Mahakarya Sang Pemenang

Keane, Sang Pria Bagian 3



Keane, Sang Pria Bagian 3

0"Aku tahu apa yang kaupikirkan," Keane mencibir. "Sesuatu yang ekstra itu tidak lantas membuat seseorang menjadi 'pria'. Ada banci dan pengecut yang tak terhitung jumlahnya juga memiliki testis di dunia ini tapi itu tidak membuat mereka menjadi pria. Apa yang dimaksud dengan pria sejati? Itu adalah seseorang yang selalu menuntut lebih pada dirinya sendiri. Dia berani, kuat, optimis, ceria, percaya diri dan rendah hati. Dia bisa menginspirasi orang-orang di sekelilingnya dan menjadi teladan mereka. Dia bisa membuat banyak anak kecil bercita-cita ingin menjadi sepertinya. Menurut pendapatku, Pearce adalah seorang pria. Dia sangat sempurna hingga aku tidak bisa menemukan kekurangan di dalam dirinya. Seorang pria yang arogan sepertiku bahkan bersedia untuk mematuhinya, mendengarkannya dan mencoba untuk menjadi sepertinya."     

Kata-kata Keane bergema di kamar mandi.     

"Jadi, seorang kapten mula-mula harus menjadi seorang pria. Setidaknya, dia harus berusaha untuk menjadi seorang pria dan membiarkan dirinya menjadi teladan bagi semua orang. Menjadi kapten tidak cukup hanya dengan membantu pemain lain terlepas dari kesulitan mereka. Siapapun bisa bersaing dengan lawan di lapangan." Keane mengepalkan tinjunya. "Tapi bukan pemain yang paling kompetitif dan keras yang akan menjadi kapten. Apa menurutmu aku menjadi kapten Manchester United karena aku lebih berani melawan yang lain? Menjadi teladan tidak sama dengan menjadi penopang timmu. Menjadi penopang hanya akan membuat para pemain lain bergantung padamu. Pengecut akan tetap menjadi pengecut, tidak akan ada yang berubah. Menjadi teladan bisa membuat mereka ingin menjadi sepertimu dan membiarkan semua pengecut dan banci itu ingin berusaha menjadi seorang pria. Tidak ada gunanya kalau hanya kau sendiri yang menjadi seorang pria. Sekawanan domba yang dipimpin oleh seekor harimau tidak akan bisa mengalahkan sergapan dari sekelompok harimau yang dipimpin oleh harimau. Apa kau mengerti maksudku?"     

Wood mengangguk.     

"Kau sangat beruntung, nak, lebih beruntung daripada aku saat aku masih seusiamu. Kau tidak perlu pindah ke klub besar untuk mendapatkan kejayaan atau uang. Kau punya manajer yang hebat dan sekelompok rekan setim yang sangat bagus. Pria Italia itu, Albertini, adalah kapten yang sangat bagus, tapi suatu hari nanti dia akan menjadi tua, pensiun dan meninggalkan kau dan timmu. Saat itulah kau perlu menjadi kapten yang bisa memimpin para pemainmu. Pada saat itu, lusinan pasang mata akan memandangmu... Tidak, puluhan ribu pasang mata akan memandangmu, karena kau adalah kapten Nottingham Forest. Kau akan mewakili tim ini dan menanggung semua ekspektasi dan tanggungjawab mereka. Kau harus menjadi teladan mereka untuk bisa memimpin mereka menuju kemenangan. Tekanan? Orang yang tidak bisa menahan tekanan semacam ini bukanlah seorang pria, dan tidak layak menjadi kapten. Bagi seorang pengecut, ban kapten akan menjadi hal terakhir yang bisa membuat mereka runtuh dibawah tekanan. Bagi pria sejati, itulah yang harus dia lakukan."     

Karena lingkungan kamar mandi yang unik, setiap kalimat yang diucapkan Keane seolah diperkeras beberapa kali. Semua itu bergema di dalam gendang telinga Wood dan menumbuk ke dadanya.     

"Kau tidak punya tujuan dalam bermain bola? Kau merasa tersesat? Kau cemas kau tidak bisa menjadi kapten yang baik? Apa kau lelah menghadapi apa yang harus kau hadapi setelah kau menjadi kapten? Apa menurutmu selama kau berlatih keras agar bisa mentekel lawanmu, hal itu akan membuatmu menjadi seorang kapten yang baik? Nak,..." Keane mendengus. "Kau masih belum menjadi seorang pria."     

Ditemani suara cipratan air, Keane berdiri dari kolam.     

"Pertama-tama, jangan memikirkan tentang menjadi kapten atau tujuanmu bermain bola. Berjuanglah untuk menjadi seorang pria lebih dulu." Dia melangkah keluar dari kolam dan berjalan melewati Wood menuju ke pintu.     

"Ah, benar juga. Kudengar kau punya temperamen yang buruk. Apa kau pernah berpikir untuk mengubah temperamenmu yang impulsif dan buruk itu?"     

Wood terkejut sesaat dan kemudian menggelengkan kepalanya.     

Keane tersenyum. "Itu bagus. Jangan mengubahnya. Kalau kau mengubah dirimu sendiri, maka kau bukan lagi kau. Tapi kalau kau selalu mendapat kartu penalti karena temperamenmu yang impulsif, manajermu akan tetap merasa frustasi. Aku ingin memberimu sedikit saran. Kau mau mendengarnya?"     

Wood mengangguk.     

"Aku dulu adalah orang yang pemarah. Aku masih tetap seperti itu. Tapi dulu, aku biasa merenungkan kesalahanku setelah aku memukul seseorang, dan sekarang aku akan memikirkannya sebelum aku memukul seseorang."     

Keane berpakaian dan meninggalkan ruang ganti. George Wood masih berdiri di bawah pancuran, membiarkan air mengalir di tubuhnya.     

※※※     

Michael Kennedy menunggu Keane di tempat parkir seperti biasa.     

"Bisakah kita pergi ke Glasgow sekarang?"     

"Ya, aku sudah selesai di sini."     

※※※     

Hari berikutnya, berbagai media mempublikasikan pesan ini:     

Mantan kapten Manchester United, gelandang Irlandia Roy Keane, telah menandatangani kontrak delapan belas bulan dengan tim Premiership Skotlandia, Celtic Football Club. Bagi Keane yang berusia 34 tahun, ini akan menjadi kontrak terakhirnya di dalam karirnya sebagai pemain sepakbola. Untuk bisa mengakhiri karirnya di klub favorit masa kecilnya ini, Keane menurunkan persyaratan gajinya. Gaji mingguannya yang tadinya sebesar 90 ribu pound di Manchester United diturunkan menjadi 45 ribu pound.     

Pada saat yang bersamaan, tawaran yang ditolak Keane termasuk tawaran dari Nottingham Forest, Everton, Bolton Wanderers, dan klub Liga Utama lainnya, serta Real Madrid, Bayern Munich, Juventus, dan banyak klub papan atas Eropa lainnya.     

Di hari yang sama, surat terbuka dari Roy Keane dipublikasikan di media Inggris, yang memuat penjelasan samar tentang alasan kepergiannya dari Manchester United: perselisihannya dengan asisten manajer, Carlos Queiroz. Tentu saja, kandungan utama surat itu berisi tentang ucapan terima kasihnya. Keane berterima kasih pada Noel McCabe, perekrut sepakbola tua dari Nottingham Forest karena telah menemukannya di awal karirnya dan juga mantan manajer Nottingham Forest, Brian Clough. Dia mengucapkan terima kasih pada kapten tim yang luar biasa, Stuart Pearce, yang dikenalnya selama karirnya. Dia juga berterima kasih kepada rekan-rekan lamanya di Manchester United yang telah berjuang bersamanya tapi kini sudah pensiun, rekan-rekan setim yang masih berada di Manchester United dan mereka yang telah meninggalkan Manchester United tapi masih bermain di tim lain. Dia mengucapkan terima kasihnya pada Teddy Sheringham dan Ole Gunnar Solksjaer, yang telah membantu Manchester United memenangkan Liga Champions tahun 1999, dan David Beckham, yang membuat seluruh dunia mengagumi Manchester United. Dia berterima kasih pada para manajer klub sepakbola yang telah mengundangnya untuk bergabung dan menawarinya kontrak dengan harga selangit setelah dia mengakhiri kontraknya dengan Manchester United. Dia merasa sangat berterima kasih kepada Nottingham Forest Football Club yang mengijinkannya menggunakan kompleks latihannya agar bisa tetap bugar dan menjaga kondisinya. Dia juga berterima kasih kepada agennya, Michael Kennedy, orang tuanya, istrinya dan anak-anaknya. Terakhir, dia berterima kasih kepada Sir Alex Ferguson, manajer yang meninggalkan pengaruh paling dalam pada dirinya dan yang telah banyak membantunya di sepanjang karirnya.     

"Tanpamu, tidak akan ada Roy."     

Nama Tony Twain sama sekali tidak disinggung di dalam surat ucapan terima kasih itu.     

Twain memikirkan apa yang dikatakan oleh Keane:     

Tapi aku tidak akan mengatakan siapa namanya. Aku tidak ingin dia merasa terlalu senang dengan dirinya sendiri.     

"Dasar bajingan tak berperasaan..." Melihat foto pria yang memegang jersey Celtic di koran, Twain menggelengkan kepalanya dan tersenyum. "Aku mendoakan yang terbaik untukmu, Roy."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.