Mahakarya Sang Pemenang

Ponsel



Ponsel

0Nottingham Forest meninggalkan Istanbul. Tapi, perang kata-kata antara media Inggris dan Turki baru saja dimulai. Twain membocorkan insiden tentang pesta sepanjang malam yang dilakukan para fans Besiktas diluar hotel tim Forest kepada media Inggris usai pertandingan. Keanehan diluar lapangan semacam itu selalu sangat populer di kalangan media.      

Media Inggris menuduh fans Turki bersikap tidak sopan dan mengganggu istirahat pemain lawan adalah hal yang sangat tercela. Beberapa media Inggris mengatakan bahwa kedisplinan Besiktas di stadion kandang sangatlah buruk sehingga selalu ada aneka benda yang dilemparkan dari tribun selama pertandingan berlangsung, tapi tidak ada tindakan substantif yang diambil oleh satuan polisi untuk menghentikan aksi yang tidak sportif semacam ini.      

Semua ini terdokumentasikan dengan baik, diabadikan dalam foto-foto yang disediakan oleh tim Forest, menunjukkan fans Besiktas di wilayah hotel dan yang menciptakan suara berisik untuk mengganggu tim Forest.      

Kelihatannya media Turki hanya bisa menanggung tuduhan buruk itu.      

Tapi tak lama setelah itu mereka menemukan senjata untuk menyerang balik.      

Ada foto yang menunjukkan Twain sedang memungut sebuah ponsel merah dari tanah saat dia berjalan keluar dari area teknis untuk mengarahkan pertandingan. Selain itu, ada pula foto yang menunjukkan bahwa dia melemparkan ponsel itu ke area teknis, yang menyatakan bahwa dia mengambil benda yang seharusnya menjadi milik orang lain.      

Hal ini sebanding dengan kartu merah kontroversial yang mengusir Saglam ke tribun, dan media Turki menuduh Tony Twain sebagai seorang pencuri. Ini adalah pernyataan ganda yang menunjukkan bahwa Twain tidak hanya mencuri sebuah ponsel, tapi dia juga mencuri kemenangan yang seharusnya menjadi milik Besiktas.      

Saat media membesar-besarkan masalah ini, ponsel yang diambil Twain menjadi fokus perhatian publik.      

Setelah media memperbesar foto dan menemukan bahwa itu adalah ponsel iPhone Apple berwarna merah, Apple mengambil peluang ini sebagai iklan gratis.      

Seorang reporter mewawancarai Twain dan bertanya apakah dia benar-benar "mencuri" ponsel itu. Twain menggelengkan kepalanya. "Tidak, aku hanya menyimpannya untuk sementara. Aku sudah menghubungi pemiliknya dan berjanji akan mengembalikannya saat dia datang untuk pertandingan tandang Besiktas di Inggris."     

Reporter itu menyadari Twain yang menggunakan kata "dia" yang merujuk pada perempuan dan bukan "dia" yang merujuk pada laki-laki. Sehingga dia bertanya, "Seorang wanita cantik?"     

Twain sedikit bingung saat mendengar pertanyaan itu. Dia menatap reporter itu seolah pria itu adalah makhluk asing. "Tn. Reporter, kau mungkin bisa tahu bagaimana penampilan seseorang melalui suaranya, tapi aku tidak bisa menebaknya."     

Reporter itu baru menyadari pertanyaan bodohnya, tapi Twain tidak mengatakan bahwa tak jadi masalah apakah wanita itu cantik atau tidak. Reporter itu merasa kalau hal ini adalah salah satu aspek yang bisa dibesar-besarkan.      

Kisah dibalik ponsel itu jauh lebih menarik daripada jalannya pertandingan sepakbola.      

Di malam usai pertandingan, Nottingham Forest tidak menghabiskan malam mereka di hotel. Melainkan, mereka memilih untuk langsung terbang ke Inggris dengan penerbangan malam. Karena Twain mematikan ponsel itu di stadion dan tidak bisa menyalakannya saat dia menaiki pesawat, dia baru ingat untuk menyalakannya lagi saat dia sudah tiba di London.      

Sebagai akibatnya, dia menerima panggilan telepon segera setelah dia menyalakan ponsel itu.      

Twain sedikit ragu tentang apakah dia sebaiknya menjawab panggilan itu atau tidak karena itu bukan ponselnya. Dia sedang sibuk merayakan kemenangan mereka usai pertandingan dan lupa dengan ponsel itu. Dia juga tidak mengira kalau dia akan membawanya ke Inggris.      

Saat Twain merasa ragu, deringan ponsel itu berhenti. Kelihatannya si penelepon tidak sabaran dan memutuskan untuk menutup teleponnya. Tapi, Twain tidak punya waktu untuk menarik nafas sebelum deringan ponsel itu kembali terdengar.      

Kali ini, Twain yang merasa terganggu akhirnya mengangkat ponsel itu, "Halo..."     

"Cepat kembalikan ponselku!" suara seorang wanita dalam bahasa Inggris patah-patah terdengar di ujung telepon yang lain.      

Tercengang mendengar kata-kata itu, Twain justru merasa senang. "Nyonya yang terhormat, bukankah seharusnya Anda berbicara dengan sopan dan penuh hormat kalau ingin meminta sesuatu dari orang lain?"     

"Apa kau pernah melihat seseorang berbicara dengan sopan pada seorang pencuri, tuan!" suara wanita itu membalas dengan sengit. Meski bahasa Inggrisnya tidak lancar, dia mengekspresikan kemarahannya dengan sangat jelas.      

"Halo, nyonya, kalau ini adalah ponselmu, maka kau sendiri yang melemparkannya padaku. Bagaimana mungkin kau mengatakan aku mencurinya?"     

"Aku..." suara wanita itu terhenti sejenak.      

Dia memang melemparnya. Dia ingin mengenai Twain tapi lemparannya luput. Selain itu, dia sama sekali tidak mengira kalau Twain akan membungkuk dan mengambil ponselnya lalu melemparkannya ke area teknis untuk dimilikinya sendiri!     

Saat dia melempar ponselnya, dia sedang terbawa suasana di stadion dan hanya ingin memberi sedikit pelajaran pada manajer tim lawan. Orang-orang di sekelilingnya melemparkan koin dan pemantik. Tapi dia bukan perokok, jadi dia tidak punya pemantik. Dia juga tidak membawa koin. Satu-satunya benda yang dimilikinya dan bisa dilemparnya adalah iPhone yang baru saja dibelinya beberapa waktu yang lalu. Karena itulah, di tengah momen penuh kegembiraan....     

Setelah dia tenang, dia menyesali tindakannya. Dia tidak akan menyesalinya kalau saja dia melemparkan benda lain, tapi dia membeli ponsel itu setelah bersusah payah. Ponsel iPhone itu masih belum diluncurkan secara resmi di Turki. Berusaha membelinya dan menjadi salah satu pengguna pertamanya membutuhkan usaha yang tidak sedikit.      

Dia berpikir untuk menghubungi ponselnya sendiri dan bernegosiasi untuk mendapatkan ponsel itu kembali. Dia sama sekali tidak menduga kalau ponselnya dimatikan. Semakin sering dia mencoba menelepon dan gagal, dia jadi semakin marah. Saat Twain akhirnya mengangkat ponsel itu, tentu saja dia tidak bisa bicara baik-baik.      

"Meski aku melemparnya, bukan berarti aku membuangnya! Hanya saja... aku terbawa suasana saat itu... Jadi, karena kau mengambilnya tanpa persetujuanku, itu artinya kau mencurinya!" Suara wanita itu terhenti sejenak sebelum akhirnya bisa mengemukakan argumennya.      

Tapi, Twain tertawa senang. Dia menganggap orang di ujung telepon itu tidak berbahaya. Kalau dia serius tentang perkara ini, orang yang kalah bukanlah dirinya. Karena itulah, dia berkata dengan nada suara bercanda, "Hey, nyonya, kau berusaha menghancurkan kepalaku dengan benda ini. Apa kau tahu apa yang terjadi kalau kau dipukul di kepala dengan obyek sebesar ini?"     

Tidak terdengar apa-apa dari ujung telepon yang lain. Keheningan ini berlangsung lebih lama dari sebelumnya, sedikit terlalu lama sampai-sampai Twain mengira sinyal ponsel itu buruk.      

"Yah..." suara wanita itu terdengar sedikit enggan, "Aku minta maaf atas perilakuku yang impulsif dan ceroboh, Tn. Twain... Sekarang kau bisa kembalikan ponselku!"     

"Ah, meski permintaan maafmu tidak terlalu tulus, aku bisa menerimanya. Hanya saja, nyonya, kurasa aku tidak bisa mengembalikan ponselmu sekarang," kata Twain sambil tersenyum lebar.      

"Kenapa? Aku sudah minta maaf. Apa lagi yang kauinginkan?!" Nada formal dalam permintaan maafnya barusan dilenyapkan oleh suaranya yang meninggi.      

Twain menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Suara cemoohan dan raungan 20,000 fans gila di Stadion Inonu tidak mengejutkan telinganya, tapi suara yang ini mematikan.      

"Yah... Karena aku berada di Inggris, nyonya."     

Setelah dia mengatakan itu, ada keheningan yang lain. Setelah beberapa saat, wanita itu berkata, "Kau bisa mengirimkannya padaku lewat kurir."     

Twain menggelengkan kepalanya seperti rattle-drum. "Tidak mau. Permintaan maafmu kurang tulus. Aku bisa mengembalikan ponselmu, tapi aku tidak suka dibodohi. Aku menghargai ketulusan dan permintaanmu maafmu tidak cukup tulus."     

"Tadi kau bilang kau bisa menerimanya..." protes wanita itu.      

"Aku berubah pikiran." Twain bertingkah seperti pria kurang ajar. "Aku menginginkan permintaan maaf yang cukup tulus sebelum aku mempertimbangkan untuk mengembalikan ponselmu."     

Mendengar keheningan di ujung telepon yang lain, Twain berkata lagi, "Yah, bukankah Besiktas akan bertanding kemari pada tanggal 6 November? Karena kau adalah fans Besiktas, kau pasti datang untuk menonton, bukan?"     

Twain berhenti sejenak. Masih tidak ada suara. Tidak jelas apakah wanita itu masih ada di telepon.      

"Datanglah ke Nottingham, hubungi ponsel ini, kita bertemu sebelum pertandingan, kau meminta maaf secara langsung, dan aku akan mengembalikan ponselmu. Aku janji tidak akan ada media. Bagaimana menurutmu?" Twain sengaja tidak memilih waktu usai pertandingan karena kemungkinan besar ada beragam faktor usai kekalahan Besiktas yang membuatnya merasa tidak pantas untuk bertemu dengan wanita ini. Jadi dia mengatur untuk bertemu sebelum pertandingan. Meski tim Forest mengalahkan Besiktas dengan delapan gol, dia hanya perlu menyoraki dan merayakan kemenangan timnya dan tidak perlu cemas tentang apakah akan aneh kalau dia bertemu dengan seorang penggemar Besiktas.      

"Yah... baiklah." Akhirnya, suara itu terdengar dari ujung telepon yang lain, meski terdengar sedikit enggan. "Aku pasti akan datang dan bersorak untuk tim... Tapi kuharap kau menepati janjimu, Tn. Twain."     

Twain mengangguk. "Aku adalah pria yang memegang janjiku. Kalau aku tidak memegang janjiku, maka aku bukan pria."     

Wanita itu sangat lemah hingga Twain bisa saja terus bertengkar dengannya. Kalau wanita itu bersikeras agar Twain mengirimkan ponselnya via pos ke Turki, dia takkan bisa berkutik. Dia akan dituduh menyimpan benda milik orang lain secara ilegal kalau dia tidak mau mengembalikannya.      

Setelah dia menyelesaikan urusan ini melalui telepon, Twain tidak lagi memikirkannya. Saat wanita itu menghubunginya, dia baru akan mengembalikan ponselnya. Masih ada dua minggu sebelum diadakan leg kedua penyisihan grup Liga Champions. Twain khawatir ponsel itu akan kehabisan daya, jadi dia mematikannya dan meninggalkannya di rumah.      

※※※     

Gara-gara ponsel itu, perhatian semua orang seolah teralihkan dari pertandingan itu sendiri ke gosip yang terjadi diluar lapangan. Hanya ada sedikit orang selain fans Forest yang peduli tentang hasil pertandingan.      

Hanya Pierce Brosnan dari Nottingham Evening Post yang menuliskan ulasan dan memuji keberhasilan tim Twain dalam mengatasi krisis kurangnya kemenangan, perkelahian pemain, dan bagaimana mereka memberikan tanggapan terhadap orang-orang menjengkelkan yang menunggu tim Forest mendapatkan kemenangan tandang. Memperhitungkan suasana stadion kandang lawan yang sangat panas, memperoleh tiga poin disana adalah sebuah tantangan tersendiri, yang membuktikan aspek lain dari kekuatan tim Forest.      

Tapi, tim Twain tidak membantu menguatkan pendapat Brosnan dan kembali kalah di turnamen liga.      

Setelah kembali ke Inggris, tim Forest merotasi seluruh pemainnya untuk turnamen liga. Bertanding terus menerus telah membuat banyak orang kelelahan dan penampilan mereka jadi tidak stabil. Pada akhirnya, tim Forest kalah 0:1 saat melawan Liverpool yang tak terkalahkan dalam sebuah bentrokan antar tim kuat. Liverpool akhirnya bisa melampiaskan dendam di hati mereka. Twain juga agak kesal tapi dia tak punya pilihan lain. Timnya sudah bertanding terus menerus, dan lawan yang dihadapinya adalah tim yang kuat. Tanpa sempat beristirahat sama sekali, dia harus menggunakan rotasi untuk mengorbankan kepentingan jangka-pendek demi mengamankan kepentingan jangka-panjang. Secara mental, dia sudah siap menerima hasil ini sebelum dia pergi ke Liverpool.      

Media Inggris tidak berusaha menjatuhkannya saat dia sedang dalam kesulitan. Ini bukan karena mereka tiba-tiba saja bermurah hati, melainkan karena ada peristiwa lain yang lebih penting daripada ketidakberuntungan Twain. Sebagian besar media mainstream Inggris sedang membesar-besarkan masalah kualifikasi tim untuk Kejuaraan Sepakbola Eropa UEFA atau Piala Euro.      

Dunia sepakbola Inggris sangatlah ramai, dengan pengecualian 'skandal' perkelahian antar-pemain Nottingham Forest. Dalam kualifikasi untuk Kejuaraan Sepakbola Eropa UEFA yang diadakan pada tanggal 17 Oktober, Inggris kalah 0:2 melawan Rusia di pertandingan tandang. Tim McClaren ditekan hingga mencapai batasnya. Nasib tim tidak lagi berada di tangan mereka sendiri, melainkan terletak pada belas kasihan orang lain. Sebelum pertandingan, sebuah skandal tentang pesan-pesan eksplisit Ashley Young menimbulkan kegemparan dan memperburuk kekalahan tandang yang dialami timnas. Timnya sedang menghadapi perang hidup-dan-mati dan dia malah mengobrol dengan wanita telanjang sebelum pertandingan dimulai. Orang-orang menganggap kelakuannya itu tidak bisa diterima.      

Untungnya, Ashley Young tidak lagi berada di Nottingham Forest. Kalau tidak, kompleks latihan Wilford pasti akan penuh sesak dengan wartawan.      

Tapi jika dibandingkan dengan skandal perkelahian antar rekan setim dan sebuah chat online, kesulitan tim Inggris untuk melangkah lebih jauh di babak kualifikasi menjadi skandal terbesar.      

McClaren dikecam oleh banyak pihak, dan mungkin Ashley Young juga mendapatkan sedikit imbas dari kemarahan orang-orang Inggris ini, tapi kalau kita melacak balik penyebabnya, ini semua disebabkan oleh ketidakmampuan McClaren sebagai seorang manajer.      

Saat tim sedang berada dalam kondisi kritis di paruh pertama tahun ini, dia akhirnya mengingat Beckham, yang telah berhasil tampil bagus di Real Madrid, dan memanggilnya ke dalam tim. Beckham kembali dibuang setelah dia membantu tim Inggris dengan tiga assist dalam dua pertandingan.      

Dalam pertandingan melawan Rusia, meski McClaren memanggil kembali Beckham dan membawanya ke Moskow bersamanya, dia tidak diberi cukup waktu untuk tampil. Beckham hanya diturunkan di delapan menit terakhir, saat Inggris sudah tertinggal dan timnya sudah kacau. Beckham tidak bisa menjalankan fungsinya saat dia diturunkan. Dia bukan Tuhan. Dia hanya bisa melihat timnya kalah dalam pertarungan hidup dan mati. Lalu saat dia akhirnya kembali ke klub, dia cedera saat latihan dan hanya bisa menjadi penonton dalam beberapa pertandingan liga.      

Inilah yang membuat Twain marah. Aku tidak punya masalah kau menggunakan pemainku untuk membela negara karena pemainku juga ingin bermain membela negaranya. Tapi kau membawa pemainku ke Moskow, ribuan mil jauhnya, hanya untuk memberinya kesempatan bermain selama delapan menit dan menyuruhnya menyelamatkan seluruh tim. Aku tidak akan menyinggung bagaimana hal itu sangatlah menuntut, tapi pemainku harus terbang lebih dari sepuluh jam bolak balik antara dua lokasi hanya untuk bermain selama delapan menit. Perjalanan itu membuatnya lelah. Saat dia kembali berlatih, dia cedera, yang jelas disebabkan karena kelelahan. Siapa yang bisa kusalahkan kalau aku menghadapi situasi seperti ini? Kalau kau tidak mempercayai pemainku dan tidak ingin menggunakan mereka, maka jangan memanggil mereka. Seharusnya kau bisa memberi Beckham istirahat. Sebaliknya, kau malah menyia-nyiakan beberapa hari, hanya untuk membiarkannya bermain selama delapan menit. Kau menganggap pemainku itu apa?     

Twain mengkritik McClaren di hadapan pers, tapi McClaren cukup pandai untuk tetap diam. Dia baru saja kalah dalam pertandingan besar, jadi tidaklah pantas baginya untuk mengatakan apa-apa. Dia hanya bisa membiarkan waktu mengatasi segalanya. Dia hanya menyatakan bahwa dia sedang fokus mempersiapkan tim untuk menghadapi pertandingan terakhir yang sesungguhnya dan tidak ingin diganggu oleh media.      

Twain menjawab: Bersiap, pan***ku! Jauh lebih penting bagi Football Association untuk mulai memilih seorang pengganti.      

Sebenarnya, kata-kata Twain itu tidak boleh dicerna begitu saja. Ledakan emosionalnya itu adalah tentang bagaimana McClaren seolah mengubur timnas Inggris. Sebenarnya, diam-diam dia senang karena penampilan buruk McClaren membuktikan bahwa pertengkarannya yang tanpa henti memang bisa dibenarkan, semua pendapatnya adalah ramalan yang terwujud dan pertengkaran itu jelas bukan sekadar perseteruan pribadi. Tidak akan ada yang mengatakan bahwa Twain adalah orang yang menjengkelkan dan selalu saja mengejar keburukan McClaren. Seluruh negeri mengecam McClaren melalui kata-kata dan tulisan.      

Twain tidak terlalu tertarik kalaupun Inggris memang benar-benar terkubur. Dia tidak punya perasaan apa-apa terhadap negara ini, dan perasaannya untuk sepakbola di negara ini juga tidak jauh berbeda. Kalau Inggris hancur, biarkan saja hancur. Bagaimanapun juga, kalau McClaren berhasil memimpin tim melaju hingga babak final dengan keberuntungan semata, mereka hanya akan mendapatkan kekalahan yang lebih besar.      

Twain tidak terlalu peduli dengan nasib tim nasional Inggris, tapi para pemain Inggris di timnya jelas akan terpengaruh oleh semua ini.      

George Wood juga dibawa ke Moskow, tapi situasinya lebih menyedihkan daripada Beckham. Pelumat daging lini tengah ini, yang selalu pendiam dan tidak populer di tim nasional, bahkan tidak diturunkan sedetik pun. Gerrard dan Lampard sudah memiliki tempatnya masing-masing di lini tengah timnas Inggris, dan karenanya tidak menyisakan tempat bagi George Wood untuk bermain.      

Alasan mengapa George Wood tidak punya kesempatan diturunkan di tim nasional Inggris adalah karena kemampuannya dianggap kurang komplit jika dibandingkan dengan Lampard dan Gerrard. Selain bertahan, Wood tidak punya skill dan tidak kompetitif seperti dua pemain itu.      

Twain menolak anggapan itu, tapi karena dia bukan manajer timnas Inggris, dia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali mengomeli McClaren di hadapan pers.      

Kalau Inggris tidak bisa lolos dari babak kualifikasi, Twain hanya akan menyayangkan itu karena Beckham takkan bisa ikut bermain di kompetisi internasional terakhir dalam karirnya dan George Wood takkan dikenal oleh lebih banyak orang di dunia.      

Dia tidak ada kaitannya dengan timnas Inggris. Cemoohannya tentang McClaren pada akhirnya hanyalah masa lalu. Hasil yang diperoleh klub adalah sumber kehidupannya. Kalau Inggris tidak berhasil melaju, para pemain Inggris di timnya akan bisa mendapatkan liburan santai yang menyenangkan di musim panas nanti.      

Kekalahan beruntun dalam dua pertandingan di turnamen liga dan 'jadwal kompetisi iblis' yang akan segera diadakan adalah sumber utama sakit kepala Twain dan membutuhkan semua upaya dan perhatiannya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.