Mahakarya Sang Pemenang

Ayo Minum Denganku



Ayo Minum Denganku

0"Selamat untuk Nottingham Forest, mereka telah berhasil lolos ke babak final Liga Champions UEFA musim 05-06! Ini adalah prestasi yang luar biasa dan sebuah hasil yang benar-benar menginspirasi bagi sebuah tim yang masih berada di liga EFL Championship satu setengah tahun yang lalu. Selamat untuk mereka!"     

Sebuah pertunjukan kembang api dimulai di langit malam, dan bahkan para pemain yang tengah merayakan di lapangan tidak bisa menahan diri untuk melihat ke atas dan mengagumi pertunjukan kembang api yang indah itu.     

Pertandingan sudah berakhir, tapi para fans masih belum meninggalkan stadion. Mereka masih berada di tribun, merayakan kemenangan tim kesayangan mereka.     

Di sisi lain, para pemain Arsenal tampak muram. Mereka menatap kosong ke arah para pemain Forest yang tampak sangat gembira.     

Mereka telah berjuang keras di pertandingan ini dan berhasil menyamakan skor agregat dalam situasi yang kurang menguntungkan. Mereka juga telah berhasil mengancam gawang Forest beberapa kali sebelum akhirnya memasuki tahap adu penalti. Mereka sudah menggunakan semua cara dan metode yang mereka bisa. Sayang, keberuntungan tidak memihak mereka saat ini.     

Wenger berjalan ke lapangan untuk menghibur para pemainnya satu per satu. Tidak jauh darinya terdapat Tony Twain, yang merayakan kemenangan dengan kedua lengan terangkat tinggi.     

Pria itu, yang dulu basah kuyup saat menyapanya dibawah guyuran hujan dan tampak menyedihkan seperti tikus yang jatuh ke selokan, kini menjadi pemenang usai bertarung melawannya.     

Twain sedang menikmati sukacita kemenangan. Dia dikelilingi oleh banyak wajah yang tersenyum dan tampak gembira. Eastwood, Anelka, Ribery, Ashley Young dan lainnya. Semua orang tertawa dan berteriak gembira. Twain ikut tertawa bersama mereka, sampai dia melihat wajah George Wood dan senyum di wajahnya membeku.     

Timnya berhasil menang dan mendapatkan tiket menuju final. Tapi ada seorang pria yang seolah terasingkan dari semua hiruk pikuk itu, dan pria itu adalah orang yang bekerja paling keras dan memberikan kontribusi paling besar terhadap kemenangan mereka.     

Gareth Bale, yang tendangan penaltinya meleset, masih tampak berkaca-kaca. Tapi pada akhirnya dia tertawa; dia tidak menjadi orang yang berdosa karena timnya telah berhasil masuk ke final.     

Di hadapannya, senyum George Wood tampak dipaksakan. Terlihat jelas kalau Wood berusaha keras untuk tersenyum.     

Twain menurunkan lengannya. Tiba-tiba saja, dia tidak ingin merayakan lagi.     

Saat dia baru saja akan menghampirinya dan menghibur Wood, Albertini mendekati Wood dari arah samping. Twain melihat Albertini melingkarkan lengannya ke bahu Wood dan kemudian mengacak rambutnya.     

Rekan setimnya yang lain masih merayakan, bernyanyi dan melompat gembira di lapangan.     

Hanya sudut lapangan itu saja yang seolah merasakan kekalahan.     

Twain berbalik dan keluar dari lapangan. Saat dia melihat Wenger, dia mengambil inisiatif untuk menghampirinya dan berjabat tangan dengannya.     

Tapi, dia tidak tahu harus mengatakan apa.     

"Ini... pertandingan yang hebat, kan?"     

Wenger tersenyum dengan enggan. "Ya."     

Twain bermaksud menghibur hati pria itu. "Kau pasti menang kalau saja Wood tidak melakukan pelanggaran."     

"Dia tidak bisa ikut main di final, kan?"     

Twain menggelengkan kepalanya.     

"Sayang sekali. Lawanmu pasti merasa senang saat mendengar kabar itu. Yah, aku mendoakan yang terbaik untukmu. Kalian semua benar-benar akan membutuhkannya."     

"Terima kasih." Twain tersenyum.     

"Aku harus menghibur para pemainku." Wenger menunjuk ke arah para pemain Arsenal yang tampak kecewa.     

"Kalau begitu, sampai jumpa." Twain melambaikan tangannya, lalu berbalik untuk berjalan menuju terowongan pemain.      

※※※     

Selama konferensi pers paska-pertandingan, seorang reporter menyinggung tentang kartu kuning ketiga George Wood dan ketidakhadirannya di babak final nanti. Dia bertanya apakah absennya Wood memberikan sebuah pukulan berat bagi tim Forest.     

Twain mengakui bahwa absennya Wood jelas akan mempengaruhi tim, tapi dia tidak mau mengakui bahwa itu adalah sebuah pukulan berat bagi tim. Dia menyatakan bahwa tak peduli siapapun lawan Forest, dia tidak akan menyerah hanya karena Wood absen dalam pertandingan. Tanpa Wood, mereka masih punya Albertini dan sepuluh rekan setim lainnya yang juga tampil dengan baik. Tim Forest adalah satu kesatuan, bukan individu yang berdiri sendiri-sendiri.     

Terlepas dari kenyataan bahwa apa yang dikatakan Twain memang masuk akal dan imej Nottingham Forest di dunia luar adalah sebuah tim yang padu, melihat ekspresi di wajahnya saat itu, para wartawan yang duduk di hadapannya merasa bahwa Twain enggan mengakuinya.     

Baik itu Barcelona ataupun AC Milan, lawannya memiliki jenis serangan yang kuat. Kalau tidak ada George Wood yang berlari, mencegat bola, mentekel lawan dan melakukan pelanggaran di lini tengah tanpa kenal lelah, akan sangat sulit bagi tim Forest untuk bisa menghentikan serangan lawan.     

Itu bukanlah pukulan berat, melainkan serangan mematikan.     

Tim Forest berhasil lolos ke babak final tapi mereka harus membayarnya dengan sangat mahal. Orang yang menjadi kapten tim di lapangan, inti dari pertahanan dan juga sumber kekuatan mereka tidak akan bisa diturunkan. Bukan hanya Twain yang tidak akan terbiasa dengan ini, tapi para pemainnya juga akan merasa sulit untuk menang.     

Saat orang-orang yang sedang bersuka cita di luar mulai tenang, terdapat anggapan bahwa banyak orang akan mulai merinding saat membayangkan Wood tidak bisa bermain di final.     

Wood menjadi titik fokus dalam konferensi pers itu. Meski dia tidak ada disana, hampir semua pertanyaan yang dilontarkan kepada Twain adalah tentang Wood, dan hanya sedikit sekali yang membahas tentang lolosnya tim Forest ke final.     

Twain memang menyayangkan situasi Wood. Tapi, kalau semua orang hanya bertanya tentang Wood dan tidak peduli tentang hasil tim atau pemain lain di dalam tim, termasuk dirinya, maka dia akan sangat marah.     

"Kalau kalian ingin tahu tentang Wood, kalian bisa bertanya langsung pada dirinya, atau aku bisa menyelenggarakan konferensi pers khusus yang akan dihadiri oleh Wood agar kalian bisa mengajukan pertanyaan kalian. Tapi, aku tidak bisa menjamin bahwa dia akan bersedia menjawab semua pertanyaan itu. Saat ini, ini adalah tentang tim Forest yang berhasil lolos ke final. Aku memang mengakui bahwa George Wood memberikan kontribusi dan membuat pengorbanan yang sangat besar bagi tim. Tapi tolong jangan katakan padaku bahwa lolosnya kami ke babak final tidak ada kaitannya dengan sepuluh pemain lainnya. George Wood memilih untuk menerima kartu itu dan mengirim tim ke final, tapi semua yang kalian pedulikan adalah dampak dari ketidakhadirannya di final nanti. Apa kalian akan mengkritik George Wood di artikel kalian? Bahwa dia bertemperamen panas dan hanya peduli dengan dirinya sendiri serta tidak mempedulikan timnya?" Twain balik bertanya kepada para wartawan dengan ekspresi suram, "Apa kalian disini untuk ambil bagian dalam konferensi pers, atau kalian ada disini untuk menciptakan masalah? Aku ulangi sekali lagi, aku akan menolak menjawab pertanyaan lain tentang absennya George Wood di babak final!"     

Twain, sekali lagi, memainkan peranan sebagai orang yang arogan. Dia sangat jago memainkannya. Dia tidak takut menyinggung media karena dia tahu bahwa dia bukanlah pihak yang memohon media untuk mewawancarainya, melainkan justru sebaliknya. Dia adalah tokoh yang paling mengesankan saat ini, jadi dia tidak takut menyinggung perasaan siapapun.     

Suasana di konferensi pers itu menjadi canggung selama sesaat. Pierce Brosnan akhirnya menyelamatkan suasana. Dia bangkit berdiri dan mengajukan beberapa pertanyaan tentang evaluasi pertandingan ini dan Twain akhirnya mau bicara lagi.     

※※※     

Saat Twain kehilangan kesabarannya karena pertanyaan yang bertubi-tubi tentang Wood di konferensi pers, para pemain Nottingham telah kembali ke ruang ganti pemain.     

Dan kali ini, setelah semua orang kembali tenang, mereka menyadari adanya masalah.     

"George, kartu kuning yang kau terima saat babak tambahan adalah kartu ketigamu, kan?" setelah Ribery menanyakan itu, ruang ganti pemain yang tadinya ramai tiba-tiba saja menjadi tenang. Semua orang memalingkan kepala mereka untuk menatap Wood.     

"Ya." Wood mengangguk.     

"Lalu... babak final..."     

Pertanyaan itu tidak membutuhkan jawaban. Semua orang tahu apa artinya mendapatkan tiga kartu kuning di Liga Champions.     

Keheningan tiba-tiba saja menyelimuti ruang ganti pemain.     

Albertini menepukkan tangannya untuk memecahkan keheningan itu. "Kenapa kalian semua kelihatan muram? Bukankah kita berhasil lolos ke final? George membayarkan harganya untuk kita. Apa menurutmu dia melakukan itu hanya agar dia bisa melihat kalian semua tampak muram seperti ini? Apa yang biasanya kita lakukan setelah kita menang?"     

Sebelum ini, setiap kali tim Forest memenangkan pertandingan, ruang ganti akan sangat gaduh, seolah-olah ada pesta kecil sedang berlangsung ditemani musik yang diputar tanpa henti. Semua orang akan telanjang dan bercanda dari area shower ke ruang ganti. Mereka semua hanya akan berhenti setelah merasa lelah atau saat Manajer Twain menegur mereka dengan suara keras.     

"Hari ini, kita tidak hanya memenangkan sebuah pertandingan biasa. Kita memenangkan semifinal Liga Champions! Apa kalian tahu betapa pentingnya itu? Betapa menakjubkannya itu? Kita akan bermain di babak final Liga Champions. Banyak sekali pemain yang ingin bermain disana tapi tidak bisa! Dan lihatlah kalian semua. Kalian semua terlihat seolah kalian tidak ingin bermain disana. Jangan sia-siakan usaha keras George. Jangan biarkan kartu kuning ketiga yang diperoleh George jadi tak ada artinya!     

Ribery berdiri dengan lengan terangkat tinggi. Dialah yang memulai topik ini, jadi dialah yang merasa harus menyelesaikannya. "OK, sayang sekali George tidak bisa ikut bermain, tapi kurasa itu bukan berarti kita tidak punya peluang di final. Aku tidak peduli siapa lawan kita nanti, Barcelona atau AC Milan. Aku hanya ingin menunjukkan kepada mereka apa yang aku bisa! Aku ingin mengejutkan mereka sampai mereka tidak tahu apa yang menghantam –"     

Ashley Young bersiul, "Berhati-hatilah dan jangan biarkan mereka mengejutkanmu sampai kau tidak tahu apa yang menghantammu."     

Ribery menatap tajam ke arahnya. "Bagaimana mungkin? Aku kan pemain tim nasional Prancis –"     

Tanpa menunggunya menyelesaikan kalimatnya, Eastwood menirukan suara Twain dari pinggir ruangan dan menyela, "Pemain cadangan."     

Saat mendengar suara Twain, Ribery tampak terkejut. "Chief! Kau sudah kembali?" Dengan punggung menghadap pintu ruang ganti, dia tidak bisa melihat siapa yang datang. Dia tidak mendengar jawaban Twain, tapi suara tawa keras terdengar di ruang ganti.     

"Freddy!" Ribery tampak marah karena dipermalukan dan berusaha memukul Eastwood. "Aku tahu itu kau. Dasar bajingan!"     

Sekali lagi suasana di ruang ganti menjadi ramai karena kedua pria itu.     

Albertini menoleh ke arah Wood. Anak itu tampak biasa saja, dengan wajah masih tanpa ekspresi.     

Saat kedua pria itu berkejaran di ruang ganti, pintu ruang ganti terbuka dan Twain muncul di ambang pintu dengan ekspresi muram.     

"Ribery, apa yang kaulakukan?" tanya Twain saat dia melihat pria Prancis itu mengejar Eastwood, melompat naik turun bangku di ruang ganti.     

"Jangan coba-coba membodohiku, Romani!" Ribery sama sekali tidak menoleh. Terdengar suara tawa lagi di ruang ganti, dan Gareth Bale sampai harus membungkuk karena terlalu banyak tertawa.     

"Apa yang kau teriakkan?" Twain mengerutkan kening.     

Pada saat ini, berdiri menghadap ke arah Ribery, Eastwood mengangkat bahu ke arahnya dan membuat isyarat menutup mulutnya. Baru pada saat itulah dia sadar bahwa bukan Eastwood yang berbicara padanya, melainkan Tony Twain yang asli.     

"Chief..." Dia berhenti dan menoleh dengan ekspresi canggung ke arah Twain yang sedang berdiri di ambang pintu.     

"Kupikir pertandingan selama seratus dua puluh menit sudah cukup untuk menghabiskan staminamu. Aku sama sekali tidak mengira kalau kau masih punya cadangan energi. Apa kau ingin berlari dari sini ke hotel?" cibir Twain.     

"Eh, tidak. Tidak perlu." Ribery dengan malu-malu kembali ke kursinya. Ribery hanya menghormati sang manajer, yang secara pribadi membawanya dari liga tingkat rendah di Prancis dan membentuknya menjadi salah satu pemain tim nasional Prancis.     

"Guys, kita berhasil masuk ke final, yang memang luar biasa, dan aku ingin mengucapkan selamat kepada kalian semua atas penampilan kalian. Bersenang-senanglah malam ini, tapi jangan pulang terlalu larut. Kita akan kembali berlatih besok sore. Musim ini masih belum berakhir. Sekarang bukanlah saat yang tepat untuk merayakan. Ingat, kita masih punya dua pertandingan liga dan satu pertandingan final Liga Champions! Ini bukan waktunya untuk bersantai!"     

Meski apa yang dikatakan Twain memang sangat masuk akal, di mata para pemain di ruang ganti, mereka merasakan ada yang salah dengan bos mereka.     

Apa yang salah? Mungkin karena kartu kuning itu?     

"Baiklah, ayo kita pergi. Aku berani bertaruh kalau kalian pasti tidak ingin menghabiskan malam ini di ruang ganti, kan?"     

Para pemain meninggalkan ruang ganti dan berjalan menuju bus tim yang diparkir diluar stadion. Mereka masih bisa mendengar suara nyanyian para fans di dekat sana. Bagi para pemain dan fans Forest, malam yang menyenangkan baru saja dimulai.     

Twain menghentikan Wood saat pemuda itu berjalan melewatinya.     

"Ayo minum denganku."     

Wood tampak terkejut sesaat. Dia sama sekali tidak menduga Twain akan mengatakan itu. "Pemain profesional tidak boleh minum alkohol..."     

"Kau bisa minum jus, dan aku akan minum alkohol. Kalau begitu beres. Setelah kita kembali ke hotel, kau akan pergi denganku."     

Wood sama sekali tidak keberatan.     

Di dalam bus, dalam perjalanan kembali ke hotel, Twain mengumumkan berita gembira kepada para pemainnya. "Kalian punya waktu bebas malam ini untuk melakukan apapun yang kalian inginkan. Kalau kalian ingin kembali ke hotel, itu terserah kalian. Tapi aku ingin melihat kalian semua di Wilford besok sore untuk latihan. Jangan terlambat!"     

※※※     

Saat kembali ke hotel, para pemain memasukkan semua barang-barang mereka ke kamar masing-masing dan kemudian memisahkan diri dalam kelompok tiga atau empat orang. Ribery ingin mengajak Wood untuk rileks bersamanya tapi Wood menolak ajakannya.     

Lalu, saat Ribery melihat Wood dan Twain berjalan keluar hotel bersama-sama, dia bersiul.     

"Kukira kau akan kencan dengan seorang gadis cantik dan aku baru akan mengikutimu. Aku sama sekali tidak menduga kalau kau akan kencan dengan bos. Itu sama sekali tidak menyenangkan."     

Wood mengira kalau mereka hanya akan minum alkohol di bar hotel di lantai bawah. Karenanya dia sama sekali tidak menduga saat Twain menariknya untuk masuk ke dalam taksi.     

"Kemana, Tony?" Landy James, pria yang duduk dibalik kemudi, bertanya tanpa menoleh.     

"Bar yang biasa."     

"Oke."     

"Apa kita tidak bisa minum di mana saja?" Wood merasa ini aneh.     

"Aku tidak biasa minum di tempat asing." Twain meliriknya sekilas.     

※※※     

Forest Bar milik Kenny Burns menyala terang di bagian dalam dan luarnya. Logo tim Forest di bagian luar bar tampak sangat mencolok malam itu dan bisa langsung dilihat dari kejauhan. Pertandingan sudah lama berakhir, tapi semakin banyak orang yang datang ke bar. Pintu bar membuka dan menutup berulang kali, dan orang-orang melangkah masuk dari luar.     

Semua orang itu datang ke pub untuk minum dan mengobrol dengan teman mereka setelah menonton pertandingan di rumah. Pertandingan yang baru saja berakhir sangatlah menarik sehingga kalau mereka tidak ke pub untuk minum dan mengobrol, mereka mungkin tidak akan bisa tidur malam itu.     

Burns tampak sibuk di balik meja bar dan harus membantu bartendernya karena pegawainya itu sudah kerepotan melayani para pelanggan. Tapi dia senang meski sibuk. Barusan saat dia menonton tim Forest mengeliminasi Arsenal dalam adu penalti di televisi, dia merasa sangat gembira hingga dia berseru dan bersulang bersama banyak orang lain.     

Untungnya, dia tidak mengatakan, "Semua minuman aku yang bayar!" kalau tidak, dia pasti akan kehilangan banyak uang.     

"Ramai sekali!" Big John berusaha menyelipkan tubuhnya agar bisa duduk di depan meja bar dan meminta bir ke Burns. "Sama sekali tidak bisa dipercaya!"     

"Kau baru kembali dari stadion?" tanya Burns sambil menuangkan bir untuknya.     

"Mmhm. Aku buru-buru kembali bersama Bill segera setelah pertandingan usai. Aku sama sekali tidak mengira kalau disini masih ramai. Hey, Kenny, apa kau memecahkan rekor untuk jumlah pengunjung di barmu malam ini?"     

"Siapa yang punya waktu untuk menghitungnya?" Burns menuangkan bir dan menyerahkannya ke John. "Tapi... ini sangat ramai. Berkat Tony, bisnisku bagus hari ini."     

"Kalau begitu, kau bisa memberiku minuman gratis!" suara keras Twain bisa didengar tidak jauh dari sana.     

Burns dan John sama-sama terkejut.     

Twain berdiri di tengah kerumunan, dan George Wood berdiri di belakangnya. Di dekat mereka, para fans menepuk bahu Twain untuk memberinya ucapan selamat atau berterima kasih padanya. Twain sudah terbiasa dengan keramahan mereka. Dia tersenyum dan menyapa orang-orang di sekitarnya.     

"Tony!" John tampak terkejut. "Kau sudah lama tidak kemari!"     

"Aku terlalu sibuk untuk bisa kemari, tapi akhirnya semua itu terbayar." Twain menarik Wood dan berjalan mendekati meja bar. Dia tidak perlu menyelipkan tubuhnya seperti yang dilakukan John. Kerumunan itu segera memberi jalan untuknya kemanapun dia melangkah.     

"Lihat, itu George Wood!"     

"Hei, George, senang bertemu denganmu! Apa yang kaulakukan malam ini sungguh luar biasa!"     

"Selamat datang, Kapten!"     

Wood tampak kurang nyaman saat mendengar suara para fans di sekitarnya, wajah mereka bersemu merah dan nafas mereka berbau alkohol. Dia terlihat seperti bersembunyi dari semua orang itu saat dia mengikuti tepat di belakang punggung Twain.     

Burns melihat pemuda yang tampak malu-malu di belakang Twain dan tertawa keras, "Guys, kenapa kalian melakukan itu? Jangan menakuti pahlawan kita!" Lalu dia tersenyum ke arah Wood, "Santai sedikit, George. Apa kau mau minum?"      

Wood menggelengkan kepalanya. "Pemain sepakbola tidak boleh minum alkohol."     

Twain menyela ucapannya. "Beri dia jus. Dan berikan aku segelas whiski dengan es batu."     

Melihat John duduk disampingnya, Twain memukul perutnya. "Apa kau menonton pertandingan di stadion?"     

John menggosok perutnya dan tertawa kecil, "Tentu saja, akan lebih menarik menonton pertandingan semacam itu secara langsung!"     

Twain tersenyum dan berkata pada Burns, "Segelas minuman untuk semua orang disini, aku yang bayar."     

Segera setelah dia mengatakan itu, semua orang di bar bersorak.     

Twain memutar badannya dan mengangkat gelasnya kepada semua orang itu. "Bersulang."     

John mengangkat gelasnya tinggi-tinggi dan pada saat yang bersamaan dia meraung, "Untuk babak final Liga Champions, untuk Tony, untuk kapten baru kita! Untuk Nottingham Forest! Bersulang!!"     

"Bersulang!!"     

Sambil memegang gelas jusnya, Wood menatap semua fans yang tampak penuh semangat itu, yang saat ini terlihat lebih gila daripada saat berada di tribun penonton stadion.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.