Mahakarya Sang Pemenang

Kuat dan Tegas



Kuat dan Tegas

0Perekonomian global yang semakin memburuk, pekerjaan konstruksi stadion baru yang dihentikan karena kurangnya dana, masalah dengan kebugaran para pemain, tanda-tanda peningkatan cedera diantara para pemain dan hasil tim yang tidak stabil. Semua faktor yang berbeda ini muncul bersamaan dan memberikan tekanan yang berat kepada Twain.      

Di waktu yang sama, semua itu membuka matanya pada fakta bahwa dia tidak bisa menggantungkan harapannya pada klub untuk memberinya uang dan membeli pemain selama bursa transfer musim dingin, dan dia harus belajar untuk memanfaatkan sumberdaya lokalnya dalam memperkuat kemampuan tim.      

Tim pemuda adalah area yang harus diperhatikan olehnya. Tapi, tidak cukup baginya untuk memperhatikan situasi disana dengan duduk di kantor dan melihat data serta laporan seperti yang selalu dilakukan olehnya. Dia harus melihat sendiri tim pemuda itu. Ini adalah sebuah cara untuk membuat sebuah pernyataan tentang sikapnya. Tidak jadi masalah kalau dia hanya berdiri di pinggir lapangan dengan kacamata hitamnya dan melamun. Bagi para pemain muda itu, yang mereka lihat adalah harapan. Hanya dengan melihatnya saja akan memberi mereka dorongan.      

Tindakannya ini juga menjadi sebuah sinyal bagi Edward Doughty. Aku tahu kau tidak punya uang untuk membeli pemain, tapi tim pemuda adalah pondasi bagi kelangsungan tim. Kau bisa menghemat berapapun itu dari tempat lain, asalkan bukan disini.      

Satu-satunya hal yang belum dilakukannya untuk menyampaikan pesannya ini kepada Doughty adalah melukiskan kata-kata "Kau bisa berhemat, tapi tidak pada anak-anak ini" di dinding kompleks latihan tim pemuda.      

Dia memutuskan untuk pergi ke Wilford Utara bersama kedua asistennya, manajer Kerslake dan Dunn usai sesi latihan tim pertama berakhir untuk mengecek bagaimana kemajuan anak-anak itu. Dia ingin melihat sendiri seberapa jauh perkembangan bakat jenius-jenius muda yang dibawa oleh para perekrut dari seluruh dunia.      

※※※     

Saat Inggris mulai memasuki musim dingin, itu artinya musim hujan juga sudah tiba.      

London seringkali disebut sebagai "Kota Kabut" di era Revolusi Industri karena kota ini selalu diselimuti oleh gas dan asap industri. Sekarang, bukannya gas dan asap industri, kota ini diselimuti kabut.      

Nottingham juga tidak jauh berbeda. Hujan dingin yang tak kunjung berhenti sudah bertahan selama empat hari, dan masih tidak ada tanda-tanda cuaca akan berubah cerah.      

Meski Twain dibesarkan di Sichuan dimana seringkali terjadi hujan yang dingin di musim dingin, dia masih membenci cuaca seperti ini. Hujan yang terus turun membuat orang-orang merasa seolah pakaian dan tubuh mereka sudah berjamur. Tubuhnya memancarkan bau jamur yang tak tertahankan dan pakaiannya selalu terasa lembab. Rasanya sama sekali tidak nyaman saat pakaiannya menempel di tubuhnya.      

"Aku benci cuaca ini," gerutu Twain sambil berjalan dibawah payung hitam. Dia sedang dalam perjalanan menuju Wilford Utara bersama Dunn dan Kerslake. "Melihat langit yang seperti ini hanya membuat orang-orang merasa depresi."     

Dia sedikit memiringkan payungnya ke satu sisi dan memandang langit. Tetesan hujan berderai dan menghantam wajahnya, mulutnya, matanya lalu mengalir menuruni lehern menuju ke kerahnya.      

Kerslake mengerutkan alisnya. Penampilan tim sangatlah tidak stabil belakangan ini. Cuaca seperti ini jelas akan membuat mereka semakin tidak fokus.      

Dia sama sekali tidak percaya bahwa mereka akan bisa menemukan pemain yang sesuai dari tim pemuda selama jeda musim dingin ini. Dia tidak mungkin lebih familiar lagi dengan pelatihan di tim pemuda Nottingham Forest. Tim ini mungkin selalu merekrut para pemain muda berbakat dari luar negeri, tapi semua pemain itu masih belum siap untuk bermain di liga. Mereka mungkin baru bisa siap sekitar bulan Januari tahun depan.      

Sementara untuk Dunn, dia sudah memiliki seseorang di benaknya. Saat kemarin Twain tiba-tiba mengatakan bahwa dia ingin menengok tim pemuda, orang pertama yang muncul di benaknya bukanlah para pemuda pekerja keras di tim pemuda. Melainkan, dia adalah Chen Jian.      

Dia selalu mencemaskannya setiap kali dia mendengar berita tentangnya di tim pemuda.      

Bisakah dia bertahan? Bisakah dia mewujudkan mimpinya?     

Ketiganya tiba di Wilford Utara, tenggelam dalam benak pikiran mereka masing-masing.      

Hujan dan cuaca buruk tidak menghalangi tim pemuda dalam menjalankan sesi latihan mereka di luar ruangan. Sebuah pertandingan latihan skala kecil telah diatur di sesi latihan biasa untuk mempermudah manajer tim pertama dalam membedakan kemampuan sejati para pemain.      

Lapangan latihan tim pemuda ini sedikit terhalang oleh hutan dan biasanya terlihat dalam kondisi yang lebih baik daripada lapangan latihan tim pertama. Tapi, yang bisa mereka lihat hari ini adalah hamparan lapangan berlumpur karena cuaca buruk belakangan ini.      

Langit diatas mereka cukup gelap untuk membuat seseorang berpikir bahwa waktu telah dipercepat dan malam telah tiba. Hutan di bagian utara lapangan latihan terlihat seperti sesuatu yang gelap dan berbentuk samar di tengah kabut, dan hal ini menambah suasana yang lebih suram ke dalam kompleks latihan ini.      

Para pemain mengganti pakaian mereka di ruang ganti. Mereka berlari keluar dengan enggan setelah didesak oleh manajer.      

Chen Jian adalah salah satunya. Dia baru tahu semenit sebelumnya bahwa dia akan bermain sebagai anggota tim kuning dalam pertandingan intra-tim ini.      

Para pemain muda sudah dikelompokkan menjadi tim merah dan kuning selama pertandingan latihan, dan mereka akan memakai jersey sesuai dengan warna tim mereka.      

Di tim pertama, jersey kuning biasanya dipakai oleh mereka yang berada dalam starting lineup, tapi disini di tim pemuda, warna apapun itu tidak ada artinya. Warna itu hanya digunakan untuk membuat semua orang mudah membedakan antara rekan dan lawan.      

Sudah lebih dari tujuh bulan sejak Chen Jian datang ke Nottingham Forest, tapi tak sekalipun dia berhasil mewakili Nottingham Forest dalam pertandingan tim pemuda.      

Ini bukan berarti dia tidak memenuhi syarat untuk itu, hanya saja dia baru membangun ulang dasar-dasarnya kemampuannya. Dia baru mulai berlatih bersama rekan setimnya dua bulan yang lalu dan masih kurang bisa berkoordinasi dengan mereka.      

Kadang dia mendapatkan kesempatan untuk bermain dalam pertandingan intra-tim dari waktu ke waktu, tapi dia tidak lebih dari sekadar pelengkap. Dia akan bermain sebentar lalu digantikan tidak lama kemudian.      

Terlepas dari seberapa bagus dia bermain dalam pertandingan-pertandingan itu, penampilannya takkan pernah diperhitungkan oleh manajer tim pemuda.      

Sangatlah sulit menjadi seorang pelengkap. Tidak ada yang pernah benar-benar percaya bahwa seorang pemain amatir yang dipilih dari pertunjukan bakat akan bisa melewati satu tahun pelatihan dan bisa tetap tinggal di Nottingham Forest FC.      

Karenanya, tak peduli seberapa keras Chen Jian berusaha, tak ada orang selain Greenwood yang memperhatikan dirinya, karena Greenwood tahu bahwa asisten manajer Dunn sangat peduli terhadap bocah itu. Sebagai seseorang yang pernah bekerjasama dengan Dunn di tim pemuda sebelum ini, dia bersedia membantu Dunn untuk mengawasi pemuda yang juga berasal dari Cina itu.     

Karena ini adalah pertandingan yang memungkinkan manajer tim pertama untuk merekrut pemain yang bisa dibawa ke tim cadangan, dia yakin bahwa dia takkan punya bagian untuk dimainkan karena dia hanya akan menghabiskan tempat di dalam tim. Oleh karena itu, dia cukup terkejut saat mendengar Greenwood memanggil namanya.      

Chen Jian mungkin terkejut, tapi dia tidak bersikap seolah dia baru saja diberi sebuah kesempatan sekali seumur hidup. Yang dilakukannya hanyalah tersenyum dan menganggukkan kepalanya sebelum kemudian melangkah pergi dengan tenang untuk mengganti pakaiannya. Kemudian dia berlari keluar dari ruang ganti yang berada di lantai dua dan berlari menuju lapangan latihan dan ke bawah hujan.      

Saat dia menoleh ke arah pinggir lapangan, dia melihat Greenwood sedang bercakap-cakap dengan tiga orang pria dibawah payung hitam. Dia hanya bisa melihat sebagian ciri-ciri para pria itu dari bawah payung setelah dia melewati mereka dan saat itulah dia tahu siapa saja mereka.      

Salah satunya adalah asisten manajer Dunn, yang paling dikenalnya. Di matanya, Dunn adalah seorang pria yang selalu tampak lembut dan sibuk. Dia sudah menjadi asisten manajer sebuah tim seperti Nottingham Forest meski dia belum berusia 30 tahun. Itu benar-benar luar biasa.      

Melihatnya ada disini membuat Chen Jian merasa bersemangat. Tidak jadi masalah bahwa Dunn adalah seorang manajer dan dirinya adalah seorang pemain. Dunn adalah tokoh yang diteladaninya dalam perjalanannya untuk menggapai mimpinya.      

Seorang pria jangkung berdiri disamping Dunn. Orang itu tidak terlalu banyak bicara dan memakai kemeja hitam serta kerutan di wajahnya adalah raja dari tim ini, bos mereka semua, Tony Twain.      

Hasil yang diperoleh Nottingham Forest belakangan ini cukup buruk, dan mereka berjuang keras untuk bisa lolos dari babak penyisihan grup Liga Champions.      

Setelah menikmati kesuksesan selama tiga tahun, tekanan yang dirasakan oleh Twain saat ini sangatlah besar.      

Dibelakang kedua pria itu adalah seorang pria yang selalu menoleh ke sekelilingnya. Dia adalah asisten manajer yang lain, Kerslake. Kabarnya dia menjadi manajer tim pemuda setelah Twain dipromosikan. Manajer Greenwood bahkan bekerja dibawahnya sebelum ini.      

Kerslake telah dipromosikan menjadi asisten manajer tim pertama, tapi orang-orang di level atas juga memiliki kesulitan mereka sendiri. Tim Pertama tampil dengan buruk, jadi hari-harinya sebagai asisten manajer juga tidak terlalu bagus.      

Chen Jian berlari melewati ketiga manajer dan mulai melakukan pemanasan dengan rekan setim lainnya dibawah arahan manajer tim pemuda mereka.      

Suhu udara cukup rendah di musim dingin seperti ini dan saat ini juga turun hujan. Hal ini membuatnya semakin penting baginya untuk melakukan pemanasan dengan benar. Akan sangat memalukan kalau dia mendapatkan cedera di pertandingan seperti ini.      

※※※     

Dunn membahas kondisi terkini latihan tim pemuda dengan Greenwood untuk memperoleh informasi tangan-pertama dan saran darinya. Setelah berdiskusi, keempatnya menonton para pemain muda saat mereka melakukan pemanasan di lapangan.      

Dari mereka semua, hanya manajer tim pemuda Greenwood yang memakai topi rajut untuk menutupi kepalanya yang hampir botak itu. Ketiga pria yang lain memegang payung di atas kepala mereka.      

Seluruh tubuh Greenwood basah kuyup dibawah hujan karenanya, tapi dia tidak peduli dengan hal sepele semacam itu. Dia bukanlah manajer tim pertama yang datang untuk mengamati para pemain. Dia bertanggung jawab di tempat ini. Dia tidak dalam posisi bisa berjalan-jalan santai sambil memegangi payung. Ada kalanya dia harus melangkah masuk ke lapangan untuk menunjukkan gerakan tertentu atau mengkonfrontasi seorang pemain saat mereka membuat kesalahan.      

Mengingat peranannya ini, apa pantas baginya untuk memegangi payung?     

Dia menyipitkan mata sebagai upaya untuk mencegah tetesan air masuk ke matanya. Dia melambaikan tangannya ke arah lapangan dan berteriak.      

"Sudah cukup. Ayo mulai!"     

Para pemain dari kedua tim berdiri di lapangan seperti yang diperintahkan. Pertandingan dimulai setelah peluit ditiup.      

Twain tahu bahwa hampir mustahil untuk bisa menemukan seorang pemain dari tim pemuda yang bisa langsung dibawanya ke tim pertama. Meski demikian, dia masih harus muncul di sini untuk memotivasi para pemuda dan memberikan ketenangan pikiran bagi mereka agar tetap berada di Wilford.      

Sebenarnya, orang yang mempertimbangkan segalanya dan melakukan perekrutan adalah dua orang asisten manajernya. Dia hanya ada disana untuk menemukan pemain yang menarik perhatiannya.      

Sangatlah sulit bagi tim untuk bermain di bawah hujan yang cukup deras dan teknik penanganan bola mereka seringkali akan teruji. Para pemain yang terpeleset dan jatuh menjadi pemandangan yang biasa terlihat di lapangan.      

Greenwodo merasa sedikit canggung. Twain terlalu acak dalam melakukan kunjungan. Atau lebih tepatnya lagi, dia telah memilih waktu yang buruk untuk datang berkunjung. Mustahil bagi para pemain untuk menunjukkan performa dan kemampuan terbaik mereka dalam sebuah pertandingan seperti ini.      

Manajer tim pertama pasti akan kehilangan kesabaran dan menyumpahi para pemuda atas penampilan mereka kalau dia hanya melihat beberapa menit awal pertandingan di lapangan lumpur itu.      

Greenwood ingin membuat manajer tim pertama melihat kemampuan para pemain muda, jadi dia telah memindahkan dua pemain berbakat, John Bostock dan Nicolas Millan, dari tim U16 ke U18 untuk membiarkan mereka berpartisipasi dalam game latihan hari ini. Keduanya masih belum mencapai usia 18 tahun, tapi selama ini keduanya sudah berlatih di tim U17.      

Keduanya adalah pemain yang juga ingin diperhatikan Twain. Dia tertarik untuk melihat seberapa jauh kemajuan dua pemain jenius itu setelah berlatih bersama tim Forest selama setahun.      

Apa yang dilihatnya memang cukup memuaskan. Kedua pemain itu boleh saja masih muda, tapi mereka bisa tampil luar biasa baik melawan beragam rekan setim yang lebih tua setahun atau dua tahun dari mereka. Mereka berdua adalah pemain inti di tim merah dan kuning. Tidak satupun diantara mereka terlihat canggung di tim dan mereka bisa berkoordinasi dengan baik dengan rekan setim mereka. Tampak jelas bahwa Greenwood sudah sering menurunkan mereka dalam pertandingan U18.      

Kondisi lapangan dan cuaca yang buruk memang sedikit berdampak pada penampilan mereka, tapi Twain yakin kalau mereka terus berkembang seperti yang mereka lakukan saat ini, dia akan membawa keduanya ke tim pertama musim depan, sehingga memberi mereka lebih banyak peluang dan panggung yang lebih besar untuk bersinar.      

Setelah mengkonfirmasikan bahwa penampilan kedua pemain itu sudah sesuai dengan standarnya, Twain mulai mencari-cari di lapangan tanpa tujuan untuk mendapatkan pemain lain yang menarik perhatiannya. Caranya memandang ke sekeliling bisa membuat orang lain mengira kalau dia tidak memperhatikan jalannya pertandingan.      

Satu-satunya yang terdengar di lapangan adalah suara teriakan para pemain, cipratan air dan lengkingan tajam peluit.      

Semua orang terfokus pada pertandingan dan ingin memberikan kesan terbaik di hadapan Tony Twain.      

※※※     

Chen Jian sadar bahwa dia hanyalah pelengkap dalam pertandingan hari ini, tapi begitu pertandingan dimulai, dia memfokuskan seluruh tubuh dan pikirannya pada pertandingan. Dia berlari kesana kemari dan rajin merebut bola, juga berusaha sekuat tenaga untuk meperkuat petahanan. Itu adalah tugas yang diberikan padanya oleh Manajer Greenwood sebagai bek kanan untuk timnya.      

Dia tidak berusaha keras untuk menarik perhatian manajer tim pertama. Dia berusaha keras karena ini adalah sebuah pertandingan.      

Tapi, bagi Greenwood, penampilan Chen Jian tampak sangat buruk. Lapangan itu licin karena hujan, dan karenanya tidak ada kekuatan dibalik beberapa gerakannya. Chen Jian juga terlihat sangat canggung karena dia memakai sepatu bola dengan paku pendek yang tidak punya daya cengkram di lapangan saat dia berlari. Sayap kanan yang dijaganya selalu mudah diterobos lawan, yang membuat tim merah sering menyerang ke kanan selama pertandingan berlangsung.      

John Bostock menganggap Chen sebagai seseorang yang bisa dimanfaatkan olehnya, jadi dia mulai membawa bola ke kanan.      

Tim kuning baru saja mendapatkan kesempatan untuk menyerang balik, tapi tim merah mendorong mereka mundur dan membuat mereka kesulitan bergerak maju. Para pemain muda merasa kesal karena tertahan dan mulai sedikit bertingkah. Aksi mereka membuat Bostock mendapatkan tendangan penalti. Dia melangkah maju untuk melakukan tendangan penalti dan tim merah unggul 1:0 karenanya.      

Greenwood, yang berdiri di pinggir lapangan, bertepuk tangan dan memuji Bostock dengan suara keras setelah dia mencetak gol dari tendangan penalti. Tindakannya ini membuat kesal tim kuning yang tertinggal satu gol.      

Perpecahan mulai muncul di tim kuning. Gol tadi bukan terjadi karena tim merah menerobos sisi sayap Chen Jian, tapi tatapan semua orang ke arah Chen Jian adalah tatapan permusuhan. Biasanya, semua orang akan rukun dengannya, tapi itu hanya karena dia bukan ancaman bagi mereka. Tapi, kalau mereka tidak bisa tampil baik karena Chen Jian bermain buruk, maka dia pasti akan dibenci oleh rekan setimnya. Siapa yang mau memperlakukan seorang pemuda yang hanya akan tinggal selama setahun di tim dengan ramah kalau begitu?     

Kalau kau membuat kesalahan, orang-orang dengan kendali emosi yang lebih baik hanya akan memberimu tatapan kesal, tapi mereka yang berkepala panas pasti akan langsung mendatangimu dan menegurmu.      

Chen Jian berdiri di sayap kanan. Dia bukan idiot. Dia tahu makna dibalik tatapan itu.      

Dia berusaha keras untuk tidak memikirkan tentang tatapan penuh permusuhan dari rekan-rekan setimnya dan terus menjalankan tugasnya di sayap kanan.      

Dia terus bertahan dan menjadi target serangan lawan. Dia merasa seperti idiot setiap kali dia jatuh ke tanah setelah kehilangan keseimbangan dan kembali bangkit berdiri.      

Istilah 'kehabisan akal' bisa digunakan untuk mendeskripsikan kesulitan yang sedang dialaminya. Dia tidak bisa menghentikan serangan seluruh tim lawan sendirian. Dia kurang mendapatkan dukungan dari rekan-rekan setimnya. Penampilannya yang buruk telah membuat rekan setimnya kehilangan kepercayaan padanya.      

Haruskah dia mengangkat tangan dan meminta dukungan? Tidak akan ada yang mau mendengarkannya.      

Dia merasa tersinggung, tapi dia hanya bisa terus menghadapi serangan tim merah sendirian. Satu-lawan-satu, satu-lawan-dua, satu-lawan-tiga....      

Upaya tim merah yang gencar akhirnya membuahkan hasil. Bostock bisa berlari dengan mudah melewati Chen Jian, yang sudah hampir kehabisan tenaga saat itu. Dia mengoper bola ke tengah dan memberikan assist bagi rekan setimnya yang kemudian mencetak gol kedua.      

Tim kuning tertinggal dua gol.      

Tidak seperti sebelumnya saat mereka kebobolan gol, kali ini tidak ada seorangpun yang menoleh ke arah Chen Jian. Mereka memperlakukannya seperti udara kosong. Salah satu bek tengah di timnya berlari maju dan berdiri disampingnya, jelas merasa tidak senang dengan pertahanan buruk yang dilakukannya sebelum ini dan ingin mengambil alih peranannya sebagai bek kanan.      

Chen Jian memandang rekan setimnya itu, lalu menoleh ke arah manajer yang ada di pinggir lapangan. Dia ingin melihat apakah pengaturan ini memang diperintahkan oleh Manajer Greenwood. Dia tidak melihat Manajer Greenwood melakukan isyarat khusus, tapi yang dilihatnya adalah Tony Twain yang memandang sekeliling, kelihatannya tidak memperhatikan.      

Tindakan Twain ini langsung membuat Chen Jian marah.      

Tak peduli seberapa buruk permainannya, bola sudah bergulir di sekelilingnya sepanjang waktu. Meski manajer tidak merasa senang melihat penampilannya, mereka setidaknya bisa menatapnya dan menggelengkan kepala mereka, atau mereka akan memalingkan pandangan saat mereka tahu dia memandang ke arah mereka.      

Yang dilakukan Twain hanyalah mengangkat kepalanya dan memandang sekeliling. Dia sedang menonton pertandingan atau hanya memandang hutan di kejauhan?     

Jadi Chen tidak lebih dari udara kosong bagi semua orang ini!     

Dia sudah tertutup lumpur dari ujung kepala sampai kaki. Kalau dia jatuh ke tanah, dia akan tersamarkan dengan baik dan takkan ada yang terkejut kalau mereka tak sengaja menginjak tubuhnya.      

Chen Jian menundukkan kepala untuk melihat kondisinya yang menyedihkan dan merasa dipermalukan untuk yang pertama kalinya.      

Itu benar, aku berasal dari negara yang kemampuan sepakbolanya jauh tertinggal dari negara-negara lain. Aku hanyalah selebriti yang berasal dari pertunjukan bakat komersil. Aku tahu dimana tempatku dan aku tidak pernah berharap kalian akan menghormatiku dan memperlakukanku seperti bintang. Tapi setidaknya, kau harus melihat ke arahku! Aku adalah manusia yang hidup!     

Dia sudah diterobos berkali kali. Dia menghadapi banyak lawan sendirian. Dia berlari. Dia melompat. Dia jatuh. Dia adalah manusia yang bisa bergerak!     

Apa kalian para orang asing ini sudah buta dan tidak bisa melihatku?     

Pada saat itu, Chen Jian tiba-tiba saja ingin agar Greenwood berlari ke arahnya dengan kesal dan memarahinya habis-habisan. Itu artinya dia diperhatikan olehnya. Itu artinya dia masih layak berada di lapangan.      

Aku tidak lagi mengharapkan pujian dari kalian semua. Aku hanya berharap kalian tidak mengabaikan keberadaanku, tidak berpura-pura bahwa aku tidak ada disini, dan tidak menutup mata pada semua upaya yang telah kukerahkan! Kenapa aku bekerja begitu keras setiap hari? Apa yang ingin kuraih dengan bekerja keras di negara asing ini sendirian? Kalian semua mengejar mimpi kalian dan aku juga sama! Aku tidak ingin dipromosikan ke tim pertama Nottingham Forest. Aku hanya ingin menjadi pesepakbola profesional sejati!     

Sudah tujuh bulan. Selain hanya dipuji satu kali, yang kuperoleh hanyalah kritikan dan teguran. Tidak satupun kerja kerasku yang dihargai atau diakui dengan cara apapun. Tak peduli seberapa buruk permainanku, itu hanyalah aku yang bekerja keras untuk kalian semua kan? Hak apa yang kalian punya untuk menyangkal setiap tetes keringat dan kerja keras yang kukerahkan selama tujuh bulan terakhir?     

Chen Jian melihat Dunn, yang berdiri disamping Twain, menatap ke arahnya. Dunn menghela nafas dan menurunkan pandangannya, jelas tampak kecewa melihat penampilannya. Itu bagus.      

Sebuah api mulai berkobar di dalam diri Chen Jian dan mendorongnya untuk bertindak. Dia berjalan ke pinggir lapangan dan langsung berhenti di depan Greenwood. "Tolong ganti aku, Manajer Greenwood."     

Semua orang tampak terkejut mendengar kata-katanya. Greenwood tidak paham apa yang mendorong Chen Jian untuk melakukan ini. Dia bukan pemain yang suka mencari masalah dan bukan pula pemain yang mudah marah terhadap orang lain. Chen dari Cina yang selalu memiliki senyum di wajahnya kini berdiri di hadapannya dengan bibir terkatup rapat, mata melebar dan tampak sangat marah.      

Greenwood masih belum menjawabnya, tapi Chen Jian sudah melewatinya dan mengarah ke ruang ganti.      

"Tunggu dulu," kata seseorang dan menariknya kembali.      

Chen Jian menoleh untuk menatap orang yang menariknya. Itu tidak lain adalah Tony Twain yang hanya memandang sekeliling dan kelihatannya tak memperhatikan pertandingan.      

Twain tidak memakai kacamata hitamnya karena langit gelap menggantung di atas, dan karenanya Chen Jian bisa melihat mata manajer itu. Tatapannya sedingin es.      

"Siapa yang menyuruhmu meninggalkan lapangan?" tanyanya dingin.      

"Tony..." Dunn sedikit terkejut dan memanggilnya.      

Chen Jian tidak memberikan respon terhadap pertanyaan Twain. Dia tidak tahu kenapa manajer tim pertama tiba-tiba saja menariknya dan tidak mau melepaskannya.      

"Kutanya sekali lagi, siapa yang menyuruhmu meninggalkan lapangan?" Twain mengulangi pertanyaannya sambil menatap langsung ke arah Chen Jian. Tatapannya lebih dingin daripada suaranya.      

Greenwood tidak ingin membiarkan Chen Jian dimarahi oleh Raja Nottingham Forest. Dia tahu orang seperti apa Tony Twain itu. Kata-katanya yang tajam bisa membuat mereka yang paling tangguh sekalipun menangis. Dia ingin membantu Chen Jian dan baru akan melambaikan tangannya dan memanggil pemain pengganti dari pinggir lapangan saat dihentikan oleh payung Twain yang terulur.      

"Kembalilah ke lapangan. Pertandingan belum berakhir dan manajer masih belum menggantimu," kata Twain dengan wajah suram sambil menekankan setiap patah kata dengan perlahan.     

Chen Jian tidak paham kenapa manajer tim pertama tiba-tiba ikut campur dengan urusannya, yang hanya berlatih sementara di tim pemuda Forest.      

Dia mengalihkan tatapannya ke Greenwood. Baginya, hanya manajer tim pemuda yang berhak memberinya perintah.     

Greenwood memaksakan diri untuk tersenyum dan melambaikan tangannya.      

"Kembalilah ke lapangan, Chen. Pertandingan masih belum berakhir. Aku belum menggantimu."     

Twain melepaskan cengkeramannya. Chen Jian melirik sekilas ke Twain sebelum berjalan kembali ke lapangan dengan wajah yang menunjukkan bahwa dia sebenarnya tidak ingin mengalah.     

Para pemain memandang bingung pada Chen yang berjalan kembali ke lapangan. Mereka masih tidak paham dengan apa yang baru saja terjadi.      

Bek tengah yang tadinya ingin mengambil alih peranannya sebagai bek kanan diminta untuk kembali ke posisi awalnya oleh Greenwood.      

Pertandingan kembali dilanjutkan.      

※※※     

Penampilan Chen Jian setelah pertandingan dilanjutkan masih tampak seburuk sebelumnya. Lebih tepatnya lagi, itu bahkan lebih buruk daripada sebelumnya. Emosinya, tak diragukan lagi, telah terpukul setelah kejadian barusan. Bagaimana mungkin seseorang seperti dirinya, yang kondisi mentalnya sedang kacau, bisa memainkan pertandingan yang bagus?     

Twain akhirnya berhenti memandang sekeliling setelah kejadian itu. Dia hanya menatap Chen Jian dibawah payung hitamnya.      

Chen Jian berhasil diterobos lawan dengan operan dua-versus-satu saat dia berusaha menjaga Bostock. Dia kehilangan keseimbangannya saat berbalik dan terpeleset. Dia jatuh ke tanah di kedua lututnya. Kedua tangannya menahan tubuhnya dan terbenam dalam lumpur. Dia menundukkan kepalanya dan tidak segera bangkit berdiri.      

Dia merasa sangat sedih. Dia diremehkan dan diejek orang lain karena dia tidak mampu. Karena dia tampil sangat buruk.      

Kenyataan ini sangat kejam.      

Dia sadar bahwa mimpinya mulai menjauh darinya. Mungkin mimpi itu memang tidak pernah menunggunya di ujung perjalanannya sejak awal. Semua itu hanya fantasinya. Dia hanya menipu dirinya sendiri.      

Tiba-tiba saja dia merasa ingin menangis. Dia ingin menangis untuk mimpi yang telah disimpannya di lubuk hatinya yang paling dalam dan yang dikejarnya tanpa kenal lelah selama bertahun-tahun. Dia ingin menangisi sepuluh tahun yang dihabiskannya dengan penuh semangat untuk sepakbola. Dia ingin menangisi kebodohannya karena memilih untuk melepaskan studinya dan datang ke Inggris untuk mengejar mimpinya.      

Apa gunanya kerja keras tanpa bakat? Bagaimana mungkin seorang penggemar sepakbola amatir bisa bermimpi menjadi seorang pesepakbola profesional? Jangan membohongi dirimu! Kalau memang semudah itu untuk sukses, tidak akan ada banyak orang yang mengandalkan hal-hal imajiner untuk memenuhi keinginan mereka! Memangnya kenapa kalau kau ulet? Memangnya kenapa kalau kau pantang menyerah hingga akhir? Sikapmu menentukan segalanya? Omong kosong! Sudah tujuh bulan. Aku bekerja begitu keras selama tujuh bulan dan apa yang kudapat sebagai gantinya?     

Kritik tak berujung dan tatapan tak percaya serta ketidaksenangan dari orang-orang di sekitarnya! Lupakan, ayo kembali. Tinggalkan semua pikiran tak realistismu. Kerja keraslah dan buat kemajuan setiap hari.      

Dia mengepalkan kedua tangan dan meremas dua gumpal lumpur dengan erat.      

※※※     

Dunn diam-diam menggelengkan kepalanya saat melihat penampilan Chen Jian yang buruk lalu dia melihat ada payung yang bergoyang di kakinya.      

Tidak lama kemudian dia mendengar seruan terkejut Kerslake.      

"Tony!"     

Saat dia mengangkat kepalanya, dia melihat punggung Tony Twain yang bergerak menjauh dengan langkah-langkah panjang memasuki lapangan. Payung yang tadi dipegangnya telah dilemparkannya ke tanah. Payung itu terbalik dan sudah mengumpulkan sedikit air hujan.      

Wasit melihat Tony Twain memasuki lapangan. Dia meniup peluitnya untuk menghentikan pertandingan sebelum berlari ke arah Twain. Semua pemain bergerak menjauh dari jalur Twain. Mereka semua hanya ingin menghindar dari boss yang tampak muram.      

Twain melangkah dengan susah payah dibawah hujan. Genangan air berlumpur bercipratan dan mengotori celananya saat dia berjalan.      

Dia langsung menuju ke arah Chen Jian yang masih berlutut di air berlumpur. Chen Jian tidak menyadari kedatangannya. Dia masih berlutut disana dengan kepala tertunduk.      

Sebuah suara terdengar dari atas kepalanya.      

"Bangun."     

Chen Jian tidak menanggapi.      

"Bangun!"     

Chen Jian mengangkat kepalanya di seruan kedua dan menatap kosong ke arah Tony Twain yang berdiri di hadapannya.      

Twain mengerutkan alisnya saat melihat wajah linglung yang tampak pucat dan kehilangan cahayanya. Dia lebih suka melihat wajah yang menatapnya dengan tajam sebelumnya.      

Dia membungkuk dan meraih kerah Chen Jian dengan kedua tangannya. Lalu, dia mendorong Chen Jian hingga terjatuh.      

"Kubilang bangun! Untuk apa kau berlutut disana? Apa kau akan bersujud pada seseorang? Aku? Aku tidak peduli pada pecundang yang memohon belas kasihan!"     

Twain membuka mulutnya dan mulai memarahi Chen Jian setelah mendorongnya ke lapangan. Chen Jian tercengang. Tony Twain berbicara dengan bahasa Mandarin yang fasih.      

Twain pernah berbicara bahasa Mandarin saat mereka pertama kali bertemu, tapi sejak saat itu, dia selalu bersikeras untuk menggunakan bahasa Inggris saat bercakap-cakap dengannya, meski akan lebih mudah baginya untuk berbicara dalam bahasa Mandarin daripada menunggu terjemahan kata-katanya. Chen Jian paham bahwa alasan mengapa Twain menggunakan bahasa Inggris saat bercakap-cakap dengannya adalah untuk mendorongnya agar terbiasa dengan kehidupan dan sepakbola di Inggris.      

Sekarang, Twain menggunakan bahasa Mandarin yang tak bisa terdengar lebih lancar dan lebih otentik lagi daripada ini untuk memarahinya.      

"Lihatlah dirimu dan kondisimu yang menyedihkan! Kau terlihat seperti sepetak lumpur yang tergeletak disana! Rumput takkan bisa tumbuh di tempatmu berbaring sekarang! Apa yang kaulakukan? Kenapa kau menatapku? Apa kau kesal? Kalau kau kesal maka bangkit dan pukul aku!"     

Twain melihat dua area yang kering di wajah Chen Jian yang bernoda lumpur. Area itu memanjang dari sudut mata ke ujung hidungnya.      

"Apa ini? Apa kau menangis? Ck ck. Lihatlah dirimu! Yang kaulakukan hanya memainkan satu pertandingan yang buruk dan kau sudah dipenuhi air mata dan ingus. Apa kau pikir ini pertandingan sepakbola taman kanak-kanak?"     

Dunn terkejut mendengar Twain mengejek dan memarahi Chen Jian dalam bahasa Mandarin.      

Tidak hanya dirinya. Semua orang di pinggir lapangan juga terkejut melihat Twain yang tampak kehilangan kesabaran, meski mereka sama sekali tidak paham apa yang keluar dari mulut Twain.      

"Apa yang salah, Tuan Lumpur? Apa kau memutuskan untuk pulang sambil menangis karena kau bermain buruk dalam satu pertandingan? Apa kau akan kembali ke Cina untuk melanjutkan pelajaranmu dengan rajin dan menemukan pekerjaan setelah lulus lalu merasa puas dengan memainkan pertandingan amatir setelah perutmu buncit? Lalu saat kau sudah tua kau akan membanggakan diri pada cucumu tentang bagaimana kakeknya dulu pernah berlatih selama setahun di tim pemuda Nottingham Forest, yang menjadi juara Eropa! Bagaimana kalau cucumu bertanya padamu apa yang terjadi setelah setahun? Apa yang akan kaukatakan padanya? Kau akan bilang padanya, 'Ah, kakekmu tampil buruk dalam satu pertandingan dan menyerah lalu kembali ke Cina sambil menangis.' Menurutmu apa yang akan dikatakan cucumu padamu?"     

Twain menunjuk ke arah Chen Jian yang masih menatapnya dengan bingung dan mencacinya, menambahkan jeda di setiap suku katanya.      

"Kau. Adalah. Seorang. Pengecut! Seorang. Pengecut! Kau takkan pernah bisa mengangkat kepalamu di hadapan cucumu sampai hari kematianmu, seperti seorang pria yang tak bisa mengangkat kepalanya."     

Dunn menganggap teguran Twain sudah melebar kemana-mana. Apa sebenarnya yang membuatnya marah? Kenapa Twain tampak sangat marah? Yang dilakukan Chen Jian hanyalah bermain dengan buruk. Bagaimana mungkin hal itu bisa membuatnya marah? Apa dia tidak menilai penampilan Chen Jian selama ini?     

"Jadi? Apa akhirnya kau sadar bahwa kau telah mengkhayal setelah kau mengalami sendiri betapa kejamnya kenyataan? Biar kukatakan padamu. Ini bahkan bukan sepakbola profesional! Ini hanya pertandingan tim pemuda! Dan pertandingan intra-tim! Apa menurutmu semua mimpi itu mudah diraih? Apa menurutmu selama kau tampak bersemangat seperti karakter utama yang bodoh maka mimpimu akan jadi nyata? Tidak ada yang namanya barang gratis di dunia ini! Kerja kerasmu yang hanya secuil itu tidak ada artinya! Itu tidak ada artinya!" Twain menunjuk ke arah pemain muda yang ada di sekelilingnya, mereka hanya berdiri diam disana dan terpana.      

"Berapa banyak diantara mereka disini yang belum berlatih selama sepuluh tahun? Berapa banyak menurutmu yang bisa sukses di panggung profesional dan tampil di tim pertama Nottingham Forest? Kaupikir siapa dirimu? Kau bukan tokoh utama di novel atau komik. Kau juga bukan jenius. Kau hanya orang biasa! Ratusan orang sepertimu meninggal dunia setiap detiknya di dunia ini!"     

Seluruh lapangan jadi sunyi senyap kecuali suara teriakan Twain yang menggelegar.      

"Satu tahun!" Twain mengangkat jari tengahnya. "Kau ingin jadi pesepakbola profesional setelah satu tahun? Bagaimana mungkin hal bagus semacam itu eksis di dunia ini! Kau bisa bicara tentang mimpimu semaumu, tapi coba saja! Apa kau ingat apa yang kutanyakan padamu saat kau pertama kali datang kemari? Kau bilang kalau kau takkan pernah menyerah. Lihatnya kepengecutanmu sekarang. Apa kau masih punya muka untuk mengucapkan kata-kata yang sama padaku sekarang? Apa kau berani bilang 'Aku tidak akan menyerah, tuan' lagi?"     

Hujan turun semakin deras. Hujan itu membasahi Twain dari ujung rambut sampai ujung kaki, tapi dia tidak merasakannya. Yang dia lakukan hanyalah menatap tajam Chen Jian dengan sepasang mata yang terlihat seolah-olah api akan muncul dari dalamnya.      

"Baiklah. Aku ingin memberimu selamat karena kau bukan lagi bocah kecil bodoh yang hanya tahu bagaimana berpura-pura mengejar mimpinya. Kau sudah matang, kau tahu kenyataan itu kejam! Kau sudah memutuskan untuk memohon ampun di hadapan kenyataan yang kejam. Aku takkan menghentikanmu kalau kau ingin pergi sekarang. Pertandingan ini belum berakhir, tapi pertandinganmu sudah berakhir, nak! Kau sudah kalah dan didiskualifikasi! Kalau kau siap untuk pulang kembali ke Cina sambil menangis, jangan lupa hubungi aku. Aku akan membelikan tiket pesawat terbang untukmu dan bahkan akan memberimu satu pak tisu sebagai hadiah."     

Twain akhirnya menarik nafas setelah berteriak cukup lama dan dia menarik nafas dalam. Dia kembali membungkuk dan menatap Chen Jian. Wajahnya berada tepat di hadapan Chen Jian.      

"Sebelum kau pergi, aku punya satu pertanyaan untukmu. Katakan padaku, siapa namamu, orang gagal."     

Melihat Chen Jian tidak menjawabnya, dia mengulangi pertanyaannya. "Jawab aku! Siapa namamu!'     

Chen Jian menjawab, dengan bibir gemetar.      

"Chen... Chen Jian."     

Tidak ada yang tahu apakah dia gemetar karena takut, atau karena udara yang dingin.      

"Bagus sekali! Chen Jian, Chen Jian. Ibumu melahirkanmu, ayahmu memberimu nama itu. Chen adalah nama belakangmu, dan karakter Cina apa yang digunakan untuk 'Jian'? Itu bukan karakter yang sama dalam kata 'tak terbedakan' dan bukan pula yang digunakan dalam frase 'sepakat'. Itu juga bukan karakter yang ditemukan dalam kata 'bejat' atau yang digunakan dalam kata 'pisau'. Karakter Cina yang digunakan dalam namamu, 'Jian', bisa ditemukan dalam kata 'kuat' dan 'tegas'! Ingat itu. Itulah namamu, Chen Jian!"     

Setelah mengatakan itu, Twain bangkit berdiri dan berbalik untuk melangkah pergi. Dia tidak lagi peduli tentang pertandingan latihan tim pemuda dan tidak repot-repot melihat ekspresi Chen Jian yang masih berbaring di kolam air lumpur itu. Dia tidak berhenti untuk mengambil payung hitamnya dari tanah. Dia langsung melangkah keluar lapangan dan pintu.      

Dunn melihat Twain berjalan keluar dari lapangan latihan. Dia segera meminta maaf pada Greenwood sebelum mengejar Twain sambil memegangi payung di atas kepalanya.      

※※※     

Semua orang di lapangan tertegun. Termasuk diantaranya adalah Chen Jian. Dia masih berada dalam posisi yang sama setelah didorong Twain. Dia tampak termenung dan sama sekali tak bisa mempercayai peristiwa yang baru saja dialaminya.      

Dia merasa ingin menyerah, lalu tiba-tiba saja dia dimarahi oleh manajer tim pertama selama... beberapa menit? Apa yang sebenarnya terjadi?     

※※※     

Dunn berbagi separuh payungnya dengan Twain dan menaunginya dari hujan di atas kepalanya. Dia tadi kembali dengan terburu-buru dan lupa untuk mengambil payung yang dilemparkan Twain ke tanah.     

"Kenapa?" tanya Dunn.      

"Aku tidak tahan melihat semua penakut itu menjadi pengecut di hadapanku. Kalau kau ingin menangis maka lakukanlah sambil bersembunyi di rumahmu! Melakukannya disini sama sekali tidak pantas!" suara Twain masih terdengar kaku. Dia benar-benar marah.      

"Hanya karena itu?" Dunn masih tampak bingung.      

"Dan juga untuk melepaskan stres yang terpendam setelah apa yang terjadi dalam beberapa hari belakangan ini," Twain mengakuinya. Dia memutar tubuh untuk memandang Dunn. "Itu benar. Marahi saja orang lain kalau kau punya waktu. Itu bagus untuk kesehatanmu."     

Dunn tersenyum, "Dan?"     

Twain tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan Dunn. Dia mencari-cari sekotak rokok di dalam sakunya dan baru akan menyalakan sebatang saat dia sadar, dengan kesal, bahwa seluruh kotak rokok itu basah karena hujan dan tidak satupun dari rokok itu yang bisa dinyalakan. Dia meremas sekotak rokok itu dengan tangannya dan membuangnya ke dalam tempat sampah di pinggir jalan. Dia merogoh sakunya yang lain dan kemudian menyerah setelah sadar bahwa dia telah kehabisan rokok.      

"Jujur saja, itu tadi bukan apa-apa. Dia punya mimpi dan sudah sampai sejauh ini, tapi kenyataan juga berada tepat di hadapannya. Yang kukatakan padanya adalah ada dua jalan di hadapannya sekarang. Sisanya dialah yang memutuskan. Tentang apa yang dipilihnya, itu tidak ada hubungannya denganku. Tapi kalau dia memang ingin pulang, aku akan membayarkan tiket pesawatnya dan satu pak tisu seperti yang kukatakan tadi. Aku tidak pernah menarik kembali kata-kataku."     

"Tapi, hanya ada satu jalan." Dunn tidak setuju dengan pendapat Twain. "Mimpinya sudah mencapai jalan buntu."     

Twain tersenyum. "Tidak, bagiku, ada dua jalan. Satu jalan menuju kenyataan," dia menunjuk ke arah Wilford Lane. Itu adalah satu jalan yang lurus dan seseorang nyaris tidak bisa melihat ujungnya.      

"Yang lainnya mengarah ke mimpinya dan itu jalan buntu." Dia menunjuk ke dinding yang mengelilingi kompleks pelatihan.      

"Apa bedanya?" tanya Dunn.      

"Bagi beberapa orang, mungkin tidak ada bedanya, tapi bagi yang lain, ada sebuah perbedaan. Kau memang benar, mimpinya sudah mencapai jalan buntu. Beberapa orang akan memilih untuk berhenti, lalu berbalik dan berjalan kembali menuju ke jalan yang akan membawanya kembali ke kenyataan. Bagaimana dengan yang lainnya? Mereka akan memilih untuk mendorong dinding itu!" Dia mendorong dinding di dekatnya.      

"Ini mungkin akan lebih melelahkan daripada berjalan kembali menuju jalan yang akan membawanya ke kenyataan, dan mungkin juga akan lebih menantang. Ada pula resiko bahwa kepala mereka akan kejatuhan batu bata yang runtuh. Tapi bagaimana mungkin mimpi bisa dicapai dengan mudah? Sangatlah mudah untuk menyerah pada takdir atau kenyataan, tapi kau harus mempertaruhkan hidupmu kalau kau ingin merubuhkan sebuah dinding."     

Twain berdiri di jalan dan bergumam sambil menatap dinding.      

Dunn berada disampingnya dan memegangi payung untuk melindungi mereka berdua dari hujan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.