Mahakarya Sang Pemenang

Memenangkan Pertandingan Pertama



Memenangkan Pertandingan Pertama

0Hal terpenting dari serangan balik defensif adalah bermain bola selama delapan puluh sembilan menit dan lima puluh detik di bawah tekanan lawan, sepenuhnya babak belur selama periode ini, terus menerus menghadapi bahaya, terlihat seperti akan kebobolan gol kapan saja dan benar-benar berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan baik dalam situasi maupun statistik teknis. Tapi...      

Kata "tapi" adalah esensi dari serangan balik defensif.      

Tapi mereka tidak boleh kebobolan gol. Lalu mereka akan menyerang balik dalam sepuluh detik terakhir dan meluncurkan serangan kilat untuk membuat skor menjadi 1:0. Kemenangan berhasil diamankan.      

Oleh karena itu, serangan balik defensif selalu dihubungkan dengan "doktrin 1:0" dan "permainan konservatif" dan dianggap sebagai perwakilan dari gaya sepakbola yang tidak enak dilihat. Serangan balik defensif adalah target utama 'kebencian dan kritik' dari para fans.      

Tapi Twain menyukainya. Karena gaya sepakbola ini bisa membawakan kemenangan baginya.      

※※※     

"Gareth Bale! Ini adalah gol pertamanya di Liga Champions! Dan itu terjadi dengan sangat mudah. Dia tidak dijaga oleh siapapun. Dia hanya perlu menyiasatinya sedikit... dan dia berhasil melakukannya!"     

Si monyet kecil, Gareth Bale telah membayangkan skenario semacam ini berkali kali sebelum dia mencetak gol: bagaimana rasanya saat dia mencetak gol di sebuah pertandingan penting seperti Liga Champions? Dia juga merencanakan gerakan perayaan usai dia mencetak gol. Dia sudah mencoba beragam gaya sampai-sampai dia tidak bisa mengingat semuanya.      

Tapi setelah dia mencetak gol di pertandingan yang sesungguhnya, dia benar-benar lupa dengan semua gerakan perayaan yang sudah dia persiapkan. Dia hanya berlutut dengan lengan terbuka dan memandang ke arah langit. Lampu yang terang menyorot ke arahnya ditengah langit malam. Hanya terdengar suara riuh dan tepuk tangan. Pada saat itu, dia adalah tokoh utama di atas panggung.      

Sebuah sosok muncul di bidang pandang Bale saat dia mendongak memandang langit malam. Itu adalah rekan setimnya, Eastwood, yang melompat tinggi ke udara dan menindihnya tanpa menunggu Bale untuk bereaksi.      

"Wow."     

Segera setelah itu semakin banyak pemain Forest yang mengerumuni mereka dan saling menumpuk diatas keduanya. Itu adalah cara favorit mereka untuk merayakan gol, baik dengan menindih rekan setim mereka atau pelatih mereka.      

George Wood tidak ikut bergabung dalam perayaan itu. Dia hanya berdiri diluar tumpukan manusia itu, mengepalkan tangan dan mengacungkan tinjunya.      

Pemain cadangan tim Forest tampak bersukacita, semua orang saling memeluk satu sama lain. Skor ini memang sangat menggembirakan karena mereka memiliki dua gol tandang dan berhasil unggul atas Chelsea. Tim Forest berada dalam situasi yang bagus.      

Berkebalikan dengan suasana meriah di kubu tim Forest, bangku pemain cadangan dan area pelatih tim Chelsea hanya bisa terdiam. Mourinho menggigit bibir bawahnya dan menatap layar besar, yang menayangkan ulang bagaimana gol tim Forest dicetak.      

George Wood yang mendadak masuk ke wilayah mereka telah mengacaukan rencana pertahanan Chelsea. Terry sama sekali tidak berani mengabaikan pria yang sangat aktif menyerang di pertandingan ini, dan tidak mewaspadai pemain lain.      

Gareth Bale!     

Mourinho dengan marah mengukir nama itu di dalam hatinya. Pemain itu benar-benar pembawa sial baginya. Gol pertama dalam karir pemuda itu terjadi saat melawan timnya dan gol pertamanya di Liga Champions juga dicetak ke gawang timnya... Sialan, Twain pasti sengaja memasukkan pemuda itu!     

※※※      

"Para pemain muda Nottingham Forest sedang berkembang. Bakat yang dibawa dari semua tempat ke tim pemuda dan kemudian dipromosikan dari tim pemuda ke Tim Pertama oleh Tony Twain kini menjadi pemain inti dalam pertandingan. George Wood, Gareth Bale, Pique... Kita bisa mengharapkan lebih banyak lagi dari mereka di masa depan."     

Hanya ada sedikit waktu yang tersisa dalam pertandingan ini, dan komentator mulai membuat komentar penutup. Di lapangan, Chelsea meluncurkan serangan balik dengan membabi buta. Tim Forest tetap bertahan di wilayah mereka. Dengan sebelas pemain dipadatkan dalam area seluas tiga puluh meter, mereka menutup semua celah untuk memblokir tendangan jarak jauh Chelsea.      

Semua orang di tim Nottingham Forest yang ada diluar lapangan berdiri berdampingan untuk memulai hitungan mundur menjelang berakhirnya pertandingan.      

Twain terjepit di antara Dunn dan Kerslake. Dia melirik ke Mourinho, yang duduk tak bergerak di atas kursi manajer. Dia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, dan sama sekali tidak tahu bagaimana ekspresinya... itu pasti hebat?     

Disampingnya, Kerslake sudah mengangkat kedua tangannya untuk merayakan kemenangan mereka. Di sekeliling mereka, beberapa orang juga melakukan hal yang sama.      

Meski tim Forest terlihat babak belur di lapangan, mereka tidak cemas karena mereka sudah sering melihatnya.      

Wasit meniup peluit tanda berakhirnya pertandingan setelah tembakan Shevchenko meleset.      

Saat itu juga, stadion Stamford Bridge dipenuhi suara sorakan dari fans tim tamu, tapi suara mereka segera ditenggelamkan oleh suara cemoohan para fans Chelsea, yang tidak ingin membiarkan lawan mereka merayakan kemenangan di stadion kandang mereka.     

Mereka menang dan mereka masih mau pamer? Jangan harap!     

"Nottingham Forest memenangkan leg pertama dan ini adalah kemenangan tandang yang sangat berharga! Meski cukup normal bagi kedua tim untuk menang, karena keduanya memiliki kekuatan yang sebanding, cukup menakjubkan melihat tim Forest bisa mengalahkan Chelsea dalam pertandingan tandang ini. Rekor memalukan Mourinho yang tak bisa mengalahkan Tony Twain masih terus berlanjut. Dalam persaingan antara kedua manajer, Twain memenangkan satu ronde, tapi terlepas dari apakah dia bisa benar-benar menang akan tergantung pada leg kedua yang akan diadakan di stadion City Ground, Nottingham.      

Orang-orang di sekelilingnya berlari maju untuk merayakan, dan Twain berbalik untuk berjalan menuju area teknis Chelsea.      

Jabat tangan setelah pertandingan adalah sebuah tradisi. Dan dia ingin mengetahui ekspresi Mourinho dari dekat.      

Mourinho tahu bahwa Twain tidak bermaksud bersikap sopan dengan menghampirinya lebih dulu. Dia tahu apa yang ingin dilakukan oleh pihak lawan, dan dia tidak akan memberikan peluang itu bagi Twain.      

Twain tersenyum lebar ke arah Mourinho sambil berjalan menghampirinya. Di tengah jalan, dia baru sadar bahwa Mourinho telah berbalik untuk langsung mengarah ke terowongan pemain.      

Senyum itu membeku di wajahnya.      

Dia pernah bersikap kurang ajar pada orang lain. Dia sama sekali tidak mengira kalau dia akan diperlakukan sama oleh orang lain.      

Tangannya yang sudah terulur akhirnya menggaruk kepalanya dengan canggung dan Twain hanya mengangkat bahu sebelum akhirnya berbalik dan berjalan menuju ke lapangan.      

"Monyet Kecil, kau berhasil melakukannya!" katanya dengan suara keras ke arah Bale yang mendekat sambil tersenyum. Suasana hatinya kembali cerah.      

Terserah kalau kau tidak mau berjabat tangan. Dengan segala hormat, jangan biarkan aku melihat ekspresimu. Aku menang!     

Bale mendengar seruan Twain dan berhenti sejenak untuk tersenyum ke arah Twain. Dia tidak tahu harus mengatakan apa.      

Twain melihat kalau perutnya terlihat buncit. "Apa ini?" tanyanya sambil menunjuk ke arah perut Bale yang membulat.      

"Hehehe... bola, chief." Bale mengeluarkan bola itu dari jersey-nya dan berkata, "Bola yang kutembakkan ke gawang. Aku mengambilnya; aku ingin menyimpannya. Ini gol pertamaku di Liga Champions. Aku baru saja melihat wasit mencarinya... Jangan katakan pada mereka, chief!"     

Twain mengangguk. "Baiklah, aku takkan mengatakan apa-apa. Bawa saja ke ruang ganti dan cepat sembunyikan!"     

Bale berlari melewati Twain ke arah terowongan tapi dia segera dikelilingi oleh reporter yang ingin mewawancarainya. Melihat ekspresi Bale yang tampak gugup, Twain tertawa.      

※※※      

Meski dia kalah dalam pertandingan, Makalele masih mendekati George Wood, berharap bisa bertukar jersey dengannya.      

"Aku mendengar rumor tentangmu. Kudengar kau tidak pernah menerima permintaan untuk bertukar jersey setelah kau kalah dalam pertandingan." Makalele berdiri di hadapan Wood saat dia berbicara menggunakan bahasa Inggris yang patah-patah.      

Wood mengangguk.      

Makalele melepaskan jersey-nya dan menyerahkannya pada Wood. "Kau menang hari ini tapi lain kali belum tentu kau menang lagi."     

Wood melepaskan jerseynya dan menukarnya dengan Makalele.      

Dia mengira kalau itu sudah berakhir, tapi saat dia baru akan berbalik dan melangkah pergi, dia dihentikan oleh Makalele, yang mengatakan sesuatu dalam bahasa Prancis kepada Wood, yang tidak memahaminya.      

Wood hanya bisa menatap Makalele yang beranjak pergi hingga Ribery tiba-tiba muncul disampingnya.      

"Dia bilang kalau bertahan tidak hanya mengandalkan tubuh," Ribery menerjemahkan ucapannya tadi untuk Wood. Saat dia melihat Wood mengerutkan kening, Ribery menepuk bahunya untuk meyakinkannya. "Dia pasti merasa frustasi karena kalah darimu dalam pertarungan fisik dan itulah sebabnya kenapa dia mengatakan itu, George. Ayolah, mari kita rayakan kemenangan ini dengan semua orang!"      

Wood diseret ke tengah kerumunan oleh Ribery.      

Makalele berjalan ke zona umum dengan jersey merah nomer 13 milik Wood tersampir di bahunya. Jersey itu menarik perhatian kerumunan reporter disana.      

"Yah, ini memang jersey pria itu." Makalele mengangguk saat dia ditanya oleh seorang reporter dan kemudian menambahkan, "Dia sangat bagus tapi masih kurang pengalaman."     

※※※     

Alih-alih merayakan kemenangan di lapangan seperti orang-orang lain, Twain langsung menuju ke lokasi untuk konferensi pers. Tempat itu masih kosong dan dia duduk di atas panggung, menunggu para reporter di zona umum menyelesaikan wawancara mereka.      

Karena tidak ada orang disana, Twain meletakkan kakinya ke atas meja dan bersandar ke kursi. Dia memiringkan kursinya, seluruh berat badannya hanya ditopang oleh dua kaki kursi yang ramping. Tidak ada orang disini jadi dia bisa sedikit bersantai.      

Suara derak datang dari pintu samping. Dia menoleh untuk melihat dan menemukan Mourinho sedang mendorong pintu hingga terbuka.      

Mourinho mendongak dan melihatnya. Tatapan keduanya saling bertemu.      

Bruaak!     

Dua kaki kursi yang ramping itu tidak bisa menopang bobot Twain. Miring ke satu sisi, Twain yang tidak siap terlempar keluar dari kursinya, dan kepalanya membentur papan sponsor di belakangnya.      

Saat dia melihat adegan lucu ini, Mourinho tidak bisa menahan diri dan tertawa.      

Twain meringis menahan sakit dan bangkit dari lantai. Dia sedikit malu saat melihat Mourinho masih tertawa.      

"Suasana hatimu sedang bagus, Tn. Mourinho," kata Twain sedikit malu sambil mengambil kursi yang terjatuh, dan menemukan bahwa kaki kursi itu sudah menekuk. Dia tidak tahu apakah kaki kursi itu benar-benar sudah patah atau tidak.      

Setelah berusaha dan gagal meluruskan kaki kursi itu, Twain bangkit berdiri dan memeriksa ruangan. Kursi untuk para reporter itu sama seperti kursi yang disediakan untuk para pelatih. Mereka adalah kursi biru dengan sandaran punggung yang identik.      

Setelah memandang kursi yang kakinya bengkok itu, Twain turun dari panggung dan menarik salah satu kursi yang utuh dari galeri pers lalu menukarnya.      

Dia meletakkan kursi yang rusak itu di barisan kursi yang ada dan mengambil beberapa langkah ke belakang untuk memeriksanya. Saat dia tahu kalau kerusakan itu tidak terlihat, dia tampak puas dan berjalan kembali ke atas panggung.      

Saat tadi dia melihat Twain, Mourinho baru akan berbalik dan pergi, tapi sekarang dia berdiri di pinggir ruangan dan mengamati kelakuan Twain dengan penuh minat.      

Setelah Twain selesai melakukan semua itu, dia baru sadar kalau Mourinho masih berdiri disana. Dia sedikit terkejut dan bertanya, "kau tidak pergi?"     

"Kenapa aku harus pergi? Memangnya ini rumahmu?" Mourinho datang menghampiri dan duduk di kursinya sendiri.      

Kedua pria itu duduk berdampingan, menunggu para reporter datang kemari.      

"Bukankah kau melarikan diri saat kau melihatku tadi? Aku baru akan berjabat tangan denganmu usai pertandingan, Tn. Mourinho. Meninggalkan lapangan tanpa berjabat tangan adalah hal yang sangat tidak sopan," kata Twain, sambil memandang kursi-kursi kosong di hadapannya.      

"Itu lebih sopan daripada memberikan medali perak ke orang lain setelah babak final." Mourinho tidak mau kalah dan berbicara sambil menatap lurus ke depan.      

Keduanya jelas terlibat dalam sebuah percakapan, tapi mereka sengaja tidak saling memandang.      

"Maafkan aku karena mengalahkanmu di stadion kandangmu, Tn. Mourinho." Twain menabur garam ke atas luka Mourinho.      

Mourinho bahkan tidak mengerutkan alisnya dan berkata, "Tidak perlu minta maaf, Tn. Twain. Aku akan mengalahkanmu di stadion kandangmu di putaran selanjutnya."     

"Jangan mengatakan itu dengan penuh percaya diri, Tn. Mourinho. Kalau tidak, akan sangat sulit menerimanya saat hal itu tidak terwujud. Kau tahu, aku tidak pernah bilang-bilang kalau aku akan bisa melaju ke final, meski itulah kenyataannya."     

Mourinho mendengus. Dia tidak ingin berbicara lagi pada pria yang tak tahu malu ini.      

Saat kedua pria itu bertengkar, para reporter tiba di ruang konferensi pers. Kedua pria itu berhenti berbicara dan mengamati keparat sial mana yang akan duduk di kursi khusus di tengah barisan.      

Anehnya, banyak orang melewati kursi itu dan seseorang bahkan merasa ragu saat dia sudah berniat untuk duduk. Tapi pada akhirnya, tidak ada yang terkena jebakan itu. Itu sedikit mengecewakan bagi Twain.      

Saat penyelenggara melihat bahwa sebagian besar orang sudah tiba, dia mengumumkan dimulainya konferensi pers. Saat itulah pintu kembali didorong terbuka dan seorang reporter gemuk melangkah masuk, wajahnya berkeringat. Twain melirik kartu pass media-nya, yang memiliki logo 'The Sun' yang mencolok disana.      

Dia berasal dari The Sun. Itu bagus sekali.      

Saat mereka melihatnya melangkah masuk, Mourinho dan Twain sama-sama mengalihkan pandangan mereka ke kursi kosong di tengah.      

"Maafkan aku," reporter itu meminta maaf saat dia berusaha melewati sebarisan bangku untuk menuju ke kursi yang kosong. Semua orang yang sudah duduk harus berdiri untuk memberi jalan padanya, karena kalau tidak begitu maka dia tidak akan bisa lewat. Dia terlalu gemuk.      

Mourinho mengangkat alisnya, dan Twain berpura-pura terlihat serius.      

Akhirnya, setelah bersusah payah, reporter itu akhirnya berhasil tiba di kursi kosong itu. Dia menyeka keringat di keningnya, dan langsung duduk.      

Mourinho menyipitkan matanya, dan Twain bersiul pelan.      

Bruaak!     

Pria gemuk itu mendongak dan memandang semua orang dengan tatapan bersalah. Dia menjadi fokus semua orang.      

※※※      

"Hahahaha!"     

Di bis dalam perjalanan kembali ke Nottingham, Twain menceritakan adegan yang terjadi di konferensi pers itu kepada para pemain dan semua orang tertawa terbahak-bahak.      

Mereka punya alasan kuat untuk bersikap santai. Kemenangan tandang atas rival lama mereka, Chelsea, telah meyakinkan mereka bahwa tim yang akan melaju ke final musim ini haruslah mereka dan bukan orang lain.      

"Beristirahatlah sekarang, guys. Setelah kalian turun dari bus, kalian tidak akan punya waktu untuk bersantai." Twain berdiri di depan bus. "Masih ada lima putaran tersisa untuk musim ini. Kita hanya punya sedikit harapan untuk gelar liga, tapi kita harus memastikan kalau kita bisa lolos ke Liga Champions musim depan. Kita tidak bisa bersantai sampai hal ini terkonfirmasi. Lalu ada Liga Champions. Saat ini kita berada di titik yang paling penting. Kemenangan tandang atas Chelsea bukan berarti kita pasti akan pergi ke Athena, tapi kesempatan kita lebih besar daripada mereka. Seminggu dari sekarang, aku tidak ingin melihat tim Forest yang sombong dan meremehkan lawan mereka. Apa kalian ingat apa yang pernah kukatakan? Kita tidak punya waktu untuk bersantai sampai kita memenangkan gelar Liga Champions. Semakin dekat jarak kita dengan akhir turnamen, kita harus menguatkan diri kita sendiri. Saat kita sudah paling dekat dengan kemenangan, tragedi seharusnya menimpa lawan kita, dan bukan kita!"     

"Ya!!" Semua orang menjawab dengan suara keras di dalam bus.      

※※※     

Di bandara Heathrow, London, seorang pria paruh baya yang agak gemuk dan berambut abu-abu sedang menunggu penerbangan di aula keberangkatan. Dia sedang berbicara di telepon.      

"Ya, aku baru saja menonton pertandingan. Aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti. Ini baru leg pertama. Kumpulkan saja semua informasi tentang kedua tim. Tak peduli tim mana yang akan menjadi lawan kita, kitalah yang akan menang. Istanbul tidak akan terjadi lagi."     

Setelah mengakhiri panggilan telepon itu, pria ini bersandar ke kursi dan menutup matanya. Benaknya dipenuhi pertandingan semifinal yang baru saja berakhir.      

Awalnya dia cukup optimis tentang Chelsea, yang bermain di kandang sendiri. Tapi, anehnya, Nottingham Forest adalah yang paling mengesankan saat dia menutup matanya sekarang.      

Serangan balik defensif?     

Itu akan fantastis. AC Milan memiliki banyak pengalaman untuk berurusan dengan tim yang bertahan hingga akhir. Bermain bertahan di depan orang Italia? Tony Twain, kalau kau cukup beruntung untuk sampai ke final, AC Milan akan menunjukkan bagaimana pertahanan yang sebenarnya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.