Mahakarya Sang Pemenang

Karakter Pendukung



Karakter Pendukung

0Liga Utama Inggris musim 06-07 telah berakhir dan semua tim di Inggris telah dibubarkan untuk liburan kecuali dua tim. Ini adalah tahun yang bagus bagi para pemain Eropa karena tanpa terlibat dalam kompetisi internasional, mereka akhirnya bisa mendapatkan liburan setelah bekerja keras selama satu musim.      

Meskipun para pemain dari kedua tim ini tidak bisa beristirahat lebih awal, pasti banyak yang merasa iri pada mereka karena mereka berhasil melaju hingga babak final kejuaraan bergengsi.      

Liverpool, yang baru saja kehilangan tempat dalam kualifikasi Liga Champions musim depan, hanya akan bisa terus bertarung di Liga Eropa UEFA. Kabar baiknya adalah mereka berhasil melaju hingga babak final melawan Sevilla Football Club dari Spanyol untuk Liga Eropa UEFA musim ini.      

Babak final Liga Eropa UEFA musim ini akan diadakan pada tanggal 17 Mei, empat hari setelah berakhirnya turnamen liga.      

Media mulai meliput babak final Liga Eropa UEFA, dan Liverpool adalah tim yang mendapatkan liputan terbanyak. Bagi Benitez, musim pertamanya di Liverpool sangatlah mengesankan, dimana dia membantu The Reds meraih kembali gelar Liga Champions UEFA setelah bertahun-tahun gelar itu lepas dari tangan mereka. Tapi setelah itu, baik dalam turnamen liga maupun kejuaraan besar, Liverpool tampaknya mengalami kebuntuan dan tidak bisa mencapai prestasi apapun.      

Setelah dua musim berturut-turut kehilangan tempat di kejuaraan Liga Champions, Benitez sangat ingin membuktikan kemampuannya dengan meraih kejuaraan yang penting. Liga Eropa UEFA adalah harapan terakhirnya. Kalau dia masih kembali dengan tangan kosong, sulit untuk dikatakan apakah Benitez masih akan ada disana musim depan.      

Saat semua orang sedang menonton pertandingan Liverpool, Twain memimpin timnya melakukan latihan tertutup di kompleks latihan Wilford di Nottingham.      

Sebagian besar media di Inggris membenci Twain dan itu erat kaitannya dengan latihan tertutup yang diinstruksikan olehnya. Sebelum dirinya, hanya sedikit sekali manajer di kancah sepakbola Inggris yang sering melakukan latihan tertutup. Ini mungkin ada kaitannya dengan dirinya yang dulu adalah penggemar dari Cina. Dia sudah terlalu familiar dengan ini.      

Latihan tertutup memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Saat ini, kelebihannya lebih banyak daripada kekurangannya. Setidaknya, timnya bisa menghindari pelecehan dari media yang kejam.      

Hari pertandingan final sudah semakin dekat dan ada banyak hal yang perlu diurus olehnya.      

※※※     

Pepe telah pulih sepenuhnya. Meski dia tidak ikut bermain, penampilannya dalam kompetisi internal tim telah meyakinkan semua orang bahwa Pepe yang akan tampil di Athena memang telah sehat dan berada dalam kondisi puncak. Masalah yang telah mengganggu lini pertahanan tim Forest sejak lama telah terpecahkan.      

Ashley Young juga sudah kembali ke tim setelah pulih dari cedera dan tidak punya masalah dalam melakukan perjalanan ke Athena bersama tim.      

Sebelum turnamen yang penting seperti ini, tim Forest telah menyelesaikan masalah cedera yang dialami. Mengingat ini, Twain seharusnya merasa senang. Tapi, alisnya selalu bertaut belakangan ini. Para pemain tidak tahu apa yang sedang terjadi dan beberapa diantara mereka merasa gugup.      

Sebenarnya, bahkan beberapa anggota unit pelatih juga tidak tahu apa penyebabnya, karena selain Twain, hanya kedua asisten manajer, Kerslake dan Dunn, serta dokter tim yang mengetahui seluruh kisahnya.      

Menurut praktek yang ada di dunia sepakbola Inggris, dokter tim hanya perlu mengupdate kondisi cedera seorang pemain kepada manajer tim dan tidak mengatakannya kepada pemain itu sendiri. Saat itu manajer akan memutuskan bagaimana dia akan menyampaikan berita itu kepada si pemain. Kalau dokter tim melangkahi wewenang manajer dan langsung memberikan informasi kepada pemain yang cedera tentang kondisi yang dideritanya, maka dokter tim ini tidak akan bisa terus bekerja di kalangan sepakbola – tidak ada klub yang menginginkan dokter tim yang berhubungan baik dengan si pemain di balik punggung si manajer.      

Tapi, masalah Fleming saat ini bukanlah dia yang melangkahi wewenang Tony Twain dan mengatakan kepada si pemain tentang cederanya. Melainkan si pemain sendiri yang mengambil inisiatif untuk datang kepadanya.      

Umumnya, saat si pemain mencari dokter tim lebih dulu, itu hanyalah upayanya untuk mencari tahu tentang situasi cedera yang dialaminya. Pada saat itu, dokter tim hanya perlu berhati-hati dengan kata-kata yang diucapkannya dan menggunakan kata-kata yang ambigu seperti misalnya "pemulihanmu berjalan dengan baik" untuk meredakan kekhawatiran si pemain. Kalau dia memberitahukan kondisi si pemain dengan jujur, dia akan dipecat dari klub.      

Klub Nottingham Forest saat ini dikontrol oleh seorang boss Amerika. Tradisi dan praktek semacam ini mulai memudar, dan Twain bukanlah seorang manajer yang akan mempersoalkan tentang wewenang yang kecil ini. Tapi bagaimanapun juga, Fleming adalah dokter tim kuno yang telah bekerja di klub selama berpuluh-puluh tahun. Tradisi itu sudah terukir di tulang belulangnya dan menjadi sebuah kebiasaan profesional.      

Dua hari yang lalu, pria yang mengambil inisiatif untuk mencari dokter tim, Fleming, adalah kiper pengganti tim Forest, Paul Gerrard.      

Dia sudah pulih dari operasi dan mulai melakukan latihan pemulihan sebulan yang lalu. Awalnya itu hanyalah sebuah program rehabilitasi fisik sederhana yang tidak melibatkan latihan spesifik untuk kiper.      

Dua puluh lima hari kemudian, dia memulai latihan spesifik untuk kiper dan masalah mulai muncul.      

Paul Gerrard baru sadar bahwa kecepatan reaksi dan penilaiannya serta penglihatannya telah terpengaruh oleh cederanya. Dia tidak bisa menentukan dengan tepat jarak antara posisi bola dan dirinya sendiri, dan terkadang, dia akan mengalami astigmatisma di matanya. Ini adalah masalah yang fatal bagi seorang kiper profesional.      

Merasa sangat cemas, dia menemui dokter tim, Fleming, berharap kalau dia akan memberinya pemeriksaan fisik menyeluruh lagi, khususnya di otaknya. Dia menduga kalau ini adalah dampak dari cedera kepalanya waktu itu. Tapi dia tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Dia hanya mengatakan kalau dia ingin memahami tubuhnya sendiri setelah pulih dari cedera.      

Permintaannya itu membuat Fleming waspadaa. Bekerja sebagai dokter tim selama bertahun-tahun, bagaimana mungkin dia tidak bisa menebak apa yang ada di benak si pemain?     

Permintaan itu harus disetujui oleh manajer sebelum bisa dilaksanakan. Fleming mengatakan pada Gerrard kalau dirinya harus berbicara dengan boss sebelum bisa menjawab permintaannya itu.      

Fleming menemui Twain. Twain, Dunn dan Kerslake ada disana saat itu, jadi mereka adalah empat orang yang tahu tentang masalah ini.      

Twain mengerutkan kening dan mendengarkan Fleming menceritakan kembali insiden itu dan memiliki firasat buruk tentang ini.      

Sejauh yang diketahuinya, di dunianya sebelum ini, setelah Cech dilanggar oleh pemain Reading, tengkoraknya retak dan dia langsung jatuh pingsan saat itu juga. Pada satu titik, hidupnya berada dalam bahaya. Tanpa diduga, hanya dalam waktu tiga bulan, dia sudah kembali ke lapangan, memakai "helm tank" untuk melindungi kepalanya saat dia menjaga gawang Chelsea dan masih menjadi salah satu dari tiga kiper paling luar biasa di dunia.      

Hal itu membuat Twain bisa tetap optimis terhadap apa yang terjadi pada Paul Gerrard. Dia percaya bahwa karena Cech bisa pulih dalam tiga bulan, maka seharusnya tidak ada masalah kalau mereka memberi Gerrard delapan bulan untuk pulih?     

Dia bukanlah seorang dokter profesional dan tidak memiliki pengetahuan medis tenatng area kepala. Dia hanya merujuk pada pengalaman aktual Cech dan mengira kalau Gerrard akan baik-baik saja.      

"Aku juga bukan ahli dalam bidang tengkorak kepala," kata Fleming kepada Twain. "Tapi kurasa sebuah pemeriksaan fisik menyeluruh tidak perlu dilakukan. Apa yang perlu kita cek adalah kepala Paul Gerrard. Dan ini bukan hanya retak, kuduga ini ada kaitannya dengan saraf di kepalanya..."     

Twain, yang diam saja saat mendengarkan Fleming bicara, tiba-tiba menyela. Dia sudah memutuskan. "Bawa Paul ke Royal Hospital of Nottingham University besok. Professor Constantine dan aku akan ada disana, menunggu kalian berdua."     

Constantine adalah seorang dokter ahli saraf yang terkenal di kalangan komunitas medis Inggris. Sebagai seorang dokter, Fleming juga tahu tentang itu. Karena Professor Constantine yang bertanggungjawab secara pribadi, dia tidak perlu merasa khawatir.      

Dia mengangguk.      

※※※     

Keesokan harinya, Paul Gerrard mendatangi rumah sakit itu bersama Fleming dan bertemu dengan manajer Tony Twain dan Professor Constantine disana.      

Saat dia melihat kedua pria itu, Gerrard memiliki firasat buruk dan merasa kalau semuanya mungkin tidak sesederhana yang dia bayangkan. Kalau tidak begitu, kenapa boss ada disini? Bukankah dia seharusnya ada di kompleks latihan dan memimpin latihan tim? Babak final Liga Champions sudah dekat, dan dia tidak punya alasan atau waktu untuk berada disini, khususnya untuk pemeriksaan medis seorang kiper cadangan.      

Saat Twain melihat Gerrard, dia tersenyum dan mengulurkan tangan ke arahnya, "Selamat pagi, Paul. Kau kelihatan sehat." Kemudian dia memperkenalkan Gerrard kepada pria tua yang berdiri disampingnya.      

"Ini adalah Professor Constantine, ahli saraf terkemuka di negara ini."     

Constantine tersenyum ke arah Gerrard dan mengulurkan tangannya, "Halo, Paul. Tony sudah menceritakan semuanya padaku, dan aku ingin menjalankan beberapa tes sederhana padamu."     

Setelah mendengar kata-katanya itu, firasat buruk Gerrard seolah menjadi kenyataan.      

Dia menjabat tangan Professor Constantine dengan ragu dan memaksakan diri untuk tersenyum.      

Twain tidak mengatakan apa-apa dan hanya mengamati semuanya.      

Constantine juga menyadari kegelisahan Paul Gerrard, jadi dia tersenyum dan menepuk bahu Gerrard, "Jangan khawatir, nak. Ini hanya pemeriksaan sederhana." Dia mengedipkan mata ke arah Gerrard dan mengarahkannya untuk menjalani pemeriksaan saraf.      

Fleming dan Twain tidak mengikuti mereka. Mereka takut Gerrard akan semakin tertekan secara psikologis kalau sekelompok orang ikut bersamanya.      

Gerrard, yang mengikuti Constantine, terlihat seperti seorang anak yang tak berdaya, takut dengan masa depan yang tak terbayangkan olehnya.      

Dia menoleh ke arah Twain dan Fleming. Twain tersenyum ke arahnya sampai dia sudah berjalan cukup jauh.      

"Kalau aku tahu tentang ini, aku tidak akan meminjamkan Akinfeev... ini membuat kita harus mengandalkan van der Sar saja selama satu musim." Duduk di bangku yang ada di koridor rumah sakit, Twain mengeluarkan rokok dan korek apinya, bermaksud menyalakan rokok untuk dirinya sendiri.      

"Siapa yang mengira kalau ini akan terjadi?" Fleming menunjuk ke arah tanda dilarang merokok di dinding.      

Saat Twain melihatnya, dia kembali menyimpan rokok dan korek apinya.      

Koridor yang sepi itu hening, dan tidak ada yang berbicara hingga Constantine kembali mengantarkan Paul Gerrard pada mereka.      

"Oke, semuanya sudah selesai." Professor Constantine mengangguk ke arah Twain. Lalu dia menoleh ke arah Gerrard. "Hasil tesnya baru akan keluar besok. Kami akan langsung menghubungi klub setelah hasilnya keluar."     

Gerrard tidak menyuarakan keberatan. Twain berdiri dan menepuk bahunya. "Pulanglah dan istirahat, Paul. Kau tak perlu berlatih hari ini."     

Setelah dia mengantarkan Paul Gerrard dan Fleming berjalan keluar dari rumah sakit, Twain berbalik untuk kembali.      

"Aku tahu kau pasti punya sesuatu untuk dikatakan padaku." Constantine tidak terkejut melihat kedatangan Twain ke kantornya.      

"Aku ingin tahu hasil pemeriksaan itu." Twain langsung bertanya.      

"Saat hasilnya keluar, aku akan menghubungimu besok..."     

"Ayolah, Professor, jangan memperlakukanku seperti Gerrard." Twain menghampirinya dan duduk, "Aku tidak akan pergi sampai kau mengatakan yang sebenarnya padaku."     

Constantine menggelengkan kepalanya sambil tersenyum masam. Dia tak berdaya melawan berandalan seperti ini.      

"Sebenarnya, hasil pemeriksaan masih belum keluar." Constantine bangkit dari kursinya dan memberikan segelas air minum pada Twain. "Tapi aku bisa mengatakan tentang pendapat pribadiku. Area disini," dia menunjuk ke arah kepalanya saat berbicara, "tidak terlihat bagus."     

"Apa periode pemulihan selama delapan bulan masih belum cukup?" gumam Twain.      

"Tidak, ini tidak ada hubungannya dengan lamanya waktu untuk pulih, Tony." Constantine mengoreksinya. "Kurasa meski kau memberinya waktu pemulihan selama dua tahun, itu masih belum cukup."     

Twain mengangkat kepalanya dan memandang Constantine, terkejut. "Maksudmu..."     

"Kurasa dia tidak bisa menjadi kiper profesional lagi."     

Twain merasa seperti disambar petir. Dia membeku sesaat dan kemudian menggelengkan kepalanya, "Apa yang kau katakan, Professor?"     

"Dia mengalami dampak yang parah di kepalanya. Meski dia sudah pulih dari operasi dan kurasa takkan ada masalah baginya untuk menjalani kehidupan normal, dia tidak lagi cocok untuk sepakbola profesional yang keras." Constantine menjelaskan secara lebih mendetil.      

"Tidak semua orang bisa melanjutkan karir mereka setelah mengalami cedera yang serius seperti ini," kata Constantine dengan ekspresi meminta maaf.      

Twain tiba-tiba saja bangkit dari kursinya, yang membuatnya terkejut.      

Dia menatap Constantine dengan sebuah ekspresi yang membuat si professor tidak nyaman. Tapi, dia segera menundukkan kepala dan mengangkatnya lagi setelah menghilangkan ekspresi menakutkan itu. "Tapi Professor, hasil tes masih belum keluar, kan?"     

Tertegun sejenak, Constantine mengangguk. "Ya, hasilnya masih belum keluar. Apa yang kukatakan barusan didasarkan oleh penilaian dan pengalaman pribadiku. Mungkin situasinya tidak terlalu buruk?" dia mengangkat bahunya dan berusaha tersenyum ringan.      

Twain juga tersenyum ke arahnya. Pria ini adalah sosok terkenal di dunia medis dan telah terlibat dalam penelitian klinis selama bertahun-tahun. Pengalamannya adalah sumber kekayaan tersendiri baginya. Saat dia mengatakan bahwa diagnosanya barusan didasarkan pada pengalaman pribadinya, kemungkinan besar dia benar.      

"Kalau begitu, aku akan menunggu panggilan teleponmu besok, Professor." Twain melambaikan tangannya sambil meninggalkan kantor Constantine.      

Di dalam mobil yang menuju ke kompleks latihan, Twain bersandar di kursinya dan tidak mengatakan apa-apa. Mengemudi di kursi depan, Landy tidak berani bertanya. Dia tahu bahwa Tony pasti sedang menghadapi masalah. Pria itu selalu terlihat tak kenal takut, tapi sebenarnya dia merasakan banyak kekhawatiran. Orang lain mungkin tidak akan mengetahuinya, tapi sebagai seseorang yang bisa dianggap sebagai "sopir pribadi" Twain, dia mengetahuinya dengan jelas.      

Twain sedang memikirkan tentang sebuah novel fantasi sepakbola yang dibacanya sebelum dia berpindah tempat. Itu adalah sebuah novel yang cukup dikenal di Internet. Setelah tokoh utamanya mengalami cedera yang bisa berpotensi menghancurkan seluruh karirnya, dia disembuhkan dengan ajaib oleh seorang dokter Cina yang tak diketahui namanya, dan kemampuannya meningkat tajam seolah-olah dia tidak pernah mengalami cedera dengan hanya mengkonsumsi sebuah tonik. Itu adalah sebuah novel fantasi online, jadi plot cerita ini termasuk normal. Tapi menurut pandangannya, itu hanya terjadi pada tokoh utama. Kalau yang mengalami cedera itu adalah karakter lain, si penulis mungkin telah mengatur karakter itu menjadi karakter yang tragis – seperti misalnya teman sekelas yang malang dari si tokoh utama saat mereka masih di sekolah menengah.      

Pada saat itu, dia menganggap semua hal yang terjadi kepada si tokoh utama sebagai sebuah plot fantasi dari novel itu. Sekarang kenyataan yang kejam telah muncul, dengan berlumuran darah, di hadapannya.      

Seberapa keras pukulan ini bagi seorang pesepakbola profesional seperti Paul Gerrard saat dia tahu bahwa dia tidak bisa lagi melanjutkan karirnya?     

Memang, Twain harus mengakui kalau Paul tidak cukup mampu untuk menjadi kiper utama. Karakternya biasa saja, tidak terlalu menarik dan media juga tidak terlalu peduli padanya. Seolah-olah dia dilahirkan sebagai karakter pendukung. Tapi di mata Twain, dia adalah salah satu pemainnya. Di dunianya, tidak ada bedanya antara karakter utama dan karakter pendukung. Mereka semua sama, bermain untuknya dan menerima pelatihan darinya.      

Kau bukan karakter utama, Paul Gerrard... Kalau kau menginginkan peran tokoh utama, takdir akan menunjukkan kepadamu cahaya keajaiban dan membuatmu bangkit setelah berada di jurang neraka yang gelap. Tak peduli betapa gila dan tak terpikirkannya takdirnya itu, selama kau yang menjadi tokoh utamanya.      

Dia menghela nafas pelan.      

Saat Eastwood cedera dan ingin menyerah, Twain berlari ke rumah sakit dan mengatakan padanya bahwa takdir itu seperti jaring-jaring dengan berbagai jalur yang saling bertemu dan terjalin bersama. Terserah padanya untuk memilih. Eastwood, Romani yang optimis, memilih untuk bergerak maju. Dia tidak bisa mengatakan hal yang sama pada Paul Gerrard karena takdir tidak memberinya peluang untuk memilih. Mungkin bagi Paul Gerrard, takdir adalah sebuah garis lurus yang naik dan turun tapi tak pernah bercabang seperti layaknya usus domba. Takdir tidak pernah memberinya momen penuh kejayaan. Setelah susah payah bertemu dengan manajer yang tepat dan berharap bisa menyentuh trofi kejuaraan, dia harus menghadapi masalah dimana dia akan harus pensiun atau mati di lapangan karena cedera serius terkutuk itu.      

Apa itu bahkan dianggap pilihan?     

Sialan!     

※※※     

Keesokan harinya, Professor Constantine langsung menghubungi ponsel Twain. Twain sedang melatih tim, dan Paul Gerrard juga berada di lapangan melakukan latihan terpisah bersama pelatih kiper.      

"Bukan berita baik," Constantine tidak langsung mengatakan "berita buruk". Dia mungkin mempertimbangkan bagaimana perasaan Twain. Dia tahu bahwa pria itu sangat peduli dengan para pemainnya, mengurus mereka dengan baik dan memperlakukan mereka seperti keluarganya sendiri.      

Twain sedang berada dalam suasana hati yang lebih baik daripada dugaan Constantine. Mungkin itu karena dia telah menemukan solusi dari beberapa hal dalam perjalanannya ke kompleks latihan kemarin. Saat dia mendengar ucapan Constantine, dia tidak menunjukkan bahwa hatinya telah merosot hingga ke dasar. Melainkan, dia menunggu professor itu menyelesaikan ucapannya.      

"Sebagai seorang dokter, aku sarankan untuk membiarkannya pensiun."     

Matanya mengamati Paul Gerrard dibalik kacamata hitamnya, tapi pemilik mata itu masih belum mengatakan apa-apa.      

Kedua pria itu terdiam sejenak di kedua ujung telepon.      

"Apa tidak ada jalan lain?" tanya Twain.      

"Aku tidak bercanda dengan hidup orang lain, Tony." Nada suara Constantine sangat serius. Baru di saat itulah Twain bisa mengingatnya sebagai seorang dokter yang melakukan penelitian klinis. "Dia beruntung dia tidak meninggal karena cedera itu. Aku tidak bermaksud menakut-nakutimu dengan ucapanku. Di tahun 1931, kiper Celtic yang berusia 22 tahun, John Thomson menyelamatkan tembakan striker Rangers, Sam English di sebuah pertandingan derby di Glasgow tapi tengkoraknya retak karena benturan. Dia kehilangan nyawanya di rumah sakit lima jam kemudian. Hal positifnya adalah Paul berhasil selamat. Tapi kalau dia kembali ke lapangan, cedera otaknya bisa mengarah pada cedera yang bisa mengancam nyawa. Dia akan menghadapi apa yang secara medis disebut sebagai 'sindrom dampak kedua'. Kalau area yang terluka terbentur lagi, hal itu bisa fatal meski benturannya tidak keras. Dan..."     

Dia berhenti sesaat sebelum kemudian melanjutkan. "Aku bertanya padanya kemarin kalau ada masalah selain pandangan yang kabur, sakit kepala dan respon yang lambat. Dia mengatakan kalau dia sering mengalami amnesia jangka pendek belakangan ini. Jadi aku ingin mengoreksi apa yang kukatakan padamu kemarin tentang kehidupan sehari-hari yang tidak terpengaruh. Dia sudah merasakan pengaruhnya. Gejalanya masih ringan untuk saat ini. Kalau perawatan terus dilakukan, gejala itu bisa diatasi, tapi setelah dia ambil bagian dalam kompetisi profesional yang keras... hanya Tuhan yang tahu apa yang akan terjadi. Sepakbola Inggris, seperti yang kau tahu, adalah sebuah turnamen liga yang intens."     

Twain memang mengetahuinya. Cedera sering terjadi pada mereka yang bermain di liga Inggris, tapi benturan di kepala jelas bukan hal yang umum.      

"Jadi... pensiun adalah satu-satunya solusi?" tanya Twain.      

"Ya, Tony."     

Constantine menjawab dengan singkat dan tanpa ragu. Dia mengumumkan hukuman mati bagi atlet profesional tanpa basa basi.      

"Terima kasih, Professor. Aku berhutang budi padamu lagi."     

"Jangan bilang begitu, Tony. Aku juga seorang fans tim Forest dan aku tidak ingin ada pemain Forest yang meninggalkan tim. Tapi di waktu yang bersamaan, aku juga seorang dokter dan aku harus bertanggung jawab atas pasienku."     

"Aku tahu, aku paham. Sampai jumpa, Professor. Sekarang aku hanya perlu mencemaskan tentang bagaimana menyampaikan kabar ini pada Paul..."     

Setelah menutup teleponnya, Twain mengawasi latihan selama beberapa waktu dari pinggir lapangan. Dia melihat Paul Gerrard sudah menyelesaikan latihannya dan sedang berjalan keluar dari lapangan.      

Pelatih kiper melihat Twain memandang ke arahnya. Dia menunjuk ke arah pelipisnya kemudian mengangkat bahu sambil mengisyaratkan kalau dia tidak bisa melakukan apa-apa tentang itu.      

Paul harus menyudahi latihan lebih awal karena serangan sakit kepala. Sepertinya semua semakin memburuk.      

Beberapa orang pemain melihat Gerrard meninggalkan lapangan latihan lebih awal dan mereka saling berbisik kepada satu sama lain. Semua orang merasa senang saat Paul mengumumkan dia sudah kembali ke tim, karena boss mengatakan kalau dia tidak ingin ada yang ditinggalkan saat mereka berangkat ke Athena. Dia ingin semua orang hadir disana. Setelah mengalami cedera yang paling serius, Paul bisa kembali ke tim, jadi semua orang merasa bahwa mereka sudah siap untuk pertandingan final, dan gelar juara pasti akan menjadi milik mereka.      

Sekarang kelihatannya masalah itu tidak sesederhana seperti yang mereka pikirkan.      

Kerslake bersiul keras untuk mengingatkan semua orang bahwa mereka sedang berlatih dan sekarang sudah waktunya untuk beristirahat.      

Twain berdiri di pinggir lapangan selama beberapa waktu, menunggu hingga sosok Paul benar-benar menghilang dari pandangan. Dia pasti akan mandi dan berganti pakaian di ruang ganti sebelum diam-diam meninggalkan lapangan latihan.      

Dia ingin pergi ke ruang ganti dan berbicara dengan Paul. Meski ini terdengar kejam, dia akan membeberkan semuanya. Itu lebih baik daripada membahayakan hidup Paul.      

Bagaimanapun juga, sepakbola hanyalah sepakbola. Sepakbola tidak boleh lebih penting daripada hidup seseorang.      

Dia berpapasan dengan Paul Gerrard diluar pintu masuk ruang ganti. Paul baru saja selesai mandi dan berganti pakaian.      

"Apa kau akan pulang, Paul?" tanya Twain, mengagetkan pria itu.      

"Kenapa Anda ada disini, boss?" Setelah dia melihat siapa yang menyapanya, Paul merasa agak malu.      

"Kenapa aku tidak boleh berada disini?" tanya Twain sambil tersenyum lebar, berusaha untuk tidak membiarkan Paul menebak maksud kedatangannya kemari dari ekspresi wajahnya. "Apa kau akan pulang, Paul?" tanyanya lagi.      

Paul Gerrard tidak langsung menjawab. Dia terdiam sejenak sebelum akhirnya membuka mulutnya untuk berbicara. "Tidak, aku baru saja akan mencarimu, boss."     

"Mencariku?" Twain tidak berpura-pura karena dia memang terkejut.      

"Ya." Gerrard mengangguk. "Aku sudah berpikir tentang ini sejak lama, dan meminta saran dari istriku.... dia tidak setuju kalau aku terus bermain sepakbola."     

Gerrard mengatakannya dengan mudah, atau mungkin sengaja membuat nada suaranya terdengar santai, tapi hati Twain sama sekali tidak tenang. Apa yang baru saja akan dikatakannya pada Gerrard justru diucapkan oleh pria itu lebih dulu...      

Haruskah dia merasa lega, atau merasa tidak enak?     

"Bagaimana pendapatmu tentang itu?"     

"Kurasa sebaiknya aku mendengarkan istriku." Gerrard tersenyum pada Twain. "Aku takut mati, dan aku takut aku tidak tahu kapan aku akan mati di lapangan. Meski aku selalu menjadi kiper cadangan dan tidak ada banyak peluang bagiku untuk bermain, akan tiba waktunya saat aku harus bermain."     

Melihat senyumannya itu, Twain merasa sedikit sedih. Dia ingin tersenyum dan menghibur pria itu tapi dia sendiri tidak bisa tersenyum.      

"Jadi... aku memutuskan untuk pensiun di akhir musim."     

Twain punya banyak hal untuk dikatakan tapi dia tidak tahu harus mulai dari mana. Dia hanya bisa menatap Gerrard.      

Setelah mengatakan itu, Gerrard menghembuskan nafas lega dan menepukkan tangannya. "Kau tahu, boss. Banyak orang bilang kalau mengambil keputusan untuk pensiun itu sulit, tapi aku sudah mengatakannya. Sebenarnya, itu tak lebih dari tubuhku yang tak ingin aku terus bermain bola, jadi aku akan pensiun. Sesederhana itu."     

Twain tersenyum. "Ya, memang sesederhana itu." Dia tidak tahu harus mengatakan apa lagi.      

Gerrard tampak lebih santai setelah dia mengatakan apa yang harus dikatakan olehnya. Dia tersenyum dan bertanya, "Boss, apa kau punya pekerjaan di klub yang bisa kulakukan? Bahkan petugas perawatan rumput juga boleh."     

Otak Twain seolah menyala. Dia mengedipkan mata pada Gerrard. "Sebenarnya, aku ingin kau tetap tinggal di tim dan menjadi pelatih kiper."     

Gerrard seolah membeku sesaaat. Dia mengira Twain sedang bercanda.      

"Aku membutuhkan seseorang untuk membantuku dan kau adalah orang yang tepat untuk itu, Paul. Bagaimana menurutmu?"     

"Aku... aku harus pulang dan bertanya pada istriku." kata Gerrard dengan ragu.      

Twain tertawa. "Kau benar-benar pria yang takut pada istrimu!"     

Suasana hatinya segera membaik.      

Pensiun tidak lebih dari akhir sebuah perjalanan, dan awal dari perjalanan yang baru. Meski dia tidak bisa menjadi seorang pemain, dia masih bisa menjadi seorang pelatih. Kalau dia sangat mencintai sepakbola, tak jadi masalah apa yang dia lakukan. Pensiun? Itu hanyalah sebuah pernyataan konvensional.      

※※※     

Setelah mengucapkan selamat tinggal pada Gerrard, Twain kembali ke lapangan latihan dan menemukan para pemain sedang beristirahat. Para pelatih juga berkumpul dan mengobrol bersama selama masa istirahat ini.      

Saat melihatnya kembali, Dunn diam-diam berjalan mendekatinya.      

"Semuanya beres?"     

Twain mengangguk.      

"Apa yang kaukatakan padanya?"     

"Aku tidak mengatakan apa-apa. Dia yang lebih banyak bicara... Dia mengatakan padaku tentang keinginannya untuk pensiun dan tampaknya sudah memutuskan tentang itu." mata Twain memandang ke segala arah saat mengatakan itu. Dia memandang ke sekeliling dan tidak banyak yang memperhatikan percakapannya dengan Dunn. Dia tidak ingin kabar berita ini bocor sebelum babak final Liga Champions. "Aku tidak membujuknya karena aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa membujuknya untuk pensiun. Tapi aku menawarkan pekerjaan sebagai pelatih kiper di tim ini setelah dia pensiun, baik itu di tim pemuda ataupun tim dewasa. Bagaimana menurutmu?"     

Dunn mengangguk. "Itu ide yang bagus."     

"Pria yang malang..." Twain menghela nafas. "Katakan pada Andy, buat dia melakukan latihan sederhana dalam beberapa hari belakangan ini. Kuharap tidak ada hal buruk yang terjadi selama latihan."     

"Kau masih berencana membawanya ke Athena?" tanya Dunn.      

Twain meliriknya sekilas. "Kalau tidak, apa yang akan terjadi? Dia adalah kiper cadangan untuk Edwin van der Sar, dan kiper kedua kita. Sebelum ini, dia cedera, dan sekarang setelah dia pulih, kenapa kita tidak bisa membawanya ke Athena?"     

"Aku tidak bermaksud mengatakannya seperti itu." Dunn menggelengkan kepalanya.      

Twain menoleh ke arah Dunn. "Dunn, aku tahu dia hanya kiper cadangan. Meski pensiunnya Paul tidak akan mempengaruhi kekuatan kita, meski dia bukan tokoh utama, bukan pemain inti, bukan jenis orang hebat yang membuat bumi berputar, dia masih seorang pemain Nottingham Forest dan salah satu pemainku. Aku tidak ingin semua orang hanya mengikutiku sepenuh hati. Tidak ada momen penuh kejayaan di dalam karirnya, jadi aku ingin memberinya satu kejayaan terakhir sebelum dia pensiun... Setidaknya, aku ingin dia memegang trofi itu saat memakai jersey-nya dan bukannya duduk di tribun sambil memakai jas."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.