Mahakarya Sang Pemenang

Si Putri Tidur



Si Putri Tidur

Soiree, bagi seorang awam seperti Twain, hanya akan menarik jika dia menganggapnya sebagai sebuah pertemuan dari beragam jenis karakter di sebuah kedai dalam sebuah novel fantasi. Oleh karenanya, dia menghabiskan sebagian besar waktunya berada di balkon untuk menghirup udara segar. Terkadang, orang-orang lain akan datang ke balkon untuk menikmati momen pribadi. Setelah mereka terkejut saat menemukan Twain yang tersembunyi di sudut yang gelap, mereka akan berharap Twain mau memberikan ruang ini untuk mereka, tapi Twain terlalu malas untuk bergerak. Jadi, dia bersandar di tepi balkon dan membalas tatapan mereka. Pada akhirnya, pihak lawan tidak tahan lagi dan bergerak mundur, meninggalkan balkon yang kosong untuk kembali dinikmati oleh Twain.      

Malam ini, dia harus berkompetisi dengan beberapa orang menggunakan metode itu. Ada orang-orang asing yang ingin berkumpul di tempat yang tersembunyi dari pandangan orang lain, para pria dalam setelan yang ingin membicarakan tentang bisnis, serta para wanita yang ingin bergosip di belakang punggung orang-orang. Twain mengusir mereka semua dari balkon lagi dan lagi, seperti seekor raja singa di dataran Afrika yang menjaga wilayahnya.      

Kenapa dia tidak ingin pergi ke aula yang terang benderang dan berpesta dengan orang-orang disana serta mengambil inisiatif untuk berkenalan dengan orang asing? Twain menyalahkan karakternya yang anti sosial dan aneh. Tapi...     

"Sangatlah aneh kenapa aku menyukai stadion dengan sepuluh ribu orang yang saling meraung bersama-sama, tapi aku sama sekali tidak menyukai hiruk pikuk semacam ini." gumamnya sambil menatap ke arah aula.      

Saat sudah waktunya untuk berpamitan, Giorgio Armani secara pribadi mengantarkan para tamunya ke pintu. Saat Twain mengamati master dunia mode itu, yang sama sekali tidak terlihat sombong, Twain bisa menduga kenapa pria itu bisa sangat sukses.      

"Tony, kelihatannya kau tidak menikmati waktumu." Pada saat mereka akan berpamitan, Armani sudah memanggil Twain dengan nama depannya. Hubungan mereka berkembang dengan cepat. "Aku tidak menjamu-mu dengan baik sebagai tuan rumah."     

Twain buru-buru mengibaskan tangannya dan berkata, "Tidak, tidak, bukan itu... hanya saja..." Dia tidak tahu bagaimana dia mengatakannya. Bisakah dia mengatakan pada Armani kalau sebenarnya dia tidak suka dengan event seperti ini? Itu terlalu kasar.      

"Tn. Twain pasti sedang cemas tentang semifinal Liga Champions." Mourinho kelihatannya selalu ada dimana-mana. Selama ada sebuah situasi yang bisa mempermalukan Twain, dia akan segera muncul dan menusuknya dari belakang.      

Tapi saat melihat Mourinho, Twain bereaksi dengan cepat. "Aha, temanku, Tn. Mourinho, aku setuju denganmu tentang itu. Tidak ada yang perlu dicemaskan tentang semifinal. Baik aku menang atau kau kalah; hasilnya masih tetap sama."     

Mourinho membeku sejenak sebelum dia memahami makna dibalik kata-kata Twain. Mourinho sendiri yang memulainya. Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada Armani, dia mengulurkan tangannya kepada Twain dan berkata, "saat kita berjabat tangan lagi, itu tidak akan terjadi dalam suasana yang santai seperti ini, Tn. Twain."     

Twain menerima uluran tangan Mourinho dan tersenyum. "Maksudmu sebelum atau sesudah pertandingan?"     

Mourinho tidak mau repot-repot menjawab pertanyaannya yang tak ada gunanya. Dia mengucapkan selamat tinggal dengan sopan kepada Shania dan kemudian berbalik untuk berjalan menjauh.      

Setelah Mourinho pergi, Armani melanjutkan percakapannya dengan Twain.      

"Jor mengeluh padaku beberapa kali tentang betapa buruknya selera 'Paman Tony'-nya dalam berpakaian" Armani menyeringai pada Twain.      

Twain tampak kurang nyaman saat pria itu menilainya. Dia menjadi gelisah dan berkata, "Seorang pria hanya membutuhkan dua set pakaian sepanjang tahun. Satu untuk musim panas dan satu untuk musim dingin."     

Giorgio Armani tampak sangat tertarik pada "opini brilian" Twain itu dan bertanya, "Darimana kau mendengar itu, Tony?"     

"Yah, aku menemukan kesimpulan itu sendiri."     

Pria tua itu tersenyum cerah dan berkata, "Aku setuju dengan separuh pendapat itu. Lemari pakaian seorang pria tidak perlu diisi dengan beragam pakaian musiman seperti milik seorang wanita, tapi itu tidak berarti seorang pria hanya bisa memakai satu setelan saja sepanjang tahun. Kalau itu yang terjadi, saat kau turun ke jalan, matamu akan lelah dengan dunia ini, dan kau hanya akan melihat setelan berwarna gelap dan lebih banyak lagi setelan berwarna gelap... sama seperti cuaca di London. Sebenarnya, seorang pria bisa berpakaian sesuai keinginannya, selama dia tahu bagaimana mengkoordinasikannya. Tak peduli apa yang dipakai olehnya, dia akan terlihat modis dan unik. Karena bentuk tubuh dan penampilan setiap orang itu berbeda, gaya busana yang sama akan memberikan tampilan yang berbeda terhadap si pemakai yang gemuk ataupun yang kurus."     

Twain sepenuhnya setuju dengan hal itu. "Sayangnya, aku tidak punya mata dan selera untuk memilih pakaian."     

"Itu tidak jadi masalah. Pakai saja apa yang terasa enak untuk dipakai. Apa kau suka dasi kupu-kupu, Tony?"     

Twain menggelengkan kepalanya. "Kalau aku tidak harus memakai dasi, aku tidak akan memakainya. Ini adalah pertama kalinya aku memakai dasi kupu-kupu."     

"Bagus sekali." Giorgio Armani tiba-tiba membuka ikatan dasi itu dan menyerahkannya pada Shania yang ada disampingnya. Kemudian dia membuka dua kancing teratas di kemaja Twain, membiarkan kerahnya terbuka. "Santai saja, jangan merasa terkekang dan merasa harus bersikap sopan di depan temanmu." Armani menepukkan tangannya dan mengambil dua langkah ke belakang seolah dia sedang mengagumi seorang model yang dikontraknya dan memiringkan kepalanya ke satu sisi untuk kembali menilai tampilan Twain.      

"Tidak buruk, Tony. Kau tetap menjaga tubuhmu dalam kondisi bagus. Apa kau tertarik untuk menjadi juru bicara merk-ku?" Pria berusia delapan puluh satu tahun itu mengedipkan mata pada Twain.      

Twain tertegun.     

Menjadi wajah Armani?     

Dia tidak pernah memikirkan tentang modelling – sebelum ini, dia sama sekali tidak pernah memikirkannya. Di dalam benaknya, Armani selalu menjadi perwakilan merk fashion mewah di dunia. Bukankah seorang penyanyi terkenal atau bintang film terkenal seharusnya menjadi wajah dari merk semacam ini? Sejak kapan hal itu diberikan pada manajer sepakbola seperti dirinya?     

"Apa itu menyulitkanmu, Tony?"     

"Ah, tidak, tidak, tidak. Aku hanya sedikit terkejut. Tn. Armani, aku tidak mengerti kenapa Anda ingin aku menjadi ... seorang juru bicara."     

"Karena aku sangat menyukaimu, Tony. Kau memiliki sesuatu yang membuatku terpesona."     

Pria tua itu berbicara seolah dia menyanyikan lagu yang sama seperti Woox... Apa orang-orang di dunia mode menyukai hal-hal semacam ini? Twain bergidik.      

"Tidak seperti para modelku yang lain, kau seperti kuda liar yang tak terkendali. Tidak ada yang bisa mengendalikan dan menjinakkanmu. Kau bebas dan tak terkekang. Kau mengatakan apa yang kau pikirkan, kau menunjukkan sisi dirimu yang ingin kau tunjukkan dan tak peduli dengan apa yang dikatakan oleh publik atau media tentangmu. Kau hidup dengan bebas. Itu sangat sejalan dengan nilai-nilai merk Armani. Kau tahu, rancangan mode-ku hanya mengejar satu prinsip – sederhana, bebas, rileks. Kau cocok dengan semua itu, Tony."     

Twain tidak mengira kalau dia akan menerima penilaian seperti ini dari Armani. Dia membeku di tempat dan kemudian mengangguk. "Yah, selalu bagus untuk menghasilkan lebih banyak uang."     

Armani tertawa. Disamping mereka, Shania dan Fasal juga tertawa. Upaya Shania akhirnya terbayar.      

Saat mereka akan melangkah pergi, Armani memberikan satu nasihat kepada Twain. "Tony, kau bilang kau tidak punya selera dan mata untuk memilih pakaian. Aku akan memberitahumu sebuah metode yang sangat berguna." Dengan misterius dia menempatkan mulutnya ke dekat telinga Twain dan berbisik seolah "resep rahasianya" harus tetap rahasia.      

Twain mencoba terlihat seperti sedang mendengarkan dengan penuh perhatian sebagai tanda penghormatan.      

Giorgio Armani yang berambut keperakan itu mencondongkan tubuh ke dekat telinga Twain dan memandang ke arah Shania dan Fasal di belakangnya. Dia tersenyum penuh rahasia pada kedua orang itu dan berkata, "kalau kau tidak tahu harus memakai apa, pakai saja Armani dan kau tidak akan pernah salah!"     

Twain, yang dibohongi, tidak merasa marah dan tertawa bersama pria tua itu. "Itu benar-benar metode yang bagus."     

※※※     

Malam sudah semakin larut, dan mereka harus segera kembali ke Nottingham karena Twain harus pergi ke Wilford untuk latihan rutin dengan tim keesokan paginya. Meski sudah larut malam, Shania masih bersemangat tinggi. Dia duduk bersama Twain di kursi belakang mobil, terus bersenandung mengikuti suara musik dari radio mobil.      

Twain sedikit lelah. Dia menyandarkan kepalanya ke kursi dan menutup matanya. Banyak hal terjadi malam itu. Mourinho, Giorgio Armani dan kisah dibalik Billy Woox dan George Wood.      

Kertas pinjaman hutang itu, yang sudah dibakar, dan Billy Woox, yang tersenyum dibalik api. Setelah berurusan dengan agen terkutuk itu selama dua tahun, Twain merasa bahwa untuk pertama kalinya, dia tidak mengenal pria itu sama sekali.      

Dia sebenarnya salah satu kerabat jauh Wood....      

Dia tidak tahu apakah itu keberuntungan atau kesialan bagi George dan ibunya karena memiliki saudara jauh seperti Woox?     

Twain bermaksud mengangkat tangannya untuk menggosok pelipisnya, dan menemukan tangan kanannya tak bisa digerakkan. Dia membuka matanya dan menemukan Shania, yang tadi selalu bersenandung, kini bersandar ke sisinya. Gadis itu jatuh tertidur dengan kepala bersandar ke lengan Twain dan kedua lengan gadis itu memeluk tubuh Twain. Wajahnya tersenyum damai dan jinak seperti anak kucing.      

Melihat Shania yang tidur dengan sangat manis, Twain perlahan membebaskan lengan kanannya dan membelai rambutnya dengan lembut. Aroma harum yang menyegarkan menyebar ke udara di mobil kecil itu.      

Itu adalah aroma shampoo favorit Shania. Bahkan sebagai seorang model, dimana banyak penata rambut dan orang lain menata rambutnya, Shania hanya menggunakan merk shampoo spesifik dengan wewangian yang khas. Itu hampir menjadi aroma khasnya.      

Dari sejak pertama kali Twain bertemu dengan Shania dan membawanya ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan, rambutnya selalu menguarkan aroma wangi yang kini familiar.      

Twain tidak bisa menahan diri untuk menarik nafas dalam-dalam.      

Fasal mendongak menatap kaca spion tengah dan sudut bibirnya melengkung sebelum dia menundukkan kepalanya untuk fokus pada mengemudi.      

Musik dari radio sudah lama dimatikan oleh Fasal yang penuh pengertian dan jendela juga tertutup rapat. Mobil-mobil di jalan bebas hambatan itu tidak bisa didengar dan di dalam mobil juga sunyi. Yang terdengar hanyalah suara nafas Shania yang sedang tertidur.      

Kedengarannya lembut dan merdu.      

Mendengarkan suara di samping telinganya, merasakan nafas yang hangat dari hidung Shania, dan kemudian membiarkan aroma wangi memenuhi hidungnya, Twain bersandar ke belakang dan kembali menutup matanya.      

※※※     

Sudah lewat jam satu pagi saat mereka tiba di Nottingham. Twain tidak membangunkan Shania, melainkan dengan lembut menggendongnya keluar dari mobil. Setelah mengatakan selamat tinggal pada Fasal, dia kembali ke rumah.      

Dia telah menggendong Shania dari mobil ke kamar tidurnya di lantai dua, dan kemudian meletakkannya ke atas ranjang. Karena kesopanan, dia tidak melepaskan gaun malamnya; dia hanya menutupi tubuh Shania dengan selimut.      

Setelah melakukan semua itu, Twain merasa lelah dan berkeringat. Nafasnya berat. Ini adalah yang kedua kalinya dia menggendong Shania. Yang pertama kali adalah saat gadis itu masih berusia tiga belas tahun dan sekurus bunga dandelion yang mudah terbawa angin.      

Dan sekarang...      

"Sial..." Twain mengambil nafas dalam dan duduk di lantai disamping ranjang Shania. "Dia benar-benar sudah tumbuh dewasa. Tidur seperti babi, kau membunuhku. Hoo hoo –"     

Setelah beristirahat sejenak, nafas Twain akhirnya mulai normal. Dia berbalik, berlutut di lantai dan bersandar ke ranjang untuk melihat Shania, yang tidur nyenyak. Wajah cantik gadis itu ditutupi oleh beberapa helai rambut. Twain sedikit ragu sebelum kemudian dia mengulurkan tangan untuk menyingkirkan rambut itu dari wajahnya dan kembali mencondongkan tubuhnya ke ranjang untuk mengamati Shania.      

Melihat Shania di depannya, Twain tiba-tiba saja teringat sebuah kisah dongen yang dibacanya saat masih kecil – Putri Tidur.      

"Putri Tidur, Putri Tidur... Siapa Pangeran Tampanmu yang menunggang kuda putih, menerobos semak berduri di jalur yang berbahaya, dan akhirnya memberimu ciuman untuk menyelamatkanmu?" gumam Twain.      

"Pastikan untuk menemukan pria yang baik dan berbahagialah..." Twain mengambil lengan Shania, yang menjulur keluar dan memasukkannya kembali ke bawah selimut. Kemudian dia bangkit untuk meredupkan lampu di meja samping ranjang dan diam-diam meninggalkan kamar.      

※※※     

Esok harinya, Twain tidak membiarkan Shania membangunkannya. Dia bangun sendiri dan pergi ke lantai bawah setelah membersihkan diri.      

"Selamat pagi! Paman Tony!" Shania menjulurkan kepalanya keluar dari dapur dan melambaikan spatula dan telur di tangannya.      

"Selamat pagi..." Twain menyapanya dengan suara pelan karena memikirkan bagaimana dia akan memakan sarapan dari neraka yang disiapkan oleh Shania.      

Toto melompat keluar dari dapur. Dengan remah roti di mulutnya, dia menggosokkan kepalanya ke celana Twain.      

"Jangan menyeka mulutmu di celanaku!" Twain sangat ingin menendang kucing liar itu keluar, tapi dia mungkin akan ditendang keluar oleh Shania kalau dia melakukannya, jadi dia hanya menggoyangkan kakinya untuk mengusir kucing itu. Dia tidak menduga Toto akan menggunakan gigi dan cakarnya untuk berpegangan ke celana Twain. Twain tidak bisa mengusir kucing itu tak peduli seberapa keras dia mencobanya.      

Saat Twain sudah lelah menggoyangkan kakinya, dia memandang kucing nakal itu, yang masih menggosokkan diri ke celananya dan berkata dengan gigi terkatup, "Baiklah, kau tidak mau turun, ya? Dasar kucing nakal!" dia mulai membuka sabuk untuk melepaskan celananya.      

Pada saat itu, Shania keluar dari dapur sambil membawa sarapan dan Twain tepat berada di depan pintu dapur. Dia berdiri tegak tepat waktu untuk melihat Shania, membawa sebuah nampan dan memandang area antara bagian bawah kemejanya dan bagian atas lututnya...      

Membeku sesaat, Twain segera membungkuk lagi untuk menarik celananya dengan Toto masih menggantung disana.      

Shania bersikap seolah tidak ada yang bisa dilihat dan berwajah datar saat dia membawa sarapan ke meja makan lalu berkata pada Twain, "Paman Tony, apa kau akan menjadi juru bicara untuk lini pakaian dalam Armani? Kau cukup luar biasa di area itu." Dia menunjuk ke arah diantara kedua kaki Twain.     

Saat itulah Twain sadar kalau dia baru bangun tidur dan itu mengandung arti beberapa hal.      

Ini benar-benar memalukan. Tak heran Shania tidak mengalihkan pandangannya saat dia melihatnya!     

Twain bereaksi dengan cepat dan segera memegang celananya, dengan kucing masih menggantung di kaki celananya, kembali ke lantai atas.      

Setelah beberapa menit, dia kembali turun ke lantai bawah. Meski kucing itu masih menggantung di kaki celananya, kondisi "bangun tidur"-nya yang memalukan sudah tidak ada.      

"Sudah beres?" Shania bertanya tanpa mengangkat kepalanya saat dia memakan sarapan dan membaca surat kabar hari ini, yang diambilnya dari luar.      

"Adik kecilku agak nakal, jadi aku menamparnya beberapa kali untuk membuatnya patuh." Twain duduk dengan santai di seberang Shania dan mulai memakan sarapannya.      

Shania menyemburkan susu impor yang baru saja diminumnya ke atas surat kabar di tangannya dan mulai terbatuk. Twain tidak paham kenapa dan hanya menatap kosong ke arah Shania yang terbungkuk di meja dan tertawa sangat keras.      

Setelah beberapa saat, Shania mulai bisa menenangkan dirinya saat dia memandang Twain dan berkata dengan serius, "yang benar saja, Paman Tony, bisakah kau memberitahuku lebih dulu saat lain kali kau ingin menceritakan lelucon?"     

"Apa? Ah! Kau memutarbalikkannya di kepalamu. Di usia yang masih sangat muda, pikiranmu sudah begitu rumit. Dunia mode benar-benar sudah merusak pikiranmu, mengubah merah jadi kuning, hitam jadi putih..." Twain tidak berusaha menentang Shania. Dia hanya menggelengkan kepala untuk mengolok Shania, membuka lipatan serbetnya dan mulai makan. Setelah berhari-hari memakan sarapan yang dibuatkan oleh Shania, perutnya sudah terbiasa.... Untungnya aku bukan pecinta makanan, atau aku pasti akan kelaparan hingga mati di tempat seperti Inggris.      

"Berteman dengan pria tua sepanjang hari, tidak mungkin aku tetap polos." Setelah tinggal bersama Twain untuk waktu yang lama, Shania juga telah belajar untuk fasih bicara. "Ah, malangnya diriku, aku masih seorang gadis muda berusia tujuh belas tahun ~~~~~"     

Twain memutar matanya dan mengabaikan Shania yang bertingkah konyol.      

Setelah sarapan, Twain pergi keluar untuk mengetuk pintu rumah Dunn dan mengucapkan selamat tinggal pada Shania bersama Dunn lalu berjalan menuju Wilford untuk "pergi bekerja".      

Shania melambaikan tangannya dengan gembira ke arah dua pria itu di pintu rumah dan baru akan berbenah setelah dia tidak lagi bisa melihat Twain dan Dunn.      

※※※     

"Dia terlihat seperti seorang istri," Dunn yang biasanya diam, tiba-tiba saja berbicara, membuat Twain bingung.      

"Apa?"     

"Maksudku, Shania. Kau dan dia, saat dia mengantarmu keluar rumah barusan." Dunn menambahkan.      

"Apa yang kau tahu? Kau seorang perjaka yang bahkan tidak pernah menyentuh tangan seorang gadis," balas Twain dengan kasar. Dia tidak mau mempercayai omong kosong Dunn.      

"Apa kau berbicara tentang dirimu sendiri? Tubuh ini milikmu, perjaka tulen." Dunn adalah orang lain yang tubuhnya diambil alih oleh Twain.      

Twain memutar matanya dan menoleh untuk memandang Dunn. "Oke, kau katakan padaku yang sebenarnya, Dunn. Tubuh ini." Dia menunjuk ke arah dirinya sendiri dan bertanya, "apa masih perjaka sebelum aku mengambil alih?"     

Dunn merasa ragu sejenak sebelum kemudian mengangguk.      

"Kalau begitu kita sama. Lalu sekarang... aku tidak lagi perjaka, jadi aku lebih unggul." Twain tertawa dengan bangga.      

Terlalu canggung bagi Dunn untuk membahas topik ini lebih lanjut. Dia mengerutkan kening dan menyela tawa Twain. "Jangan membahas topik yang tak berguna seperti ini di pagi hari. Apa kau tidak ingin memikirkan tentang lawan semifinal kita, Chelsea?"     

Twain berhenti tertawa tapi dia masih tersenyum saat mengatakan, "berbicara tentang Chelsea, kemarin saat aku menemani Shania ke pesta pribadi Tn. Armani, tebak siapa yang kutemui?"     

Dunn memberikan respon dengan wajah datar, "Aku tidak suka main tebak-tebakan."     

"Kau benar-benar pria yang membosankan! Aku bertemu Mourinho."     

Ekspresi Dunn berubah saat dia mendengar nama itu.      

"Dia menantangku di depan banyak orang." Pada kenyataannya, tidak ada banyak orang disana. Disana hanya ada tiga orang, Armani, Shania dan Fasal. Tapi, dia memang suka melebih-lebihkan.      

"Dunn, aku tidak punya waktu untuk memikirkan tentang Chelsea saat ini. Aku sudah mempelajari Chelsea sejak lama. Kau tahu itu. Aku belum pernah kalah dari Mourinho sebelum ini dan aku tidak akan kalah darinya sekarang." Dia menyatakan itu dengan tegas, tanpa ada tanda-tanda ekspresi main-main yang ditunjukkannya barusan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.