Mahakarya Sang Pemenang

Perang Tersembunyi



Perang Tersembunyi

0Kedua pria itu berhenti di sebuah batu nisan yang tulisannya pudar termakan cuaca. Itu hanya sebuah batu nisan biasa. Memandang sekilas ke sekeliling mereka, pemakaman itu dipenuhi nisan-nisan lain yang serupa.     

Namun, yang satu ini tampak berbeda karena terlihat kurang terawat. Nisan putih itu telah berubah warna menjadi abu-abu gelap dan terlihat sangat tua.     

"Ini ayah-'ku'," kata Dunn sambil berdiri di depan nisan itu.     

Twain berjongkok dan mengulurkan tangan bermaksud menghilangkan bintik hitam di atas nisan. Dia tidak mengira kalau bintik hitam itu sudah meresap ke bagian dalam batu nisan. Mustahil bisa menghilangkan bintik itu.     

"Aku belum pernah kesini sejak pemakamannya."     

"Sudah berapa lama?"     

"Sepuluh tahun."     

Twain menatap Dunn. Itu memang cukup lama. Konsep orang-orang Inggris tentang keluarga tidaklah sama seperti konsep orang Cina tentang keluarga. Anak-anak memang akan meninggalkan orang tua mereka setelah mereka dewasa dan kadang jarang menghubungi rumah. Tapi, tidak mengunjungi makam ayahnya selama sepuluh tahun... Itu terlalu berlebihan, bukan?     

Dunn tahu apa yang dipikirkan oleh Twain, jadi dia berkata, "Dia adalah ayahku hanya karena dia dan ibuku adalah orang-orang yang membuatku terlahir di dunia ini."     

"Kau tidak suka ayahmu?"     

"Tidak." Dunn menggelengkan kepalanya. "Lebih tepatnya aku membencinya."'     

Twain terdiam. Kelihatannya sepuluh tahun yang lalu, banyak hal telah terjadi hingga Dunn sangat ingin melupakannya tapi tetap tidak bisa melakukannya.     

"Karena dia suka minum alkohol dan merokok, mereka mendeteksi tiga jenis penyakit pada dirinya sebelum dia meninggal. Masing-masing penyakit itu bisa membunuhnya lebih awal."     

"Dimana ibumu?"     

"Dia sudah meninggalkan kami sejak lama. Cukup lama sampai-sampai aku tidak ingat kapan tepatnya itu terjadi."     

"Dan dia tidak pernah menghubungimu lagi?"     

Saat mendengar pertanyaan Twain, Dunn tiba-tiba tersenyum. "Dia sudah tidak sabar ingin memutuskan ikatan dengan keluarganya, ketidaksabarannya sudah mencapai level dimana dia ingin melupakan bahwa dia pernah memiliki keluarga. Suaminya yang pemabuk dan anaknya yang lemah serta tidak kompeten adalah mimpi buruknya. Bagaimana mungkin dia ingin menghubungiku? Mungkin sekarang dia sudah meninggal dunia dan dimakamkan di pemakaman umum entah dimana. Kurasa kami bertiga yang tinggal bersama adalah sebuah kesalahan."     

Twain tercengang mendengarnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa sejarah-'nya' sendiri sangatlah rumit hingga tampak lebih menyedihkan daripada sejarah George Wood.     

Dia bangkit berdiri.     

"Kurasa sekarang aku tahu kenapa kau sama sekali tidak keberatan menjadi Tang En."     

"Maafkan aku. Aku mengambil keluargamu..." Dunn menunduk.     

Twain memeluknya. "Aku sama sekali tidak pernah berpikir bahwa memiliki keluarga kecil berisi tiga orang adalah hal yang luar biasa. Saat ini pun, aku masih tidak menganggapnya sebagai hal yang luar biasa. Tapi, setelah mengenalmu, kurasa aku beruntung memilikinya. Kau akan kembali ke Cina musim panas ini, kan?"     

"Ya, aku katakan pada mereka kalau itu adalah 'cuti untuk urusan keluarga'."     

"Sampaikan salamku pada mereka... Tunggu, tidak. Jangan." Twain tiba-tiba saja berubah pikiran. "Kapan kau akan pergi?"     

"Aku masih belum tahu, tapi yang pasti setelah akhir musim."     

Twain sedikit mengangkat kepalanya dan berpikir sejenak. Dia sedang memikirkan tentang rencana Shania untuk liburan musim panas. Dia tidak bisa menghubungi gadis itu sekarang dan bertanya tentang rencana musim panasnya, tapi... sepertinya Shania akan sibuk. Dia bukan lagi seorang pelajar biasa.     

"Dengar, Dunn. Saat musim berakhir, jangan buru-buru pulang ke Cina. Ikutlah denganku ke Jerman."     

"Jerman? Piala Dunia?"     

Twain mengangguk. "Untuk menonton semua pertandingan Piala Dunia dan melihat apa ada penawaran yang bagus saat itu. Lalu aku akan ikut pulang ke Cina bersamamu."     

Dunn tampak terkejut. "Kau juga ingin pulang?"     

"Yah, kau ingat saat aku bertemu denganmu di Chengdu? Saat itu aku sebenarnya ingin kembali ke kota asalku untuk mengunjungi orang tuaku. Aku hanya ingin mengecek kondisi mereka, tapi aku tidak tahu bagaimana aku bisa menjelaskan bagaimana seorang asing sepertiku tiba-tiba saja ingin mengunjungi mereka. Sekarang masalah itu sudah beres. Aku adalah temanmu. Aku bisa memasuki rumah dengan leluasa untuk mengunjungi... orang tua kita."     

"Oke... Itu ide yang bagus."     

"Kalau begitu, ayo kita kembali." Twain mulai melangkah meninggalkan pemakaman.     

Dunn menoleh ke arah nisan itu dan kemudian segera menyusul Twain.     

"Hey, Dunn... di masa lalu, maksudku sebelum kita bertukar tubuh, apa kau pernah jatuh cinta? Apa kau pernah menyukai seorang gadis?"     

"Tidak."     

"Ya Tuhan, hidupmu sangat membosankan."     

※※※     

Sekarang setelah Twain mengetahui tentang masa lalu "Tony Twain", latar belakang keluarganya dan juga kehidupannya, dia merasa bahwa jarak antara dirinya dan Dunn semakin mengecil.     

Dia mulai mempertimbangkan untuk memindahkan Dunn ke unit pelatih Tim Pertama musim depan. Dunn sudah membuktikan kemampuannya di tim pemuda. Dalam jangka waktu dua musim, dia telah dipromosikan dari pelatih biasa menjadi asisten manajer tim pemuda. Semua orang di dalam tim itu tahu bahwa Dunn memiliki kemampuan yang nyata. Kali ini, Twain takkan menghadapi masalah saat dia berusaha meyakinkan Edward.     

Setelah dia selesai memikirkan tentang masalah ini, Twain mengesampingkannya untuk sementara dan memfokuskan seluruh energinya untuk mempersiapkan tahap terakhir kompetisi liga musim ini.     

Pada tanggal 15 April, tim Forest menjamu Tottenham Hotspur di stadion kandang mereka. Mereka harus memenangkan pertandingan ini karena Manchester United sudah sangat dekat di belakang mereka.     

Penampilan para pemain Forest tidak mengecewakan Twain. Mereka berhasil mengalahkan Tottenham Hotspur dengan skor 1:0 di kandang mereka.     

Pada waktu yang bersamaan, pertandingan tandang Manchester United melawan Sunderland berakhir imbang dengan skor 0:0. Selisih poin antara kedua tim melebar menjadi empat poin.     

Pada tanggal 17 April, saat putaran ke-35 turnamen liga, Nottingham Forest menang atas Birmingham City di stadion kandang dengan skor 2:1. Dua kemenangan beruntun pada saat kritis ini bisa mengulur waktu bagi Twain.     

Meski Manchester United juga memenangi putaran pertandingan ini, selisih empat poin itu masih bisa sedikit menenangkan pikirannya sehingga dia bisa mempersiapkan diri untuk semi-final Liga Champions.     

Pada waktu yang bersamaan, saat mempersiapkan semi-final melawan Arsenal, Twain memiliki perasaan ganjil bahwa itu bukanlah pertandingan semi-final Liga Champions, melainkan hanya pertandingan turnamen liga biasa.     

Kenapa dia merasa seperti itu? Karena kedua tim sangatlah familiar terhadap satu sama lain. Mereka berada di liga yang sama dan sering berhadapan satu sama lain. Twain dan Arsene Wenger juga memiliki semacam hubungan pribadi.     

Untuk pertandingan semi-final melawan Arsenal kali ini, dia tidak merasa segembira saat dia bertanding melawan Inter Milan. Mungkin kalau lawannya adalah Barcelona atau AC Milan, dia akan bisa merasa lebih gembira dan bersemangat.     

Saat menyebutkan nama Arsenal, Twain tiba-tiba saja teringat hal lain. Dia tidak pernah memperhitungkan hal ini sebelumnya. Tapi, sekarang setelah kedua tim akan saling berhadapan di semi final Liga Champions, dia harus mempelajarinya sekali lagi.     

Dia memeriksa ulang pencapaian Arsenal di Liga Champions musim ini.     

Sejak mereka berhasil memasuki babak 16 besar, Arsenal selalu mencetak skor besar.     

Selama pertandingan di babak 16 besar melawan Real Madrid, total skor Arsenal untuk dua leg adalah 4:2.     

Dan mereka mencetak skor 3:2 untuk dua leg pertandingan melawan Juventus di perempat final.     

Mengkaji data itu, Twain mengerutkan keningnya.     

Ini tidak sama seperti yang diingatnya.     

Dia ingat bahwa kemampuan Arsenal untuk memasuki babak final Liga Champions UEFA musim ini terkait dengan keputusan Wenger untuk mengambil posisi bertahan. Setelah Arsenal memasuki babak 16 besar, mereka sama sekali tidak kebobolan gol, yang membuat mereka berhasil melaju hingga ke final. Itu adalah bukti terbaik. Saat mereka menekankan pertahanan, daya serang Arsenal melemah. Itulah harga yang harus mereka bayar karena terfokus pada pertahanan.     

Twain ingat dia pernah melontarkan lelucon bahwa Wenger kini semakin pandai karena kini dia tahu bahwa bertahan adalah hal terpenting untuk bisa memenangkan kejuaraan.     

Jadi, apa yang terjadi disini? Arsenal tidak mengubah gaya permainan mereka. Wenger masih terus bermain menyerang di Liga Champions seperti biasanya. Mereka menggunakan serangan yang cepat dan koordinasi yang halus saat mengalahkan Real Madrid dan Juventus.     

Tampak jelas bahwa perbedaan-perbedaan di dalam timeline yang ditempati Twain saat ini dan timeline yang dulu pernah diingatnya semakin melebar. Arsenal tidak mengandalkan pertahanan dan mereka masih berhasil melaju hingga semi final. Serangan mereka masih tetap indah untuk ditonton dan tajam.     

Melihat highlight pertandingan Arsenal di televisi dan mempelajari gaya dan rutinitas serangan mereka yang sudah familiar, Twain merasa yakin bahwa tim itu memang Arsenal. Tidak ada keraguan tentang itu.     

Sebenarnya, Twain menyukai Arsenal yang seperti ini karena mereka mudah ditebak. Sebagai lawan mereka, dia akan memiliki lebih banyak peluang untuk menemukan kelemahan dan celah di pertahanan lawan kalau mereka mudah ditebak, dan kemudian memanfaatkannya. Sebuah pertandingan sepakbola adalah permainan dimana kita mencari kelemahan lawan dan menggunakan segala cara untuk menutupi kelemahan kita sendiri.     

Kalau Arsenal benar-benar berbeda dari apa yang diingatnya dan mereka masih bisa melaju hingga semi-final, maka...     

Pikiran lain mendadak muncul di benak Twain.     

"Dunn."     

"Hm?"     

"Apa kau punya video pertandingan liga Arsenal belakangan ini?"     

Dunn bangkit dari lantai dan berjalan ke deretan rak-rak buku. Meski mereka adalah rak buku, isinya adalah kaset video dan CD ROM yang tersusun rapi.     

Dia berdiri di sebuah rak bertulisan "Arsenal" dan bertanya, "Putaran ke berapa?"     

"Mulai putaran ke 33 sampai yang terbaru."     

Dunn mengeluarkan tiga kaset video yang diminta dan menyerahkannya pada Twain.     

"Terima kasih. Bisakah kau memutarkannya untukku?" Twain menunjuk ke arah alat pemutar video.     

Saat rekaman tiga putaran terakhir Arsenal muncul di layar televisi, Twain dan Dunn menontonnya dengan cermat.     

Setelah menonton tiga pertandingan yang dipercepat, Twain hanya bisa menatap kosong selama beberapa waktu.     

"Ini sama sekali berbeda dengan apa yang kulihat di highlight Liga Champions. Mereka bermain dengan taktik serangan balik defensif, serangan balik defensif, serangan balik defensif. Aku sangat terkejut melihat Arsenal bermain seperti itu."     

Arsenal memenangkan tiga putaran terakhir kompetisi liga dan semua skor pertandingan itu adalah 1:0 tanpa terkecuali.     

Arsenal tidak mendominasi permainan dan justru bermain dibawah tekanan lawan mereka. Mereka juga tidak unggul dalam hal penguasaan bola. "Gaya Arsenal" yang khas sama sekali tidak terlihat, atau benar-benar disembunyikan dengan sangat baik oleh Arsene Wenger. Henry dan para pemain lain beraksi seefisien mungkin, memanfaatkan sedikit sekali peluang yang mereka miliki untuk mengakhiri tiga putaran pertandingan itu dengan kemenangan.     

"Apa kau tahu yang kupikirkan?" Dunn tiba-tiba saja bertanya.     

Twain mengangguk. Dia menunjuk ke layar dan berkata, "Tentu saja aku tahu, ini permainan klasik Nottingham Forest."     

"Wenger menghabiskan lebih banyak waktu untuk mempelajarimu daripada yang kauhabiskan untuk mempelajari dirinya."     

Twain hanya bisa menggigit bibirnya.     

※※※     

Saat Wenger masih sibuk bekerja di kantornya, asistennya, Pat Rice, melangkah masuk.     

"Ini benar-benar luar biasa. Aku pikir aku kembali ke pertengahan tahun 1990an. Aku sedikit cemas, Arsene."     

"Jangan cemas, Pat." Wenger menghentikan apa yang sedang dikerjakannya dan melepaskan kacamatanya lalu meletakkannya ke atas meja. "Aku bukan George Graham. Arsenal saat ini bukanlah Arsenal yang ada di masa lalu."     

George Graham adalah pria Skotlandia yang membawa Arsenal mencapai sukses dan menciptakan sebuah "pasukan tak terkalahkan" yang sesungguhnya. Tapi dia juga merupakan manajer yang dibenci oleh banyak fans Arsenal karena mereka merasa lelah dengan "doktrin 1:0"-nya dan gaya sepakbola membosankan yang ditampilkan olehnya. Meskipun tradisi Arsenal adalah menjadi tim yang tangguh dan tidak pernah berkompromi, tradisi itu, yang telah bertahan selama hampir seratus tahun, justru mencapai titik ekstrim yang lain dan orang-orang merasa bosan. Permainan mereka sama sekali tidak enak untuk ditonton, dan mereka memainkan pertandingan sepakbola seperti sedang menyelesaikan misi militer.     

Hingga akhirnya pria Perancis itu muncul.     

"Arsene, kita semua menyukai Arsenal yang sekarang."     

"Aku juga menyukainya, Pat. Tapi kadang kita perlu membuat perubahan. Tentu saja, ini hanya bersifat sementara. Pat, kau tahu apa yang kita hadapi musim ini. Selama tahap akhir kompetisi liga, kita akan harus bersaing dengan Tottenham Hotspur dan Liverpool untuk mendapatkan tiket terakhir ke Liga Champions, dan pada waktu yang bersamaan, kita sekarang berada di semi-final Liga Champions. Apa kau ingin kita mengakhiri musim ini dengan tangan kosong?" Wenger membuka lengannya.     

"Tidak. Aku tidak ingin seperti itu."     

"Aku juga tidak. Tidak ada seorangpun yang menginginkannya."     

"Tapi, Arsene, kita sudah melakukannya dan berhasil maju hingga ke semi-final. Kurasa kita tidak perlu mengubah gaya permainan tim dalam dua minggu ke depan."     

"Para pemain melakukannya dengan baik," jawab Wenger, sedikit mengalihkan pembicaraan. "Aku terkesan melihat betapa cepatnya mereka beradaptasi dengan taktik yang baru, dan aku merasa bangga dengan mereka."     

"Jangan mengubah pembicaraan, Arsene."     

Wenger mengangkat bahunya dan menunjuk ke arah layar monitor, "Kemarilah, Pat. Lihatlah ini."     

Rice menghampirinya dan menemukan sebuah dokumen Word di layar. Selain teks berupa beberapa paragraf panjang, ada sebuah gambar Tony Twain.     

"Ya ampun... Kau masih mempelajarinya? Apa kau tergila-gila padanya, Arsene? Kita hanya akan bermain dalam dua pertandingan semi final..." Rice menutupi wajahnya.     

Saat Wenger pertama kali tiba di London, dia sangat rendah hati dan penyendiri. Dia disebut-sebut sebagai pria homoseksual oleh media Inggris. Dampak dari insiden itu terhadap Wenger adalah dia tidak pernah menerima wawancara media dan benar-benar menyembunyikan kehidupan pribadinya.     

"Kalau kita hanya akan berhadapan dengannya dua kali, memang rasanya tidak layak mengerahkan begitu banyak upaya untuk ini. Tapi Rice, persaingan antara kita dan dia tidak akan berakhir dalam dua pertandingan saja. Aku harus benar-benar memahaminya sebelum aku bisa memahami timnya. Di musim ini dan di musim-musim mendatang, kita masih akan bersaing dengannya. Ada pepatah bagus dari Timur: kalau kau ingin mengalahkan lawanmu, kau harus memahaminya lebih dulu.     

"Dia pernah berkata," Wenger menunjuk ke arah gambar Twain di monitor, "Dia tidak peduli metode apa yang digunakan, apakah mereka bermain dengan indah atau permainan itu jelek untuk ditonton, itu sama sekali tidak masalah baginya. Dia hanya peduli dengan satu hal, dan itu adalah kemenangan. Katakan padaku, Pat, siapa yang muncul di benakmu?"     

Rice tampak membeku sesaat, dan kemudian berkata, "George, George Graham."     

"Lihat saja penampilan mereka musim ini, khususnya di Liga Champions, dimana contoh yang paling nyata terlihat di perempat final saat melawan Inter Milan. Seluruh tim bergerak mundur dan memadatkan setiap inci ruang yang ada di sisi lapangan mereka, sehingga mereka berada dibawah tekanan kuat lawan mereka. Pertandingan itu sama sekali tidak enak untuk ditonton tapi mereka menang." Wenger berbicara dengan jujur dan percaya diri. "Twain paling suka bermain agresif. Dia suka menunggu dalam diam, dengan sabar mencari celah dan menunggu kesalahan lawan mereka, dan kemudian dia akan menyerang!" Tangan Wenger tiba-tiba saja bergerak ke depan dan mengejutkan Pat Rice.     

"Dia akan sangat senang kalau kita meluncurkan serangan skala-besar. Aku yakin dia pasti sudah cukup familiar dengan gaya permainan Arsenal. Dia pasti sudah merancang serangkaian taktik untuk menghadapi gaya permainan kita, sama seperti yang dilakukannya saat melawan Chelsea, Inter Milan, Manchester United, Liverpool dan Real Madrid. Jadi, kita tidak boleh bertindak sesuai ekspektasinya. Kita harus mengejutkannya."     

"Tapi, Arsene, kita sudah memenangkan tiga pertandingan dengan set taktik ini. Apa menurutmu Twain masih belum menemukannya saat ini?"     

"Kalau begitu biarkan mereka tahu bagaimana rasanya menghadapi taktik yang biasa mereka gunakan." Wenger mengangkat bahunya.     

Pat Rice terdiam sejenak. Dia harus mengakui bahwa Wenger memang benar. Tony Twain memang orang yang seperti itu. "Baiklah, Arsene. Peringkat kita di liga musim ini sangat buruk. Kuharap kita bisa menebusnya di arena kompetisi yang lain. Mengukir sejarah baru dengan memasuki babak semi-final tidaklah cukup, kita juga harus melaju hingga ke final dan membuat sejarah baru dengan memegang trofi kejuaraan itu di tangan kita!"     

Wenger tersenyum dan berkata, "Aku baru saja mengutip kata-kata Twain padamu barusan dan kau bilang kalau dia mengingatkanmu pada George Graham, manajer yang mencoba meraih kemenangan dengan beragam cara. Tapi aku harus mengoreksimu. Twain tidak seperti Graham. Dia memang menekankan pada hasil, tapi permainan sepakbolanya tidak membosankan seperti permainan Graham. Dia memasukkan banyak hal ke dalamnya dan dia tahu kapan harus beradaptasi. Kurasa kalau kita ingin melakukan terobosan dalam sejarah, kita juga perlu beradaptasi dan memasukkan beberapa hal yang menguntungkan bagi kita."     

"Aku mengerti, Arsene. Aku pergi dulu kalau begitu."     

"Sampai nanti, Pat." Sambil melihat asisten manajernya meninggalkan kantornya, Wenger memakai lagi kacamatanya dan menatap gambar Twain di monitor LCD.     

※※※     

Sementara itu, Twain masih merasa terganggu dengan hal yang baru ditemukannya.     

"Wenger, kau rubah tua yang lihai!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.