Mahakarya Sang Pemenang

Seperti Sehelai Daun yang Jatuh ke Tanah



Seperti Sehelai Daun yang Jatuh ke Tanah

0"Kurasa dalam pertandingan final yang penting ini, kedua tim akan bermain stabil dan mempertahankan situasi itu. Sepuluh menit awal pertandingan seharusnya menjadi fase coba-coba. Bagaimanapun juga, ini adalah pertama kalinya kedua tim ini saling bertanding melawan satu sama lain di sepanjang sejarah. Tapi kurasa aku salah. AC Milan mungkin ingin bermain stabil, tapi Tony Twain tidak memberinya peluang itu. Serangan Nottingham Forest sejak kick-off bukan gertakan. Mereka berhasil menembus gerbang pertahanan AC Milan dalam delapan menit sejak pertandingan dimulai! Mereka sama sekali tak tampak kesulitan... kelihatannya mereka sangat familiar dengan tim AC Milan!" ucap komentator dengan penuh semangat.      

Yang sebenarnya terjadi adalah Twain dan Albertini memang familiar dengan AC Milan. Kenapa mereka harus melakukan coba-coba lebih dulu?     

Saat dia masih menjadi seorang penggemar, Twain tidak paham kenapa beberapa manajer tim mengatakan "Aku tidak tahu tim ini" saat mereka membahas lawan mereka. Itu terjadi sepanjang waktu, khususnya pada manajer-manajer yang berasal dari klub-klub besar. Apa itu terjadi karena lawan mereka lemah dan karenanya mereka merasa tidak perlu memahami lawan? Tapi saat pertandingan skala besar diadakan, hal ini masih saja terjadi.      

Karena itu, setelah dia menjadi manajer resmi Nottingham Forest, dia sangat menekankan proses pengumpulan informasi tentang lawan. Pada awalnya, klub tidak memiliki kapabilitas ini, jadi dia membayar sendiri pekerja temporer untuk membantunya mengumpulkan informasi. Kemudian, saat penampilan tim semakin baik, klub akhirnya mampu memenuhi permintaannya. Nottingham Forest saat ini memiliki sistem pengumpulan informasi yang lengkap. Dunn pernah mengatakan pada Tang Jing bahwa mereka tak peduli siapa lawan yang akan dihadapi karena mereka telah memiliki semua informasi yang mereka butuhkan untuk enam belas tim teratas. Mereka hanya perlu mengambil informasi yang telah mereka kumpulkan. Itu adalah hasil dari pekerjaan mereka melalui sistem pengumpulan informasi.      

Twain memiliki keyakinan yang mendalam terkait kebijaksanaan Cina kuno tentang "kenali dirimu dan kenali musuhmu, dan kau takkan terkalahkan." Tak peduli seberapa kuat timnya, mereka tak boleh mengabaikan pekerjaan mengumpulkan informasi tentang lawan. Meski mungkin informasi itu tak selalu bisa digunakan di dalam pertandingan, mereka tak pernah tahu kapan informasi itu akan dibutuhkan.      

Dari sejak hari pertama dia menjabat sebagai manajer resmi Nottingham Forest, dia menjalankan pengumpulan informasi terhadap semua klub papan atas Eropa sebagai sebuah proyek jangka panjang. Pada saat itu, timnya masih berada di Liga Satu – yang kemudian dikenal sebagai English Football League Championship. Dia membayar seseorang untuk melakukan pekerjaan itu dengan uangnya sendiri dan tidak ingin merepotkan klub. Baru setelah timnya berhasil dipromosikan ke Liga Utama, dia mengambil informasi yang telah dikumpulkannya dan meminta klub untuk melanjutkan proyek itu.      

Pengumpulan informasi terhadap AC Milan sudah dimulai sejak saat itu. Dia tidak tahu kalau dia akan berhadapan dengan AC Milan di pertandingan final Liga Champions musim 06-07. Dia hanya menganggap bahwa jika Nottingham Forest ingin tumbuh dan menjajaki jalan untuk menjadi sebuah klub papan atas, maka klub-klub besar akan menjadi lawan dan musuhnya tak lama lagi. Oleh karena itu, dia harus mengumpulkan informasi sesegera mungkin dan melanjutkannya secara sistematis. Kalau tidak, takkan ada bahan rujukan saat dia harus menghadapi lawannya.      

Sekarang, mereka telah berhasil menjebol pertahanan AC Milan dalam delapan menit sejak pertandingan dimulai. Selain penampilan luar biasa dari para pemain, serta penggunaan taktik yang tepat, pengumpulan informasi yang telah dilakukan dalam jangka panjang juga layak mendapatkan pujian.      

Twain memeluk semua orang di dekatnya saat merayakan gol itu. Gol pertama itu terjadi begitu cepat hingga semua orang merasa bahwa trofi juara semakin mendekati mereka.      

Di sisi lain, Ancelotti tidak bergegas menuju pinggir lapangan seperti layaknya beberapa manajer lain yang berusaha untuk mengingatkan para pemain tentang apa yang harus mereka lakukan setelah dia melampiaskan kemarahannya ke atap area teknis. Dia hanya duduk di kursinya.      

AC Milan adalah sebuah tim yang kuat dan mereka telah menghadapi ujian yang tak terhitung banyaknya seperti saat ini. Setiap pemainnya adalah pemain elit diantara yang elit. Mereka berpengalaman dan mereka tahu bagaimana caranya mengendalikan diri mereka sendiri. Mereka hanya kebobolan satu gol, yang tidak cukup untuk membuat seluruh tim merasa cemas, khususnya mengingat sekarang masih baru delapan menit. Bagi AC Milan, mereka masih punya delapan puluh dua menit untuk menyamakan kedudukan dan mengungguli tim Forest.      

Tentu saja, Maldini menjalankan perannya sebagai kapten tim di lapangan. Dia menghibur rekan setimnya dan menyemangati mereka dengan suara keras. Rekan setim yang sedikit syok gara-gara kebobolan di awal pertandingan perlahan mulai tenang dan semangat mereka kembali pulih. Dampak dari kebobolan gol itu mulai memudar.      

Twain melihat semuanya ini. Dia mendengus. Dia memang sudah menduga kalau kebobolan satu gol saja tidak akan bisa menghancurkan tim seperti AC Milan, kalau itu yang terjadi maka sangatlah mudah untuk menaklukkan dunia ini.      

Ini akan menjadi pertandingan final yang tidak mudah bagi kedua kubu...      

※※※     

Pertandingan dimulai kembali. Setelah kick-off, AC Milan tidak lagi berniat untuk coba-coba dan mulai meluncurkan serangan sengit ke wilayah tim Forest. Tapi, hasilnya masih minim saat harus berhadapan dengan Pertahanan Tembok milik tim Forest...     

Pirlo sadar bahwa saat tim Nottingham Forest memperketat pertahanan mereka, celah antara lini tengah dan lini belakang akan menghilang dan dia tak bisa lagi memanfaatkan area itu untuk melakukan serangan. Dia hanya bisa melawan tim Forest dari luar batas pertahanan mereka.      

Tim Forest mengirimkan Albertini untuk menjaganya dan memberikan Kaka kepada George Wood yang tak kenal lelah.      

Tim Forest berlari tak kenal lelah dan sering melakukan pelanggaran, serta aksi-aksi kasar, untuk menghentikan serangan AC Milan. Trik itu tampaknya efektif.      

Pirlo tidak bisa dengan mudah mengirimkan bola ke tempat dimana bola seharusnya berada. Meski dia berhasil mengoper bolanya, Kaka mungkin tidak akan bisa melindungi bola dibawah penjagaan ketat dan tekel Wood. Meski Kaka berhasil menerimanya, Inzaghi tidak akan bisa bergerak maju dan menembakkannya di tengah keramaian. Pada akhirnya, Kaka atau Seedorf hanya bisa mengakhiri serangan dengan tembakan panjang.      

Mereka tak punya banyak pilihan.      

Nottingham Forest berlari dengan agresif dan menggunakan high-pressing untuk mengganggu pertahanan AC Milan.      

Taktik ini memberikan hasil yang sangat bagus dalam jangka waktu dua puluh menit setelah pertandingan dimulai.      

AC Milan bermaksud mencari peluang dengan ritme permainan mereka sendiri, menggunakan penguasaan bola, operan dan terobosan tajam. Tapi, mereka tidak mendapatkan hasil yang mereka inginkan dalam dua puluh menit, karena penguasaan bola dan operan mereka menjadi kacau dibawah intersepsi paksa tim Forest.      

Dijaga ketat oleh Wood, Kaka jarang mendapatkan bola. Dibawah penjagaan Albertini, hal yang bisa dilakukan Pirlo hanyalah memberikan umpan lurus, tapi dia tidak bisa memberikan umpan balik ataupun umpan silang.      

Sejalan dengan waktu, skor masih bertahan pada 1:0 dengan keunggulan Nottingham Forest.      

Ancelotti berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pinggir lapangan tapi dia hanya mengamati situasi di lapangan dengan tenang. Berdiri seperti ini memberinya pandangan yang lebih baik dan dia bisa melihat situasi dengan lebih jelas.      

Baru dua puluh lima menit berlalu, dan dia tidak merasa khawatir. Meski timnya kebobolan gol, dia tetap yakin bahwa kemenangan akhir akan menjadi milik AC Milan-nya. Kenapa dia begitu percaya diri? Dia sudah tahu taktik Twain, dan dia tahu apa yang akan dilakukan Nottingham Forest.      

Berlari-lari di area yang besar adalah pekerjaan yang melelahkan secara fisik. George Wood menjaga Kaka dengan ketat, dia hampir menjadi bayangannya. Kaka bahkan merasa sulit untuk berbalik, apalagi menyerang. Sementara pemain lainnya, Seedorf, Pirlo, Inzaghi semuanya juga merasakan penjagaan ketat yang 'cermat' dari lawan mereka. Bagian depan gawang tim Forest sangat ramai hingga bisa dikatakan sebagai sebuah pusat kota. Sangatlah sulit untuk meluncurkan sebuah serangan. Ancelotti tidak terburu-buru.      

Dia tahu kalau tim Forest tidak akan bisa bertahan selama sembilan puluh menit dengan berlari dan bertahan yang sangat melelahkan seperti ini. Tidak banyak tim di dunia yang bisa mempertahankan ritme berintensitas tinggi seperti ini selama sembilan puluh menit. Mungkin orang-orang Korea Selatan bisa melakukannya...      

Ancelotti tidak percaya tim Forest bisa terus bertahan dengan ketat selama sembilan puluh menit. Dia yakin bahwa seiring berjalannya waktu, pertahanan tim Forest yang tampaknya tak bisa ditembus itu akan memunculkan celah, dan AC Milan yang berpengalaman akan mengambil kesempatan itu untuk membalikkan situasi dalam sekejap.      

Hal terpenting saat ini adalah tidak membiarkan pertahanan dan intersepsi lawan mengganggu ritme permainan mereka sendiri. AC Milan masih harus menggunakan gaya sepakbola mereka sendiri. Ancelotti tahu bahwa Twain ingin memancing AC Milan agar terbawa ritme cepat Liga Utama Inggris dan menggunakan kecepatan serta kekacauan untuk menang. Dia tidak bisa membiarkan pria itu mendapatkan apa yang dia inginkan.      

Dia mengamati situasi selama beberapa waktu dari pinggir lapangan, dan kemudian meneriakkan nama Pirlo. Dia membuat isyarat tangan menekan ke bawah untuk Pirlo.      

Pirlo mengangguk untuk menunjukkan kalau dia paham.      

Dia memiliki gagasan yang sama seperti manajernya. Kalau dia memberikan umpan lurus secara sembarangan, dia hanya akan masuk ke dalam jebakan lawan. Kesalahan-kesalahan sendiri yang terus menerus dilakukan pasti akan memberikan dampak buruk terhadap semangat dan kepercayaan diri rekan setimnya sekaligus memberikan banyak peluang bagi lawan untuk menyerang balik.      

Fokus pertandingan bagi AC Milan saat ini bukanlah menyamakan kedudukan, melainkan mendapatkan lebih banyak penguasaan bola, menstabilkan situasi dan perlahan bersaing dengan lawan.      

※※※     

"Ancelotti itu seperti rubah tua. Aku tidak menyukainya, tapi aku harus mengakui kalau dia memang punya skill," gumam Twain pada dirinya sendiri di kursi pelatih.      

Ancelotti sudah membaca niatnya, dan dia juga sudah mengetahui gagasan Ancelotti. Jenis pertandingan final ini adalah panggung terbaik untuk adu kepandaian antar manajer. Lawannya bukanlah seorang idiot yang mudah dikalahkan, melainkan seorang manajer yang pernah memenangkan gelar Liga Champions. Dengan gelar itu saja, pihak lawan memiliki lebih banyak pengalaman daripada Twain.      

Ancelotti gemuk itu ingin mengulur-ulur pertandingan hingga tim Forest kehabisan tenaga dan kemudian menggunakan pengalaman dan metode AC Milan untuk menentukan hasil pertandingan.      

Twain tak menyangkal bahwa timnya takkan bisa menggunakan taktik bertahan ini selama sembilan puluh menit, tapi dia juga takkan memberikan peluang bagi Ancelotti untuk membalikkan situasi. Satu-satunya cara untuk itu adalah mencetak lebih banyak gol sebelum timnya kehabisan stamina dan mendapatkan kemenangan lebih awal serta menghancurkan harapan AC Milan yang tersisa.      

Kau ingin membalikkan keadaan? Aku akan mencetak beberapa gol lagi dan kemudian kita lihat bagaimana kau akan membalikkan keadaan!     

Jangan bilang kalau kau akan membalikkan semuanya?     

Twain tidak menganggap timnya sama seperti AC Milan di tahun 2005. Karenanya, dia juga tidak akan pernah mengakui bahwa AC Milan saat ini seperti Liverpool di tahun 2005. Dia cukup arogan untuk menganggap dirinya lebih baik daripada itu.      

"Apa kita perlu meningkatkan serangan, Tony?" tanya Kerslake disampingnya.      

Twain menoleh dan memandang ke arah Dunn yang diam.      

Saat mengamati situasi di lapangan, Dunn merasakan tatapan dari kedua pria disampingnya yang membuatnya menoleh. Dia menggelengkan kepalanya. "Tidak. Kurasa kita sudah cukup bagus sekarang. Pertahanan kita solid, dan kita punya peluang untuk melakukan serangan balik. Sekarang terserah Ribery dan yang lainnya bagaimana mereka akan memanfaatkan itu."     

Twain mengangguk setuju. "Pendapatku juga sama. Meningkatkan serangan akan membutuhkan banyak pemain untuk keluar menyerang. Sekarang ini kita sedang bertahan dan tidak bisa mengeluarkan terlalu banyak orang. Dan David, kau harus tahu kalau AC Milan sangatlah licik... Kalau kita mengambil resiko dan terus menekan mereka, itu akan membuat Pirlo dan Kaka bisa memanfaatkan kesempatan. Kondisi kita saat ini sudah bagus, jadi tidak ada yang perlu diubah."     

Tony benar-benar konservatif, pikir Kerslake, meski dia memang sudah menunjukkannya berkali-kali... kalau dirinya yang menjadi manajer, mungkin sebelum pertandingan, dia akan membuat timnya bertarung habis-habisan melawan AC Milan! Dia tidak suka bermain konservatif, tapi dia menunjukkan pemahamannya dan menghormati keputusan Twain. Bagaimanapun juga, ini adalah pertandingan final di kejuaraan penting. Manajer manapun pasti takut mengambil resiko di pertandingan seperti ini dan mempertaruhkan karir kepelatihan mereka sendiri.      

Ingat saja pertandingan final yang suram di Stadion Old Trafford, Manchester pada tahun 2003, dimana dua tim Italia mengakhiri perang saudara itu dengan hasil imbang 0:0 setelah 120 menit dan akhirnya harus mengandalkan adu penalti untuk menentukan hasilnya. Kerslake menonton pertandingan itu di televisi, dan rasa tidak sukanya terhadap gaya sepakbola Italia berasal dari sana. Dia menganggap adu penalti itu sudah direncanakan oleh manajer kedua klub sebelum pertandingan, dan hanya ada sedikit kebanggaan yang bisa dirasakan dari memenangkan gelar juara itu.      

Dia tidak tahu bahwa Tony Twain mempelajari pertandingan final itu berkali-kali. Bagi sebagian besar penggemar sepakbola, pertandingan itu menyenangkan untuk ditonton, tapi bagi para manajer, pertandingan itu adalah materi pengajaran dan penelitian yang berharga.      

※※※     

Dari pinggir lapangan, Ancelotti menginstruksikan Pirlo untuk meyakinkan tim dan menggunakan ritme mereka sendiri, sebelum kembali duduk di kursi pelatih dan tidak berdiri lagi.      

Pertandingan final dimana mereka membantai habis Barcelona dengan skor 4:0 adalah pertandingan yang patut dikenang, tapi itu hanya terjadi satu kali selama bertahun-tahun. Kalau semua babak final menggunakan pertandingan itu sebagai standardnya, para manajer pasti akan langsung pingsan setelah kebobolan gol.      

Ancelotti tidak menganggap gelar Liga Champions UEFA kedua di sepanjang karir kepelatihannya akan mudah untuk diraih. Dia sudah siap menghadapi yang terburuk dan siap melakukan yang terbaik dalam pertarungan ini.      

※※※     

Di menit ke-37, masih ada waktu sekitar delapan menit sebelum babak pertama berakhir, dan skor masih tidak berubah. Di layar besar, skor 1:0 membuat para fans AC Milan terdiam. Selama periode ini, hanya suara nyanyian fans Forest yang bisa didengar di Stadion Olympic Athena.      

Mereka menyanyikan lagu tim, lagi dan lagi.      

Hati para fans Forest terasa semanis madu. Mereka juga sangat bersemangat dalam menyanyikan lagu lawas itu.      

Michael Bernard dan teman-temannya bernyanyi dan berteriak sekuat tenaga meski suara mereka sudah serak. Para fans Forest menjadi protagonis di tribun stadion, melampiaskan emosi yang telah mereka pendam selama dua puluh tujuh tahun dan tak peduli dengan bagaimana perasaan lawan mereka.      

"Kami adalah tim terkuat di dunia!"     

※※※     

Di menit ke-40, AC Milan mulai mengubah tempo dan mundur sedikit setelah pengepungan terhadap gawang tim Forest tidak efektif. Babak pertama hampir berakhir dan AC Milan harus mempertahankan kekuatan mereka.      

Nottingham Forest meluncurkan serangan. Kali ini, serangan itu cukup mengancam meski bukan jenis serangan balik yang cepat. Tim Forest bukanlah tim yang hanya tahu bagaimana caranya meluncurkan serangan yang cepat. Twain telah membentuk sebuah formasi dengan satu striker. Dia menempatkan lima pemain di lini tengah dengan menggunakan formasi 4-4-1-1 melawan formasi 4-4-1-1 milik AC Milan. Van Nistelrooy adalah satu-satunya ujung tombak di depan, dan van der Vaart bertanggungjawab dalam mengorganisir serangan tim di belakangnya. Pria Belanda itu dimasukkan ke dalam starting lineup karena saat Twain mempertimbangkan perlunya memainkan positional play, dia ingin agar pria Belanda itu mengorganisir serangan, sambil berbagi tekanan dengan Albertini. Bagaimanapun juga, Demetrio masih harus memperketat penjagaannya terhadap Pirlo, dan dia tidak punya banyak peluang untuk mengorganisir serangan.      

Bola dioper ke kaki van Nistelrooy, tapi karena dia dijaga dengan ketat dan tak bisa membalikkan badan, dia hanya bisa kembali mengoperkan bolanya ke van der Vaart yang berlari dari lini tengah.      

Begitu van der Vaart menerima bola, Gattuso bergerak maju.      

Ancelotti tahu bahwa van der Vaart bertindak sebagai komandan lini tengah Nottingham Forest. Twain memasukkan pria Belanda itu ke dalam starting lineup untuk membuatnya mengorganisir serangan. Oleh karena itu, selama mereka menjaga ketat van der Vaart, tim Forest takkan punya pilihan lain kecuali memainkan serangan balik defensif.      

Karena George Wood berusaha menjaga Kaka dan Albertini menjaga Pirlo, kenapa Gattuso kami tidak bisa menjaga van der Vaart mereka? Selain itu, Ancelotti yakin bahwa Gattuso adalah gelandang bertahan terbaik di dunia.      

George Wood? Dia hanya pemain bintang yang diciptakan oleh media Inggris yang suka menyombongkan diri...      

Ancelotti benar-benar berpikir seperti itu sebelum pertandingan.      

Sekarang, dia harus merevisi penilaiannya tentang Wood. Seorang gelandang bertahan yang bisa membuat gelandang serang terbaik dunia, Kaka, tak berkutik selama hampir empat puluh menit tidak mungkin palsu.      

Kaka bergerak mundur untuk bertahan, dan Wood mengikutinya. Wood bukan lagi rookie yang tidak ada hubungannya dengan menyerang. Setelah tiga tahun berlatih di bawah bimbingan Albertini, dia sudah belajar bagaimana caranya untuk ikut terlibat dalam serangan tim.      

Dia melihat van der Vaart membutuhkan dukungan karena penjagaan Gattuso telah membuat semuanya jadi sangat sulit bagi pria Belanda itu. Kalau tidak ada orang yang datang membantunya, serangan tim Forest hanya akan berakhir dalam dua cara – satu, van der Vaart mengoper bola dengan terburu-buru dan kehilangan bola. Kedua, bola van der Vaart akan dicegat langsung oleh Gattuso.      

Bagaimanapun juga, itu tidak akan bagus untuk tim Forest.      

Albertini sudah lebih tua. Hal semacam ini membutuhkan seseorang yang bisa berlari cepat kesana kemari, yang lebih cocok bagi Wood yang masih muda dan kuat.      

George berlari menghampiri. Dia tidak berteriak dengan suara keras karena dia yakin van der Vaart tahu kalau dia datang.      

Tentu saja, van der Vaart mengoper bolanya kepada Wood ditengah gangguan dari Gattuso.      

Wood tidak berdiam diri setelah menerima bola. Dia segera mengalihkan bola ke Ribery, yang berlari memotong ke tengah.      

Saat dia tidak lagi membawa bola, tekanan yang dirasakan van der Vaart mereda dan dia bisa melepaskan diri dari Gattuso untuk berlari ke sayap kiri. Twain meminta agar dirinya dan Ribery sering bertukar posisi di dalam pertandingan karena keduanya memiliki kemampuan untuk bermain di sayap kiri dan lini tengah. Pertukaran posisi ini bisa meningkatkan rutinitas ofensif tim Forest secara efektif dan mengganggu pertahanan lawan.      

Ambrosini mengikuti Ribery ke tengah dan Gattuso memutuskan untuk mengikuti van der Vaart setelah sempat merasa ragu. Siapa yang tahu kalau Ribery akan mengoper kembali bolanya? Aksi van der Vaart di sayap kiri tidak boleh diabaikan.      

Ribery tidak menemukan celah yang terbentuk di lini pertahanan lawan hanya karena dirinya bertukar posisi dengan van der Vaart. Ambrosini mengikutinya dalam jarak dekat, jadi dia mengoper bolanya lagi ke Wood.      

Posisi Wood jauh di belakang, dan selama sesaat, tidak ada pemain AC Milan yang muncul untuk mentekelnya.      

Setelah mempelajari dua pertandingan Nottingham Forest melawan Chelsea di semifinal, Ancelotti harus mengakui kecakapan Wood dalam menyerang tapi dia tahu bahwa pria itu tidak memiliki kendali atasnya. Selama dia dijaga tetap berada sejauh mungkin dari gawang, ancaman yang bisa diberikannya tidak terlalu besar.      

Oleh karena itu, dalam pertandingan ini, strategi pertahanan untuk Wood adalah tidak membiarkannya mendekati kotak penalti dan agar dia terpaksa mengoper bolanya keluar.      

Ribery mengoper bola ke Wood, dia ingin melakukan wall pass dengan Wood. Sebenarnya, Wood juga memikirkan hal yang sama. Dia melihat Ribery yang segera berbalik dan berlari ke dalam kotak penalti, jadi dia memberinya operan lurus.      

Sayangnya, Ambrosini bisa menebak koordinasi taktik sederhana tim Forest ini. Saat Ribery baru berbalik, dia segera mentekelnya untuk menghentikan serangan itu.      

Peluit wasit kembali terdengar. Ambrosini telah melakukan pelanggaran. Nottingham Forest diberi hadiah tendangan bebas sekitar tiga puluh meter dari gawang.      

Detil jarak yang ditunjukkan di layar televisi adalah dua puluh delapan meter.      

Tadinya berada di lini belakang, Albertini mulai berlari ke depan saat dia melihat tim Forest mendapatkan tendangan bebas di depan. Para pemain Forest kelihatannya menunggunya. Sebelum dia datang, tidak ada yang mengambil bola. Mereka membiarkan bola berada di tempat terjadinya pelanggaran.      

"Albertini berlari ke depan, dan kelihatannya dia akan melakukan tendangan bebas!" Komentator Inggris dan Italia sama-sama bersemangat.      

"Buat dinding manusia dengan lima pemain!" teriak Maldini dari area penalti setelah dia melihat Albertini akan melakukan tendangan bebas.      

Dia sangat familiar dengan standar tendangan bebas teman lamanya itu.      

Di pertandingan Liga Champions tahun 2000, saat AC Milan melawan Barcelona dan Albertini bertarung melawan Rivaldo, pertarungan antara dua orang master tendangan bebas kelas dunia dimulai dengan skor imbang 2:2. Skor akhir pertandingan itu adalah 3:3. Kalau Albertini tidak ada disana, hasilnya jelas akan berbeda.      

Sekarang setelah dia lebih tua, orang-orang pasti mulai menganggap skill tendangan bola matinya sudah tumpul, kan? Kelihatannya memang begitu. Gareth Bale adalah penendang utama untuk tendangan bebas, dan yang kedua adalah Eastwood. Tapi itu hanya karena Albertini tidak sering diturunkan.      

Pada bulan Januari tahun ini, dalam pertandingan perpisahan yang disiapkan oleh AC Milan untuknya, pria tua itu masih menggunakan tendangan bebas jarak jauh untuk menjebol gawang Barcelona.      

Celakalah siapapun yang berani meremehkan tendangan bebasnya!     

Maldini tidak berani meremehkannya. Dia bahkan berlari ke depan untuk mengarahkan rekan-rekannya dalam membuat dinding manusia.      

Albertini berlari menghampiri, mengambil bola dan menempatkannya dengan seksama ke atas rumput.      

Saat dia mengangkat kepalanya dan menegakkan tubuh, dinding manusia AC Milan masih belum terbentuk. Dida sedang mengarahkan dinding manusia itu dan Maldini juga sedang memberikan perintah. Adegan itu sedikit kacau. Dia tidak tahu apakah AC Milan sengaja melakukan ini sebagai bagian dari taktik psikologis atau tidak.      

Albertini tetap tidak bergerak. Dia melangkah mundur dan menunggu dengan tenang hingga lawannya membentuk dinding manusia yang bagus.      

Dinding manusia AC Milan itu terbentuk lebih panjang dari biasanya, tapi para pemain Forest tidak merasa kesal karena mereka sibuk dengan urusan mereka sendiri.      

Ribery tiba-tiba saja berjalan menghampiri untuk tos dengan Albertini yang sedang bersiap menendang bola. "Semua siap, Kapten!" lalu dia berbalik dan melangkah menjauh.      

Pria Prancis itu mungkin melakukannya dengan spontan, tapi karena dia yang memulainya, beberapa pemain di tim Forest menganggapnya terlihat keren jadi mereka juga ikut-ikutan menghampiri Albertini. Pemain kedua yang tos dengannya adalah van der Vaart, pemain ketiga adalah van Nistelrooy. Striker Belanda itu bahkan bertanya padanya sambil tertawa, "Apa kau mau aku yang menembak?"     

Sejumlah pemain Forest mengantri untuk beradu tos dengan kapten mereka. Ini sama sekali tidak pernah terlihat di pertandingan sebelumnya.      

Baik komentator maupun pembawa acara di siaran televisi menyadari adanya peristiwa yang terjadi di lapangan. Tidak ada yang memperhatikan saat AC Milan berusaha meluruskan dinding manusia mereka.      

"Mari kita lihat apa yang terjadi di lapangan... Ah, semua pemain Forest telah berkumpul di sekitar Albertini untuk melakukan tos dan mengatakan sesuatu padanya..."     

Sebenarnya, dinding manusia AC Milan sudah terbentuk, tapi tim Forest masih belum selesai. Sekarang ganti mereka yang harus menunggu.      

Seandainya wasit tidak menghentikan mereka, mungkin bahkan kiper Forest, Edwin van der Sar, akan berlari maju untuk tos dengan Albertini. Kalau dinding manusia AC Milan yang dibentuk dengan lambat adalah taktik psikologis untuk Nottingham Forest, maka sekarang mereka juga merasakan hal yang sama dari tim Forest...      

Kerslake menoleh dan menatap Twain. Dia mengira kalau itu adalah gagasan Twain. Twain hanya mengangkat bahu dan tangannya untuk menunjukkan kalau dia tidak bersalah. "Aku tidak menyuruh mereka melakukan ini! Aku tidak pernah mengira kalau akan ada peristiwa semacam ini... Jangan salahkan semua keanehan mereka padaku, oke?"     

Kerslake tertawa senang. "Bukankah kau sendiri selalu terlibat dalam berbagai hal yang aneh?"     

Wood akhirnya beradu tos dengan Albertini. Saat semua orang mulai beradu tos dengannya, Albertini tampak terkejut. Tapi kemudian, dia menerima semua perlakuan khusus ini sambil tersenyum. Baru saat dia melihat Wood, ekspresi di wajahnya berubah.      

Dia selalu ingin mengajari Wood bagaimana caranya melakukan tendangan bebas, tapi bakat bocah itu di area ini adalah nol. Tidak mudah membuatnya bisa mengarahkan tendangannya ke dalam tiang gawang. Tapi menuntutnya agar bisa menembak melewati dinding manusia dan kiper, bukankah itu hampir mustahil?     

Setelah Wood dan Albertini saling adu tos, mereka membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi disela oleh peluit wasit.      

Kedua pria itu menoleh dan melihat ekspresi wasit Jerman, Fandel, yang tampak kesal. Albertini tersenyum sambil mendorong Wood menjauh. "Pergilah, George, jangan menghalangi golku."     

Wood tidak bergerak. "Aku disini untuk menggantikanmu."     

Albertini tertawa senang. "Seluruh dunia tahu kalau kau tidak tahu bagaimana caranya melakukan tendangan bebas."     

"Kalau begitu aku akan menonton dari samping." Wood bersikeras untuk tinggal, dan Albertini tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu.      

Terkait adegan yang terjadi setelah dinding manusia itu, Maldini benar-benar tidak bisa mendeskripsikan apa yang dia rasakan. Kelihatannya Demetrio memiliki banyak teman baru di Inggris dan terlihat senang di tahun-tahun terakhir karirnya. Dia seharusnya ikut merasa senang, jadi kenapa dia merasa sedikit cemburu dan kesal tentang lawannya yang menunjukkan persahabatan yang begitu dekat?     

"Baiklah, George. Terserah kau saja. Kalau kau mau belajar sesuatu, silahkan saja... Aku tidak punya banyak peluang untuk mengajarimu lagi." Albertini memandangnya. "Kau tidak akan bisa menguasai tendangan bebas, tapi aku masih akan mengajarimu... Hal terpenting adalah pikiranmu. Disini, kau harus..." dia menunjuk langsung ke jantungnya, "pastikan kalau kau tetap tenang. Semakin kritis situasinya, kau harus semakin tenang."     

Setelah mengatakan itu, dia memutar tubuhnya dan memandang ke arah dinding manusia dan gawang AC Milan. Dia tidak lagi memperhatikan George Wood dan senyum di wajahnya menghilang.      

Sosok rekan setimnya tidak lagi ada di lapangan ini. Dinding manusia? Lawan? Mereka semua telah menghilang. Di mata Albertini, satu-satunya hal di lapangan adalah gawang yang kosong, dirinya sendiri dan bola di dekat kakinya.      

Di sisi lain lapangan ini adalah bekas timnya, AC Milan, yang paling disayanginya dalam hidupnya. Pemikiran semacam ini tidak muncul di dalam benak Albertini. Dia hanya punya satu pemikiran, dan itu adalah mencetak gol.      

Inilah jalanku.      

※※※     

Tak terdengar suara apapun di lebih dari setengah pub yang ada di kota Nottingham. Kalau cahaya terang tidak bisa dilihat dari luar, seseorang yang tidak terlalu pandai pasti akan mengira kalau pub itu sudah tutup.      

Kenny Burns tidak menonton pertandingan secara langsung. Dia ingin tinggal di pub-nya untuk membantu. Malam itu, bisnisnya luar biasa bagus. Para penggemar yang tidak bisa bepergian ke Athena telah memilih untuk datang ke pub yang paling familiar dan memesan secangkir besar bir dan menonton siaran televisi. Mereka akan bersorak untuk tim favorit mereka dari Inggris.      

Fans Forest di tribun bernyanyi dan sama halnya dengan para fans di pub. Saat mulut mereka kering dan suara mereka serak, mereka hanya minum seteguk bir dingin, berteriak karena kedinginan dan kembali bernyanyi dengan gembira.      

Bar itu dipenuhi orang-orang dengan wajah memerah, tapi tidak ada yang membuat keributan. Semua orang memiliki pose yang sama – gelas di tangan mereka sambil menjulurkan leher untuk menonton televisi yang digantung dari langit-langit. Bahkan para pelayan dan bos juga menonton dalam diam.      

Kalau ada orang asing yang melangkah masuk, dia akan mengira kalau dia berada di dunia Harry Potter – apa semua orang ini dibekukan oleh kekuatan sihir?     

Gambar Albertini yang diambil dari jarak dekat muncul di layar televisi. Dia memandang ke depan dengan tegas dan ekspresi wajahnya tampak serius.      

Komentator tidak berbicara, dan tidak ada suara lain yang terdengar dari speaker televisi selain suara para fans di stadion. Selama sesaat, ini seolah memberikan kesan kalau sinyal transmisinya rusak.      

"Oh Tuhan..." Seseorang menghela nafas saat dia akhirnya tidak tahan dengan keheningan yang mencekam.      

"Priittt ---" Peluit ditiup.      

※※※     

Albertini berlari, mengangkat kakinya dan menendang.      

Bola itu melewati dinding manusia dan melesat ke langit. Kelihatannya seolah-olah bola itu terbang keluar lapangan dan akan mendarat di tribun tempat fans AC Milan berada.      

Tapi, itu hanya ilusi.      

Bola itu berputar di udara dan sudutnya berubah saat bola itu mulai bergerak turun sambil mengarah ke gawang.      

Dida melompat sekuat tenaga. Tinggi tubuhnya adalah 1.96 m, dikombinasikan dengan sepasang lengan yang panjang, itu sudah cukup untuk memblokir area di atas gawang.      

Dia tidak berhasil menyentuh bola...      

Bola itu meluncur melewati ujung jemarinya.      

Apa bola itu akan keluar dari garis batas lapangan?     

Tidak, ini adalah tendangan bebas Demetrio Albertini. Ini adalah tendangan bebas yang dikenal sebagai 'tendangan pisang Albertini'.      

Setelah bola itu meluncur melewati ujung jari Dida, bola tiba-tiba saja berubah arah dan menukik tajam!     

Hal itu terjadi dalam sekejap, dan orang-orang hanya melihat sedikit perubahan dalam lintasan bola.      

Bola itu membentur mistar saat masuk ke dalam gawang.      

Seperti sehelai daun yang jatuh ke tanah...     

※※※     

Saat Albertini baru debut, dia sudah menunjukkan bakat yang luar biasa dalam sepakbola. Gullit pernah menunjuk ke arah rekan setim mudanya ini dan berkata pada Sacchi, "Dia tangguh." Dimana Sacchi kemudian menjawab, "Ya, dia punya ritme permainan di dalam tubuhnya."     

Manajer AC Milan menemukan bakatnya dalam melakukan tendangan jarak jauh dan tendangan bebas, jadi manajer itu memintanya mempelajari "tendangan pisang" yang hanya bisa dilakukan oleh para pemain Amerika Selatan. Dia berhasil dan "tendangan pisang" itu menjadi ciri khasnya. Dia telah menggunakan ciri khasnya ini berkali-kali saat mengepung gawang lawan dan berulang kali memberikan hasil bagi AC Milan.      

Tendangan pisang = Albertini = AC Milan.      

Selama tiga belas tahun, persamaan itu sudah mutlak. Tiga faktor itu membentuk segitiga yang tak terhancurkan.      

Saat Albertini masih memakai jersey bergaris merah hitam dan menginjakkan kakinya di Stadion San Siro, dia sama sekali tak pernah mengira kalau dia akan menjadi lawan AC Milan suatu hari nanti. Dia hanya ingin bermain di AC Milan sampai dia pensiun.      

Saat Galliani memutuskan untuk memberitahu Albertini bahwa "AC Milan tidak lagi membutuhkanmu. Kami punya pemain muda seperti Pirlo dan Kaka," manajer, yang dikenal karena kelihaiannya di dunia sepakbola, tidak mengira bahwa suatu hari nanti timnya akan menghadapi Albertini di final Liga Champions, dan pemain yang tidak dibutuhkannya itu akan memberinya tusukan yang paling tajam.      

※※※     

"Hidup Forest!" Kota Nottingham, yang hening hingga beberapa saat lalu, langsung meledak dengan suara sorakan riuh, berderu keras di langit malam.      

"Hidup Demetrio! Hidup Nottingham Forest!"     

"Dia mencetak gol! Dia mencetak gol! Demetrio Albertini! Dibuang oleh AC Milan, dengan 'tendangan pisang'–nya yang ikonik. Nottingham Forest memperbesar keunggulannya menjadi dua gol!" suara komentator Inggris itu sedikit tidak jelas karena diwarnai kegembiraan.      

"Pemain yang tidak kami inginkan telah memberikan pukulan fatal.. Ini terlalu kejam, terlalu dramatis..." kata komentator Italia dengan suara pelan. Haruskah dia mengatakan bahwa Albertini sudah tua tapi masih kuat? Mungkin di akhir pertandingan ini, mereka masih bisa berkata dengan sikap mencela diri sendiri, "Setidaknya hasil pertandingan ini ditentukan oleh seorang pemain yang dibentuk AC Milan."     

Di antara kursi-kursi VIP, senyuman sopan bahkan tak terlihat di wajah Berlusconi. Duduk disampingnya, Galliani bersandar di kursinya, tampak sangat tak berdaya.      

Tak jauh dari sana, ketua klub Nottingham Forest Football Club, Edward Doughty dan teman baiknya, manajer pemasaran klub, Allan Adams melompat bangkit dan berpelukan untuk merayakan gol. Setelah saling berpelukan, Edward mengayunkan tinjunya dengan penuh semangat ke arah lapangan.      

"Kerja bagus! Bagus sekali!" tak ada kata-kata lain yang terlontar dari mulutnya kecuali itu. Dia tidak peduli dengan perasaan eselon atas AC Milan Football Club. Setelah menghabiskan waktu cukup lama dengan Twain, dia mulai tertular beberapa kebiasaan buruk pria itu. Saat tiba waktunya untuk merasa bangga, mereka harus merayakannya dengan liar dan menikmatinya sepenuh hati. Kenapa dia harus memperhatikan bagaimana perasaan lawan?     

Sebagai panutannya, Twain justru lebih gila daripada dirinya. Setelah Albertini berhasil mencetak gol, Twain mengangkat kedua lengannya tinggi-tinggi dan bergegas berlari memasuki lapangan. Dia tampak mencolok dan menarik perhatian semua orang karena dia berlari dengan masih mengenakan jasnya. Kalau itu adalah situasi biasa, dia mungkin sudah dijatuhkan oleh penjaga keamanan stadion seperti layaknya seorang pelari telanjang. Tapi, lapangan memang sedang kacau balau. Tanah seolah bergetar, dan penjaga keamanan tidak bereaksi saat mereka melihat apa yang dilakukan Twain, yang memberinya kesempatan untuk terus berlari di lapangan. Twain tidak berlari ke lapangan hanya untuk melambaikan tinjunya sebelum kemudian berhenti. Dia berlari langsung ke arah Albertini dan mendorong pemain veteran itu ke tanah lalu menindihnya.      

"Ke**rat! Demetrio, kau berhasil melakukannya!" Itu adalah kata-kata terakhir yang didengar Albertini sebelum dia ditindih oleh tubuh-tubuh rekan setimnya.      

Perayaan Twain yang penuh semangat seolah menyalakan mood para fans Forest di tribun. Bersama-sama, mereka menyanyikan lagu tim saat tim Forest memenangkan dua gelar Liga Champions –"Kita punya seluruh dunia di tangan kita."     

Michael, John dan Bill bernyanyi dengan suara serak mereka... mereka tidak bisa dikatakan bernyanyi karena mereka sebenarnya meneriakkan lagu itu, seolah-olah mereka ingin pita suara mereka putus, karena itu adalah bukti dari kegembiraan mereka.      

"Kita punya seluruh dunia di tangan kita! Kita punya seluruh dunia di tangan kita! Dunia ini di tangan kita! Kitalah yang terkuat di dunia!"     

"Suara nyanyian para fans Nottingham Forest... dan lagu para fans Nottingham Forest sekali lagi terdengar di arena Eropa! Kita seolah kembali ke masa lalu di Stadion Olympia di Munich, Jerman pada tahun 1979. Itu adalah saat dimana Nottingham Forest asuhan Brian Clough tampil di final Liga Champions untuk pertama kalinya dan mengejutkan seluruh Eropa dengan kemunculan mereka. Tidak ada yang memihak mereka, tapi mereka akhirnya menang! Dua puluh delapan tahun kemudian, Tony Twain telah mengambil alih jubah veteran manajer Clough dan memimpin Nottingham Forest yang baru untuk muncul di final Liga Champions. Kali ini, dia bersumpah untuk tidak membiarkan gelar juara lepas dari genggaman! 2:0! Warna merah itu sudah kembali!"     

Ya, sayang! Kami kembali dan sudah siap mengambil kembali kejayaan kami yang hilang di tahun-tahun sebelumnya!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.