Mahakarya Sang Pemenang

0,1% dan 100%



0,1% dan 100%

0Saat itu sudah hampir pukul sebelas malam saat mereka akhirnya tiba di hotel tempat mereka menginap. Twain, yang merasa lelah dengan kesibukan di hari itu, hanya mandi air dingin dan langsung tertidur di ranjangnya.      

Di kamar sebelah, Dunn juga mandi setelah dia memasuki kamarnya. Dia tidak langsung tidur karena dia tadi mencuci rambutnya dan dia harus menunggu sampai rambutnya kering sebelum bisa tidur. Memanfaatkan waktu yang ada, Dunn menyalakan laptopnya dan berselancar online. Ada hal yang terus muncul di benaknya sejak masih di dalam bus dan hal itu mengganggunya. Dia tidak akan bisa tidur malam ini kalau dia tidak mengetahuinya.      

Membuka situs web resmi Liga Utama Inggris, dia masuk ke halaman yang memuat jadwal kompetisi.      

Situasinya tidak sama seperti yang diprediksikan Twain.      

Di putaran ke-37, Manchester United akan menantang Manchester City dalam sebuah pertandingan tandang dan Chelsea akan bermain melawan Arsenal.      

Ada dua pertandingan derby yang akan digelar.      

※※※     

Pagi hari berikutnya, Twain dibangunkan oleh suara ketukan di pintu. Dia memutar tubuhnya dan mengambil arloji dari meja samping ranjang. Saat itu baru jam delapan pagi.      

Tadinya dia ingin mengabaikannya, tapi suara ketukan di pintu itu terus terdengar.      

"Aku tidak butuh layanan kamar!" seru Twain.      

"Tony." Suara Dunn datang dari luar pintu.      

Twain terdiam sejenak sebelum dia bangkit dari ranjang, dan hanya memakai celana dalam saat membuka pintu.      

Dunn sudah berpakaian lengkap. Dia terlihat seperti sudah bangun sejak beberapa waktu yang lalu.      

"Tidak ada latihan pagi ini." Twain menguap dan kembali ke ranjang.      

"Bukankah kau akan pergi ke rumah Tn. Ketua?"     

"Itu nanti jam setengah sepuluh. Sekarang baru jam delapan. Aku masih bisa tidur paling tidak sejam lagi." Twain kembali ke atas ranjangnya, siap untuk tidur lagi.      

"Aku menemukan hal yang menarik semalam dan aku ingin memberitahumu. Mungkin ini akan bisa sedikit membantumu saat bertemu dengan ketua pagi ini."      

"Apa? Katakan saja..." Twain menguap lagi.      

"Apa kau tahu siapa lawan Chelsea dan Manchester United dalam dua putaran terakhir mereka?"     

Masih setengah sadar, Twain menggelengkan kepalanya dan bergumam lemah, "Siapa yang mau mengingat jadwal tim lain? Sudah bagus aku bisa mengingat jadwal tim Forest..."     

"Di putaran ke 37, Chelsea akan menantang Arsenal dalam pertandingan tandang dan Manchester United melakukan pertandingan tandang melawan Manchester City. Di putaran ke 38, Chelsea akan menjamu Everton..."     

Tanpa menunggu Dunn menyelesaikan ucapannya, Twain langsung duduk diatas ranjang. Dia menatap Dunn, yang mengangguk dan berkata, "dua pertandingan derby."     

Twain tidak lagi mengantuk. Dia duduk, menyipitkan mata dan memandang ke arah matahari yang bersinar cerah diluar jendela.      

"Bagaimana mungkin..." Dia bergumam setelah beberapa waktu.      

"Apa ini berita baik atau berita buruk?"     

Twain mulai berpakaian. Meski dia berbaring di atas ranjang, dia tidak akan bisa kembali tidur. "Aku tidak tahu. Kalau kita bisa menanganinya dengan baik, ini kabar baik. Tapi ini bisa menjadi kabar buruk kalau kita salah menanganinya."     

Dia tidak menduga kalau dia akan terlibat ke dalam situasi yang telah diaturnya sendiri.      

Seperti yang dikatakannya pada Dunn, masalah ini akan berakhir baik kalau mereka bisa menanganinya, tapi kalau mereka merusaknya maka mereka bisa berakhir tanpa mendapatkan apa-apa.      

"Aku masih ingin duduk di pinggir lapangan sebagai penonton dan menyaksikan lawan kita berjuang mati-matian untuk mendapatkan gelar itu, Dunn. Jauh lebih baik menonton pertandingan itu daripada menjalaninya sendiri."     

"Aku tidak percaya kau tidak mau mengambil gelar ini."     

"Tentu saja aku menginginkannya, tapi aku tidak tahu apakah ini adalah sebuah perangkap madu." suara Twain yang teredam terdengar dari kamar mandi. "Dulu kita pernah memberikan jebakan yang sama untuk Chelsea dan Manchester United, dan membuat mereka bermain buruk di leg pertama pertandingan semifinal. Jadi, aku tahu betapa bahayanya jebakan semacam ini."     

Twain keluar dari kamar mandi dan menyeka wajahnya sebelum melanjutkan ucapannya pada Dunn."Kalau ini bukan jebakan, aku tidak ingin melepaskan gelar juara Liga Champions untuk sesuatu yang tidak pasti. Jadi, saat ini aku belum memutuskan dan masih bingung."     

"Hanya ada dua putaran terakhir. Kau hanya harus bertahan."     

Twain tidak mengatakan apa-apa. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Perkembangan yang mendadak ini telah mengacaukan semua rencananya. Dia tidak bisa menenangkan dirinya sendiri.      

"Singkatnya... Aku akan menemui Edward dan melihat bagaimana kelanjutannya dari sana." Twain memakai mantelnya dan membuka pintu. "Ayo pergi dan sarapan sama-sama."     

※※※     

Para pemain yang sudah menyelesaikan sarapan mereka meninggalkan hotel dalam kelompok-kelompok kecil untuk menyelesaikan urusan mereka. Mereka hanya libur setengah hari sebelum berlatih di sore hari untuk mempersiapkan diri menghadapi pertandingan leg kedua semifinal Liga Champions melawan Chelsea yang akan digelar di pertengahan minggu.      

Kursi Twain dipenuhi setumpuk surat kabar dan Kerslake duduk di sampingnya.      

"Tony, bacalah surat kabarnya." Dia menunjuk ke arah surat kabar.      

"Membaca surat kabar saat makan sangat buruk bagi pencernaanmu." Meski dia mengatakan itu, Twain masih tetap membeber korannya.      

Media Nottingham dipenuhi pujian tentang pertandingan tim Forest kemarin, memuji Twain yang membiarkan para fans menikmati rasa kemenangan sekali lagi. Bukan itu hal yang dipedulikan oleh Twain. Dia membacanya dengan cepat dan menemukan pula berita tentang dua pertandingan liga yang lain.      

Baik Manchester United dan Chelsea ditahan imbang oleh lawan mereka, hasil itu sama sekali tak diduga oleh media. Sebelum pertandingan, pengamat sepakbola telah menganalisa bahwa kemungkinan kedua tim itu sama-sama mendapatkan hasil imbang sangatlah rendah; mereka sama sekali tidak menduga kalau kedua tim benar-benar mendapatkan hasil imbang.      

Karena dua pertandingan imbang itu mengakibatkan reaksi berantai, tentu saja hal ini menjadi fokus media.      

Beberapa surat kabar yang berbeda menuliskan peringkat liga terbaru. Nama-nama Chelsea, Manchester United dan Nottingham Forest dicetak dalam huruf tebal. Poin mereka juga dicetak dalam huruf tebal untuk membuatnya semakin mencolok.      

Dari urutan kecil ke besar: 79, 80, 82.      

Poin itu membuat imajinasi semua orang menjadi liar.      

Hampir semua media menganggap bahwa dua hasil imbang ini mendorong Nottingham Forest, yang tadinya tidak punya harapan untuk menang, menjadi salah satu pesaing kuat. Untuk memverifikasi interpretasi ini, mereka bahkan menuliskan jadwal kompetisi ketiga tim ini untuk dua putaran terakhir. Chelsea dan Manchester United menghadapi rival kuat mereka di putaran ke 37, karena Arsenal dan Manchester City memang bukan lawan yang mudah. Selain itu, dalam konteks sebuah pertandingan derby, kedua pertandingan itu akan sulit untuk dimainkan. Sementara itu, lawan Nottingham Forest di putaran ke 37 adalah Aston villa, yang bukan termasuk tim yang kuat. Selama kedua tim itu kalah dalam putaran kali ini dan Nottingham Forest berhasil mengalahkan Aston Villa, mereka akan memiliki peluang untuk merebut posisi teratas dan memiliki poin yang sama dengan Manchester United. Tapi, peraturan terkait selisih gol masih akan menempatkan Forest di peringkat teratas.      

Mereka akan bisa menduduki peringkat teratas di liga untuk yang pertama kalinya.      

"Aku bisa bilang bahwa putaran ke-37 akan menjadi kunci yang menentukan juara liga turnamen ini yang sesungguhnya." Salah satu pakar tampak sangat yakin.      

Twain menyisihkan surat kabar itu. Dia sudah tahu semua hal yang akan dibahas selanjutnya tanpa perlu membacanya.      

"Kelihatannya mereka semua sudah lupa bahwa Chelsea dan Manchester United masih belum memainkan satu pertandingan," katanya kepada dua asisten manajernya. "Meski mereka sama-sama kalah di putaran ke 37, lalu kenapa? Semuanya masih sama, kalau Chelsea menang, Chelsea akan jadi juara; kalau Manchester United yang menang, Manchester United yang akan jadi juara; kalau keduanya imbang, Manchester United masih nomer satu. Apa gunanya menganalisa semua ini? Dunn, barusan kau bilang kalau musim ini menyisakan dua putaran terakhir dan kita sebaiknya bertahan sampai akhir. Tapi justru karena itu harapan kita sangat kecil untuk bisa menang. Dua putaran terlalu sedikit. Tidak ada ruang bagi kita untuk bermanuver."     

"Bagaimana kalau kedua tim itu kalah di putaran terakhir..."     

"Sadarlah, David." Twain menegurnya. "Lawan kita di putaran terakhir nanti bukan tim yang lemah. Mereka adalah Liverpool. Mereka ada di peringkat keempat, setelah berhasil menjatuhkan Arsenal. Terlebih lagi, meski kita bisa mengalahkan Liverpool di kandang mereka – tak peduli apa akibatnya – dan mendapatkan tiga poin terakhir serta mengharapkan kedua tim sama-sama kalah, peluang Manchester kalah dan Chelsea mendapatkan hasil imbang terlalu kecil. Putaran terakhir Chelsea adalah melawan Everton, yang cukup kuat. Putaran terakhir Manchester United adalah pertandingan kandang melawan West Ham United. Aku tidak percaya kalau mereka bisa kalah di putaran terakhir, mengingat kekuatan Manchester United dan pengalaman yang dimiliki Ferguson. Itu hanyalah kemungkinan teoretis. Kurasa terlalu berbahaya untuk menggantungkan harapan kita pada sebuah teori. Apa kau tahu betapa rumitnya situasi kita saat ini?"     

Kerslake terdiam sejenak sebelum kemudian bergumam, "Kenyataan memang benar-benar kejam.."     

※※※     

Setelah sarapan, Twain memutuskan untuk minum kopi di hotel dan mengagumi kecantikan para wanita sambil menunggu sopir Edward menjemputnya. Dunn, di sisi lain, pulang sendiri ke rumah.      

Sebelum pergi, Dunn bertanya padanya, "Apa kau sudah memutuskan untuk melepaskan turnamen liga?"     

Twain menggeleng. "Tidak, aku tidak pernah mengatakan kalau aku akan melepaskannya. Aku masih mempertimbangkannya saat ini."     

"Keragu-raguan tidak cocok dengan kepribadianmu."     

"Aku takkan bisa menjadi manajer yang berkualitas kalau hanya mengandalkan impuls dan passion saja."      

Dunn mengangguk. "Bagaimanapun juga, orang yang harus memutuskannya adalah kau. Aku hanya akan menjalankannya."     

Setelah dia mengucapkan selamat tinggal pada Dunn, Twain duduk sendirian di lobi hotel dan memandang pejalan kaki yang melintas diluar jendela, terbenam dalam pikirannya sendiri. Baru setelah dia melihat Audi berwarna merah gelap yang familiar, dia langsung kembali ke kenyataan.      

※※※     

Ini adalah pertama kalinya Twain berkunjung ke rumah ketua klub. Dulu dia menganggap bahwa keluarga Doughty, yang cukup terkenal dan kaya di Nottingham, memiliki sebuah mansion di bagian kota yang paling mewah. Dia sama sekali tidak menyangka kalau mobil itu akan membawanya keluar kota dan langsung menuju hutan belantara di barat laut Nottingham.     

Tujuan akhir mereka adalah sebuah rumah pertanian yang tidak berbeda dari semua rumah pertanian di Inggris. Sebuah bangunan batu yang besar dengan tiga lantai menunjukkan bahwa rumah itu memiliki sejarah tersendiri. Kalau cuaca sedang mendung, bangunan abu-abu itu akan mengingatkan kita pada sesuatu yang menyeramkan seperti 'Kastil Berhantu'. Untungnya, langit berwarna biru dan dihiasi awan putih. Bangunan batu abu-abu yang berada di tengah hutan hijau ini terlihat sempurna.      

Setelah mobil melewati tembok tinggi dan gerbang besi, Twain melihat lahan hijau yang luas dan pagar tanaman yang rendah. Pemandangan ini sungguh membangkitkan semangat. Dia hanya bisa menarik nafas panjang.      

Saat dia melangkah keluar dari dalam mobil, Edward Doughty menyambutnya secara pribadi di pintu masuk. Atau, dia kebetulan sedang berada disana. Dia sedang mendorong sebuah kursi roda dimana seorang pria tua duduk diatasnya dan kelihatannya mereka sedang berjalan-jalan.      

Meski Twain tidak melihatnya selama beberapa tahun, Twain langsung mengenali pria tua itu, mantan ketua klub, Tn. Nigel Doughty.      

Dia sangat terkejut saat melihatnya.      

Dia masih ingat apa yang dikatakan oleh pria tua itu padanya saat dia baru pindah kemari. Saat itu, kata-katanya yang sederhana telah memberinya semangat dan kenyamanan, dan juga memperkuat keyakinannya untuk menunjukkan siapa dirinya di bidang pekerjaan ini.      

Saat melihat pria itu bereaksi, Twain menyapa Nigel Doughty. "Selamat pagi, Tn. Nigel Doughty."     

Duduk di atas kursi roda, Nigel Doughty tidak menunjukkan ekspresi apa-apa dan kelihatannya juga tidak mendengar kata-kata Twain karena jari dan kepalanya terus gemetar.      

Setelah beberapa saat, sebuah suara yang tidak jelas datang dari kedalaman tenggorokannya, seolah ingin menjawab salam Twain. Pasti begitu...      

"Penyakit Parkinson," kata Edward, yang mendorong kursi roda.      

Melihat penampilan mantan ketua klub itu, Twain tidak tahu harus mengatakan apa. Dia sulit menghubungkan mantan ketua Nigel Doughty dengan pria tua yang sedang sakit di hadapannya ini. Dia ingat bahwa saat Edward mulai menjabat sebagai Ketua klub, pengumuman menyatakan bahwa Tn. Nigel Doughty sedang kurang sehat, dan dia tidak bisa terus mempertahankan posisinya sebagai ketua klub. Dia mengira kalau itu hanyalah alasan; dia sama sekali tidak menyangka kalau itu memang benar.      

"Kalau cuaca sedang bagus, aku membawanya keluar untuk berjalan-jalan. Tidak ada banyak peluang untuk melakukan ini di Inggris. Saat dia pergi ke Amerika, dia tidak sanggup meninggalkan Inggris, tapi cuaca disini sangat tidak ramah bagi seseorang yang lanjut usia."     

Saat dia melihat Twain tidak mengatakan apa-apa, Edward tahu bahwa ini bukanlah topik yang bagus untuk dibahas, jadi dia mendorong kursi roda itu dan berjalan sambil berbicara. "Ceritakan padaku tentang turnamen liga, Tony. Kelihatannya kita sedang berada dalam situasi yang bagus."     

Nada suaranya jauh lebih tenang daripada kemarin. Mungkin dia juga sudah menganalisanya?     

Twain menduga kalau memang itulah yang terjadi. "Itu hanya terlihat bagus."     

"Oh? Media mengatakan kalau saat ini kita adalah pesaing kuat untuk gelar liga."     

"Media terlalu suka membesar-besarkan. Kau mau mendengar analisaku?"     

Edward Doughty mengisyaratkan agar Tony melanjutkan ucapannya.      

Twain mengulangi kata-kata yang diucapkannya pada Kerslake saat sarapan pagi ini. Edward tidak menyelanya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.      

Saat Twain selesai mengatakan semua itu, Edward bertanya, "jadi berapa besar kemungkinan kita bisa memenangkan liga?"     

"0,1%"     

"Bilang saja kalau tidak ada harapan untuk itu, Tony," kata Edward singkat.      

"Aku tidak ingin menghancurkan harapanmu." Twain tertawa. "Kita telah mengincar gelar juara Liga Champions selama satu musim, dan dengan dua putaran tersisa di turnamen liga, kurasa akan sulit untuk beralih mengejar gelar juara liga. Kalau kita bisa yakin bahwa kita memiliki peluang yang lebih baik, aku akan mempertimbangkannya dengan lebih serius. Tapi, kali ini, harapan untuk itu terlalu kecil. Aku tidak ingin mengerahkan seratus persen upaya kita dan berakhir tanpa mendapatkan apa-apa. Hal ini bisa merusak rencana Liga Champions kita. Kau tahu betapa pentingnya Liga Champions itu kan, Edward."     

Edward Doughty mengangguk. "Tentu saja aku tahu. Itu adalah mimpi dari semua klub sepakbola di Eropa."     

"Ya. Dan Liga Champions juga memiliki makna khusus bagi Nottingham Forest. Kalau aku harus memilih, kurasa memilih Liga Champions akan lebih baik bagi kita."     

"Aku tidak memintamu memilih satu dari dua. Aku mau keduanya, Tony."     

"Oh, ayolah, aku tidak perlu menjelaskannya. Kalau kita punya harapan mendapatkan gelar ganda, tidakkah menurutmu aku juga menginginkannya, Edward? Aku jauh lebih menginginkannya daripada orang lain. Tapi, jujur saja, gelar liga musim ini bukan milik kita. Mungkin pada akhirnya kita bisa berharap menjadi runner up di liga, tapi peluang untuk meraih gelar liga terlalu kecil." Memandang Nigel Doughty, mantan ketua klub yang sedang duduk di kursi roda, dia menambahkan, "mungkin kita akan mendapatkan peluang untuk memperoleh gelar ganda di masa depan, tiga gelar atau bahkan lima gelar seperti Liverpool... Tapi tidak untuk musim ini."     

Dia tidak meragukan perasaan pria tua itu terhadap Nottingham Forest. Di pertengahan tahun 1990an, saat tim Forest berada dalam kondisi yang sulit, dia membeli sebagian besar saham tim Forest dan berinvestasi besar-besaran ke dalam tim, berharap tim itu akan bangkit dan kembali ke Liga Utama. Sayangnya, tidak ada yang bisa menebak jalannya takdir di masa depan. Runtuhnya platform televisi digital independen membuat semua upayanya sia-sia dan hal itu sangat mempengaruhi ambisi dan aspirasi pria tua itu. Seperti halnya mentor Twain, Paul Hart, dia memilih untuk menyerahkan klub kepada putranya dan mengundurkan diri.      

Bagian pertama dari kalimat terakhir itu dimaksudkan untuk didengar olehnya.      

Memang, Nottingham Forest pasti akan kembali ke masa jayanya dan memulihkan kecemerlangannya. Selama dia masih memimpin, akan ada hari seperti itu.      

Tapi, Roma tidak dibangun dalam semalam. Membangun ulang sebuah tim membutuhkan waktu.      

Setelah terdiam sejenak, Edward menghela nafas. "Memandang tanpa daya sementara trofi kejuaraan liga itu berada tepat di hadapan kita, dan kita tidak bisa meraihnya... Itu benar-benar berat."     

"Kau akan baik-baik saja kalau kau tidak memikirkan tentang itu. Kalau kau terlalu memikirkan hal yang tidak bisa kau peroleh, maka kau akan merasa buruk. Setidaknya kita memiliki gelar Liga Champions."     

"Tapi kita bahkan belum selesai memainkan semifinal..."     

"Kita-lah yang akan pergi ke Athena. Apa kau meragukan itu?"     

"Tidak, tentu saja tidak." Edward menggelengkan kepalanya.      

"Kita-lah yang akan menang pada akhirnya. Tak peduli apakah lawan kita adalah Manchester United atau AC Milan, kita pasti akan menang. Tidak seperti gelar liga dengan peluang hanya 0,1%, gelar kejuaraan Liga Champions ini 100% milik kita."     

Edward berhenti berjalan dan menoleh untuk memandang Twain. "Aku selalu penasaran, Tony. Kenapa kau sangat percaya diri di Liga Champions? Entah itu Manchester United atau AC Milan, keduanya adalah lawan yang tangguh."     

Tang Jing juga pernah mengajukan pertanyaan yang sama, tapi Twain tidak menggunakan jawaban yang sama. Dia hanya menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."     

Edward tidak menduga kalau dia akan mendengar jawaban itu. Dia menatap kosong selama sesaat dan kemudian mengerucutkan bibirnya. "Kau membuatku kecewa, Tony."     

"Kalau kukatakan itu adalah intuisi, kau tidak akan mempercayainya. Tapi yang sebenarnya adalah, itu intuisi. Kejuaraan itu seperti taruhan. Kita mempertaruhkan setiap menitnya. Kita hanya bisa terus maju kalau kita menang. Kita harus menyingkir kalau kita kalah. Aku yakin kalau skill bukanlah hal yang mendominasi hasil taruhan, melainkan keberuntungan. Atau lebih tepatnya lagi, tujuh bagian keberuntungan dan tiga bagian skill. Jadi saat kau bertanya padaku kenapa aku percaya timku akan memenangkan Liga Champions, maka aku hanya bisa mengatakan kalau itu adalah intuisi, meski ini terdengar tak bisa dipercaya seperti halnya ucapan dewa judi yang mengatakan kalau dia selalu beruntung."     

Edward mengangkat bahu dan berkata, "Aku lebih suka kau memberikan alasan kekuatan tim."     

"Itu termasuk dalam tiga bagian skill."     

Sambil mengobrol, kedua pria itu akhirnya tiba di rumah, dan Edward menyerahkan kursi roda itu kepada perawat pribadi yang sudah menunggu disana. Dia akan menemani pria tua itu untuk terus berjemur di bawah sinar matahari. Edward dan Twain duduk di bangku yang ada di dekat sana.      

"Kalau kita bisa benar-benar memenangkan gelar Liga Champions, aku akan membuat perayaan besar di stadion City Ground, yang diselenggarakan pada malam hari. Allan sudah sibuk dengan urusan itu." kata Edward, sambil memandang hutan di kejauhan.      

"Kau sudah membuat persiapan?" Twain tampak sedikit terkejut.      

"Ya." Edward memandang Twain dengan senyum penuh rahasia. "Jadi kau harus berhasil maju ke babak final Liga Champions dan memastikan kau menang disana."     

"Itu sudah pasti, Edward. Tentu saja, kita akan menang." Twain tergelak.      

"Tinggallah untuk makan siang, dan aku akan pergi ke Wilford bersamamu setelahnya."     

Twain berpikir sejenak. Shania sedang tidak ada di Inggris, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Dia mengangguk.      

"Aku tidak akan memaksamu untuk mendapatkan gelar liga musim ini, tapi aku ingin kau selalu ingat dengan apa yang kaukatakan. Di masa depan, aku ingin melihat kita bisa memenangkan dua, tiga, empat atau lima gelar berturut-turut dalam satu musim... lebih banyak trofi kejuaraan, Tony."     

Twain mengangguk dan berjanji.      

Memang enak rasanya bisa mengendalikan sebuah klub. Ketua klub adalah orang yang mengambil keputusan akhir dan mereka tidak perlu melalui pertemuan dewan yang penuh dengan hiruk pikuk untuk itu. Dan dua klub yang dimiliki oleh individu adalah Nottingham Forest dan Chelsea, yang hanya bisa membuat Twain menghela nafas panjang.      

Aku lebih beruntung darimu, Tn. Mourinho. Saat kau bekerjasama dengan Abramovich, apa kau memiliki perasaan "menemani seseorang yang berkuasa penuh bisa terasa seperti menemani seekor harimau?"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.