Mahakarya Sang Pemenang

Ciuman Perpisahan



Ciuman Perpisahan

0Setelah masa kuliah di universitas mendekati akhir empat tahun, pengawas kelas dan sekretaris Komite Cabang Liga Pemuda Komunis akan mulai mengorganisir sebuah 'makan malam perpisahan' dimana semua mahasiswa – bahkan mereka yang biasanya tidak dekat satu sama lain – harus hadir. Tentu saja, mahasiswa dalam kelompok-kelompok yang sudah dekat satu sama lain tidak hanya pernah menghadiri makan malam perpisahan semacam ini, melainkan sudah sering menghadiri acara makan malam bersama sebelum ini.      

Twain tidak punya banyak teman di universitas. Meski begitu, ada beberapa mahasiswa yang mendatanginya untuk bersulang selama makan malam perpisahan, mengatakan banyak hal yang tidak pantas sebelum kemudian mendongak dan meneguk habis isi gelas mereka.      

Bahkan ada seorang teman sekelas yang membawa kamera video dan merekam acara makan malam perpisahan itu. Rekaman itu kemudian dibuat dalam bentuk CD dan didistribusikan kepada setiap mahasiswa disana sebagai kenang-kenangan.      

Twain tidak membuang CD yang diberikan padanya, meski dia tidak ingat dimana dia meletakkannya atau apakah dia membawa CD itu bersamanya saat dia pergi ke Nottingham.      

Bagaimanapun juga, makan malam itu memberikan kesan yang mendalam bagi dirinya, begitu dalam sampai-sampai dia tidak perlu menonton kembali video di dalam CD untuk tahu apa yang terjadi. Malam itu, mahasiswa berkumpul dalam dua dan tiga orang lalu mulai berbicara tentang hal-hal yang tidak berani mereka ungkapkan sebelumnya dibawah pengaruh alkohol. Beberapa diantaranya ada yang lucu dan ada yang melankolis. Ada pula mahasiswa yang bicara dengan penuh semangat tentang bagaimana mereka akan menuliskan bab baru dalam hidup mereka di masyarakat, mahasiswa yang sibuk menyatakan cinta pada gebetan mereka, mahasiswa yang berpura-pura mabuk dan berkeliling minta dipeluk oleh para mahasiswi, dan mahasiswa yang akan selalu bersama sahabat baik mereka di universitas dan menghabiskan seteguk demi seteguk dan segelas demi segelas...      

Ringkasnya, hanya ada satu tema yang bisa dihubungkan dengan makan malam perpisahan: putus hubungan, perpisahan atau bubar.      

Meski Twain tahu bahwa Shania bukanlah transmigran ataupun mahasiswa universitas dari Cina sebelum ini, dia tidak bisa menghentikan benaknya yang gelisah untuk memikirkan tentang kemungkinan 'makan malam perpisahan'.      

"Paman Tony. Terima kasih atas semua perhatian yang kau berikan padaku beberapa tahun belakangan ini, tapi kurasa akan lebih baik bagiku untuk pergi jadi aku tidak akan mengganggu hidupmu lagi. Selamat tinggal!"     

Kalau kata-kata semacam ini keluar dari mulut Shania, Twain sama sekali tidak tahu apa yang akan dia rasakan.      

Sepertinya dia sudah terbiasa memiliki Shania di dalam hidupnya.      

Dia sama sekali tidak pernah merasa kalau gadis itu berada jauh darinya dan dari kehidupannya, meski Shania bekerja di Amerika Serikat, dan mereka dipisahkan oleh jarak setengah bola dunia.      

Hanya saja mereka tidak bisa sering-sering bertemu...      

Kata-kata Lisa Aria pagi ini mengirimkan gelombang kejut ke seluruh tubuh Twain.      

Kata 'cemburu' sama sekali tidak pernah muncul di benaknya sebelum ini, tapi sekarang dia dipaksa untuk menghadapi masalah ini. Meski dia belum pernah punya pacar seumur hidupnya, tidak punya rencana untuk mulai berkeluarga, dan tidak punya pengalaman percintaan yang sukses di masa lalunya, dia masih paham apa artinya 'cemburu', dan dia juga tahu jenis orang seperti apa yang akan cemburu.      

Masalah ini... kelihatannya semakin bertambah rumit.      

※※※     

Kepala Twain berada di atas awan sepanjang pagi itu. Dia tidak bisa memfokuskan perhatiannya pada latihan tim cadangan. Latihan dengan level seperti itu tidak ada hubungannya dengan dirinya, jadi dia hanya memakai kacamata hitamnya dan memikirkan tentang masalah pribadinya di pinggir lapangan.      

Tidak ada sesi latihan sore hari, jadi semua orang memutuskan untuk langsung pulang ke rumah setelah sesi latihan pagi berakhir siang itu. Dunn tadinya berniat untuk pulang bersama Twain, tapi dia ditolak.      

"Ada sesuatu yang harus ku..." Twain menyadari Dunn yang kelihatannya tidak terkejut, dan dia buru-buru menjelaskan, "Kali ini aku jelas tidak akan pergi ke bar untuk mencari cinta-satu malam."     

"Aku tahu. Ada hubungannya dengan Shania, kan?"     

Twain mengangguk. "Dia menghubungiku dan menyuruhku makan siang bersamanya. Oh ya, Dunn, menurutmu apa yang akan dikatakan Shania padaku?"     

"Selamat ulang tahun."     

"Dia sudah mengatakannya padaku di rumah kemarin malam."     

"Itu tadi dariku untukmu. Hari ini ulang tahunmu. Soal apa yang akan dikatakan Shania padamu, bagaimana mungkin aku bisa tahu?"     

Twain memikirkannya sesaat dan sadar bahwa apa yang dikatakan olehnya memang masuk akal. Dunn bukanlah ahli percintaan dan dia jelas bukan Shania. Bagaimana mungkin Dunn bisa tahu tentang hal-hal semacam ini? Pikirannya sedikit kacau pagi ini.      

"Apa sebaiknya aku pulang dan ganti pakaian?" Twain merentangkan tangannya dan memutar badannya untuk Dunn.      

"Tidak perlu. Maksudku adalah, kau akan tetap terlihat sama tak peduli apa yang kaupakai. Pergi saja langsung kesana," kata Dunn sambil tersenyum.      

Karena itu, Twain langsung pergi tanpa berganti pakaian. Tentu saja, dia tidak lupa membeli sebuket bunga dalam perjalanan, berniat untuk menggunakannya saat meminta maaf pada Shania.      

Dia harus minta maaf karena apa?     

Paman Tony tidak seharusnya membawa wanita panggilan ke rumah...      

Ah, Nona Lisa Aria, tolong korbankan dirimu sekali lagi!     

※※※     

Twain memasuki mobil Landy dan mereka mengarah ke Beeston, yang terletak di barat daya Nottingham. Ini adalah pertama kalinya Twain mengunjungi tempat ini, karena Beeston terletak sangat jauh dari pusat kota Nottingham. Sebuah sungai memisahkan kota kecil ini dari Clifton, dimana pekerjaan konstruksi sedang dilakukan untuk membangun stadion baru Nottingham Forest.      

Twain mengamati jalan-jalan diluar jendela dengan penasaran dan baru sadar bahwa taksi yang dinaikinya berhenti di dekat sebuah gang sempit.      

"Tony, restoran Cina yang kauberitahukan padaku seharusnya ada di sekitar sini... Tapi aku tidak melihat ada toko disini..."     

Landy, si pengemudi taksi, menolehkan kepalanya kesana kemari di kursi pengemudi dan menunjuk keluar jendela. Ada sebuah kotak menyala di gang itu dengan tulisan 'NOSH Sichuan Restaurant' tertulis di atasnya dengan kombinasi huruf Inggris dan Cina.      

"Ada papan namanya tapi tidak ada toko. Restoran Cina memang misterius."     

Twain tersenyum sambil menepuk bahu Landy. "Di Cina, ada pepatah yang mengatakan bahwa restoran yang paling lezat dan paling otentik akan selalu ada di tempat-tempat yang tak terlihat. Restoran yang terlihat paling kumuh memiliki masakan yang paling enak. Terima kasih, Landy."     

Twain mendorong pintu mobil hingga terbuka dan melangkah keluar. Dia mengikuti tanda panah yang ditunjukkan dalam kotak menyala itu dan langsung menuju ke gang sempit itu. Saat dia keluar dari gang itu, dia melihat NOSH Sichuan Restaurant yang sangat kecil.      

Seorang asing bergerak mendekatinya setelah dia melangkah masuk. Staff dari restoran itu mendatanginya dengan antusias, mengadopsi sapaan gaya Cina untuk konsumen mereka. Ini benar-benar berbeda dari etiket 'gentleman' yang biasanya ditunjukkan di restoran-restoran barat, yang membuat orang-orang merasa seolah mereka dipisahkan oleh selembar dinding kaca. Sambutan dari staff itu membuat Twain merasa seperti di rumah, sesuatu yang sudah lama tak dirasakan olehnya. Ini mungkin perasaan yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang Cina...      

"Tuan, meja untuk...?"     

"Err...." Twain bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan itu. Dia melihat sekilas ke dalam restoran. Saat ini jam makan siang dan restoran kecil itu penuh dengan pelanggan, sebagian besar diantaranya adalah mahasiswa Cina yang belajar di luar negeri. Mereka berkulit kuning, berambut hitam dan bermata hitam, dan berbicara dalam bahasa Cina atau dialeknya, yang membuat orang yang dicarinya jadi jauh lebih mudah ditemukan.      

"Aku ada janji dengannya." Twain memberitahu staff sambil menunjuk ke arah Shania, yang sedang membaca surat kabar di dalam restoran.      

Dia diantarkan ke meja Shania. Gadis cantik itu memandang sekilas ke arah Tony, lalu menurunkan korannya dan menunjuk ke arah kursi yang ada di hadapannya.      

"Duduklah, Paman Tony." Suaranya terdengar sedikit dingin.      

Twain duduk dan menarik nafas panjang, berusaha keras untuk memulai sebuah percakapan. "Baunya seperti cabe."     

"Apa itu artinya tempat ini memang otentik?"     

"Hah?"     

"Aku bertanya ke beberapa orang dan mereka bilang kalau tempat ini adalah restoran Cina yang paling otentik di Nottingham. Mereka juga memberitahuku untuk memesan ini kalau aku datang kemari..." Shania menunjuk ke arah sepiring masakan yang sudah ada di atas meja.      

Twain memandangnya sekilas dan berseru, "Daging Saus Cabe?"     

"Cobalah. Aku tidak tahu seberapa otentik rasanya, tapi mungkin kau bisa tahu setelah kau mencobanya."     

Twain tidak menggerakkan sumpitnya. Dia memandang meja yang penuh dengan masakan Cina yang familiar dan tidak familiar baginya. Ini seperti makan besar, tapi dia sama sekali tidak tahu apa maksud Shania dibalik tindakannya yang memesan begitu banyak makanan.      

"Apa kau tidak nafsu makan? Tidak lapar?"     

"Err... tidak." Twain masih tidak berani menggerakkan sumpitnya. Dia takut itu akan benar-benar menjadi 'makan malam perpisahan' begitu dia mulai makan.      

Shania jelas menafsirkan tindakannya secara berbeda. Dia mengangkat gelas bir disampingnya dan berkata, "Benar juga, aku lupa mengatakan ini. Selamat ulang tahun, Paman Tony."     

Merupakan hal yang kasar membuat seorang gadis mengangkat gelas dan menunggunya melakukan hal yang sama. Twain tidak bisa memahami maksud Shania melakukan ini, tapi dia tetap mengangkat gelasnya. Sebelum gelas mereka saling berdenting, dia bertanya dengan hati-hati, "Kalimatmu yang berikutnya bukan 'selamat tinggal', kan?"     

Shania, yang tampak muram hingga saat itu, tertawa singkat, tapi segera kembali memasang wajah datar dan dingin.      

"Er, kurasa aku harus minta maaf padamu, Shania. Soal kemarin malam..." Dia menyerahkan buket bunga pada gadis itu.      

Shania meletakkan gelasnya dan menerima buket dengan kedua tangan. Dia mendekatkan bunga itu ke hidungnya. Bunga itu harum.      

"Terima kasih, Paman Tony... Tapi aku tidak marah. Kurasa kau terlalu memikirkannya. Aku tidak berhak mengatur tentang bagaimana kau harus menjalani hidupmu."     

"Kau bohong," Twain langsung menunjukkan kebohongannya, "Caramu bicara saat ini kedengaran seperti dibuat-buat."     

Twain merasa sedikit lega setelah dia melihat Shania menerima buket bunganya. Dia ingin menjelaskan peristiwa kemarin malam pada Shania, tapi dia tidak tahu bagaimana harus memulainya atau bagaimana dia bisa menjelaskannya.      

Shania memutar matanya. "Apa yang harus kulakukan supaya terdengar normal? Sebenarnya, aku tidak mentraktirmu makan disini hanya untuk mendengarmu minta maaf atau apa. Ini memang perayaan makan yang sudah kuatur sejak lama."     

"Hah?" Kata-katanya telah membuat Twain merasa seolah dia baru saja terjun ke lautan awan dan kabut.      

"Ini semua adalah makanan yang kupesan tiga hari yang lalu untuk merayakan ulang tahunmu. Akan sia-sia kalau kita tidak memakannya. Selain itu, hadiah ulang tahunmu ada di tempat parkir. Itu mobil jip yang kukendarai kemarin."     

Twain seolah berubah jadi batu. Dia memahami bobot kata-kata Shania meski gadis itu mengatakannya dengan santai.      

Dia bukan orang bodoh. Dia sadar apa yang sedang terjadi. Shania memberinya sebuah mobil untuk hadiah ulang tahunnya begitu saja!     

Tetap saja, itu hanyalah sebuah mobil dan itu sesuatu yang mudah untuk ditentukan harganya, tapi sebaliknya, perayaan makan ini... adalah sesuatu yang tidak bisa ditentukan nilainya.      

Dia sendiri belum pernah mengunjungi restoran mungil yang berada di area terpencil ini dan ini seharusnya adalah restoran Cina yang paling otentik di Nottingham. Dia sama sekali tidak tahu bagaimana Shania bisa memperoleh informasi tentang restoran ini.      

"Aku tahu kau suka masakan Cina... Jujur saja, makanan Inggris memang mengerikan." Shania mengangkat bahu. "Selalu pergi ke bar Burns untuk makan pasti akan memberikan dampak pada tubuhmu suatu hari nanti."     

Twain mengambil sepotong daging dari piring Daging Saus Cabe dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Dia mengunyahnya perlahan.      

Hmm... Rasanya lebih ke asam manis dibandingkan dengan rasa yang asli di Cina. Rasanya juga tidak terlalu pedas. Tapi...      

Dia mengangkat kepalanya dan tersenyum pada Shania. "Ini benar-benar seperti aslinya."     

Senyum kecil muncul di wajah Shania.      

"Bisakah kau berhenti berwajah muram, Shania?" pinta Twain, yang tidak terbiasa melihat Shania memasang ekspresi dingin di wajahnya, seperti yang biasa dilakukan gadis itu saat dia menjadi model yang berjalan di atas catwalk dalam peragaan busana.      

"Tapi aku sedang tidak ingin tersenyum sekarang."     

"Jadi kau memang marah padaku... Jujur saja, itu semua hanya kesalahpahaman. Itu... Wanita itu hanya... Err... Wanita panggilan yang kutemui saat aku sedang minum untuk menghilangkan kesedihanku. Kau tahu kan kalau aku kadang-kadang membutuhkan mereka..."     

"Jadi begitu?" tanya Shania. Dia mengambil surat kabar yang disisihkannya tadi dan mengangkatnya untuk menunjukkannya ke depan mata Twain agar dia melihat headline yang dicetak besar disana.      

"Mengejutkan! Pacar Rahasia Manajer Liga Utama Terkenal, Tony Twain!!"     

"Apa itu seorang wanita panggilan yang berpura-pura menjadi reporter cantik, atau seorang reporter yang berpura-pura menjadi wanita panggilan yang menggoda?"     

Melihat artikel itu membuat Twain ingin membenamkan kepalanya ke piring Daging Saus Cabe yang ada di hadapannya.      

"Reporter itu gila popularitas. Itu hanya omong kosong!" Twain buru-buru berusaha menjelaskan.      

"Omong kosong?" Shania mengalihkan tatapannya dari wajah Twain ke sepetak kecil langit yang terlihat diluar jendela restoran.      

Twain tiba-tiba saja mengingat komentar Lisa Aria tentang 'cemburu' saat dia melihat Shania melakukan ini.      

"Apa Paman Tony berharap artikel ini hanya omong kosong?" Shania kembali mengarahkan tatapannya ke wajah Twain.      

Twain tidak tahu bagaimana dia harus menjawab pertanyaan itu. Dia merasa kalau Shania hari ini tampak aneh. Dia terus mengatakan hal-hal yang membingungkan dan menunjukkan ekspresi yang misterius dan tak bisa dipahami di wajahnya.      

"Apa kau berharap seperti itu?" Shania bertanya lagi setelah melihat Twain tidak menjawabnya.      

Twain tidak punya pilihan kecuali menghadapi masalah ini. Dia mencoba mengingat setiap momen yang dihabiskannya bersama Shania dan terdiam sejenak. Kali ini, Shania tidak mendesaknya untuk menjawab.      

Setelah beberapa waktu, Twain akhirnya mengangkat kepalanya. Dia memandang Shania dan berkata, "Aku tidak tahu."     

Shania tersenyum dan tidak bertanya lagi. Baginya, fakta bahwa Paman Tony tidak langsung mengangguk dan berkata 'ya' membuatnya sangat senang.      

Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing dan mereka melanjutkan makan dalam diam. Suasana saat itu sangat aneh. Setelah itu, Shania membawa Twain ke tempat parkir untuk melihat hadiah ulang tahunnya.      

"Sebuah jip Mercedes-Benz. Kuharap kau menyukainya, Paman Tony," kata Shania yang menunjuk ke arah jip putih saat mereka berada di tempat parkir.      

Twain menyentuh bagian luar mobil yang tampak keren, merasa tidak yakin harus mengatakan apa. Pada akhirnya, yang bisa dilakukannya hanyalah tertawa dan berkata, "Shania, hadiahmu ini terlalu mahal. Yang pernah kuberikan padamu di hari ulang tahunmu hanyalah boneka Totoro yang murah..."     

"Kalau kau suka boneka Totoro, aku juga akan membelikannya untukmu. Kalau itu adalah hadiah untuk seseorang yang memang ingin kauberi hadiah, tidak ada yang terlalu mahal atau terlalu murah." Shania tidak ingin mendengar kata-kata itu dari Twain. Dia menggelengkan kepalanya dan melanjutkan ucapannya, tanpa menunggu respon Twain, "Antarkan aku ke Bandara Heathrow!"     

"Bandara?" Twain tampak terkejut.      

"Aku diam-diam menyelinap pergi kemari. Aku tidak punya waktu untuk bermain-main disini. Aku harus segera kembali."     

"Kau terbang dari Amerika hanya untuk merayakan ulang tahunku?" Twain memandang gadis itu dengan tatapan tidak percaya.      

"Ya, memangnya kenapa?"     

"Bukankah menurutmu... bukankah menurutmu... ini terlalu jauh dan terlalu merepotkan?"     

"Kurasa tidak," Shania menggelengkan kepalanya, "Ini pertama kalinya aku merayakan ulang tahunmu. Aku tidak ingin mengatakan 'Selamat Ulang Tahun' yang kedengaran palsu di telepon."     

"Sebenarnya, aku akan merasa senang kalau kau menelponku untuk mengatakan itu, Shania."     

"Aku tidak merasa senang! Seperti yang kukatakan tadi, tak peduli seberapapun jauhnya, kurasa itu tidak jauh, dan tak peduli seberapapun merepotkannya itu, kurasa itu takkan merepotkan kalau untuk seseorang yang memang ingin kuberi! Sekarang antarkan aku ke bandara!"     

Tanpa menunggu tanggapan Twain, Shania membuka pintu penumpang depan dan masuk ke dalam mobil.      

Twain hanya bisa menggelengkan kepala saat dia membuka pintu pengemudi. Dia sadar bahwa hari ini sangat aneh. Sejak saat dia bertemu Shania, dia tidak pernah memegang kendali dalam interaksi mereka. Dulu tidak seperti ini...     

"Baiklah, aku harus memberitahumu tentang ini. Kemampuan mengemudiku... sangat buruk."     

"Hidupku sudah berada di tanganmu. Lakukan saja semampumu, Paman Tony." Shania mulai memasang sabuk pengamannya saat duduk di kursi penumpang depan.      

Twain merasa kalah.      

※※※     

"Apa kau memikirkan banyak hal belakangan ini, Paman Tony?" tanya Shania pada Twain, yang sedang sangat fokus dalam mengendarai mobil, saat mereka berada di jalan tol M1 menuju London.      

"Itu tidak penting untuk dibicarakan." Twain ingin membuat dirinya terdengar lebih berwibawa tapi dia justru kedengaran lemah.      

"Aku sempat bertanya pada Dunn sebelum ini, dan dia bilang kalau kau semakin sering merokok dan minum dibandingkan dengan sebelumnya. Apa itu karena transfer para pemain?"     

"Normal bagi manajer untuk memikirkan tentang hal-hal seperti itu."     

"Bagaimana mungkin itu bisa dibilang normal? Kau tidak perlu mengandalkan alkohol dan rokok untuk menghilangkan stress-mu. Jujur saja, Paman Tony, aku sangat mencemaskan kondisi kesehatanmu. Apa kau sudah melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum ini?"     

"Apa untungnya melakukan itu?"     

"Lebih baik kau melakukannya." Shania mulai menghitung 'kelakuan buruk' Twain dengan jarinya. "Rutinitas harian yang tidak teratur. Kebiasaan tidur yang buruk. Banyak stress dari pekerjaan. Alkoholik. Banyak merokok. Kurang olahraga... Apa mungkin kau menganggap hidupmu sudah terlalu lama bagimu, Paman Tony?"     

Kalau saja dia tidak sedang mengemudi, Twain akan mengangkat kedua tangannya dan menyerah. Hari ini, dia benar-benar takut dengan gadis ini.      

"Baiklah, baiklah. Aku akan mendengarkanmu. Aku akan pergi dan melakukan pemeriksaan kesehatan besok dan berhenti minum dan merokok setelahnya. Aku akan memastikan hidupku mengikuti rutinitas yang pasti... Tapi aku tidak terlalu peduli dengan stress dari pekerjaan. Tidak ada yang namanya manajer tanpa stres di dunia ini."     

"Akan bagus kalau kau benar-benar bisa melakukan semua itu." Shania jelas tahu tentang seberapa jauh dia bisa mempercayai Twain. Dia mendesah panjang karena merasa putus asa.      

※※※     

Keduanya harus mengucapkan selamat tinggal setelah Twain mengantarkan Shania ke konter check-in di bandara.      

"Lain kali, jangan menyelinap pergi diam-diam. Kau membuat segalanya jadi sulit untuk Tn. Fasal." Twain menyerahkan tas Shania yang dibawakan olehnya. Shania sendiri sudah memakai kacamata hitam berbingkai besar dan sebuah topi lebar.      

"Kalau aku tidak menyelinap diam-diam, akan sangat sulit bagiku untuk bisa menemuimu, Paman Tony." Akhirnya ada sedikit nada enggan dalam suara Shania saat dia berbalik untuk melihat ke arah konter.      

"Apa kau sesibuk itu?" tanya Twain.      

"Sangat sibuk."     

"Er... Setelah musim ini usai, aku pasti akan pergi ke Amerika dan menemanimu bermain disana beberapa waktu." Twain tidak tahu bagaimana dia bisa menghibur Shania dan hanya itu yang bisa dia katakan.      

"Aku harus menunggu 10 bulan untuk itu." Shania cemberut.      

"Lebih tepatnya, 9 bulan. Liga akan berakhir di bulan Mei." Twain mengoreksinya.      

"Itu terlalu lama..."     

Keduanya kembali tenggelam dalam keheningan yang canggung.      

Twain memandang lalu lintas manusia di sekeliling mereka dan mengingatkan Shania, "Sudah waktunya untuk check-in, kan?"     

Shania menganggukkan kepalanya.      

"Kalau begitu... Sampai jumpa, Shania." Twain melambaikan tangannnya untuk mengucapkan selamat tinggal.      

Tapi, Shania tidak memberikan respon dalam cara yang sama dan berkata, "Sampai jumpa, Paman Tony."     

Shania berdiri sangat dekat dengan Twain. Shania masih menundukkan kepalanya dan tadinya menunjukkan keengganan untuk pergi, tapi tiba-tiba saja dia mengangkat kepalanya dan menatap Twain. Tatapannya yang berapi-api mempesona Twain dan membuatnya tak bisa bergerak. Dia tidak tahu apa yang ingin dilakukan Shania.      

Sebuah pengumuman yang meminta para penumpang tujuan Los Angeles agar segera menyelesaikan proses check-in mulai diperdengarkan, tapi Shania masih belum berbalik untuk melangkah pergi. Dia melangkah kecil ke depan, hampir menyandarkan diri ke lengan Twain, lalu dia mengangkat kepalanya dan menempelkan bibir merahnya yang lembut ke bibir Twain.      

Sensasi lembut dan lembab dari bibirnya terasa seperti pisau tajam yang menusuk dan tertanam di benak Twain. Setiap hembusan nafas Shania terasa harum. Twain merasa mabuk saat mencium aromanya, seolah-olah ada segelas anggur berkualitas tinggi yang ditempatkan di depan bibirnya. Baik otak dan tubuhnya tidak bisa merespon, seolah-olah dia baru saja banyak minum. Seluruh tubuhnya kaku dan dia tidak tahu bagaimana harus bereaksi.      

Di sela-sela kesadarannya, dia mendengar Shania berbisik di telinganya, "Mungkin kau menganggap ini terlalu tiba-tiba, Paman Tony. Tapi aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi... Aku mencintaimu, Paman Tony. Aku... cinta... kamu."     

Semua ini terlalu banyak untuk diproses otak Twain. Terlalu banyak kejadian tak terduga yang terjadi dalam rentang waktu satu hari dan dia sama sekali tidak bisa mengikuti semua itu.      

Ciuman Shania tadi sedikit mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh pernyataan cintanya.      

Saat Twain masih berdiri disana dengan linglung, Shania sudah bergerak menjauh dari lengannya sambil terkikik geli.      

"Ini ciuman perpisahan. Sampai jumpa, Paman Tony!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.