Mahakarya Sang Pemenang

Pergi Menonton Pertandingan secara Langsung



Pergi Menonton Pertandingan secara Langsung

0Untuk dua putaran terakhir turnamen liga Nottingham Forest, Twain menggunakan strategi menurunkan lineup campuran antara pemain inti dan pemain cadangan. Di satu sisi, hal ini bisa membuat kondisi para pemain berada dalam kondisi yang tetap kompetitif; disisi lain, mereka perlu berhati-hati untuk tidak cedera selama bertanding. Selain itu, mereka juga harus memenangkan pertandingan itu.     

Dalam pertandingan melawan Middlesbrough, Twain menggunakan rotasi dan menurunkan Sun Jihai, Lennon, Commons dan pemain lainnya yang jarang dimainkan. George Wood tidak akan bermain dalam final Liga Champions jadi dia tidak membutuhkan istirahat. Pada saat yang bersamaan, karena harus tampil dalam final Liga Champions, Twain membuat Albertini hanya bermain di menit-menit terakhir pertandingan sehingga dia bisa merasakan ritme pertandingan dan membiasakan diri di lapangan.     

Twain sangat puas dengan hasil pertandingan. Timnya menang 2:1 melawan Middlesbrough.     

Meski Manchester United juga memenangkan pertandingan mereka, kedua tim masih memiliki selisih satu poin. Satu poin itu seperti parit yang mengelilingi benteng, sulit untuk dilewati.     

Di putaran terakhir turnamen liga, Nottingham Forest bepergian ke utara untuk menantang Sunderland.     

Semuanya berjalan seperti yang diharapkan Twain. Sunderland tidak bisa memberikan ancaman bagi tim Forest yang sedang bersemangat tinggi. Sunderland berhasil dikalahkan dengan skor 0:3.     

Twain memperlakukan pertandingan itu sebagai pertandingan pemanasan sebelum final Liga Champions untuk menilai kondisi para pemain dan mencoba lineup baru. George Wood tidak dimasukkan ke dalam starting lineup. Twain menurunkan kombinasi Albertini dan Arteta di lini tengah. Albertini sedikit condong untuk bertahan dan seringkali ditempatkan di lini belakang. Dia mengandalkan umpan panjang dan operan bola saat membantu serangan tim. Arteta, disisi lain, bertanggungjawab untuk pengorganisasian serangan yang lebih spesifik.     

Twain ingin melihat hasil dari pasangan lini tengah itu.     

Karena Sunderland terlalu lemah, mereka sama sekali tidak bisa memberikan ancaman terhadap kedua gelandang. Dipimpin oleh dua orang gelandang di lini tengah, serangan tim Forest bergerak maju, mengakhiri perjalanan Liga Utama Sunderland yang memalukan dengan tiga gol.     

Dalam lima belas menit terakhir pertandingan, Twain memasukkan Wood untuk menggantikan Albertini. Dia juga menggantikan Chimbonda dengan Sun Jihai dan Anelka dengan Eastwood. Itu bukanlah penyesuaian taktis, melainkan hanya cara lain untuk mempertahankan kondisi fisik lebih banyak pemain.     

Di akhir pertandingan itu, Liga Utama Inggris musim 05-06 juga resmi berakhir.     

Dan semua kejar-mengejar pun mereda.     

Chelsea berhasil mempertahankan gelar juara mereka dengan selisih poin cukup jauh. Tim Mourinho itu nyaris tak terkalahkan musim ini. Kondisi mereka sangat bagus dalam segala hal, kecuali satu penyesalan dari Liga Champions UEFA.     

Nottingham Forest terus menunjukkan penampilan yang luar biasa sejak musim lalu dan meningkatkan perolehan peringkat mereka dengan menduduki peringkat kedua di liga. Di akhir musim, saat banyak pakar meninjau kembali musim ini, mereka harus menyinggung tentang tim Forest. Beberapa tahun mendatang, saat mereka mengingat musim ini, mereka takkan bisa menghilangkan keberadaan Nottingham Forest. Kebangkitan kembali tim ini telah mengubah struktur yang ada di Liga Utama, dimana tadinya hanya memiliki empat tim teratas kini memiliki lima tim teratas. Topik yang saat ini sering dibahas adalah apakah kebangkitan Nottingham Forest yang melejit di Liga Utama ini akan segera menghilang seperti lintasan meteor di langit malam, ataukah akan terus bersinar seperti bintang dan mempengaruhi arah masa depan liga?     

Tidak ada yang mengetahui jawaban dari pertanyaan itu, bahkan Twain juga tidak.     

Jelas hanya ada sedikit pesaing yang ingin tim Forest tampil begitu bagus sepanjang waktu.     

Peringkat ketiga di liga diraih oleh Manchester United arahan Ferguson, yang kondisinya berfluktuasi dalam dua musim terakhir. Tim itu berada dalam momen penting dimana para pemain lama digantikan dengan pemain baru. Satu-satunya hadiah hiburan bagi Ferguson adalah semakin matangnya Wayne Rooney dan Cristiano Ronaldo. Terdapat anggapan bahwa selama mereka tetap tampil, Manchester United yang baru, yang diwakili oleh mereka, akan kembali ke puncak di masa-masa mendatang.     

Peringkat keempat di liga menjadi milik Arsenal, yang tidak tampil baik di paruh pertama musim dan baru bekerja keras untuk menebusnya di paruh kedua. Wenger berharap bisa melakukan terobosan di Liga Champions, tapi sayangnya, mereka kalah dari Nottingham Forest dalam adu penalti di pertandingan semifinal. Mereka berakhir tanpa gelar di Liga Utama dan Liga Champions.     

Liverpool mungkin merupakan korban terbesar dari kebangkitan Nottingham Forest. Empat tim teratas Liga Utama Inggris dulunya adalah Manchester United, Arsenal, Liverpool dan Chelsea. Keempat tim ini pada dasarnya memonopoli kualifikasi untuk berkompetisi di Liga Champions setiap musimnya. Namun, dengan kebangkitan Nottingham Forest, pemenang Liga Champions di musim sebelumnya, Liverpool, justru tersingkir dari empat tim teratas. Mereka hanya bisa berpartisipasi dalam Piala Eropa UEFA musim depan. Hidup Benitez akan sulit karenanya.     

Tanpa disengaja, seiring dengan kebangkitan tim Forest, Liverpool justru akan menderita. Di era Brian Clough, periode Nottingham Forest yang paling brilian, mereka berhasil mengalahkan Liverpool tiga kali dalam setahun. Di Liga Utama, EFL Cup dan European Champion Club's Cup, Liverpool menjadi batu pijakan tim Forest untuk mencapai sukses. Tim Forest-lah yang mengganggu mimpi the Reds untuk mendominasi liga domestik dan European Champion Clubs' Cup.     

Tapi di waktu yang bersamaan, penurunan kondisi tim Forest juga ada hubungannya dengan Liverpool. Tim Forest memecahkan monopoli Liverpool dalam turnamen, dan Liverpool menjatuhkan tim Forest dari singgasana mereka sebelum mereka bisa duduk dengan nyaman. Rekor Forest setelah empat puluh dua kali tak terkalahkan di liga berhasil dipatahkan oleh Liverpool.     

Perasaan tim Liverpool tentang Nottingham Forest berubah dari suka menjadi takut dan ngeri. Fans Liverpool awalnya menyukai tim Forest karena keduanya memakai jersey merah dan pada saat itu, gaya bermain tim Forest juga mirip dengan gaya bermain tim Liverpool. Namun, perasaan Liverpool terhadap tim Forest berubah setelah tim Forest mengalahkan Liverpool dan mencuri gelar mereka di Liga Utama dan European Champion Club's Cup.     

Seperti itulah hubungan antara kedua tim ini. Dalam berbagai peristiwa, keduanya tidak bisa dipisahkan. Bahkan Tragedi Hillsborough juga terjadi dalam pertandingan antara Liverpool melawan Nottingham Forest.     

Dengan mengesampingkan asal-usul hubungan antara tim Forest dan Liverpool, fokus kembali diarahkan pada pertandingan Liga Champions UEFA yang akan datang.      

※※※     

Segera setelah turnamen liga berakhir, tim Forest mengalihkan semua upaya mereka untuk fokus ke babak final Liga Champions. Ini adalah waktu terpenting bagi tim Forest musim ini. Tidak ada yang bisa mengalahkan final Liga Champions di benak banyak orang.     

Edward Doughty sangat sibuk belakangan ini karena ada banyak media yang ingin mewawancarainya, tapi dia masih menyempatkan diri pergi ke lapangan latihan dan mengumumkan rencana bonus yang akan diberikan. Karena tim Forest berhasil lolos hingga ke final Liga Champions, mereka telah meraup banyak keuntungan dari biaya penyiaran televisi saja. Edward memutuskan untuk membagikan sebagian keuntungan itu bagi tim.     

Selama tim bisa memenangkan Liga Champions, semua orang akan mendapatkan bonus minimal sepuluh ribu pounds. Para pemain utama akan mendapatkan tiga puluh ribu pounds. Selain itu, meski mereka tidak berhasil mendapatkan gelar juara Liga Champions, semua orang akan menerima reward antara lima-hingga-sepuluh ribu pound.     

Bagi tim Forest, yang tidak didukung oleh oligarki Rusia, pemberian hadiah bonus ini dianggap cukup murah hati. Bagaimanapun juga, tim mereka bukanlah tim yang kaya.     

Setelah rencana itu diumumkan, hal itu memberikan suntikan semangat bagi tim. Siapa yang tidak ingin menghasilkan lebih banyak uang?     

Pemberian bonus ini jelas masih tidak bisa dibandingkan dengan klub sepakbola lain seperti misalnya Chelsea dan Real Madrid. Tapi ini juga merupakan tanda adanya niat baik dari klub untuk menunjukkan apresiasi atas tim.     

Di dalam pekerjaannya, Twain mencurahkan semua energinya melatih taktik baru. Karena tidak adanya George Wood, tim harus menyesuaikan taktik yang telah mereka mainkan selama lebih dari setahun terhadap kerjasama antara Albertini dan Arteta. Selain itu, taktik ini juga mendukung gaya permainan yang lebih agresif. Twain sudah bereksperimen selama putaran terakhir turnamen liga tapi Sunderland terlalu lemah dan sama sekali tidak bisa mengancam lini pertahanan tim Forest. Oleh karenanya, Twain sama sekali tidak tahu apakah set taktik barunya ini akan bisa bertahan saat menghadapi serangan Barcelona.     

George Wood tidak harus bermain di babak final, tapi dia masih berlatih bersama tim, bekerja keras dengan tekun seperti biasanya. Bahkan, bisa dikatakan kalau dia bekerja lebih keras dan lebih serius daripada sebelumnya.     

Media menganggap bahwa ini adalah cara Wood melampiaskan rasa frustasinya karena dia tidak bisa bermain di babak final. Hanya Twain yang tahu bahwa itu adalah efek dari apa yang dikatakannya pada Wood malam itu di pub.     

Kau hanya punya waktu satu tahun, George.     

Tapi bagi Tony Twain saat ini, dia hanya punya waktu sepuluh hari.     

※※※     

Jelasnya, saat ini Twain tidak bisa mencurahkan semua energinya untuk mempersiapkan timnya dalam menghadapi pertempuran mendatang. Dia masih harus menyibukkan dirinya dengan hal-hal lain. Misalnya, dia harus mengirim tiket ke beberapa teman lama. Des Walker adalah orang penting pertama dalam karirnya sebagai pelatih profesional yang benar-benar membawanya ke lingkaran ini dan telah banyak membantunya. Selain itu, pernah salah paham terhadapnya, Ian Bowyer kini adalah pria yang juga setia mendukungnya.     

Dia juga tidak bisa melupakan Michael Bernard, yang sudah pergi ke Amerika. Dia adalah teman pertama dan teman terdekatnya disini. Twain tidak tahu bagaimana kehidupan Michael di Amerika, apakah dia sudah bisa membebaskan diri dari duka dan kepedihan akibat kehilangan putranya di usia paruh baya, atau apakah dia sudah mengubah sumpahnya untuk "tidak pernah menonton atau mendekati sepakbola lagi". Tapi dia masih mengiriminya tiket. Ini adalah janjinya kepada Michael terlepas dari apakah Michael akan datang untuk menonton atau tidak. Dia ingin Michael tahu bahwa dia tidak melupakan janjinya dan dia telah berhasil mewujudkannya.     

Selain itu, dia juga pergi ke makam Gavin dan membakar tiket untuknya. Dia membakar dua tiket, satu untuk digunakannya menonton dan yang satu lagi untuk kenang-kenangan.     

Ada lagi satu orang yang penting: Shania.     

"Shania, kau ada dimana tanggal 17 Mei?" tanya Twain pada gadis muda itu saat dia menghubunginya sebagai rutinitas mingguan mereka.     

Shania memutar matanya dan tidak langsung menjawab pertanyaannya itu. Melainkan, dia balas bertanya, "Memangnya kenapa, Paman Tony?"     

"Yah, aku ingin kau datang menonton pertandingan timku."     

"Aku akan ada di Paris," kata Shania sambil tersenyum.     

Jawabannya itu mengejutkan Twain. "Apa itu benar? Itu fantastis! Pertandingan finalnya akan diadakan di Paris. Ini hebat! Kau akan datang, kan Shania?"     

Shania sengaja mengulur-ulur jawabannya, "Yah, itu tergantung jadwalku."     

Twain sedikit kecewa mendengar ucapan Shania.     

"Aku bohong! Tentu saja aku akan ada disana. Aku bisa memundurkan jadwalku. Paman Tony, final Liga Champions-mu kan cuma satu kali!"     

Twain berdehem, "Hey, final seperti ini pasti akan ada lagi di masa depan!"     

Tawa geli Shania terdengar dari ujung telepon yang lain.     

"Yah, kau sudah janji kalau begitu. Sampai ketemu di Paris, Shania."     

"Sampai jumpa, Paman Tony!"     

※※※     

Semua sudah berjalan seperti seharusnya. Dalam beberapa hari terakhir, Twain meminta agar Wilford ditutup total dan tidak menerima kehadiran media. Tim akan membutuhkan lingkungan yang tenang dalam latihan terakhir mereka. Keputusan ini jelas membuat media merasa tidak puas, yang tidak dipedulikan oleh Twain. Media bukanlah atasannya, dan dia tidak berkewajiban memenuhi semua permintaan mereka.     

Hari sebelum tim pergi ke Paris, latihan masih berjalan seperti biasa. Twain menerima sebuah panggilan telepon dari penjaga gerbang, Ian MacDonald, di pinggir lapangan latihan. "Tony, ada seseorang disini yang ingin menemuimu."     

"Ian, aku sudah bilang, kan? Wilford ditutup untuk latihan tim. Tidak ada orang luar yang bisa masuk. Dan aku tidak menerima tamu!" Twain sedikit gugup saat dia semakin mendekati hari pertandingan, dan nada suaranya sedikit lebih tinggi daripada biasanya.     

"Tapi..." si penjaga gerbang tua itu sedikit ragu.     

"Ada apa?" Setelah itu, Twain mendengar suara gemerisik tidak jelas di ujung telepon dan tidak lama kemudian suara seorang wanita yang khas bisa didengarnya, "Tn. Twain, apa kau tidak mau datang menemui seorang teman?"     

Suara itu terdengar sangat familiar, dan Twain tertegun sesaat. "Kau?"     

Dia tahu siapa pengunjung yang ingin menemuinya.     

Lima menit kemudian, Twain bergegas ke pintu gerbang dari lapangan latihan dan bertemu dengan temannya, Clarice Gloria.     

Wanita modern yang berpakaian penuh gaya itu terlihat berbeda dari imej profesional yang ditunjukkannya saat Twain bertemu dengannya untuk pertama kalinya. Saat ini dia memakai atasan bertali dengan kerah berleher rendah dan rok mini serta memakai sepasang kacamata hitam yang besar. Dia bersandar ke sebuah mobil BMW sport berwarna merah. Berdiri di dekat pintu gerbang, penjaga gerbang tua Ian MacDonald terlihat sedikit canggung.     

"Halo, Tn. Twain." Gloria melambaikan tangannya untuk menyapa lebih dulu.     

"Bagaimana kabarmu? Nn. Gloria, aku sama sekali tidak menduga akan bertemu denganmu untuk yang ketiga kalinya dalam waktu sesingkat ini." Twain menghampirinya. "Apa kau disini untuk syuting film atau hal yang lain?" Dia menatap Gloria, yang hampir tak bisa dikenalinya, dan tampak sedikit takjub.     

"Tidak, aku datang sendirian." Gloria melepaskan kacamata hitamnya dan merentangkan lengannya lebar-lebar. "Dan sekarang aku adalah produser independen. Aku tidak bekerja untuk UEFA."     

"Ayo kita masuk dan mengobrol." Dia memberi isyarat kepada MacDonald untuk membuka gerbangnya.     

Dia sama sekali tidak menyangka kalau Gloria akan menggelengkan kepalanya dan menolak undangannya. "Tidak, aku hanya datang kemari untuk memberimu sesuatu. Aku harus pergi setelahnya."     

Twain tampak terkejut.     

"Bukankah seharusnya kau sedang sibuk saat ini? Bagaimana mungkin kau bisa bebas menemaniku untuk minum teh dan mengobrol?" kata Gloria sambil tersenyum dan mengambil CD dari tas tangannya. "Pembuatan film dari wawancara itu... Ini tidak sama seperti yang kaulihat di TV. Ini versi lain yang tidak ditayangkan. Aku memberikannya padamu untuk kenang-kenangan. Kuharap kau menyukainya."     

Twain mengambil CD itu dan berkata dengan sopan, "Terima kasih atas hadiah ini, tapi kau tidak perlu terburu-buru. Selalu ada waktu untuk obrolan singkat."     

"Tidak mau membiarkanku pergi?" Gloria tersenyum lebar dan mengedipkan mata pada Twain.     

Twain tidak tahu bagaimana harus merespon wanita yang berani dan berpikiran terbuka seperti ini. Dia berkata dengan canggung, "Mau bagaimana lagi?"     

Gloria tertawa senang. "Oh, omong-omong, masalah yang kau hadapi terakhir kali kita bertemu... Apa sudah selesai? Apa kau berhasil menemuinya?"     

Gloria merujuk malam itu di Italia.     

"Ya, masalahnya sudah selesai. Dia akhirnya pergi ke stadion untuk menonton pertandingan tim Forest melawan Inter Milan."     

"Apa kau keberatan kalau aku bertanya siapa dia?"     

Twain sedikit ragu tapi kemudian mengangguk. "Aku tidak tahu apa kau mengenalnya. Dia seorang model. Judy Shania Jordana."     

Saat Twain menyebutkan namanya, Gloria tampak terkejut. "Dia!"     

"Kau mengenalnya?"     

"Bukankah sebagian besar media mengenalnya? Dia salah satu model yang paling populer tahun ini. Semua orang mengantisipasi masa depannya di catwalk." Setelah perkenalan singkat itu, Gloria menatap Twain dengan penuh minat, "Dan ternyata kau punya hubungan baik dengannya... Aku sama sekali tidak bisa menebakmu, Tn. Twain."     

"Yah, ceritanya panjang." Twain tidak merasa cukup nyaman untuk menceritakan tentang kisah itu padanya.     

Gloria mengangguk dan tersenyum untuk menunjukkan kalau dia paham. Dia melihat arlojinya dan berkata, "Sudah saatnya, aku harus pergi. Maaf karena aku tidak bisa pergi menonton pertandinganmu, tapi aku doakan semoga sukses."     

"Terima kasih. Memangnya kau mau pergi kemana? Kelihatannya kau sedang terburu-buru..."     

"Amerika Serikat."     

Jawabannya itu benar-benar mengejutkan Twain.     

Saat dia melihat Twain tampak bingung, Gloria menjelaskan singkat. "Los Angeles, Hollywood. Aku kesana untuk membahas sebuah kolaborasi film."     

"Bukankah kau seorang pembawa acara televisi?"     

"Sebenarnya aku adalah seorang produser independen. Memandu acara televisi hanyalah hobi," kata Gloria tersenyum bangga sambil memakai kacamata hitamnya.     

"Sampai jumpa, Tn. Twain. Semoga saja lain kali kita bertemu, kau sudah menjadi seorang juara Eropa." Dia membuka pintu mobil, melangkah masuk, dan kemudian mencondongkan tubuhnya untuk melambai ke arah Twain.     

"Terima kasih dan sampai jumpa, Nn. Gloria." Twain berdiri di gerbang dan memandang mobil sport merah itu melaju pergi.     

Saat dia membalikkan badan dan melihat ekspresi lucu di wajah MacDonald, Twain baru sadar kalau ada orang ketiga disana.     

"Ian, dia dan aku bukan seperti yang kau pikirkan."     

Pria tua itu tertawa. "Aku tahu, Tony. Dia hanya teman."     

Twain tahu kalau pria itu mungkin tidak mempercayainya, tapi dia tidak ingin menjelaskan lebih jauh lagi. Itu hanya akan memperburuk masalah.     

Twain meraba saku jasnya.     

"Awalnya, aku ingin memberimu kejutan saat latihan sudah usai. Tapi kurasa sekarang juga boleh. Ian, kau akan pensiun setelah final Liga Champions, kan?"     

Tidak tahu apa yang akan dikatakan oleh Twain, MacDonald hanya mengangguk. "Ya."     

"Aku tidak punya hadiah apa-apa untukmu. Kecuali ini." Dia mengeluarkan sebuah amplop dari dalam saku jasnya dan menyerahkannya pada MacDonald. "Baik Ketua Doughty dan aku ingin berterima kasih atas pengabdianmu kepada klub selama empat belas tahun terakhir."     

MacDonald mengambil amplop itu dan membukanya untuk menemukan tiga tiket pulang pergi dari London ke Paris pada tanggal 17 Mei, serta tiga tiket ke final Liga Champions UEFA.     

"Saat kita tiba di Paris, akomodasi dan makanan semuanya ditanggung oleh klub."     

Tangan yang memegang amplop sedikit gemetar, dan MacDonald berkata dengan suara bergetar, "Kau tidak perlu melakukan ini. Aku sudah cukup senang melihat tim ini bisa bermain di final lagi."     

Twain tersenyum. "Sejak kau bergabung dengan klub ini, itu adalah hari-hari yang kelam bagi tim.. sebuah lingkaran tak terputus dari degradasi ke promosi dan dari promosi ke degradasi. Kuharap kau bisa melihat apa yang selalu ingin kaulihat sebelum kau pensiun. Terima kasih, Ian. Terima kasih atas semua yang telah kaulakukan untuk tim dan klub selama empat belas tahun."     

MacDonald menunduk dan menatap tiket dengan logo UEFA itu lalu berkata, "Akulah yang seharusnya berterima kasih padamu, Tony. Aku hanyalah seorang penjaga gerbang."     

Twain menepuk bahunya untuk menunjukkan bahwa dia tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. "Kau sudah lama sekali tidak pernah menonton pertandingan secara langsung di stadion, kan? Bawalah keluargamu dan anak-anakmu dan pergilah menonton pertandingan secara langsung."     

Ian tua mengangguk mantap.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.