Mahakarya Sang Pemenang

Hampir



Hampir

0Sebagai pemenang, Twain menerima lebih banyak perhatian daripada biasanya di konferensi pers paska-pertandingan, sementara Rijkaard hanya bisa duduk disampingnya dan menatapnya tanpa ekspresi saat dia menjawab pertanyaan para reporter yang tak ada habisnya.      

Dulu dia familiar dengan hal seperti ini, tapi orang yang biasanya menjawab pertanyaan para reporter yang tak ada habisnya adalah Rijkaard sendiri, sementara pria yang duduk diam disampingnya adalah Tony Twain.      

Itulah yang terjadi setelah babak final Liga Champions musim lalu.      

Pada saat itu, Twain baru saja memberikan medali peraknya. Semua orang mengira bahwa mengingat karakter Twain, dia tidak akan menghadiri konferensi pers, yang memang biasanya begitu. Saat konferensi pers dimulai, hanya Rijkaard yang menjawab semua pertanyaan, dan kursi Tony Twain kosong. Namun, di tengah-tengah konferensi pers, tiba-tiba saja Twain memasuki ruangan dan duduk di kursinya dengan wajah muram sambil menyaksikan Rijkaard menjawab pertanyaan dan tersenyum lebar.      

Rijkaard menganggap Twain sebagai orang yang tak tahu berterima kasih karena bagian akhir konferensi pers saat itu. Bukankah seharusnya pihak yang kalah memberikan ucapan selamat kepada pihak yang menang? Meski tidak tulus, perilaku seseorang akan mencerminkan kepribadian mereka dan menunjukkan kesan baik bagi semua orang.      

Twain tidak berniat melakukannya. Dia menyatakan bahwa gelar juara seharusnya diberikan pada tim dengan penampilan terbaik, dan tim yang memiliki penampilan terbaik adalah Nottingham Forest. Dia juga menambahkan, "Aku menyesal karena Barcelona hanya bisa mengalahkan tim Nottingham Forest yang terdiri atas sepuluh pemain."     

Komentarnya itu memicu kemarahan Rijkaard, yang masih terus memikirkannya hingga hari ini. Itulah sebabnya kenapa dia merasa kesal pada Tony Twain. Rijkaard tidak suka berkonfrontasi dengan orang lain dan merupakan jenis orang yang tidak suka menonjolkan diri. Kalau Twain tidak berulang kali menghina timnya, kenapa dia mau peduli?     

Tanpa diduga, dia dan Twain telah berganti tempat dalam waktu kurang dari setahun. Twain menjadi pemenang dan dia menjadi pecundang.      

Tiba-tiba saja dia memahami mood Twain – saat ini, dia sangat ingin meninggalkan tempat konferensi.      

Sayangnya, dia bukan Twain dan tidak bisa menunjukkan perilaku yang "tak terpuji" seperti itu.      

Karena dia tidak bisa melakukannya, dia hanya bisa terus duduk disini dan menerima bentuk penghinaan terselubung ini.      

Twain jelas tahu bagaimana rasanya menjadi seorang pecundang. Saat dia menikmati sorotan media, dia juga tertawa dalam hati. "Semua anjing memiliki harinya, Tn. Rijkaard."     

Barcelona mungkin menganggap kekalahan dalam pertandingan ini sebagai sebuah bencana, tapi dalam jangka panjang, ini mungkin hal yang bagus.      

Real Madrid telah mengalami beberapa tahun yang menyakitkan. Musim ini, mereka telah mendatangkan manajer kelas atas, Fabio Capello dan kebangkitan Real Madrid sudah dekat. Barcelona saat ini mengalami rasa sakit yang pernah dirasakan oleh Real Madrid. "Dinasti Dream Team kedua" adalah sebuah produk yang tak sempurna. Dengan hanya satu gelar juara Liga Champions dan dua gelar liga yang dimilikinya, bagaimana mungkin itu bisa dilabeli 'dinasti'?     

Twain tidak melihatnya seperti itu. Kalau sebuah tim benar-benar ingin membangun sebuah dinasti, itu semua tidaklah cukup.      

Kalau kekalahan pertandingan ini bisa menenangkan para pejabat level atas di klub Barcelona dan membuat mereka memikirkan kembali jalan di depan mereka, maka kegagalan itu akan menjadi sebuah aset yang berharga. Di sisi lain, kalau orang-orang di Barcelona tidak bisa melihatnya dan tetap terfokus pada hasil pertandingan, maka mereka akan merasakan lebih banyak rasa sakit di masa mendatang.      

Semuanya akan bergantung pada Rijkaard dan Laporta tentang apakah mereka sadar bahwa mereka berjalan di jalur yang sama seperti yang dilalui "Galacticos" Real Madrid. Sementara hasil dari situasi itu, meski Twain tidak pernah bergabung dengan dunia sepakbola sebelumnya, dia bisa membayangkan semua itu di benaknya.      

Terkadang dia menganggapnya aneh. Pelajaran yang dirasakan Real Madrid ada di hadapan semua orang untuk dipelajari. Apakah para pejabat klub Barcelona adalah orang-orang bodoh? Mereka tidak bisa melihatnya dan masih melakukan segala upaya untuk terus menempuh jalan itu. Ataukah godaan dari kepentingan komersil sangat kuat sampai-sampai mereka akan berusaha mendapatkannya dengan cara apapun?     

Kekalahan Real Madrid di stadion Bernabeu membuat Florentino sangat berkecil hati hingga mengarah pada pengunduran dirinya. "Era Galacticos" di Real Madrid telah berakhir. Mungkinkan hasil pertandingan kali ini bisa mengakhiri ilusi "dinasti Dream Team kedua?"     

Dia sangat menantikannya.      

Terakhir, seorang reporter mengajukan pertanyaan kepada Rijkaard, yang tidak bisa mengatakan apa-apa tentang tereliminasinya Barcelona dari Liga Champions. Kekalahan mereka terhadap Nottingham Forest adalah sebuah fakta. Hal yang membuatnya terlihat lebih buruk adalah dikalahkan dalam pertandingan tandang dan kandang. Saat ini dia benar-benar ingin bisa seperti Twain dan menolak kekalahannya dengan keras kepala.     

Tapi kalau dia melakukan itu, bukankah dia akan menjadi orang yang tak tahu berterima kasih?     

Semua mikrofon ditempatkan ke dekat bibirnya dan semua mata memandangnya. Bahkan Tony Twain juga meliriknya. Dia harus mengatakan sesuatu.      

Rijkaard berdehem dan perlahan mulai mendekati mikrofon.      

Dia ingin tampak lebih elegan. Tapi saat dia baru akan berbicara, dia mendengar Twain tertawa di sampingnya. Tiba-tiba saja gelombang kemarahan melanda hatinya.      

Aku memang kalah darimu, tapi itu bukan berarti aku harus menerima semua penghinaanmu!     

"Kami kalah, dan tidak ada hal lain yang bisa dikatakan. Tidak ada yang ingin tereliminasi. Selain itu, aku menantikan Liga Champions musim depan. Aku benar-benar ingin Barcelona berhadapan dengan Nottingham Forest lagi."     

Setelah mengatakan itu, dia bangkit berdiri dan beranjak pergi. Ini adalah pertama kalinya dia meninggalkan konferensi pers lebih awal sebagai seorang manajer.      

Twain memandang punggung tegak Rijkaard, mengangkat bahunya sendiri dan bersiul.      

Saat Rijkaard masih belum meninggalkan tempat, dia berkata kepada media yang tampak tertegun. "Kalian tahu, saat sebelas pemain melawan sebelas pemain, Barcelona tidak bisa mengalahkan Nottingham Forest. Aku tidak bicara omong kosong."     

Rijkaard, yang baru saja akan melangkahi ambang pintu, tiba-tiba saja berhenti sejenak, tapi lalu melanjutkan langkahnya.      

"Yah, saudara-saudara, aku tidak ingin melakukan pertunjukan satu orang." Twain juga bangkit berdiri, "Sampai jumpa," Dia melambaikan tangan dan mengikuti di belakang Rijkaard.      

※※※     

Beberapa hari kemudian, beragam laporan media masih membuat keributan tentang pertandingan ini.      

Sejumlah kecil komentar Twain dikutip dengan jelas. Perseteruannya dengan Rijkaard kelihatannya tak bisa diperbaiki lagi dan media seolah menuang bahan bakar ke dalam api.      

Twain tidak tahu apakah memungkinkan bagi mereka berdua untuk duduk dan minum alkohol bersama saat mereka sudah pensiun dari posisi mereka sebagai pelatih dan telah mengatakan selamat tinggal pada dunia sepakbola suatu hari nanti.      

Dia sama sekali tidak membenci Rijkaard, tapi saat ini mereka memihak tim mereka masing-masing. Tentu saja mereka akan mempertimbangkan segala hal dari posisi mereka berada saat ini. Saat dia masih menjadi seorang penggemar, dia bahkan tidak pernah membayangkan kalau dia akan menjadi musuh bebuyutan dengan salah satu Three Musketeers dari Belanda.      

Mourinho, Benitez, Ferguson, Wenger, Capello... semua orang ini, yang disukainya atau dihormatinya, telah menjadi rival dan musuhnya. Ini benar-benar dunia yang menakjubkan.      

Oleh karena itu, Rijkaard bukanlah musuh pertama dalam karir kepelatihannya dan jelas bukan yang terakhir.      

Dengan karakter Twain yang menjengkelkan, akan mengherankan kalau dia tidak punya musuh.      

Satu-satunya hal yang membuat orang-orang Barcelona senang adalah pada malam setelah pertandingan itu, musuh bebuyutan mereka, Real Madrid, juga tereliminasi secara tragis. Kabar berita itu tampaknya sedikit menghibur hati orang-orang Barcelona.      

Tapi, mereka tidak tahu bahwa ini adalah awal mula dari mimpi buruk Barcelona...      

※※※     

Tim Forest yang berhasil mendapatkan kemenangan besar bukan berarti mereka bisa menghembuskan nafas lega dan merayakannya dengan senang. Tony Twain dan tim Nottingham Forest-nya masih harus menghadapi banyak lawan.      

Setelah pertandingan Liga Champions melawan Barcelona, Tony Twain akan memimpin timnya ke London dan lawan mereka bukan lawan biasa. Itu adalah salah satu musuh Twain yang lain – Chelsea yang dipimpin Mourinho.      

Mourinho sedang frustasi musim ini. Dia ingin memimpin tim untuk mempertahankan gelar juara liga selama tiga tahun berturut-turut tapi mereka dihancurkan oleh Manchester United yang telah bangkit kembali. Mereka telah ditekan hingga menempati peringkat kedua di klasemen liga. Nottingham Forest telah menunggu di belakang mereka seperti seekor harimau yang mengawasi mangsanya. Tentu saja, Mourinho menganggap Twain tidak akan membiarkannya beristirahat dengan tenang. Kalau timnya lengah, lawannya itu bisa menyusul dan menghabisi mereka.      

Sepakbola profesional memang brutal. Tak peduli seberapa terkenalnya seseorang sebagai manajer, setelah hasil timnya tidak memuaskan, mereka akan segera dilupakan.      

Menjelang akhir musim, semua orang mulai mengerahkan tenaga ekstra, baik untuk mempertahankan posisi mereka di liga atau berkompetisi untuk mendapatkan gelar. Twain sadar bahwa jalan di depan mereka sangat berbahaya, jadi dia sudah membuat persiapan di Nottingham.      

Setiap kali dia datang ke Stamford Bridge, dia dan timnya selalu menghadapi cemoohan yang memekakkan telinga. Dia baru saja membiarkan Rijkaard dan timnya merasakan itu dan sekarang adalah gilirannya untuk merasakan semua itu.      

Taktik yang dikembangkan Twain untuk timnya cukup sederhana – bertahan sampai akhir. Mereka harus terus bertahan dalam pertandingan tandang. Kalau mereka bisa tetap bertahan hingga titik tertentu, semuanya akan baik-baik saja. Dia tidak menuntut tiga poin, karena sebagai tim tamu, satu poin sudah menjadi sebuah kemenangan baginya. Dengan delapan putaran tersisa di turnamen liga, Chelsea memiliki selisih enam poin dari Manchester United. Mereka hanya bisa terus menekan Manchester United dan berharap bisa membalikkan situasi di menit-menit terakhir dengan mengalahkan Nottingham Forest.      

Kalau Mourinho tidak bisa mendapatkan tiga poin, dia akan jadi seperti apa?     

Apakah dia jadi sangat marah? Atau dia akan berbalik dan meninggalkan tempat dengan wajah muram?     

Twain sangat menantikan pertandingan melawan Chelsea dan khususnya sangat menantikan melihat "teman lama"-nya, Mourinho.      

※※※      

Stamford Bridge penuh dengan penonton, yang terjadi setiap kali Chelsea dan Nottingham Forest bertanding. Karena adanya perseteruan antara kedua manajer, keduanya menarik perhatian banyak media dan fans.      

Mereka ingin melihat kedua manajer yang bermusuhan ini saling beradu di lapangan, di pinggir lapangan dan selama serta paska pertandingan. Setelah Ferguson dan Wenger, media merasa senang karena pasangan seperti ini kembali muncul dari Liga Utama Inggris, karena mereka cemas bahwa setelah Ferguson pensiun, tidak akan ada gosip atau topik yang menarik untuk dilaporkan.      

Sebelum pertandingan, seorang reporter menyinggung kembali rekor yang mempermalukan Mourinho – rekor selalu kalah setiap kali berhadapan dengan Nottingham Forest milik Tony Twain saat dia memimpin Chelsea.      

Hal itu membuat Mourinho sangat marah. Wajahnya segera berubah menjadi suram dan dia berusaha menolak menjawab pertanyaan itu.      

Media melihat ketidaksenangannya itu dengan senang. Tapi kalau dia tidak mau menjawab pertanyaan, media juga tidak akan bisa mendapatkan informasi yang berguna, jadi mereka menggunakan berbagai cara untuk membuatnya mau menjawab pertanyaan itu.      

Pada akhirnya, dia terpojokkan, dan Mourinho berkata dengan muram, "Aku tidak pernah memperhatikan rekor semacam itu. Arsenal memiliki rekor tak terkalahkan selama empat puluh sembilan pertandingan. Apa mereka akhirnya memenangkan trofi musim itu? Aku tidak menyangkal bahwa timku tidak mengalahkan timnya. Tapi kau juga tidak bisa menyangkal bahwa gelar juara liga dalam dua musim belakangan ini adalah milik timku dan bukan milik Nottingham Forest. Tentu saja, kau bisa membalikkan pertanyaan ini dan mengajukannya pada Tony Twain. Kau bisa bertanya padanya kenapa timnya bisa tetap tak terkalahkan melawan Chelsea tapi tidak bisa memenangkan gelar juara liga?"     

Pernyataan itu sangat mematikan karena dengan cerdik dia telah mengalihkan perhatian para reporter ke arah yang lain.      

Mana yang lebih penting: mempertahankan rekor tak terkalahkan atau memenangkan gelar juara liga? Orang bodoh manapun tahu jawabannya.      

Sebagai seorang penggemar Nottingham Forest dan seorang reporter dari Nottingham, Pierce Brosnan merasa perlu menurunkan kesombongan Mourinho, jadi dia melangkah maju dan berkata, "tapi Tn. Mourinho, Anda tidak bisa menyangkal bahwa Tony Twain telah melakukan pekerjaannya dengan baik dalam dua musim terakhir sebagai sebuah tim yang baru dipromosikan dan manajer tim yang diremehkan sebelum..."     

Mourinho menyela ucapannya dan mengangguk. "Itu benar. Dia hampir mendapatkan gelar juara, dia hampir memenangkan Liga Champions. Sayangnya, dalam prinsip sepakbolaku, 'hampir' itu sama saja dengan gagal".      

Pernyataannya itu membuat Pierce Brosnan tak bisa berkata-kata. Sebuah gelar juara liga adalah satu-satunya pengukur sukses di dalam sepakbola profsional, dan karena tim Forest belum memenangkan gelar juara liga, mereka harus mengakui kalau mereka masih dibawah Chelsea.      

Brosnan bukanlah seseorang yang fasih bicara saat berdebat dengan orang lain, jadi dengan enggan dia menerima kekalahannya.      

Itu bukan akhir dari masalah ini. Mourinho telah meninggalkan area wawancara setelahnya, tapi beberapa menit kemudian, Twain melangkah turun dari bus.      

Seseorang menyampaikan pernyataan Mourinho kepada Twain dengan harapan bisa melihat reaksi Twain.      

Twain mendengarkan laporan reporter itu dengan seksama dan menganggukkan kepala sambil tertawa. "Kata-kata Mourinho sangatlah menarik. Hampir memenangkan gelar liga, hampir memenangkan Liga Champions. Itu adalah kata-kata yang bagus bagi pecundang yang menutupi kegagalannya. Aku merasa senang bertanding melawan Chelsea karena kami sangat beruntung bisa membuat Tn. Mourinho merasakan 'hampir' memenangkan gelar liga di akhir musim ini."     

Setelah mengatakan itu, dia tersenyum dan melambaikan tangan kepada reporter yang lain dan segera memasuki ruang ganti pemain untuk tim tamu.      

Brosnan menatap punggung Twain dan menghela nafas. Kelihatannya aku tidak perlu melakukan apa-apa untuk melawan ketidakadilan. Ada karakter yang lebih kuat disini.      

※※※     

Saat para pemain kembali dari melakukan pemanasan di lapangan, Twain sudah lama menunggu di ruang ganti.      

"Pertahanan" Saat semua orang duduk, dia menepukkan tangannya dan berkata, "kalau kita ingin bertarung sampai mati melawan Chelsea menggunakan serangan, percayalah padaku guys, itu akan menjadi kematian kita. Aku akan menganalisa dengan singkat situasinya untuk kalian. Chelsea sangat membutuhkan kemenangan dan tiga poin untuk bisa menyusul Manchester United. Dengan delapan pertandingan tersisa, akan lebih baik kalau mereka bisa memenangkan setiap pertandingan. Selisih enam poin bukanlah selisih yang kecil. Kita harus memaksa Chelsea bermain imbang dalam pertandingan ini dan itu akan menjadi pukulan berat bagi Mourinho. Bermain bertahan dalam pertandingan tandang adalah strategi yang paling aman, tapi, kalau kalian punya peluang untuk mencetak gol, jangan melepaskannya begitu saja." Twain menggerakkan jarinya. "Satu gol bisa mengubah segalanya. Tapi aku ingin kalian mengingat ini dalam situasi apapun, pertahanan yang lebih utama. Pastikan kita tidak kebobolan, lalu baru pikirkan bagaimana caranya mencetak gol ke gawang mereka!"     

Seperti yang dikatakan Twain di ruang gantinya, Mourinho harus memenangkan pertandingan ini. Dia mengirimkan lineup terkuat yang dimilikinya. Drogba, Shevchenko, Ballack, Lampard dan semua pemain penyerang yang bisa dikerahkannya.      

Sebagai respon terhadap situasi ini, Twain menggunakan lineup serangan balik defensif 4-5-1 untuk menangkalnya.      

Dia menggunakan lima gelandang untuk menghadapi lini tengah kelas-dunia Chelsea.      

Hasilnya cukup bagus. Di sepanjang pertandingan, kedua tim memiliki persaingan yang ketat di lini tengah. Pertahanan ketat tim Forest dan permainannya yang kasar membuat Chelsea menderita. Kesalahan yang dibuat oleh kedua tim semakin banyak. Tim Forest seringkali kehilangan bola karena kesalahan mereka sendiri dan Chelsea membuat kesalahan saat mengoper bola yang pada akhirnya mengirim bola kembali ke lawan mereka.      

Tim Forest tidak takut membuat kesalahan, tapi Chelsea tidak boleh membuat kesalahan. Dengan membuat kesalahan, mereka telah menyia-nyaiakan kesempatan mereka untuk menyerang.      

Pertandingan itu kacau. Tidak ada serangan berkualitas tinggi dari kedua tim. Tim Forest tidak berniat memainkan serangan berkualitas tinggi atau menggunakan kolaborasi yang indah untuk memasukkan bola ke gawang Chelsea. Chelsea bersikeras untuk menggunakan serangan berkualitas tinggi tapi selalu berhasil diblokir oleh gaya permainan tim Forest yang kasar di waktu-waktu genting.      

Seperti itulah jalannya pertandingan.      

Tentunya, masih ada beberapa peluang. Chelsea menciptakan tiga peluang yang paling mengancam di dalam pertandingan, khususnya satu serangan sebelum akhir pertandingan. Setelah serangkaian kerjasama tim yang luar biasa, Chelsea berhasil mengoyak lini pertahanan tim Forest. Tapi tendangan terakhir Drogba membentur mistar atas gawang karena dia menggunakan terlalu banyak kekuatan saat menendang bola. Hal ini hampir membuat Mourinho melemparkan jas setelannya ke tanah, sementara Twain menghembuskan nafas lega dan hampir terjatuh ke kursinya saat dia melihat bola itu terbang keluar lapangan. Kalau lawan berhasil memasukkan bola di menit terakhir, upaya timnya selama sembilan puluh menit akan sia-sia saja.      

Sembilan puluh menit kemudian, wajah Mourinho tampak sedingin Kutub Selatan saat dia melihat papan skor yang menunjukkan 0:0 dan mendengarkan bunyi peluit akhir pertandingan.      

Seolah diberikan hidup yang baru, Twain tersenyum lebar. Dia mengambil inisiatif untuk berjalan menghampiri Mourinho dengan tangan terulur sambil berkata, "temanku, kau hampir saja mengalahkanku." Dia sengaja menggunakan kata "hampir". Sayangnya itu hanya 'hampir'.      

Mourinho tidak ingin Twain terlalu berpuas diri. Dia tahu kalau dia tampak frustasi atau marah, itu adalah hal yang paling ingin dilihat si brengsek ini, jadi dia tidak akan membuatnya merasakan kepuasan itu.      

Sebagai akibatnya, dia menampilkan senyum di wajahnya dan berkata, "masih ada tujuh putaran lagi di liga, Tn. Twain, tapi satu hal sudah pasti. Apa kau mau mendengarnya?"     

Twain membuat wajahnya tampak penasaran dan ingin mendengarnya.      

"Timku masih punya kesempatan berkompetisi untuk gelar juara, dan timmu bahkan tak punya peluang untuk 'hampir' memenangkan gelar juara liga."     

Wajah Twain berubah saat dia mendengar ini, tapi dia segera kembali normal dan berkata pada Mourinho sambil tertawa, "Kalau begitu aku berharap semoga kau dan timmu beruntung dan berjuang untuk 'hampir mendapatkan gelar liga' sesegera mungkin."     

Dua pria yang tampak muram itu saling melepaskan jabat tangan mereka di waktu yang bersamaan dan berbalik untuk meninggalkan lapangan.      

Brosnan melihat adegan ini dari samping dan menggelengkan kepala. Dua orang itu...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.