Mahakarya Sang Pemenang

Sama-Sama Gila!



Sama-Sama Gila!

0Agak sedikit bising di ruang ganti pemain. Semua orang membicarakan tentang babak pertama dan menyatakan pendapat mereka sendiri, atau memberikan saran kepada rekan setim yang lain agar mereka bisa tampil lebih baik. Hanya Fernandez yang duduk di bangkunya dengan kepala tertunduk, memainkan handuk di tangannya. Seolah-olah dia kembali menjadi dirinya yang tidak ramah saat dia pertama kali bergabung dengan tim. Dia masih menyesali tembakannya yang luput di babak pertama tadi.      

Semua pemain melangkah masuk, dan Twain adalah yang terakhir memasuki ruang ganti, pintu ditutup di belakangnya dan suara dari luar hampir teredam sepenuhnya. Mendengar keheningan mendadak di ruang ganti, Fernandez tahu siapa yang datang, jadi dia tetap menundukkan kepalanya. Setelah berinteraksi selama lebih dari setengah musim, dia bisa menduga bagaimana temperamen boss. Tim Forest memiliki peluang untuk unggul menjelang akhir babak pertama, tapi mereka harus menerima hasil imbang karena kesalahan yang dilakukan olehnya. Raja Nottingham Forest pasti merasa sangat, sangat tidak senang, jadi tidak mungkin dia bisa lolos dari omelannya. Sebagai seorang pemain, Fernandez bukanlah pria yang suka membantah ucapan manajer, jadi dia memilih untuk menerima teguran itu dalam diam.      

Ekspresi di wajah Twain setelah dia memasuki ruang ganti menunjukkan kepada orang lain bahwa dia akan memaki. Matanya menyapu ke sekeliling ruang ganti dan berakhir pada seorang pemuda, yang memegangi kepalanya dan memainkan handuk di tangannya.      

Sebenarnya, satu-satunya hal yang dirasakan olehnya saat tembakan Fernandez luput adalah penyesalan, tapi melihat Fernandez berdiri diam di tempat dan bukannya terus berlari untuk menendang bola lepas itu membuatnya marah. Twain bisa mentolerir keberuntungan yang buruk atau tembakan yang buruk, tapi dia tidak akan pernah mentolerir seorang pemain yang menyerah begitu saja.      

Karenanya, dia menghargai tindakan Ibisevic setelahnya – Ibisevic bergegas mendatangi Fernandez untuk menegurnya dan mengekspresikan ketidakpuasannya. Twain merasa bahwa perilaku semacam itu tidak akan mempengaruhi keharmonisan tim. Justru sebaliknya, dia merasa kalau semua orang di tim bisa lebih seperti Ibisevic, maka suasana di ruang ganti akan selalu harmonis. Hal yang dia butuhkan adalah sebuah tim yang ingin menang, bukan tim yang mengorbankan sejumlah hal berharga demi keharmonisan itu.      

Twain langsung berjalan menuju Fernandez, berhenti tepat di depannya dan membuat Fernandez berada dalam bayang-bayangnya. "Matias. Kenapa kau terlihat sangat kesal?" Dia tahu Fernandez bisa memahami ucapannya. Fernandez telah tinggal di Inggris selama setengah tahun, jadi meski masih belum lancar, dia masih cukup memahaminya.      

Fernandez tidak bisa mengabaikan Twain. Dalam bahasa Inggris sederhana, dia tergagap, "Bola itu... tidak masuk...."     

"Hanya itu saja?"     

Fernandez tidak tahu apa yang dimaksud oleh Twain. Selain kesalahan itu di babak pertama, penampilannya biasa saja dan dia tidak membuat kesalahan.      

"Sebenarnya, aku tidak peduli kalau bolanya tidak masuk." Twain menggelengkan kepalanya. "Aku benar-benar tidak peduli. Bagaimanapun juga, kita sudah punya satu gol tandang." Saat suaranya terdengar semakin keras di dalam ruang ganti, perhatian semua orang terarah padanya dan Fernandez.      

"Aku kecewa dengan penampilanmu, Matias," Twain masih berdiri, sementara Fernandez duduk di bangku. Bukannya membungkuk untuk mengatakan ini pada Fernandez, Twain menegakkan tubuh dan memandangnya dari atas. "Aku tidak peduli kalau kau mencetak gol, yang kupedulikan adalah sikapmu. Lihat apa yang kaulakukan setelah kau tembakan pertamamu luput. Kau hanya berdiri disana dan memegangi kepalamu. Kenapa, apa kau diserang lawan?"     

Suara Twain semakin keras dan tajam, dan semua orang berjengit meski mereka tahu ini akan terjadi. Rasanya seperti berada dalam sebuah mobil yang melewati jalanan gunung yang tidak rata dan membenturkan kepalamu ke atap mobil dengan suara keras.      

Twain menggertakkan giginya dan menatap Fernandez. Sepertinya ada percikan api yang keluar dari matanya. "Selama bolanya masih belum keluar batas, kau harus bergerak maju untuk melakukan tembakan! Meski kau menendangnya keluar angkasa, aku takkan mengeluh. Kalau lawan mendapatkan bola lebih dulu, kau harus menendang bola dan dia keluar angkasa!"     

Dengan boss yang pemarah mengomelinya, kepala Fernandez tertunduk semakin dalam. Twain membenci sikap ini. Dia meraihnya dan mengangkat Fernandez dari kursinya. "Angkat kepalamu! Itu hanya gol yang tidak masuk, apa hebatnya tendangan itu? Tak peduli kapan, kau harus penuh semangat juang! Berjuang! Apa itu semangat juang? Semangat juang itu tak mau mengakui kekalahan sampai mati! Itu adalah semangat saat seseorang memanggilmu sampah dan kau bergegas menghampirinya untuk menghajarnya. Jangan tundukkan kepalamu dan diam saja!"     

Dunn sedikit khawatir dengan jantung Twain, jadi dia terbatuk didekatnya, tapi dia sama sekali tidak menduga Twain akan menoleh dan menatap tajam ke arahnya, "Kau sakit atau apa, Dunn?"     

"Eh, ah... tidak, aku tidak sakit," Dunn tahu sebaiknya dia diam saja.      

"Ya, maafkan aku, chief." Fernandez buru-buru minta maaf...      

"Jangan lakukan itu! Kenapa kau harus minta maaf? Semangat juang itu bukan saat seseorang mengomelimu maka kau akan berlutut memohon ampun! Apa yang harus kau lakukan? Apa yang harus kaulakukan?"     

Meski Fernandez masih belum lama berada di Nottingham Forest, sedikit banyak dia tahu apa yang harus dia lakukan. Jadi dia mendongak dan berkata, "Aku akan mencoba menebusnya di babak kedua, chief."     

Twain melepaskan pegangannya pada bahu Fernandez dan menepuknya. Wajahnya mendadak cerah. "Itu bagus. Kelihatannya kau sudah paham."     

Meski Twain dikenal mengomeli orang-orang tanpa ampun, akan lebih baik untuk melihatnya dari sudut pandang yang lain. Kalau kau tidak menganggap ini sebagai "omelan", mungkin itu akan lebih nyaman. Twain sebenarnya mengajarimu untuk menyadari kesalahanmu atau kebodohanmu, hanya saja caranya lebih intens dan lebih kuat, dengan lebih banyak emosi dan metode ekstrim yang terlibat.      

Setelah membantu Fernandez mengetahui kesalahannya, Twain berbalik untuk memandang para pemain di ruang ganti. "Di babak pertama tadi kalian semua tampil bagus. Kita berhasil mencetak gol tandang, dan kebobolan gol tadi..." Dia melirik sekilas ke arah George Wood, "Itu tadi bukan salah kalian." Dia melihat otot wajah Wood sedikit menegang dan Twain merasa senang.      

"Tapi kita perlu melakukan sejumlah penyesuaian. Kelihatannya Quaresma sedang dalam kondisi yang bagus hari ini dan kalau Mourinho pandai, dia akan memanfaatkannya di babak kedua. Kita perlu mengawasinya dengan ketat. George, seingatku kau ada di kanan kan?"     

Wood mengangguk, "Ya."     

Di lini belakang, Wood lebih condong ke kanan sementara Tiago ke kiri.      

"Di babak kedua nanti, kau dan Tiago akan bertukar posisi dan kau bisa condong ke kiri. Saat bertahan, bantu Baines dan Fernandez membatasi gerak Quaresma di sayap."     

Inilah yang paling ingin didengar Wood. Jawabannya terdengar lebih keras, "OK!"     

Tentu saja, Twain tahu apa yang dipikirkan Wood, jadi dia menambahkan, "Cobalah untuk tidak melakukan pelanggaran, dan jangan sampai mendapatkan kartu."     

Meski Wood sudah jarang mendapatkan kartu tanpa alasan yang jelas belakangan ini, Twain merasa perlu untuk mengingatkannya sekali lagi. Membiarkan Wood menjaga Quaresma saat dia sangat berapi-api adalah sebuah pedang bermata ganda yang bisa memotong jarinya sendiri dan membuatnya rugi besar.      

"Guys, Inter Milan ingin memainkan taktik serangan balik defensif andalan kita, jadi di babak kedua nanti kalian perlu lebih memperhatikan pertahanan dibandingkan dengan babak pertama. Kita akan mulai dengan bertahan, dan perlahan mulai bertarung dengan Inter Milan di lini tengah. Setelah situasinya terlihat bagus untuk kita, mereka akan akan semakin gelisah dan meninggalkan taktik Mourinho, selama mereka tidak bisa mencetak gol sampai menjelang akhir pertandingan. Itu akan menjadi kesempatan kita."     

Pepe bangkit dan bertanya, "Boss, apa kau bermaksud mengatakan kita akan bertahan melawan serangan balik di babak kedua?"     

Twain mengacungkan ibu jarinya, "Ya!"     

※※※      

Saat Twain sedang "memberitahu kesalahan" Fernandez di ruang ganti pemain, Mourinho sibuk memberitahu para pemainnya tentang penyesuaian taktis untuk babak kedua.      

Skor pertandingan adalah 1-1 di babak pertama dan meski mengandung beberapa elemen kebetulan, tapi juga menunjukkan sesuatu. Mourinho menemukan satu hal: Inter Milan pasti akan kalah kalau dia masih beranggapan Tony Twain belum berubah.      

Apa yang dimaksudnya dengan 'perubahan'? Dikatakan bahwa Tony Twain sendiri dan timnya tidak terlalu bagus dalam perang posisional. Saat lawan membentuk pertahanan ketat dan menyerang balik Nottingham Forest, Tony Twain dan para pemainnya akan kehabisan taktik dan hanya bisa mengandalkan sejumlah tendangan bebas dan keberuntungan untuk memenangkan pertarungan. Setidaknya kebiasaannya itu tidak berubah sampai Mourinho meninggalkan Inggris.      

Tapi dilihat dari apa yang terjadi di babak pertama, Nottingham Forest tidak bisa dibilang buruk dalam perang posisional. Formasi "Pohon Natal" khusus milik Twain adalah pilihan terbaik untuk bertarung. Serangan pertama dalam perang posisi seringkali tidak penting, yang penting adalah serangan yang diluncurkan setelahnya. Dalam hal ini, akan lebih mudah untuk melakukannya dengan lini depan Nottingham Forest saat ini. Lini tengah memiliki kedalaman yang cukup, serangan mereka memiliki lapisan yang berbeda, pertahanannya juga kuat, jadi tidak mudah bagi lawan untuk menyerang balik setelah serangan tim Forest gagal. Inter Milan juga takkan bisa menembus seluruh area setelah berhasil membobol satu titik saja. Saat tim Forest mengepung lini tengah sambil mempermainkan Inter Milan di babak pertama, mereka terlihat seperti tim yang lebih kuat.      

Mourinho tidak bisa menjamin bahwa Inter Milan akan bisa bertahan jika Nottingham Forest terus bermain seperti ini di babak kedua, jadi penyesuaian harus dilakukan. Dia menduga Twain tidak akan menggunakan taktik menyerang Inter Milan di babak kedua. Setelah dipikir-pikir lagi, dia baru sadar bahwa kalau dia adalah Twain, maka dia takkan menyerang Inter Milan di babak kedua karena itu akan membuka terlalu banyak ruang di belakangnya, yang membuat lawan lebih mudah menyerang balik.      

"... Serangan Nottingham Forest di babak kedua takkan seagresif di babak pertama, jadi giliran kita untuk menyerang. Selain itu, perhatikan bagian belakang kalian sendiri, kalian lihat sendiri betapa tajamnya serangan balik mereka kan? Kalian akan sering melihatnya di babak kedua nanti."     

"Waspadai kedua sayap mereka dan juga serangan balik mereka. Kita juga perlu memperkuat serangan di sayap, sehingga serangan kita bisa menekan serangan mereka. Kali ini, dia melirik ke arah Quaresma.      

Pria Portugis itu mendengarkan pengaturan manajer dengan senyum puas. Bisakah satu pertandingan mengubah nasib seorang pemain? Mourinho tidak menganggap situasi ini ideal, tapi dia memang membutuhkan kekuatan Quaresma dalam pertandingan ini. Dia mengatakan agar mereka lebih memperhatikan serangan di sayap. Quaresma juga salah satu pemain di sayap, jadi maksud ucapannya tadi itu sudah jelas.      

Quaresma merasa senang dengan apa yang ditunjukkan oleh manajer. Dia telah menjadi tokoh figuran di Inter Milan selama beberapa musim dan merasa kecewa karena dia tidak bisa membuat manajer tim terkesan dengan kelincahan kakinya yang luar biasa. Sekarang, pertandingan perdelapan final Liga Champions melawan Nottingham Forest akan menjadi kesempatannya, dan absennya Mancini karena cedera mungkin merupakan pengaturan dari Tuhan. Kalau mereka mempertahankan kondisi dan momentum ini, bisa diduga bahwa dia takkan menjadi pengganti pria Brasil itu bahkan setelah pria Brasil itu pulih dari cederanya.      

Masa depan seperti ini sangat menarik bagi Quaresma yang tidak sabaran untuk mulai bermain di babak kedua, tapi Mourinho juga mengajukan permintaan khusus untuk Quaresma. "Ricardo, jangan membatasi posisimu di sayap. Aku tahu kau suka membawa bola di sayap, tapi kau harus lebih fleksibel di pertandingan ini. Jalur sayap dan jalur tengah sama-sama tersedia."     

Quaresma mengangguk untuk menunjukkan bahwa dia paham; hanya orang bodoh yang akan menggelengkan kepalanya.      

Setelah berbicara para Quaresma, Mourinho memandang para pemain lainnya. "Fokus pertandingan ini adalah mencetak gol tanpa kebobolan gol. Kalian harus ingat, skor 1:1 sama sekali tidak bagus, 2:2 dan 3:3 juga tidak oke! Kalian harus menang dan tidak membiarkan mereka mencetak gol lagi. Kalau tidak, keunggulan kita bermain di kandang tidak akan ada artinya! Tony Twain dan Nottingham Forest menginginkan balas dendam. Tak peduli apa yang dia pikirkan, tak peduli apa yang dipikirkan orang lain, situasinya tidak menguntungkan bagi kita. Kita telah mencapai tepi tebing dan kita akan jatuh kalau kita ceroboh. Kalian semua sebaiknya berhati-hati!"     

Kata-kata terakhir Mourinho adalah pengakuan halus atas kesalahannya sebelum ini. Dia pernah berkata bahwa dia tidak peduli kalau ini adalah pertandingan balas dendam bagi Nottingham Forest dan bahwa mereka harus menganggap ini sebagai pertandingan biasa. Tapi sekarang dia mendapati bahwa itu sama sekali tidak mungkin. Kalau ini adalah pertandingan biasa, maka timnya pasti akan kalah. Karena sejak pertandingan ini dimulai dengan perang pra-pertandingan, dia sudah ditarik ke dalam orbit Tony Twain.      

Tony Twain sendiri kelihatannya punya kekuatan ajaib yang bisa membuat orang-orang yang berinteraksi dengannya menjadi gila.      

Mourinho tidak bisa berbuat apa-apa kecuali menjadi gila bersamanya dan membiarkan para pemain sadar bahwa pertandingan ini berbeda dari pertandingan biasa di masa lalu. Kenapa ini berbeda? Bukan karena mereka telah menghancurkan tim Forest dua musim yang lalu – itu hanyalah sebuah alasan bagi Twain untuk memainkan perang psikologis. Alasannya sederhana:     

Itu karena lawan mereka kali ini adalah Tony Twain.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.