Mahakarya Sang Pemenang

Aku akan Melompat ke Laut Kalau Kita Tidak Menang



Aku akan Melompat ke Laut Kalau Kita Tidak Menang

0Suara sorakan menggemuruh terdengar di stadion City Ground saat wasit meniup peluitnya tiga kali untuk menandai akhir pertandingan. Semua fans Forest berdiri dari kursi mereka dengan tangan terangkat tinggi dan mengayunkannya sambil menyanyikan lagu tim Forest dengan keras.      

Meski ini bukan pertama kalinya mereka berhasil maju ke babak final Liga Champions, mereka tidak akan pernah lelah merasakan kemenangan tak peduli berapa kali mereka mendapatkannya.      

"Kita mendapatkan peluang untuk membuktikan kemampuan kita dan menunjukkan kepada dunia bahwa final musim lalu hanyalah kebetulan dan bahwa warna merah Nottingham Forest akan menjadi warna mainstream sepakbola Eropa di masa depan!"     

Komentator Nottingham berteriak antusias di radio yang ada di dalam mobil polisi.      

Si polisi muda bersandar ke pintu dan mendengarkan dengan seksama, sementara si polisi tua mengarahkan pandangannya ke stadion City Ground yang berada tak jauh di hadapan mereka. Cahaya yang terang dan sorakan gembira memenuhi langit malam.      

Pasti sangat luar biasa berada di stadion itu!     

Walkie-talkie di pundaknya mengeluarkan suara gemerisik: "... 0415, pertandingan berakhir, dan para fans akan meninggalkan stadion. Tetap waspada dan jaga ketertiban, ganti."     

"0415 mengerti, ganti."     

Dia menoleh dan menepuk bahu si pria muda yang mendengarkan siaran dengan serius. "Saatnya untuk bekerja, nak."     

"Hah? Okey..." Si polisi muda tampak sedikit enggan.      

※※※     

Para fans Chelsea yang kecewa sudah mulai meninggalkan stadion, tapi fans Forest masih tetap tinggal di tribun, bernyanyi dengan suara keras untuk merayakan kemenangan mereka.      

Twain mengakhiri perayaannya dan berjalan menghampiri Mourinho.      

Kali ini, Mourinho tidak berusaha menghindarinya, melainkan berdiri menunggu Twain untuk berjabat tangan dengannya.      

Twain sedikit terkejut melihatnya melakukan itu.      

Dia menghampiri Mourinho. "Kukira kau akan berbalik dan berjalan pergi."     

"Kalau kau mau itu yang terjadi, aku tidak keberatan pergi sekarang." kata Mourinho dengan ekspresi kosong di wajahnya.      

Twain segera menjulurkan tangannya dan berkata, "Jabat tanganku dulu sebelum kau pergi."     

Mourinho mengulurkan tangannya dengan wajah datar dan menyentuh telapak tangan Twain dengan singkat sebelum kembali menarik tangannya. Setelah formalitas paska-pertandingan, dia meninggalkan stadion City Ground tanpa menoleh lagi. Para pemain Chelsea sudah lebih dulu meninggalkan lapangan. Hanya para fans dan pemain Forest yang tetap tinggal di lapangan saat ini.      

Twain membiarkan Mourinho pergi dan menghindari kejaran dari para reporter. Dia melangkahkan kaki memasuki lapangan untuk merayakan kemenangan dengan para pemainnya.      

Para pemainnya berlari dari satu sisi tribun ke sisi yang lain dan terus melambaikan tangan untuk berterima kasih kepada para fans.      

Tadinya hanya terdengar suara nyanyian di tribun, tapi kemudian suara-suara perlahan mulai terdengar berulang-ulang di dalam lagu itu. Tidak lama setelah itu, semua orang tahu kalau itu adalah sebuah kata.      

"Athena!"     

Suara nyanyian mulai memudar dan teriakan itu menjadi satu-satunya suara yang terdengar di lapangan.      

Baik itu para fans, para pemain atau para pembersih stadion, semua orang berseru dengan tangan terangkat tinggi.      

"Athena! Athena! Athena! Athena!"     

Diluar stadion, fans Chelsea yang sedang berjalan pergi menoleh terkejut ke arah stadion yang kecil itu, dimana mereka bisa mendengar raungan keras "Athena! Athena!"     

Mobil polisi nomer 0415 dimana dua petugas polisi yang bertugas juga memandang ke arah stadion yang sama, dikelilingi oleh cahaya terang seolah itu adalah gunung berapi yang terus menerus memancarkan panas dari kawahnya.      

Suara-suara itu terdengar semakin keras dan keras saat para fans bergegas keluar dari stadion City Ground, didorong oleh angin sepoi-sepoi yang berhembus dari Hutan Sherwood hingga melintasi Jembatan Trent diluar stadion City Ground, dan kemudian memecah ke segala arah, menyebar ke semua sudut Nottingham.      

Di banyak pub, taksi, rumah penduduk biasa, dan di sekeliling layar televisi besar di pusat perbelanjaan besar, suara-suara mereka menggerakkan hati semua fans Forest, membuat mereka tak bisa menahan diri kecuali mengangkat lengan mereka dan ikut berteriak dengan keras.      

"Athena! Athena! Athena! Athena!"     

※※※     

Keesokan harinya, bagian olahraga dalam surat kabar Nottingham Evening Post memuat headline besar yang menempati separuh halaman, dan headline besar itu hanya memuat satu kata: Athena!     

Tidak perlu dikatakan lagi, semua orang tahu bahwa setelah pertandingan sengit antara Nottingham Forest dan Chelsea, Nottingham Forest-lah yang akan pergi ke Athena.      

Itu adalah ide Pierce Brosnan, dan idenya itu diterima dengan sangat baik oleh semua orang. Edisi baru Nottingham Evening Post itu langsung terjual setelah dikirimkan ke berbagai kios surat kabar. Dibandingkan dengan artikel panjang lebar tentang jalannya pertandingan semalam, headline ini langsung menyentuh hati, jadi semua fans Nottingham langsung teringat dengan kegembiraan semalam.      

Athena! Athena! Athena! Athena!     

Suara itu seolah menggema lagi di telinga mereka, jadi mereka tak bisa menahan diri untuk kembali menyerukan kata itu.      

Fans Forest yang sejati tidak perlu membaca artikel tentang jalannya pertandingan yang berlangsung semalam. Mereka semua menonton pertandingan itu. Sekarang, yang mereka perlukan hanyalah melampiaskan semua perasaan ini.      

Saat Twain keluar dari rumahnya untuk mengambil koran pagi, tetangganya di jalan itu berseru "Athena!" ke arahnya saat mereka melihatnya mengambil salinan koran Nottingham Evening Post.      

Twain tersenyum dan melambai untuk berterima kasih.      

Setelah dia mendapatkan korannya, Twain membuka bagian olahraga sambil memakan sarapan sederhana yang dibuatnya sendiri. Dia tersenyum saat dia melihat ide Brosnan.      

Ponselnya berbunyi.      

"Halo, ah, Reporter Tn. 007." Twain sedang dalam suasana hati yang baik dan bercanda dengan Pierce Brosnan, yang menghubunginya.      

"Tony, aku ingin kau memberiku wawancara eksklusif."     

Twain membaca byline pria ini di surat kabar dan mengangguk. "Aku tidak keberatan melakukan itu. Tapi, apa kau yakin kalau ini adalah waktu yang paling tepat untuk melakukan wawancara eksklusif?"     

Brosnan tidak paham dengan apa yang dimaksud Twain. "Hah? Kenapa tidak? Tim-mu baru saja lolos ke babak final Liga Champions selama dua tahun berturut-turut. Itu bukan hal yang bisa dilakukan oleh sembarang orang ..."     

"Tidak, maksudku, kalau aku memberimu wawancara eksklusif sekarang dan kau menerbitkannya besok, apa yang akan kau tulis beberapa minggu lagi?"     

"Hah? Beberapa minggu lagi?"     

"Ya, dalam beberapa minggu, setelah final Liga Champions. Apa yang akan kaulakukan saat aku menjadi juara Eropa yang baru? Apa kau akan mengulangi kisah yang sama, Tn. Reporter?" Twain meletakkan kakinya ke atas meja sambil bersandar di kursinya dan menggoda Brosnan.      

Terdengar suara terkesiap di ujung yang lain, dan kemudian hening.      

Twain tidak terburu-buru. Dia memegang ponselnya dan terus membaca korannya.      

Setelah beberapa saat, suara Brosnan kembali terdengar di ujung telepon. "Tony, apa kau sangat yakin kalau tim-mu bisa menang? Bagaimana kalau kau tidak menang? Surat kabar kami selalu mempersiapkan dua set layout..."     

"Jangan mempersiapkan dua. Hanya satu layout yang menampilkan gelar juara kita yang perlu disiapkan." Twain terdengar yakin. "Kalau aku tidak memenangkan gelar Liga Champions, aku akan melompat ke Laut Aegea!"     

Brosnan membeku sesaat sebelum kemudian berkata, "Kau bercanda, kan? Tony..."     

"Tidak, aku serius. Kau bahkan bisa memuat komentar ini di surat kabar agar semua orang tahu bahwa aku, Tony Twain berjanji untuk melompat ke Laut Aegea kalau aku tidak bisa memenangkan gelar Liga Champions!" mendengar bagaimana Brosnan tidak mengatakan apa-apa, Twain menambahkan, "Kalau kau tidak percaya padaku, aku juga bisa mengundang semua media yang melaporkan tentang Liga Champions untuk pindah lokasi ke tepi pantai usai pertandingan berakhir dan melihatku melompat."     

"Tony..." Brosnan merendahkan suaranya dan berbisik, "apa kau sudah gila?!"     

"Kau yang sudah gila. Sebagai pendukung tim Forest, kau hanya punya sedikit kepercayaan pada timmu."     

"Bukannya aku tidak percaya... Hanya saja, pekerjaan adalah pekerjaan, tanpa memasukkan perasaan pribadi. Sudah menjadi aturan baku untuk menyiapkan dua set layout untuk dua hasil yang berbeda sebelum sebuah pertandingan besar..."     

Twain memandang ke arah headline "Athena" yang dicetak tebal dan menggelengkan kepalanya, "Baiklah, begini saja. Kau bisa mengatakan ini pada bosmu: kalau Nottingham Forest tidak berhasil mendapatkan gelar Liga Champions, rencana B-mu adalah menyisihkan sebagian besar ruang di bagian olahraga untuk memuat kata-kata ini dalam cetak tebal –'Nottingham Forest kalah lagi. Kami tidak bisa berkata apa-apa lagi!"     

Setelah mengatakan itu, dia memutuskan panggilan teleponnya.      

"Bah! Bah! Bah!" dia meludah tiga kali ke lantai dan berseru, "Itu benar-benar sial! Pertandingan masih belum dimainkan dan dia sudah memikirkan tentang kekalahan kita. Ini tidak berbeda dari setiap pertandingan dalam sepakbola Cina, setelah komentator melihat timnya tertinggal, dia akan berkata, 'Meski hari ini kita kalah, kita bisa belajar dari pengalaman yang berharga ini dan kegagalan dalam memanfaatkan semua pelajaran yang telah kita pelajari.' Benar-benar pengecut!"      

Setelah selesai melecehkan sepakbola Cina, Twain mencuci peralatan makan yang digunakannya dan bangkit berdiri untuk mengetuk pintu rumah Dunn.      

Sudah waktunya bagi mereka untuk mulai. Mereka harus pergi ke Milan, untuk menonton pertandingan semifinal secara langsung dan mengamati lawan mereka di final nanti.      

※※※     

"Aku sama sekali tidak menduga... kalau Nottingham Forest-lah yang akan melaju ke final."     

Di Milan, setelah dia menonton pertandingan semifinal hari itu, Ferguson mengobrol dengan anggota unit pelatihnya usai latihan. Asisten manajernya, Queiroz tampak terkejut melihat tim Forest bisa mengeliminasi Chelsea. Dia selalu merendahkan Twain dan timnya, jadi normal baginya untuk terkejut. Mungkin itu karena ada gosip bahwa Twain mungkin akan dipilih sebagai penerus oleh Ferguson, membuatnya sedikit cemburu – dia mengira kalau dialah satu-satunya orang yang pantas untuk menjadi penerus Ferguson dalam melatih Manchester United di masa depan.      

"Kau tidak perlu terkejut, Carlos," kata Ferguson. "Sangatlah lazim bagi mereka untuk berada di final. Kau sebaiknya tidak meremehkan tim Forest, atau kau akan menderita karenanya, cepat atau lambat." Dia tidak bersikap lunak pada Queiroz. Ferguson memegang kekuasaan absolut, dan tidak ada seorangpun yang berani menentang keinginannya.      

Queiroz langsung menutup mulutnya.      

Dia merasa malu karena ditegur oleh Ferguson di hadapan banyak orang dan dia tidak bisa mengatakan apa-apa lagi, jadi dia hanya bisa menekan rasa kesalnya di dalam hati.      

Ferguson tidak punya waktu untuk mempedulikan psikis Queiroz. Dia masih membahas pertandingan semalam dengan para pelatih, karena lawan di babak final telah ditentukan. Kalau Manchester United melaju ke babak final, mereka akan harus bertarung melawan tim Forest dalam pertandingan besar.      

Pada saat itu, tidak akan ada yang menahan diri.      

"Serangan balik defensif... adalah cara yang sangat bagus untuk mendapatkan hasil di pertandingan besar."     

"Mungkin kita harus memainkan serangan balik defensif melawan tim Milan?" usul seseorang.      

Ferguson menatap mereka sekilas.      

"Apa Manchester United terfokus pada pertahanan sebagai inti latihan kita selama tiga tahun terakhir seperti layaknya Nottingham Forest?"     

Semua orang menatap kosong dan kemudian menggelengkan kepala mereka.      

"Malam ini adalah malam pertandingan, dan sekarang kau meminta untuk memainkan serangan balik defensif? Aku bisa tahu kalau kitalah yang akan hancur kalau menggunakan taktik itu. Sepakbola Manchester United adalah gaya kita, kita tidak perlu belajar dari tim lain." Ferguson menyatakan itu dengan angkuh. Dia memang memiliki kepercayaan diri untuk mengatakan itu. Sebagai pencipta dan penjaga dinasti Red Devils, Manchester United memiliki gaya mereka sendiri. Tidakkah mereka hanya akan jadi badut yang mengikuti arus kalau mereka meniru orang lain?     

"Baiklah, terus berlatih!" Ferguson bangkit berdiri dan berkata kepada Queiroz yang diam. "Kirimkan video pertandingan semalam dan pertandingan leg pertama antara kedua tim itu padaku. Saat pertandingan malam ini usai, kita akan mempelajari keduanya."     

Queiroz mengangguk.      

※※※     

"Aku tidak terkejut melihat Nottingham Forest bisa mencapai final. Kurasa Tony Twain tidak bermain seperti pria Inggris kebanyakan. Dia bermain lebih seperti kami, seperti seorang Italia." Dikelilingi sejumlah besar reporter di hotel, Ancelotti dan para reporter segera membahas pertandingan semalam.      

"Selain itu, aku tidak punya pendapat lain tentang ini." Carlo Ancelotti bertindak bijaksana sebelum pertandingan besar. Selain itu, dia tidak ingin semua orang terfokus pada tim lain yang tidak ada hubungannya dengan mereka.      

"Pertandingan malam ini? Aku menghormati Ferguson, tapi pada akhirnya pemenangnya adalah AC Milan."     

Ancelotti segera menyelesaikan wawancara itu dan bangkit untuk berjalan menuju lift. Dia ingin kembali ke kamarnya untuk beristirahat sejenak. Saat itu masih siang hari. Dia ingin meluangkan waktu untuk beristirahat siang agar bisa menjaga pikirannya tetap jernih untuk pertandingan malam ini.      

Sebuah suara "ding" terdengar dan pintu lift di hadapannya perlahan terbuka. Dia sangat terkejut saat melihat seseorang didalamnya.      

Twain sedang mengobrol dengan Dunn di lift sambil menunggu pintunya terbuka. Saat pintu baru saja terbuka, dia melihat pria yang berdiri diluar pintu lift.      

"Ha." Twain tertawa. "Benar-benar kebetulan," katanya pada Dunn. "Ternyata hotel ini adalah hotel tempat AC Milan menginap. Kupikir mereka semua tinggal di tempat mereka sendiri."     

"Semua tim juga sama, Tony," Dunn mengingatkannya. "Sebelum pertandingan, urutannya adalah kompleks latihan, hotel dan stadion. Tiga titik pemberhentian berturut-turut."     

Ancelotti melihat Twain dan asisten manajernya sedang berbicara dan tertawa, dan wajahnya berubah menjadi jelek.      

Dia bukannya merasa tidak nyaman karena berpapasan dengan Twain, tapi karena timnya sedang menginap disini dan sekarang manajer lawan juga tinggal disini. Mungkinkah pria itu ingin mengintip persiapan terakhir timnya?     

Melihat ekspresi di wajah Ancelotti, Twain buru-buru mengangkat tangannya dan menjelaskan dalam bahasa Inggris, tanpa mengetahui apakah pria itu bisa memahaminya. "Ah, jangan cemas, Tn. Ancelotti. Meski aku punya hubungan baik dengan Ferguson, aku bukan agen pengintai gratis. Ini benar-benar kebetulan... sebuah kebetulan yang sangat menyenangkan.... Hey!"     

Dia baru saja selesai mengatakan itu dan belum sempat menurunkan tangannya saat sebuah kilatan cahaya terlihat di depan matanya.      

Saat matanya kembali normal, dia melihat seorang jurnalis foto sedang menekan tombol kamera digital berkali-kali, memberinya acungan jempol.      

"Itu pose yang bagus!" kata reporter pria berambut ikal, dengan bahasa Inggris beraksen Italia.      

Twain mengerutkan alisnya dan wajahnya tampak lebih jelek daripada wajah Ancelotti.      

"FU-" Twain baru akan menggunakan kata yang dikenal diseluruh dunia untuk menegur pria itu saat dia melihat pintu lift di hadapannya kembali menutup – karena tidak ada orang yang bergerak masuk atau keluar, pintu lift akan menutup secara otomatis.     

"...CK!" Saat silabel terakhir itu akhirnya keluar, pintunya telah tertutup rapat.      

Saat Dunn kembali menekan pintu agar terbuka, jurnalis foto itu sudah pergi dan Ancelotti juga tidak lagi menunggu lift. Mungkin dia menggunakan lift yang lain.      

"Sialan!" maki Twain dalam bahasa Mandarin. "Reporter Italia sialan itu! Sebaiknya dia tidak membuatku harus melihatnya lagi!"     

"Jangan katakan padaku kalau kau akan membunuhnya kalau kau melihatnya lagi?" tanya Dunn.      

"Tidak, aku akan mempersulit hidupnya!" Twain menggertakkan giginya. "Ayo kita kembali. Aku tidak mood untuk berbelanja!" Setelah mengatakan itu, dia berjalan kembali ke dalam lift dan menekan tombol lantai kamarnya.      

Dunn menggelengkan kepalanya dan bergegas menyusul.      

※※※     

Malam itu, pertandingan semifinal kedua diadakan di Stadion San Siro, dimana tim kandang, AC Milan bermain di tengah hujan deras dan benar-benar memanfaatkan keunggulan kandang untuk membombardir tim Manchester United.      

Skor akhir pertandingan adalah 3:1, dimana skor tim kandang ditulis lebih dulu dan skor tim tandang ditulis belakangan, menurut peraturan internasional yang berlaku.      

Manchester United milik Ferguson menderita kekalahan telak di tangan AC Milan. Berada di puncak penampilannya, Kaka berhasil mencetak dua gol dan memberikan assist bagi Seedorf untuk mencetak gol yang lain. Sementara Scholes memanfaatkan kelengahan pertahanan AC Milan untuk mencetak gol yang menyelamatkan muka Manchester United di menit-menit terakhir menggunakan tembakan jarak jauh.      

Pertandingan ini dibesar-besarkan oleh media sebagai sebuah kompetisi langsung antara dua bakat muda, Kaka dan Cristiano Ronaldo, sebelum pertandingan dimulai. Ini juga dikatakan sebagai bentrokan yang akan memutuskan hasil pemilihan FIFA World Player of the Year di akhir tahun ini.      

Pada akhirnya, di tengah guyuran hujan deras, Kaka dari Brasil berhasil menang atas Cristiano Ronaldo dari Portugal. Dengan pengecualian kartu kuning di menit ke-84, Ronaldo tidak menunjukkan kemampuannya dan tampak tak berdaya dalam menghadapi momentum AC Milan.      

Dengan skor total 5:4, AC Milan mengeliminasi Manchester United dan melaju ke babak final.      

Janji Twain untuk memberikan "pertandingan perpisahan yang sempurna" bagi Albertini sudah hampir terwujud.      

※※※     

Sehari usai pertandingan, gambar yang diterbitkan oleh La Gazetta dello Sport bukanlah gambar pertandingan, melainkan sebuah foto yang diambil di sebuah hotel.      

Di dalam foto itu, manajer Nottingham Forest, yang juga berhasil melaju ke babak final, sedang mengangkat tangannya ke arah manajer AC Milan, Carlo Ancelotti, seolah-olah dia menyerah.      

Tulisan dibawah gambar itu berbunyi: Nottingham Forest tunduk kepada AC Milan!     

Foto itu langsung menyebabkan kegemparaan setelah diterbitkan, dengan sejumlah media Italia mencetak dan menyebarkannya kemana-mana. Italia mengejek Nottingham Forest Football Club dari Inggris dan Tony Twain menjadi bahan tertawaan publik dalam semalam.      

"Aku tidak pernah melihat seorang manajer mengangkat tangannya sebelum bertanding seolah-olah dia menyerah. Berkat Tony Twain, kita telah melihatnya untuk yang pertama kali!"     

Sehari setelahnya, sebagai pembalasan, Nottingham Evening Post menerbitkan sebuah artikel yang disebut sebagai "Sebuah wawancara eksklusif dengan manajer Forest" yang sepertinya akan panjang lebar kalau dilihat dari judulnya, tapi hanya ada satu kalimat di dalam kontennya:     

"Tony Twain: Kalau aku tidak bisa mengalahkan AC Milan dan memenangkan gelar juara Liga Champions, maka aku akan melompat ke Laut Aegea!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.