sejarah ke jalur yang seharusnya?     

Twain berdiri di depan jendela kamar hotelnya.     

Dia bisa mengingat hujan deras yang turun di Paris saat babak final Liga Champions.     

Dan sekarang... suara gemericik air terdengar jelas meski jendelanya tertutup rapat. Garis-garis air hujan yang keperakan seolah ditumpahkan dari langit. Kemarin Menara Eiffel masih terlihat jelas dari sini. Hari ini dia hanya bisa melihat bayangan yang buram dan gelap.      

Dia memandang dunia yang tampak kabur di luar jendela, tenggelam dalam pikirannya.     

"Tony." Suara pintu dibuka terdengar dari belakangnya, dan Kerslake melangkah masuk. "Sudah waktunya."     

※※※     

"Hujannya deras sekali..." Eastwood berdiri di pintu masuk menuju lobi hotel, melihat bus yang diparkir di luar. Tidak seperti Twain yang berada di dalam ruangan dengan jendela tertutup, suara hujan terdengar lebih keras dan jelas dari sini.     

Para pemain Forest telah berkumpul di lobi dan siap untuk pergi ke stadion. Bermain dibawah hujan bukanlah hal yang asing bagi mereka. Bagaimanapun juga, Inggris tidak pernah kekurangan hujan sepanjang tahun.     

Namun, untuk babak final Liga Champions UEFA, yang dianggap sangat penting bagi semua orang, sangatlah mengesalkan dan mengecewakan jika pertandingan ini tidak bisa dilangsungkan dibawah cuaca yang lebih bersahabat.     

"Apakah pertandingan akan ditunda karena hujan deras?" Di sampingnya, pemain muda Aaron Lennon bertanya dengan rasa ingin tahu.     

Albertini menggelengkan kepalanya. "Tidak, sistem drainase bawah tanah di Stade de France berfungsi dengan baik. Tidak akan ada banyak air di lapangan. Dan..." Dia melirik sekilas ke arah para reporter, yang terbungkus mantel hujan dan sibuk mengambil gambar di tengah hujan deras, "Babak final semacam ini disiarkan secara langsung ke seluruh dunia dan disponsori oleh banyak sekali perusahaan. Sebuah penundaan akan mempengaruhi kepentingan para penyiar TV. Mereka tidak akan setuju dengan penangguhan pertandingan."     

"Tapi bermain bola saat hujan deras sama sekali tidak enak. Sangat tidak nyaman rasanya kalau kita harus bermain dengan basah kuyup." Lennon mengerutkan kening.     

"Jangan cemas, mungkin hujan akan reda saat kita tiba di stadion."     

Lennon mengangguk sambil melihat keluar, tapi alisnya yang bertaut masih belum bisa rileks.     

George Wood hanya bisa menonton pertandingan bersama ibunya di tribun penonton. Meski dia masih bersama tim hingga saat ini, dia akan menemui ibunya di boks tribun VIP saat dia tiba di stadion. Karena itu, Albertini kembali mengenakan ban kapten. Dengan absennya Wood, dia adalah satu-satunya orang yang bisa diandalkan oleh para pemain muda. Dialah kapten tim yang sebenarnya. Hanya karena dia telah lama absen dan cedera maka orang-orang lebih mengingat Wood sebagai kapten.     

Di dalam tim Forest saat ini, hanya ada tiga pemain yang memiliki pengalaman bermain di babak final Liga Champions. Yang pertama adalah kiper tim, Edwin van der Sar, yang berpartisipasi dua kali di babak final Liga Champions saat dia bersama Ajax. Yang pertama, dia memenangkan trofi kejuaraan ini atas nama Ajax dan yang kedua kalinya, dia kalah dari Angelo Peruzzi dari Juventus saat menjaga gawang dalam adu penalti.     

Pemain kedua yang pernah bermain dalam final Liga Champions adalah Nicolas Anelka. Namun, situasinya cukup memalukan. Terdapat anggapan bahwa Anelka mungkin tidak ingin mengingat pengalamannya di final Liga Champions. Golnya di pertandingan semifinal-lah yang membantu Real Madrid mengeliminasi raksasa Bundesliga, Bayern Munich, dan lolos ke final. Itu adalah pertama kalinya dia berada di final dan membuat gol pertamanya. Tapi setelah itu, saat orang-orang mengingat musim Liga Champions kala itu, mereka hanya akan mengingat tendangan jarak jauh Raul yang hampir mencapai tujuh puluh meter jauhnya dan juga terobosan berputar Redondo yang menakjubkan dalam pertandingan melawan Manchester United. Mereka akan mengingat Morientes, Hierro dan banyak pemain lain. Tapi tidak ada yang mengingat dirinya, Anelka. Bagi para fans Real Madrid, mencetak dua gol dalam sembilan belas pertandingan selama satu musim bersama Real Madrid, Anelka dianggap sebagai pecundang dan masih seorang pecundang hingga saat ini.     

Pemain terakhir yang pernah berpartisipasi dalam final Liga Champions adalah kapten tim, Albertini. Sama seperti Edwin van der Sar, dia merasakan kejayaan memenangkan gelar Liga Champions di musim 93-94, yang merupakan sinar terakhir kejayaan dinasti AC Milan. Setelahnya, AC Milan terjatuh ke titik terendah.     

Anelka adalah orang yang pendiam. Terlalu sulit bagi para pemain muda untuk membuatnya berbagi pengalaman. Edwin van der Sar sangat membantu, tapi dengan adanya Albertini, dia masih harus merendahkan diri. Bagaimanapun, Albertini adalah kapten, sementara dia tidak punya jabatan di tim.     

Twain dan Kerslake melangkah keluar dari lift dan menuju ke tengah-tengah para pemain yang sudah berkumpul.     

"Ayo kita pergi, guys." Dia menepukkan tangannya dan para pemain bangkit berdiri.     

"Chief, hujannya benar-benar deras," salah satu pemain mengeluh pada Twain.     

Twain mengangkat bahunya. "Tidak ada gunanya mengeluh padaku. Aku bukan Tuhan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, kau seharusnya merasa senang."     

Saat mereka mendengarnya mengatakan itu, orang-orang di sekitarnya tampak sangat terkejut. Kenapa mereka harus merasa senang dengan hujan sederas ini? Apa yang bisa membuat mereka merasa senang?     

Melihat keterkejutan di wajah para pemain, Twain menyeringai. "Saat kau bermain di lapangan dan kau merasakan sesuatu yang dingin jatuh ke kepalamu, kau tahu kalau itu hanya air hujan, dan bukan sesuatu dari sekelompok burung yang sakit perut."     

Semua orang tertawa terbahak-bahak dan kesuraman yang muncul akibat cuaca buruk segera menghilang.      

"Baiklah, sebenarnya, hujan ini bagus untuk kita. Semua orang tua di Barcelona itu sudah terbiasa dengan pantai yang cerah dan indah, dan pasti sama sekali tidak menyukai cuaca ini. Jadi, ayo kita pergi!" serunya sambil memberi isyarat dan para pemain menaiki bus dengan senyum di wajah mereka.     

Tak peduli seberapapun cemasnya Twain tentang hujan deras yang juga terjadi di dalam ingatannya, dia masih bercanda di hadapan para pemainnya agar tidak ada yang bisa merasakan kegelisahan di hatinya.     

"Kemarin cuacanya cerah dan hari ini hujan deras. Cuaca berubah terlalu cepat dan terlalu mendadak, bukan?" gumam Ribery sambil berjalan melewatinya.     

"Cuaca di musim panas memang aneh," sahut Chimbonda di belakang Ribery.     

Mendengar percakapan antara kedua pria itu, Twain mendongak dan menatap langit. Ya, cuacanya memang bagus kemarin dan kemarin lusa. Dia dan Shania bahkan sempat makan es krim di Champ de Mars dibawah matahari yang bersinar terang. Dan suhu hari ini juga turun drastis.     

Mungkinkah ini kehendak langit?     

Bah! Twain meludah di dalam hati. Kalau ini memang benar-benar kehendak langit, itu omong kosong. Aku akan menentangnya hari ini! Twain masih mengutuk dan menyumpah di benaknya.      

※※※     

Hujan yang deras sama sekali tidak menyurutkan semangat fans kedua tim. Stade de France, yang bisa menampung hingga delapan puluh ribu orang, terisi penuh. Bentuk atap stadion yang mirip UFO sepenuhnya menaungi tribun sehingga para fans tidak harus duduk di tengah hujan sambil menonton pertandingan dan tampaknya merupakan salah satu alasan mengapa jumlah penonton tidak berkurang meski hujan.     

Para fans Nottingham Forest hampir semuanya ikut menonton, yang membuat kota kecil Nottingham hampir kosong. Barcelona memiliki populasi yang lebih besar daripada Nottingham dan jumlah fans Barcelona juga lebih banyak daripada fans Nottingham Forest. Di tribun penonton, warna jersey merah dan biru mereka lebih banyak daripada warna jersey merah gelap Forest dan mengisi lebih dari separuh stadion.     

Tapi saat ada hubungannya dengan bernyanyi, fans Barcelona sama sekali tidak bisa bersaing dengan fans Inggris. Dalam hal menciptakan suasana di stadion, para fans Inggris adalah ahlinya. Mereka tidak menggunakan cara-cara modern, seperti siaran stadion, melainkan menggunakan suara mereka sendiri untuk menciptakan lagu-lagu yang bisa menakuti lawan mereka. Ini adalah tradisi sepakbola Inggris dan sesuatu yang dibanggakan oleh para fans Inggris.     

Paduan suara para fans selalu menjadi suara yang paling menggetarkan di seluruh dunia. Pada saat itu, para fans Forest, yang jumlahnya lebih sedikit, menggunakan suara nyanyian mereka untuk bersaing dengan fans Barcelona di tribun penonton.     

Karena salah satu kompetitor adalah tim dari Inggris, tentu saja akan terdapat banyak fans Inggris. Oleh sebab itu, polisi Paris menyebarkan lebih banyak polisi dan seluruh kota dalam kondisi siaga. Tidak ada yang ingin melihat lagi pemandangan tragis dimana hooligan sepakbola Jerman memukuli anggota National Gendarmerie, Daniel Nivel, hingga koma selama Piala Dunia. Kabar baiknya adalah sejauh ini tidak ada laporan atau catatan bahwa fans Forest terlibat dalam perkelahian karena mabuk. Kematian Gavin Bernard membuat kerusuhan yang disebabkan oleh fans Forest tak lagi terjadi dan mereka menjadi kelompok fans Inggris dengan catatan terbersih. Namun, semua itu harus dibayar mahal.     

Saat para pemain melangkah keluar untuk melakukan pemanasan, para fans Forest menyanyikan lagu yang mereka ciptakan untuk para pemain. Semua orang itu bahkan memiliki kemampuan untuk membuat lagu secara spontan dan menggunakan nada lagu populer untuk menyanyikannya. Dibandingkan dengan ini, metode yang digunakan oleh para fans Barcelona, yang tidak berada di Camp Nou, terdengar monoton.     

George Wood tidak menjadi bagian dari para pemain yang melakukan pemanasan. Dia sudah meninggalkan tim untuk mencari ibunya di boks tribun VIP.     

Karena ini adalah babak final, kedua tim menganggap serius pertandingan ini. Bukannya tinggal di ruang ganti pemain, Twain pergi ke pinggir lapangan dengan timnya dan memberanikan diri melangkah di bawah hujan untuk menginspeksi lapangan.     

Dia berjalan dua langkah dan kemudian mengerutkan kening.     

"Sistem drainasenya memang cukup bagus, tapi lapangannya licin." Disampingnya, Kerslake memberikan kesimpulan.     

Twain mengangguk setuju.     

"Kembalilah dan persiapkan sepatu dengan paku panjang. Ini tidak akan terlalu mempengaruhi kita, tapi bagi Barcelona..." Dia menoleh dan melihat lawan yang sedang melakukan pemanasan di sisi lain stadion. Frank Rijkaard juga terlihat di pinggir lapangan dan kelihatannya sedang memeriksa jumlah air yang tergenang dan kondisi rumput di lapangan. Dia tidak bisa melihat ekspresinya dengan jelas, tapi melihat bagaimana pria Belanda itu terus menerus memandang ke bawah, dia bisa tahu bagaimana mood manajer tim lawan itu saat ini.     

Barcelona adalah perwakilan dari artistic football. Mereka terbiasa mengendalikan bola di kaki mereka. Bola akan bergulir di tanah dalam sembilan puluh persen waktu pertandingan. Ronaldinho, Messi, Eto'o, Deco, Xavi... semua pemain itu mewakili sepakbola teknis. Mereka lebih bergantung pada lokasi dan cuaca daripada tim Forest. Kontrol akurat terhadap bola, menggiring bola, dan mengoper bola membutuhkan kondisi lapangan yang tepat. Lapangan yang licin akan sangat membatasi dan mempengaruhi gaya permainan mereka.     

Oleh karena itu, cuaca buruk ini kelihatannya lebih menguntungkan bagi Twain.     

Di sebagian besar waktu, tim Nottingham Forest-ku akan memainkan sepakbola Inggris tradisional melawan kalian semua. Biarkan bola terbang bolak balik tanpa henti di udara dan kemudian kami akan mengandalkan fisik dan pelanggaran kasar untuk mengganggu ritme serangan Barcelona. Kami akan menyeretmu ke ritme yang biasa kami gunakan.     

Kalau hujan deras yang tiba-tiba ini memang anugerah dari Tuhan, aku tidak tahu untuk siapa anugerah ini ditujukan.     

Twain tidak berlama-lama di pinggir lapangan. Dia berbalik dan melangkah kembali ke ruang ganti setelah memastikan kondisi lapangan. Dia mengelap air hujan dari rambut dan wajahnya menggunakan handuk kering, menggantungkan mantelnya yang lembab di gantungan dan menunggu para pemainnya kembali kemari.     

※※※     

Pemanasan segera berakhir dan para pemain kembali ke ruang ganti. Para pelatih memberikan handuk kering kepada para pemain dan jersey kering sudah digantungkan di lemari loker tiap-tiap pemain.     

Dibandingkan dengan saat mereka berada di bus, para pemain kini tampak gugup dan lebih pendiam. Sebagian besar dari mereka memilih untuk tetap diam.     

Twain mengamati semuanya.     

"Apa kalian gugup, guys?"     

Tidak ada yang menjawab pertanyaannya, tapi semua orang berhenti sejenak dalam kegiatan mereka berganti pakaian.     

"Aku juga gugup." Saat Twain mengakui ini, semua orang yang sempat berhenti sejenak tertawa kecil dan kembali melanjutkan kesibukan mereka.     

"Kalian boleh gugup saat ini dan melupakan kata itu setelah kalian mulai bertanding." Para pemain meneruskan kesibukan mengganti pakaian dan mengeringkan rambut mereka. Twain terus berbicara pada dirinya sendiri. "Hujan ini datang tepat waktu. Para pemain Barcelona lebih gugup tentang cuaca ini daripada kita. Apa ada yang melihat wajah Rijkaard barusan?"     

Dia tertawa parau.     

Saat semua orang sudah menyelesaikan kegiatan mereka, mereka semua duduk dan menghadap ke arah bos mereka. Twain melanjutkan, "Bermainlah seperti biasanya."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.