Mahakarya Sang Pemenang

Keane, Sang Pria Bagian 2



Keane, Sang Pria Bagian 2

0Saat dia tiba di rumahnya, Twain hanya bisa melampiaskan semua kekecewaannya pada Dunn. Ini bukan yang pertama atau kedua kalinya Dunn bertindak sebagai pendengar. Dia menghabiskan makan malamnya sambil mendengarkan Twain menggerutu.     
0

"...The Celtics sialan! Sialan! Kalau bukan karena mereka, Roy Keane akan menjadi pemainku sekarang! Lini tengah kita akan memiliki pemain yang ditakuti oleh semua lawan kita, pemain yang tangguh dan seorang komandan! Dia bisa membantuku mendapatkan semua gelar kejuaraan. Dia masih bisa bermain sepakbola level atas selama tiga tahun lagi, dan bukannya lari ke Glasgow untuk mempersiapkan pensiunnya! Dan disana bahkan bukan tempat yang bagus untuk pensiun; itu jauh lebih buruk daripada Qatar," Twain akhirnya bergumam pada dirinya sendiri.     

Setelah Dunn selesai makan, dia membereskan piring bekas makannya dan melihat sekilas pada Twain yang masih agak gelisah. "Kalau seperti itu, media akan mulai mengatakan bahwa Nottingham Forest sudah menjadi rumah pensiun sekarang."     

"Aku tidak peduli apa yang dikatakan media." Twain menggigit daging sapinya dengan marah.     

"Kita masih punya Wood di lini tengah."     

"George? Dia masih muda dan masih harus banyak belajar. Roy Keane adalah guru yang baik, tapi waktunya terlalu singkat. Aku tidak tahu apa yang sudah atau belum dia pelajari."     

"Kalau kau tidak tahu tentang itu sekarang, kau akan mengetahuinya saat pertandingan nanti."     

Twain menghela nafas. "Dunn, awalnya aku sudah punya rencana yang bagus, dimana Albertini bisa mengajari George tentang bagaimana menjadi seorang gelandang yang berkualitas dan pemain sepakbola profesional. Hasilnya cukup bagus. George sudah jauh lebih baik daripada saat dia pertama kali bergabung dengan Tim Pertama. Dan temperamen George dan Keane sangatlah mirip. Aku ingin George menjadi jenis pemain yang memiliki kemampuan untuk memimpin tim. Kenapa Manchester United bisa sukses? Karena mereka memiliki Roy Keane. Kurasa kau memahami ini lebih baik daripada aku."     

Dunn mengangguk. Di musim laga tahun 97-98, tim Arsenal arahan Wenger berhasil meraih dua gelar. Musim itu, Roy Keane hanya bermain dalam sembilan pertandingan untuk Manchester United karena mengalami cedera lutut. Setelah musim itu, Ferguson pun harus mengakui bahwa Manchester United tidak bisa melawan Arsenal tanpa Keane.     

Peran Roy Keane di Manchester United tidak hanya sekadar sebagai kapten tim. Dia mewakili semangat Manchester United. Hampir mustahil untuk mengaitkan nama "Roy Keane" pada tim lain. Saat nama Keane disebutkan, hal itu akan selalu mengingatkan orang-orang pada Manchester United. Saat Manchester United disinggung, bukan Beckham atau Gary Neville yang muncul di benak sebagian besar orang, melainkan Roy Keane. Bagi banyak fans Manchester United, dia dianggap sebagai kapten yang paling hebat dan paling sukses di sepanjang sejarah Manchester United, melampaui "The King", Eric Cantona, kapten yang legendaris.     

Ada istilah di dunia sepakbola yang bisa menggambarkan pemain seperti itu dengan jelas: linchpin atau pemain yang tak tergantikan.     

Paolo Maldini adalah pemain yang tak tergantikan di AC Milan, Raúl González adalah pemain yang tak tergantikan di Real Madrid, Alessandro Del Piero adalah pemain yang tak tergantikan di Juventus, Oliver Kahn adalah pemain yang tak tergantikan di Bayern Munich, dan Roy Keane adalah pemain yang tak tergantikan di Manchester United.     

Twain berharap George Wood bisa menjadi pemain yang tak tergantikan di Nottingham Forest suatu hari nanti. Dia ingin Keane memberi lebih banyak bantuan dan bimbingan kepada Wood dan membuatnya lebih mendekati pemain yang tak tergantikan.     

Tapi sekarang ...     

"Tapi sekarang semua rencanaku berantakan," kata Twain sambil bersandar di kursi dengan tangan terbuka lebar.     

"Aku ingat kalau kau pernah bilang padaku kalau sepakbola tidak bisa direncanakan."     

"Oh ..."     

※※※     

Tak peduli seberapa enggan Twain melepaskan Keane, tidak mungkin dia bisa mengubah hal itu sekarang. Satu-satunya hal yang positif adalah melalui semua ini, dia dan Keane telah menjadi teman. Mungkin itu akan menjadi hal yang bagus di masa depan. Bagaimanapun juga, sebagai orang luar, memiliki satu teman lagi di dunia sepakbola akan lebih baik daripada memiliki satu musuh lagi.     

Selama latihan keesokan harinya, Roy Keane muncul tepat waktu di sisi lain lapangan. Twain datang untuk menyapanya dan kemudian kembali lagi untuk melanjutkan latihan tim. Semua orang sudah terbiasa dengan pemandangan itu dan tidak lagi menatap Keane seperti yang terjadi di hari pertama.     

Mungkin mereka bahkan tidak tahu bahwa ini adalah kemunculan terakhir Keane di lapangan latihan Wilford.     

Setelah dia pulang ke rumah kemarin, Twain telah memeriksa semua outlet media utama dan tidak menemukan berita tentang transfer Keane ke Celtic. Keane tidak mungkin berbohong kepadanya, jadi hanya ada satu kemungkinan: berita itu belum diumumkan, dan dia, Tony Twain, mungkin merupakan orang pertama yang tahu tentang itu selain pihak-pihak yang terlibat. Dari sudut pandang itu, Keane benar-benar melihat Twain sebagai teman.     

Setiap pemain yang berada dalam daftar pemain awal untuk pertandingan tandang besok harus mempersiapkan diri bermain melawan Aston Villa, jadi latihan pagi ini hanya dilakukan setengah hari. Setelah latihan usai, George Wood akan mengatur latihan tambahan untuk dirinya sendiri seperti biasanya.     

Tim Pelatih dan seluruh tim sudah tahu bahwa itu telah menjadi kebiasaan Wood. Latihan selama setengah hari terlalu ringan baginya. Kapanpun dilakukan latihan setengah hari, dia akan berlatih sendiri selama empat puluh menit usai latihan resmi berakhir.     

Saat para pemain di lapangan latihan kembali ke ruang ganti satu per satu, Roy Keane tetap berada di lapangan latihan bersama George Wood.     

Ini adalah pertama kalinya dia membuat dirinya melakukan latihan tambahan dalam kurun waktu dua minggu dia berada di Wilford.     

Wood berlatih mengoper, dan Keane berlatih menembak.     

Dua puluh lima menit kemudian, Keane meninggalkan lapangan latihan dan kembali ke ruang ganti, dengan tubuh berkeringat. Dia melepaskan pakaiannya untuk mandi di ruang samping. Dia tidak berdiri di bawah shower melainkan berendam di dalam kolam yang cukup besar.     

Lima belas menit kemudian, Keane mendengar suara pintu di ruang ganti pemain. Dia melihat arlojinya. Saat itu tepat empat puluh menit setelah latihan resmi berakhir, tidak lebih ataupun kurang.     

Anak itu...     

Setelah terdengar suara gemerisik pakaian dilepas, George Wood berjalan telanjang memasuki kamar mandi yang beruap, menyalakan keran, mengulurkan tangan untuk memeriksa suhu air, dan lalu melangkah ke bawah pancuran untuk membiarkan air panas mengguyur badannya dari kepala hingga kaki. .     

Saat dia memejamkan mata untuk menikmati momen relaksasi usai latihan, sebuah suara secara refleks membuatnya tersentak kaget.     

"Hei, Nak."     

Itu suara Roy Keane.     

"Kenapa kau kaget?"     

Wood merilekskan tubuhnya dan tetap berdiri di bawah pancuran. Dia tidak melakukan apa-apa kecuali membiarkan air mengalir dari kepalanya.     

"Kau seharusnya tahu siapa aku. Kita bahkan pernah bertukar jersey sebelum ini."     

"Roy Keane." Wood akhirnya berkata.     

Keane tertawa keras. "Sepertinya kau masih belum melupakanku. Apa kau masih ingat apa yang kukatakan padamu saat kita bertukar jersey? 'Kita akan sering bersaing; jangan mengecewakanku, nak'. Sayang sekali kita tidak akan punya banyak peluang untuk itu. Aku akan pergi ke Glasgow besok. Apa kau tahu dimana itu? Itu ibukota Skotlandia. Aku akan pergi kesana untuk menandatangani kontrak dengan sebuah tim disana... Saat dulu kita bertemu, tidak pernah terpikir olehku kalau aku akan meninggalkan Manchester United." Keane mengubah posisinya di kolam dan meletakkan kepalanya ke salah satu pojok kolam. Dia meletakkan lengannya di batas tepi dan menatap ke langit-langit.     

"Meskipun kita mungkin tidak punya banyak peluang untuk saling bersaing satu sama lain, aku masih akan tetap mengawasimu. Kau tahu kenapa aku peduli padamu, nak?"     

Wood bergerak sedikit untuk menoleh dan melihat sosoknya di kolam. "Erm ..."     

"Itu karena kau mirip sepertiku saat aku masih muda. Yah, hanya sedikit sih. Bakatmu sama sekali tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bakatku. Hey, kudengar kalau Real Madrid tertarik padamu beberapa waktu yang lalu. Kenapa kau menolak mereka? Mereka adalah klub yang jauh lebih besar daripada Nottingham Forest. Saat tim-mu masih berjuang untuk memasuki Liga Champions, mereka sudah menganggap bahwa tidak memenangkan kejuaraan itu adalah sebuah kegagalan. Kalau kau pergi kesana, kau akan segera menjadi pemain bintang yang dikenal secara internasional. Kehormatan, kejayaan dan uang akan menjadi milikmu. Kenapa kau tidak pergi?"     

"Aku tidak mau pergi."     

"Hah. Kejayaan dan uang tidak menarik bagimu? Kenapa aku transfer dari tim Forest ke Manchester United? Kenapa aku bersikeras menggunakan syarat 'kalau tim Forest didegradasi, aku akan meninggalkan tim' saat aku memperbarui kontrakku dengan Nottingham Forest? Itu karena aku tahu Nottingham Forest hanyalah tim kecil yang tidak bisa menahanku disini. Aku punya tujuan yang lebih tinggi dan ambisi yang lebih besar. Aku ingin memenangkan banyak hal. Pernahkah kau memikirkan tentang itu? Untuk apa kau bermain bola, nak?"     

Dua orang telah mengajukan pertanyaan yang sama pada George Wood – untuk apa kau bermain bola? – dalam dua minggu terakhir. Yang pertama kali menanyakan itu adalah manajernya, Tony Twain.     

Dulu, Wood ingin bermain bola karena pemain sepakbola profesional memiliki gaji yang besar. Dia bisa menghidupi dirinya sendiri dan ibunya, dan ibunya juga bisa mendapatkan perawatan untuk penyakit yang dideritanya. Kemudian, klub Forest membantu mereka keluar dari pemukiman kumuh dan bahkan membiayai operasi ibunya. Dia sudah mencapai tujuannya dalam bermain bola. Jadi, untuk apa dia masih bermain bola?     

Wood merenung selama beberapa saat sebelum kemudian menundukkan kepalanya dan berkata, "Aku tidak tahu."     

Keane tidak bermaksud membuat Wood merasa tidak nyaman dengan membicarakan tentang hal ini. Dia segera mengubah topik pembicaraan dan berkata, "Ngomong-ngomong, kudengar kau adalah wakil kapten tim sekarang. Bagaimana rasanya memakai ban kapten?"     

"Sangat ... Itu sangat rumit."     

"Apa kau pernah merasa bangga akan hal itu?" tanya Keane.     

Wood mengangguk.     

"Lalu, apa kau merasa stres?"     

Wood mengangguk lagi.     

Pada saat itu, Keane tertawa. "Dan tadinya kukira kau adalah monster yang tak punya hati. Nak, menurutmu apa yang dilakukan oleh kapten?"     

Wood mengingat kata-kata yang diucapkan Twain dan Albertini kepadanya. "Membantu rekan setim keluar dari masalah dan memimpin tim menuju kemenangan."     

"Hanya itu?"     

"Hanya itu."     

"Tidak sesederhana itu, Nak. Saat aku masih bermain di tim Nottingham Forest, aku bertemu dengan seorang kapten yang sangat, sangat bagus dan aku masih berterima kasih padanya hingga saat ini. Stuart Pearce. Apa kau pernah mendengar nama itu sebelum ini?"     

Wood mengangguk. Dia tahu kalau Stuart Pearce adalah kapten terbaik di tim Forest.     

"Aku masih muda dan sama sekali belum berpengalaman, tapi dia benar-benar telah membuka mataku. Dia menunjukkan padaku apa yang dimaksud dengan pemain profesional, apa yang dimaksud dengan pemain profesional yang luar biasa, dan ... Dia menunjukkan padaku bagaimana seorang kapten harus bertindak. Pada akhirnya, saat aku memakai ban kapten Manchester United pada usia dua puluh enam tahun, aku sepertinya bisa melakukan tugas itu dengan baik dan mudah."     

"Biarkan aku memberitahumu ... Seorang kapten adalah, yang pertama dan terutama, seorang pria. Apa kau tahu apa artinya menjadi seorang pria, nak?"     

Wood tidak tahu bagaimana dia bisa menjawab pertanyaan Keane. Seorang pria... bukankah itu hanya biologis? Dia menunduk.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.