Mahakarya Sang Pemenang

Halo Roy Bagian 1



Halo Roy Bagian 1

0Saat latihan pagi baru akan dimulai, para pemain dan anggota staf lainnya mulai berdatangan di kompleks Wilford melalui gerbang utama. Ian MacDonald menyapa semua orang sambil tersenyum.     

Orang-orang yang masuk melalui gerbang semakin berkurang, dan latihan tim memang akan segera dimulai.     

Pada saat itulah MacDonald melihat sosok seseorang yang mendatangi gerbang. Dia terkejut karena dia mengenali orang itu.     

"Roy? Roy Keane?" Wajahnya sangat familiar, tapi MacDonald masih tidak berani mempercayai penglihatannya.     

Pria itu, yang sedang melihat ke dalam kompleks melalui pintu gerbang, mendengar seseorang memanggil namanya dan menoleh. Saat dia melihat Ian MacDonald, dia juga cukup tercengang.     

Keane mengenal wajah itu. Wajah itu hanya sedikit lebih tua dari yang diingatnya.     

"Ini memang benar-benar kau, Roy!" MacDonald tampak senang sekaligus bingung. "Kenapa kau ada di sini? Bukankah kau ... Ermm..." Dia baru saja akan berkata, "Bukankah kau ada di Manchester United?" Tapi, dia segera ingat bahwa Keane sudah membatalkan kontraknya dengan klub Manchester United.     

"Anda... Tn. MacDonald?"     

MacDonald tersenyum senang. "Kupikir kau tidak akan mengingatku, Roy."     

"Kukira Anda tidak lagi bekerja di sini."     

"Aku akan pensiun akhir musim ini."     

Kedua pria itu akhirnya terdiam sesaat. Mereka sama-sama tidak tahu harus mengatakan apa. Akhirnya, MacDonald menunjuk ke gerbang dan bertanya, "Roy, siapa yang kau cari?"     

Keane menggelengkan kepalanya, "Tidak ada, aku di sini untuk latihan."     

Mendengar itu, mulut MacDonald ternganga tak percaya.     

"Jangan salah paham. Aku hanya di sini untuk berlatih, bukan untuk bergabung dengan Nottingham Forest. Tn. Twain mengundangku kemari untuk berlatih agar aku bisa tetap bugar dan menjaga kondisiku."     

MacDonald mengangguk mengerti, "Tolong tunggu sebentar. Aku akan memberitahunya." MacDonald berjalan ke pos jaga dan memutar nomor Twain untuk memberitahunya bahwa Keane sudah tiba.     

Dalam waktu kurang dari lima menit, Twain melangkah keluar. Saat dia melihat Keane berdiri di gerbang, dia melambai ke arahnya dengan gembira. "Masuklah. Tapi sebaiknya hati-hati; para awak media, dimanapun mereka bersembunyi, akan mengira kau bergabung dengan Forest!"     

Keane mengucapkan selamat tinggal pada MacDonald dan berjalan masuk ke dalam kompleks.     

"Biasanya, timku berlatih dua kali sehari. Kukira kau baru akan datang sore ini."     

"Yah, aku sudah terbiasa dengan latihan pagi."     

"Ayo, kita bisa langsung ke ruang ganti. Aku akan memberimu loker. Aku yakin anak-anak akan terkejut melihatmu! Aku belum memberi tahu siapa pun kalau kau datang kemari untuk berlatih." Twain mengedip pada Keane, ekspresinya seperti anak kecil yang menantikan lelucon yang sukses.     

※※※     

Ruang ganti sangat ramai. Para pemain Forest mengobrol dengan santai sambil berganti pakaian latihan. Semua orang sudah ada disana.     

Pada saat itu, mereka tiba-tiba saja mendengar suara keras manajer mereka dari luar pintu. "Hei, guys! Ijinkan aku memperkenalkanmu pada ... rekan setim kalian yang baru!"     

Sambil mengatakan itu, dia mendorong pintu hingga terbuka.     

Twain berdiri di pintu dan memandang ke arah para pemain saat mereka membalikkan badan. Dia merasa puas bahwa teriakannya barusan telah menarik perhatian semua orang. Lalu, dia melangkah ke samping dan melambai ke luar pintu di saat yang bersamaan.     

Seorang pria muncul di pintu, dan semua orang di ruang ganti tertegun saat mereka melihatnya.     

Disaat semua orang terpana hingga seluruh ruangan menjadi hening, Twain merasa puas. Dia tersenyum.     

Di tengah kesunyian itu, Keane mengangkat tangannya dan menyapa mereka. "Hei."     

"Ke ... Keane?" tanya Wes Morgan. Dia masih tidak percaya bahwa pria yang berdiri di depannya adalah kapten Manchester United dan lawan mereka, Roy Keane.     

"Chief, apa yang terjadi di sini?" Ribéry menoleh ke arah Twain dan mendapati manajernya itu tersenyum lebar. "Kenapa ... kenapa kapten Manchester United ada di sini ..."     

Twain berdehem. "Apa kau tidak menonton berita, Franck? Roy baru saja membatalkan kontraknya dengan Manchester United."     

"Jadi, kau mengontraknya?" tanya seseorang.     

Twain menggelengkan kepalanya, "Tidak. Sebelum Roy menemukan klub baru, aku memintanya untuk datang kemari dan berlatih agar bisa tetap bugar dan mempertahankan kondisi tubuhnya."     

"Klub baru? Kenapa bukan kita?"     

"Karena ... Roy tidak ingin menjadi lawan Manchester United di Liga Utama Inggris." Twain melirik ke arah Roy yang berdiri di sampingnya, wajahnya tanpa ekspresi.     

"Ah, sayang sekali! Aku ingin jadi rekan setim Keane ..."     

"Percuma saja aku merasa senang barusan!"     

Keane menatap para pria yang menggerutu itu. Belum lama ini mereka semua adalah lawannya. Pada saat itu, dia sama sekali tidak pernah menduga bahwa dia akan berada di ruang ganti rivalnya seperti ini. Hidup memang benar-benar penuh kejutan, dan dia merasa luar biasa.     

"Baiklah, guys, kalian harus keluar sekarang." Twain menepukkan tangannya dan para pemain yang sudah berganti pakaian bergegas keluar.     

Twain membawa Keane ke sebuah loker tanpa label nama. "Kau bisa menggunakan yang ini untuk sekarang."     

Keane mengangguk.     

"Apa tadi terasa agak canggung?"     

Keane melirik Twain sekilas. "Tidak."     

"Oke, itu bagus. Sebaiknya aku pergi sekarang."     

※※※     

Selama latihan, akan selalu ada pemain yang mengarahkan pandangan mereka ke sisi lain lapangan. Roy Keane sedang melakukan latihan sistematis sendirian di sana. Dia tidak berlatih bersama tim tapi dia berlatih sendiri.     

Twain menyerahkan latihan tim ke asisten manajernya, David Kerslake. Dia kemudian berjalan menuju Keane.     

"Apa kau membutuhkan seorang pelatih, Roy?"     

Keane menolak niat baik Twain. "Tidak perlu, aku berlatih sesuai dengan program latihan Manchester United. Para pelatihmu memiliki program mereka sendiri. Itu tidak sama."     

"Kau masih mengingatnya?"     

Keane mengangguk.     

"Aku lupa kalau kau ingin menjadi seorang pelatih. Tentu saja, kau memperhatikan latihan tim. Well, kalau kau butuh bantuan, panggil aku." Setelah itu, Twain berbalik dan berjalan kembali ke lapangan latihan.     

Setelah beberapa saat, Twain memberi isyarat kepada tim untuk menghentikan latihan agar mereka bisa melakukan game dalam tim-tim kecil. Dua puluh tiga pemain di Tim Pertama dibagi menjadi tiga tim. Setiap tim terdiri atas delapan pemain yang akan berkompetisi di setengah sisi lapangan. Tim yang kalah harus melakukan push-up sebagai hukuman dan pemenang akan terus tinggal di lapangan hingga tim lain mengalahkan mereka. Setiap pertandingan hanya akan berjalan selama sepuluh menit. Tim manapun yang mencetak gol pertama akan menang. Kalau tidak ada tim yang mencetak gol dalam sepuluh menit, pemenangnya akan ditentukan melalui tendangan penalti.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.