Mahakarya Sang Pemenang

Ini Hanya Lelucon



Ini Hanya Lelucon

0Para pemain Forest sangat terkejut saat melihat Franck Ribery di ruang ganti.      

"Hey, Franck, apa kau sudah bisa ganti pakaian untuk latihan?" tanya Eastwood dengan bingung.      

Ribery mengangkat kruk di tangannya. "Tentu saja tidak."     

"Lalu, apa yang kaulakukan disini?"     

"Aku hanya bosan, jadi aku datang kemari untuk melihat semuanya."     

Semua orang mengatakan "oh" dan melanjutkan urusan mereka. Hanya Eastwood yang tetap tinggal menemani Ribery dan mengatakan beberapa patah kata. Setelah bentrokan yang terjadi kemarin, mood semua orang sedang tidak bagus, dan suasana di ruang ganti terasa suram.      

Apa pidato Twain kemarin tidak efektif?     

Para pemain mulai berdatangan, tapi ruang ganti tidak menjadi lebih ramai karenanya. Justru sebaliknya, semakin banyak orang yang datang, semakin tenang jadinya. Kelihatannya tidak ada yang ingin membiarkan orang lain melihat pikiran mereka.      

Ribery mengerutkan kening. Dia tidak ingin suasana ini terus berlanjut. Dia menyukai tim ini karena tim ini memberi peluang baru dalam hidupnya. Dia tidak ingin tim yang menyenangkan ini terpuruk lebih dalam. Dia harus melakukan sesuatu.      

Dia terbatuk dua kali dan memukul lantai dengan kruknya untuk menarik perhatian semua orang.      

"Guys, apa kalian mau bersenang-senang?" tanyanya sambil tertawa.      

※※※     

Dunn berdiri di depan pintu rumahnya dan menunggu Twain keluar sebelum mereka pergi bersama-sama ke kompleks latihan Wilford.      

Pintu rumah sebelah masih tertutup, dan dia tahu Shania dan Twain masih ada di dalam, saling mengucapkan selamat tinggal. Mungkin Shania masih memakaikan mantel pada Twain, seperti yang biasanya dilakukan seorang istri. Dia selalu menganggap hubungan antara keduanya cukup menarik, sangat menarik...      

"Aku berangkat." Pintu itu terbuka dan suara Twain terdengar.      

"Yah, sampai nanti, Paman Tony." Suara gadis muda itu, Shania, mengikutinya. "Pulanglah untuk makan siang nanti!"     

Sosok Twain muncul di pintu.      

Saat Twain melangkah menghampirinya, Dunn bertanya, "bagaimana rasanya memiliki seseorang yang menunggumu pulang untuk makan siang?"     

Twain menaikkan satu alisnya. "Apa kau benar-benar ingin bergabung untuk makan siang?"     

Dunn segera mengibaskan tangannya. "Aku akan makan siang di kantin klub..."     

Keduanya berjalan bersama menuju kompleks latihan Wilford. Twain kembali mengerutkan kening saat dia memikirkan tentang situasi tim saat ini. Dia tahu bahwa perkelahian di dalam tim menunjukkan adanya retakan, dan tidak ada yang bisa menghilangkan retakan semacam ini. Retakan itu akan selalu ada disana. Nottingham Forest bukan lagi benteng yang tak bisa ditembus, dari dalam maupun dari luar. Hal yang membuat Twain merasa cemas adalah bagaimana dia harus menangani semuanya setelah perkelahian terjadi.      

Orang-orang yang tidak terlibat dalam perkelahian itu mungkin memiliki gagasan yang sama seperti Chimbonda dan Bendtner, tapi mereka hanya tidak punya alasan untuk melampiaskan perasaan mereka. Dan dia telah menegur mereka semua. Bukankah itu akan membuat suasana keruh di tim menjadi lebih suram? Akan ada banyak reporter dalam lima belas menit pertama latihan pagi yang merekam dan mewawancara banyak orang. Akankah media membuat kehebohan kalau mereka melihat adanya tanda-tanda yang buruk? Akankah penampilan tim terkena imbasnya?     

Pertanyaan-pertanyaan itu melayang-layang di benak Twain, benar-benar melenyapkan suasana hatinya yang sedang senang.      

Mereka telah berjalan kaki selama dua puluh menit dan Twain melihat ada banyak media di kompleks latihan. Mereka datang, seperti halnya kemarin, untuk melakukan wawancara dan merekam sesuatu, berharap bisa mendapatkan sejumlah 'materi orang dalam'. Untungnya, konflik kemarin terjadi di akhir latihan sore dimana semua media sudah meninggalkan tempat ini. Kalau tidak begitu, pasti akan ada lebih banyak reporter yang muncul disini dibandingkan dengan sebelumnya. Itu akan memberinya sakit kepala yang lebih parah...      

Sekarang masih baik-baik saja.      

"Selamat pagi, Tn. Twain!" Pierce Brosnan melambaikan tangan untuk menyapa Twain, tapi Twain hanya berjalan terus seolah-olah dia tidak melihatnya.      

Dunn membantunya menjawab. "Selamat pagi, Tn. Brosnan."     

"Tn. Twain... kelihatannya moodnya sedang buruk?" tanya Brosnan, yang selalu menjadi pengamat yang cermat.     

Dunn tersenyum. "Dia masih belum benar-benar bangun."     

Itu alasan yang sangat buruk. Sekarang sudah pukul 9.30 AM dan dia masih belum bangun. Twain jarang bangun kesiangan.      

Brosnan bisa merasakan ada sesuatu yang sedang terjadi, tapi dia memandang para reporter dari media lain yang berada di sekitarnya dan tidak mengatakan apa-apa.      

Ada pula kenalan reporter lain yang menyapa Twain. Dia mengabaikan mereka semua dan langsung memasuki bangunan. Semua orang sudah terbiasa dengan karakter Twain yang suka berubah-ubah, jadi mereka tidak menganggapnya aneh. Bagaimanapun juga, tim Forest sedang mengalami kekalahan beruntun, jadi dia pasti sedang berada di bawah tekanan besar sebagai seorang manajer. Bisa dipahami kalau moodnya sedang jelek.      

Dunn mengikuti di belakangnya dan keduanya mendekati kantor manajer, dimana mereka melihat Kerslake sudah menunggu disana.      

"Tony, ada penyesuaian yang diperlukan untuk rencana latihan hari ini?"     

Twain menggelengkan kepalanya dan membungkuk untuk menyalakan komputer. "Rencana itu sudah ditetapkan beberapa hari yang lalu dan tidak perlu disesuaikan lagi. Kenapa kau mengajukan pertanyaan yang bodoh seperti itu, David?"     

"Er.. kukira, dengan mood di tim yang tidak terlihat bagus belakangan ini..." Kerslake tergagap.      

"Itu masalah psikologis. Kau hanya perlu mengurus latihan, aku akan mengurus masalah psikologis para pemain."     

Kerslake mengangguk. "Kau benar, Tony. Tapi kurasa kau harus menormalkan kondisi mentalmu sendiri lebih dulu." Setelah mengatakan itu, dia menyerahkan sebuah cermin.      

Pantulan Twain di cermin itu menampilkan wajah datar, yang sama seperti kemarin dan hari sebelumnya. Twain menatap dirinya sendiri di cermin itu.      

"Tony, kami merasa kau adalah inti yang sangat dibutuhkan oleh tim ini. Jadi kalau kau tidak bisa normal, maka seluruh tim juga tidak ada yang bisa kembali normal," kata Kerslake.      

Twain mengambil cermin dari tangannya. "Terima kasih atas cerminnya, David."     

"Kalau begitu, aku akan menyibukkan diri dengan pekerjaanku." Kerslake berpamitan.      

Dunn memandang Twain, melihat ke arah pintu, dan kemudian bangkit. "Aku juga sebaiknya menyibukkan diri."     

Twain tidak memintanya tetap tinggal dan hanya menganggukkan kepala.      

Setelah menyalakan komputer, dia membuka dokumen untuk program latihan hari ini. Dia memeriksanya dengan cepat untuk mendapatkan gambaran umumnya. Lalu, dia mencari berita olahraga di Internet dan tidak menemukan laporan apapun tentang perkelahian yang terjadi kemarin. Kelihatannya tidak ada yang membocorkan berita itu, yang membuatnya merasa lega.      

Setelah melakukan semua itu, dia bangkit berdiri untuk pergi ke lapangan latihan dan memulai pekerjaannya pagi itu.      

※※※     

Para reporter, yang telah berkumpul di dekat gerbang, berkerumun untuk memasang perlengkapan kamera mereka diluar kompleks latihan. Kemudian seorang reporter yang bermata tajam menemukan sebuah masalah – tim Nottingham Forest sudah memulai latihan, jadi kenapa Chimbonda dan Bendtner masih belum terlihat?     

Seseorang menyampaikan penemuan ini kepada orang-orang di sekeliling mereka dan kelompok reporter itu segera membahas topik ini. Tony Twain adalah pria yang tegas. Kalau mereka terlambat... mereka pastilah sangat terlambat, bukan? Chimbonda dan Bendtner bukan pemain inti di tim saat ini. Kalau mereka berani terlambat saat datang latihan, mungkinkah mereka sebenarnya tidak ingin terus bermain dibawah arahan Twain?     

Selain itu, hal yang membuatnya tampak aneh adalah Twain, yang memiliki peraturan ketat untuk mempertahankan disiplin tim, tidak tampak kesal karenanya. Seolah-olah dia tidak peduli kalau kedua pemain itu terlambat. Hanya ada sedikit pemain di Tim Pertama Forest. Wajah-wajah mereka sangatlah familiar, jadi tidak ada alasan dia melewatkan kedua pemain itu.      

Ini terlalu aneh. Mungkinkah ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuan kami?     

Saat itulah Kerslake datang menghampiri untuk memberitahu media bahwa waktu mereka untuk mengambil gambar sudah habis.      

Kelompok-kelompok reporter mengemasi perlengkapan mereka dan membubarkan diri. Tak peduli berapa banyak pertanyaan yang mereka miliki, sekarang bukan saat yang tepat untuk bertanya. Bagaimanapun juga, akan selalu ada konferensi pers rutin setelah latihan sore. Manajer tim, Tony Twain akan hadir disana bersama salah satu pemainnya. Pemain itu bisa jadi kapten tim, George Wood, mungkin juga wakil kapten, Edwin van der Sar, atau pemain yang paling populer, Beckham, atau pemain lainnya. Mereka akan menjawab pertanyaan yang diajukan para reporter tentang beberapa hal yang terjadi di tim belakangan ini. Sesuai kepribadian si pemain yang berbeda, beberapa diantaranya bisa memuaskan keingintahuan para reporter setelah mereka membuka mulut, sementara pemain lain akan lebih berhati-hati dan tidak bersedia untuk berbicara banyak, sementara yang lainnya lagi akan mencoba bertingkah dan menolak untuk bekerjasama, yang membuat para reporter merasa sangat kesal.      

Sekarang para reporter memiliki rencana di benak mereka sendiri. Mereka akan mengambil keuntungan dari setengah hari yang tersisa untuk menemukan kemana perginya Chimbonda dan Bendtner, dan kemudian menunggu hingga konferensi pers sore hari sebelum kemudian membombardir Tony Twain dengan pertanyaan mereka.      

※※※     

Setelah para reporter meninggalkan tempat, kompleks latihan menjadi jauh lebih sepi. Tidak ada bunyi lain kecuali suara teriakan para pemain dan suara peluit dari para pelatih.      

Twain masih memakai kacamata hitamnya dan mengawasi dari pinggir lapangan. Para pelatih yang spesifik bertanggungjawab melatih subyek latihan spesifik dan dua asisten manajer bertanggungjawab untuk mengkoordinasikannya. Pada dasarnya dia tidak punya banyak hal untuk dilakukan.      

Latihan tim tidak jauh berbeda dari biasanya, dan fokus Twain diarahkan pada mood para pemain. Dia ingin melihat seberapa jauh insiden kemarin mempengaruhi tim. Para pemain tidak menunjukkan banyak ekspresi di wajah mereka. Kelihatannya mereka semua terfokus pada latihan. Ini masih belum waktunya untuk istirahat, jadi dia tidak bisa melihat bagaimana mood semua orang.      

Dia melihat arlojinya. Mereka sudah berlatih selama setengah jam.      

"David!" serunya.      

Kerslake memandang ke arahnya.      

"Biarkan mereka beristirahat." kata Twain dan menunjuk ke arah para pemain di lapangan.      

Kerslake mengangguk, dan meniup peluitnya sebelum kemudian mengumumkan, "Istirahat lima belas menit!"     

Para pemain terengah-engah sambil melangkah keluar dari lapangan. Perlahan mereka berkumpul untuk beristirahat di sudut, yang tidak berbeda dari biasanya. Para pemain selalu berkumpul bersama, dan sama halnya dengan para pelatih. Mereka tidak saling mengganggu satu sama lain. Para pemain memiliki topik pembicaraan yang menarik minat mereka, dan para pelatih juga mengobrol tentang hal-hal yang menjadi ketertarikan para pelatih.      

Twain mengamati sejenak dan merasa kalau semuanya sama seperti biasa. Sebagai seorang manajer, tidaklah nyaman baginya untuk datang menghampiri dan mendengarkan apa yang sedang mereka obrolkan. Karena itu, dia tidak lagi melanjutkan pengamatannya terhadap para pemain dan berencana mengobrol dengan mereka semua untuk melembutkan suasana. David Kerslake memang benar. Seharusnya dia tidak berwajah datar dan terlihat sulit didekati.      

Dia harus disukai untuk bisa menciptakan harmoni.      

※※※     

"Hey, dia berbalik... Ini kesempatan kita!" kata Eastwood pada orang-orang di sekelilingnya sambil masih terus memandang Twain.      

"Apa ini... akan baik-baik saja? Apa kita benar-benar akan melakukan ini?" van Nistelrooy mengerutkan keningnya. "Bos sedang dalam mood yang buruk akhir-akhir ini. Bagaimana kalau dia marah?"     

"Apa yang kau takutkan? Biasanya boss memang selalu memarahi kita. Apa kau tidak mau mengambil kesempatan ini untuk membalasnya!" Eastwood mendesak rekan-rekan setimnya. "Kalau boss marah, salahkan saja Franck. Dia juga bilang begitu kan. Bagaimanapun juga, dialah yang memiliki gagasan ini. Boss tidak akan bertengkar dengan pria yang kakinya patah, kan?"     

Semua orang membelai dagu mereka dan menatap langit, tenggelam dalam pikiran masing-masing.      

Akhirnya, seseorang meninju telapak tangannya sendiri. "F**k!" Petrov yang berbicara. "Haruskah kita masukkan lebih banyak es?" Tidak hanya setuju untuk melakukannya, dia juga menambahkannya.      

Gagasan itu membuat banyak orang merasa bersemangat. Tapi Eastwood bergidik membayangkannya, "Hey... bukankah itu terlalu berlebihan..."     

Seluruh kelompok menoleh dan melotot ke arahnya. "Bukankah kau yang ingin mengambil kesempatan ini untuk membalas dendam!"     

Eastwood mengangkat kedua tangannya seolah menyerah.      

Semua orang menatap George Wood, yang duduk diam di tepi dan tidak mengatakan apa-apa, tapi setiap pasang mata yang memandangnya membuat niat mereka tampak jelas.      

Wood memandang kerumunan pemain itu. "Aku bertanggungjawab menggendongnya."     

Semua orang tertawa.      

"Kita sepakat. Tapi kita harus menemukan seseorang yang paling dipercaya boss dan yang paling tidak mungkin menjebaknya untuk memancingnya keluar." Eastwood tiba-tiba angkat suara. Setelah dia selesai mengatakan itu, semua orang tanpa sadar mengarahkan pandangan mereka pada Beckham di waktu yang bersamaan.      

Beckham mengangkat tangannya. "Oke, aku tahu apa yang harus kulakukan. Tapi kurasa sekarang adalah waktu yang sangat beresiko untuk mengerjai boss..."     

Tapi, Eastwood tampak bersemangat. "Sangatlah membosankan kalau kita tidak bisa melakukan apa-apa hanya karena tidak ingin mengambil resiko. Bukankah begitu, guys!"     

Semua orang mendukung apa yang dikatakan olehnya. Karena itu, Beckham, membawa harapan semua orang di pundaknya, bangkit berdiri dan membersihkan bagian belakang celananya sebelum dia berjalan menghampiri Twain.      

※※※     

Dia baru saja berbalik untuk berjalan ke arah para pelatih saat dia mendengar seseorang memanggilnya. "Boss, boss!"     

Itu Beckham.      

"Ah, David... meski aku yang memintamu memanggilku seperti itu, rasanya masih aneh setiap kali aku mendengarmu mengucapkannya..." Twain menoleh ke arahnya dan bertanya, "Ada apa?"     

"Yah.. Err." Beckham melirik balik ke arah rekan-rekan setimnya, tapi tidak ada yang balas memandangnya dan semuanya terfokus untuk beristirahat.      

Twain mengikuti arah pandangnya tapi tidak melihat ada sesuatu yang aneh.      

"Ada apa, David?"     

"Er... Seseorang mencarimu." Beckham membuat alasan.      

"Siapa?" Twain merasa aneh karena orang itu tidak langsung datang menemuinya.      

"Franck." Nama Ribery langsung terlintas di benak Beckham dan keluar dari mulutnya. Bagaimanapun juga, Ribery-lah yang merencanakan ini, jadi dia akan menggunakan namanya sebagai alasan. "Tidak mudah baginya untuk berjalan berkeliling jadi dia ingin kau pergi keluar untuk menemuinya. Dia ada di tempat parkir."     

Alasan ini kedengaran masuk akal.      

Twain mengangguk. "Baiklah, aku akan pergi kesana sekarang."     

Beckham sudah menyelesaikan tugasnya dan dia melihat Twain berjalan keluar dari lapangan latihan sebelum dia kembali ke para pemain yang lain. Dia melihat George Wood dan Eastwood sudah tidak ada disana.      

"David, Freddy tadi bilang bahwa setelah kau kembali, kita akan pergi dan menonton pertunjukan itu sama-sama." Kelompok pemain itu melirik para pelatih yang sedang beristirahat.      

※※※     

Twain berjalan keluar dari lapangan latihan. Kompleks latihan ini tidak memiliki banyak orang dan sebagian besar lapangan latihan yang lain juga kosong. Para reporter tidak ada disana, yang membuat kompleks ini tampak sunyi. Dia melewati lapangan latihan dan bangunan kantor sendirian untuk menuju tempat parkir yang berada dekat dengan aula latihan indoor.      

Tempat parkir itu juga tampak sepi dan berisikan mobil-mobil para pemain dan karyawan. Twain melihat mobil Citroen merah Ribery dan tersenyum. Bocah itu sedang cedera dan dia masih tidak mau tinggal diam di rumah. Dia selalu saja bermain-main di kompleks pelatihan. Dia mungkin pemain yang paling normal diantara semua orang.      

Tapi..      

Bukankah dia perlu menemuiku? Dimana dia?     

Twain berdiri di depan mobil Ribery. Dia membungkuk untuk melihat bagian dalamnya dan tidak melihat siapapun disana. Dia berdiri dan memandang ke sekeliling. Masih tidak ada orang di sekitarnya. Seluruh tempat parkir itu dipenuhi mobil. Itu bukan tempat parkir yang kosong tapi tidak ada orang disana.      

Kalau Ribery ingin bermain petak umpet dengannya, tempat ini sangat cocok. Tapi kenapa dia mau memainkan permainan kanak-kanak itu dengannya?     

Tempat parkir itu berada tepat disamping aula latihan indoor, dan mobil Ribery diparkir di dekat dinding. Twain berdiri disamping Citroen merah itu dan menatap ke sekeliling. "Franck!" teriaknya, berharap Ribery bisa mendengarnya.      

"Aku disini, boss!" Harapannya menjadi kenyataan dan suara itu terdengar dari atas kepalanya... dari atas kepalanya?     

Twain mendongak dengan heran.      

Gymnasium indoor memiliki teras di lantai dua, yang biasanya digunakan untuk menyimpan berbagai barang. Twain mendongak ke atas dan melihat wajah dengan bekas luka yang familiar itu sedang tertawa senang.      

"Wuuss."     

Seember air dingin ditumpahkan dari atas dan benar-benar membasahi Twain saat dia lengah.      

"Byuurr"     

Twain masih berdiri diam di tempat seperti orang bodoh selama beberapa detik sebelum kemudian bereaksi. Lalu dia mendongak dan melihat senyum lebar di wajah Ribery. Dia baru akan meledak marah, dan tiba-tiba saja dia melihat George Wood, yang menjulurkan kepalanya untuk melihat ke bawah...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.