Mahakarya Sang Pemenang

Panggil Aku Clarice Bagian 2



Panggil Aku Clarice Bagian 2

0"Game seperti apa?"     

"Itu adalah jenis game di mana seseorang menyampaikan pesan kepada orang kedua dengan menggunakan bahasa tubuh. Kemudian orang kedua menggunakan bahasa tubuh untuk meneruskan inti pemahamannya terhadap pesan itu kepada orang ketiga, dan seterusnya ... Akhirnya, orang terakhir akan menggunakan kata-kata untuk menggambarkan apa yang telah dia pahami untuk melihat seberapa besar dia bisa menangkap pesan dari orang pertama. Seringkali, perbedaannya sejauh jarak dari Inggris ke Cina. Orang pertama mungkin mengatakan: "Hei, apa menurutmu pakaian yang kupakai hari ini terlihat bagus?'"     

Twain berdiri dan mendemonstrasikannya sambil berbicara. Dia menunjuk ke arah pakaiannya dan berputar di tempat seolah-olah sedang memamerkan pakaian barunya kepada teman-temannya.     

"Lalu orang kedua mengangguk dan menoleh ke orang ketiga untuk menyampaikan pesan, 'Apa menurutmu ada sesuatu yang kotor di belakangku?'"     

Twain berputar dalam lingkaran dan dengan cepat memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk melihat ke belakang.     

Melihat ini, Gloria mulai tertawa.     

"Orang ketiga merasa dia sudah paham dan mengangguk. Dia menoleh ke orang keempat dan berkata, 'Aku agak pusing karena berputar-putar.'"     

Gloria mendongak dan tertawa keras.     

"Orang keempat berkata pada orang kelima: 'Aku suka berolahraga dengan hulahop!'" Twain memajukan perutnya dan mengayunkan pinggulnya.     

"Orang kelima berkata pada orang keenam: 'Jangan melakukan olahraga berat saat kau sedang hamil!'" Kali ini Twain menggunakan tangannya untuk membentuk lengkungan di depan perutnya dan kemudian melambaikan tangannya untuk mengisyaratkan tidak.     

Kali ini, Gloria bersandar di meja, bahunya gemetar karena tertawa.     

"Lalu kita akan bertanya pada orang keenam: 'Apa yang dia katakan padamu barusan?' Orang keenam mengangguk dengan penuh percaya diri dan berkata, 'Aku sangat gemuk, jangan tinggalkan aku!'"     

Gloria kembali bersandar ke sandaran kursi sambil tertawa keras.     

Twain duduk dan tersenyum lebar padanya, menunggu tawanya mereda.     

Setelah agak lama, Gloria berbicara terputus-putus, "Tn. Twain, kau... sungguh ... Untung saja aku tidak punya makanan di mulutku barusan."     

Twain mengedip padanya.     

Gloria akhirnya berhenti tertawa, menekan sisi tubuhnya dan bersandar di sandaran kursi sambil terengah-engah karena terlalu banyak tertawa. "Kau benar-benar penuh humor."     

Twain menggaruk kepalanya dan tidak tahu harus berkata apa.     

Melihat gerakannya yang kekanak-kanakan, Gloria tersenyum. "Apa kau tahu, Tn. Twain? Saat aku memutuskan untuk melakukan wawancara eksklusif ini denganmu dan tim-mu, sebagai pembawa acara dan produser, aku telah mempelajari informasi profilmu secara khusus, termasuk pengalaman melatihmu dan liputan media tentangmu selama bertahun-tahun. Aku tidak bisa mencapai sebuah kesimpulan. Dengan sebagian besar orang lain, aku bisa mengira-ngira jenis orang seperti apa mereka berdasarkan sejumlah kesan yang kuterima, dan gambaran tentang orang itu akan langsung terbentuk di benakku. Tapi aku menemukanmu sangat berbeda. Bagaimana aku bisa mengatakannya ya? Saat aku memulai penelitianku, aku menganggapmu termasuk ke dalam tipe orang tertentu, dan gambaran itu terbentuk di kepalaku. Tapi, saat aku menggali lebih dalam, aku menemukan gambaran baru yang berbeda. Keduanya sangat berlawanan. Kontradiktif. Tapi mereka masih orang yang sama. Aku sama sekali tidak paham. Pada akhirnya, semua gambaran yang terbentuk sejak awal akhirnya menghilang. Aku sama sekali tidak tahu gambaran seperti apa yang seharusnya kumiliki tentangmu."     

Twain berpura-pura merenungkan semua itu dan berkata, "Pertanyaanmu sangat dalam, Nn. Gloria. Mengenai 'Siapa aku', itu adalah pertanyaan filosofis yang paling utama. Aku sebenarnya tidak tahu siapa diriku, darimana aku berasal, dan kemana aku menuju..."     

Gloria tertawa lagi. "Kau mengolokku!"     

Twain juga tertawa.     

Sebenarnya, dia tidak tahu bagaimana harus menanggapi kata-kata Gloria barusan. Kalau dia menjawabnya dengan serius, suasananya akan jadi terlalu berat. Kalau dia memberikan jawaban yang sembarangan, dia akan tampak tidak sopan. Jadi, dia menanggapinya dengan cara yang ringan dan menghibur.     

Selain itu, Twain tidak pernah memikirkan pertanyaan yang tidak perlu seperti, "Siapa aku, darimana aku berasal dan kemana aku menuju?" Dia tidak pernah merenungkan "Orang seperti apa aku ini?" Lalu, memangnya kenapa kalau aku menemukan jawabannya? Dan memangnya kenapa kalau aku tidak menemukan jawabannya? Aku adalah aku. Apa aku akan bisa meningkatkan kualitas hidupku dan menambah isi rekening bank-ku kalau aku memahami pertanyaan itu?     

Gloria memandang Twain dengan kepala sedikit dimiringkan dan menyipitkan matanya untuk menilai pria itu dengan seksama. Dia telah melakukan syuting selama tiga hari di klub sepakbola Nottingham Forest. Dia tidak hanya mengamati pria ini tapi dia juga telah mewawancarai banyak orang di dalam klub, bahkan termasuk pria tua penjaga gerbang. Semua orang mengatakan bahwa pria ini luar biasa. Tidak ada orang yang mengira bahwa tim Forest akan sangat bersinar setelah dia mengambil alih posisi manajer. Beberapa orang merasa bahwa pasti ada sejumlah rahasia di balik sosok Tony Twain.     

Singkatnya, dia adalah seorang pria yang akan membuatmu merasa ingin dekat dengannya, tapi saat kau semakin dekat dengannya, kau merasa dia semakin sukar untuk dipahami.     

Sebenarnya, dia adalah pria yang seperti apa? ...     

Dia adalah pria Inggris dengan passion terhadap budaya Cina, seorang pria yang wataknya berubah karena gegar otak, seorang pria yang masih muda dan menjanjikan, pria yang terlihat jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Tapi itu hanyalah beberapa dari banyak aspek yang dimilikinya. Dia seperti pria dengan seribu wajah. Kau tidak akan pernah tahu apakah dia sedang menunjukkan gambaran yang riil dan lengkap padamu atau hanya tentang satu aspek dari dirinya.     

Seorang pria dengan seribu wajah ... apakah itu bisa menggambarkan Tony Twain?     

Gloria tiba-tiba saja berhenti berbicara; wanita itu hanya menatapnya sampai Twain merasa agak takut. Dia bertanya, "Satu penny untuk pikiranmu, Nn. Gloria?"     

Gloria tersentak sadar dari lamunannya dan kembali memfokuskan pandangannya ke wajah Twain. Tiba-tiba saja dia bertanya, "Tn. Twain, apa kau sudah punya pacar?"     

Twain terkejut dengan pertanyaan tak terduga itu. Dia terdiam sebentar dan balik bertanya, "Kau sudah membaca begitu banyak informasi tentangku. Tidak adakah informasi yang menyebutkan tentang itu?"     

Gloria menggelengkan kepalanya, "Kehidupan pribadimu sangat tertutup. Bahkan media Inggris pun tidak tahu banyak tentang kehidupanmu diluar hal-hal yang berkaitan dengan sepak bola, apalagi aku."     

"Kalau kehidupan pribadi seorang manajer sepakbola menjadi fokus sensasi di surat kabar, itu tidak normal, bukan? Seorang manajer bukan bintang sepak bola. Dia tidak tampan, tidak akan ada perusahaan yang ingin menandatangani kontrak iklan dengannya, jadi tidak ada nilai sensasinya."     

"Itulah sebabnya kenapa aku ingin bertanya, Tn. Twain. Apa kau punya pacar?" Gloria mengulangi pertanyaannya.     

Pengalihan perhatian Twain telah gagal. Dia merasa ragu saat ada dua nama yang terbersit di benaknya. Sudah jelas kalau mereka bukan pacarnya. Dia menggelengkan kepala. "Belum."     

Gloria tampak terkejut. "Luar biasa. Seorang pria yang luar biasa sepertimu, bagaimana mungkin kau tidak punya pacar?"     

"Saat ini ... mungkin sepakbola adalah pacar yang baik untukku?" Twain menggunakan nada bertanya karena dia sendiri merasa tidak yakin.     

"Apa kau bertanya padaku, Tn. Twain?" Gloria dengan cerdik memahaminya. Dia mengedip pada Twain.     

"Oh ... Tidak, hanya saja ... persyaratanku cukup tinggi. Aku belum pernah bertemu dengan seseorang yang bisa memenuhinya." kata Twain dengan santai.     

"Jadi, apa saja persyaratanmu, Tn. Twain?" Gloria meletakkan dagu diatas tangannya saat dia bertanya.     

"Persyaratanku ..." Twain tiba-tiba tersadar dan memutuskan untuk melawan balik. "Apa kau berencana untuk mengajukan diri, Nn. Gloria?"     

"Aku hanya penasaran dengan kriteria pacar yang diinginkan oleh seorang pria yang menarik sepertimu." Gloria menangkal serangan balik Twain sambil tersenyum.     

Kedua orang itu sama-sama tertawa, dan tidak ada yang membicarakan topik itu lagi.     

※※※     

Setelah makan malam, Twain bersikeras untuk mengantarkan Gloria kembali ke hotelnya. Bagaimana mungkin dia bisa membiarkan seorang wanita kembali ke hotelnya sendiri?     

Saat dia mengantarkan Gloria kembali ke hotel, mereka berdua mengucapkan selamat tinggal di pintu masuk.     

"Aku punya satu pertanyaan lagi, Nn. Gloria."     

"Silakan, Tn. Twain." Gloria berdiri di pintu masuk hotel. Dia memakai gaun putih dan tampak seperti bunga lili yang mekar di tengah angin malam.     

"Kau bilang kalau kau tidak punya kesimpulan tentang orang seperti apa aku ini. Bagaimana dengan sekarang?"     

"Sekarang ..." Gloria dengan sengaja memanjangkan kata-katanya sambil mengalihkan tatapannya ke sekeliling untuk menggoda Twain. Tatapannya akhirnya kembali pada Twain. "Aku masih belum punya."     

"Ah ... Sayang sekali." Twain menghela nafas dengan cara yang berlebihan.     

"Apa kau punya pertanyaan lain, Tn. Twain?"     

"Kurasa... hanya itu saja."     

"Baiklah, kalau begitu sampai jumpa lagi." Gloria melambaikan tangannya dengan lembut, seperti bunga lili yang bergoyang tertiup angin.     

"Sampai jumpa, Nn. Gloria." Gloria meletakkan jarinya ke bibir Twain, yang membuatnya bisa menghirup aroma wangi feminin seorang wanita.     

Twain sedikit terkejut. Gloria tersenyum dan berkata padanya. "Panggil aku Clarice."     

"Sampai jumpa... Clarice."     

Merasa puas mendengar itu, Gloria menarik kembali jarinya dan berbalik untuk berjalan masuk ke lobi hotel.     

Twain meletakkan jarinya sendiri ke bibirnya dan kemudian berbalik untuk berjalan kembali ke taksi, dimana si pengemudi, Landy, sudah menunggunya.     

"Siapa dia, Tony? Apa itu pacarmu?"     

Duduk di dalam mobil, Twain menoleh ke samping dan melihat keluar jendela, ke pintu masuk hotel yang terang benderang. Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak, dia bukan pacarku. Ayo pergi. Ke rumahku, Landy."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.