Mahakarya Sang Pemenang

Empat Puluh dan Bingung



Empat Puluh dan Bingung

0George Wood berhasil masuk dalam starting lineup di pertandingan antara Inggris melawan FC Andorra dan tampil dengan bagus. Saat dia dikeluarkan dari lapangan di menit ke-80, tidak sulit bagi Inggris untuk memenangkan pertandingan dengan keunggulan dua gol. Sehingga Capello merasa yakin dia bisa menggantinya – saat dia berada di lapangan, lini pertahanan belakang Inggris memang menjadi lebih solid. Tidak hanya pertahanan yang mendapatkan keuntungan. Serangan Inggris juga jadi lebih tajam karenanya. Bagaimanapun juga, semua serangan dimulai dari lini tengah. Capello membuat Wood bertanggungjawab untuk bertahan di pertandingan ini dan semua pemain lainnya menyerang. Sementara untuk "tiga gelandang", Capello tidak menggunakan formasi 4-4-2 yang biasa digunakan Inggris dalam pertandingan ini, melainkan mereka memainkan formasi 4-3-3. George Wood sendirian ditarik ke belakang untuk bertahan, dengan Gerrard dan Lampard sama-sama berada di depan, antara menjadi gelandang serang dan striker bayangan. Ini memaksimalkan kemampuan serang mereka tanpa mengalihkan perhatian mereka untuk bertahan.      

Tapi, masalah inti serangan masih belum terpecahkan. Gerrard dan Lampard adalah pemain penyerang yang sangat mampu dan juga mengambil peranan sebagai playmaker di klub mereka masing-masing. Tapi siapa yang akan menjadi playmaker Inggris?     

Meski, di bidang komputer, CPU dengan dual-core lebih kuat daripada single-core, hal ini tidak akan bisa dipahami semudah itu di lapangan sepakbola. Bagaimanapun juga, manusia bukanlah komputer. Lebih banyak playmaker inti akan bisa mengganggu satu sama lain, dan pada akhirnya tidak ada yang bisa bermain dengan baik. Seperti timnas Brasil saat ini, Dunga sedang pusing tentang bagaimana Kaka dan Ronaldinho bisa sama-sama tampil baik di lapangan.      

Kalau Gerrard menjadi playmaker, maka permainan Lampard akan terbatasi; kalau Lampard yang menjadi playmaker, maka Gerrard tidak akan bisa menunjukkan permainan terbaiknya.      

Kemenangan 2-0 Inggris atas Andorra tidak terhubung secara langsung pada permainan Gerrard ataupun Lampard yang luar biasa. Kedua gol dalam pertandingan itu diciptakan melalui bola mati. Penampilan George Wood hanya bisa memperkuat pertahanan Inggris dan tidak banyak berkontribusi pada serangan tim.      

Setelah pertandingan ini, para pemain Inggris akan tetap tinggal di timnas untuk mempersiapkan diri menghadapi pertandingan kualifikasi pada tanggal 11 September. Capello masih punya waktu untuk menyesuaikan taktik lineup-nya.      

※※※     

Tim Pertama sedang tidak bertanding. Twain menyibukkan diri di tim cadangan selama periode ini, mengawasi pelatihan dan pertandingan para pemain yang tidak bermain di tim nasional untuk Liga Cadangan Utama.      

Aaron Mitchell berlatih keras dan berusaha beradaptasi di posisi barunya sebagai penyerang tengah. Pada awalnya, perkembangannya sangat lambat. Bagaimanapun juga, dia telah bermain sebagai bek tengah selama tujuh tahun dan kebiasaan lama memang tak mudah untuk diubah. Perbedaan antara bek tengah dan striker juga sangat besar. Mengubah posisi itu tidak semudah mengatakannya. Banyak pengetahuan yang terlibat. Mitchell hanya bisa mengeksplorasi dan mengalami sendiri semua itu secara bertahap.      

Perkembangan Sahin membuat Twain senang. Dengan bantuan psikiater dan pelatih, Sahin berusaha untuk tidak menjauhkan diri dari konfrontasi fisik di lapangan. Pada awalnya dia sedikit gugup dan takut, tapi pada akhirnya dia berhasil melakukannya. Twain memutuskan untuk membiarkan Sahin bermain di EFL Cup mewakili tim Forest bulan depan. Kalau Sahin bisa kembali ke kondisinya sebelum cedera, Federasi Sepakbola Turki harus mengirimkan panji-panji mereka ke Twain dan Nottingham Forest.      

Di akhir sesi latihan, Twain kadang akan mengundang Kerslake dan Dunn untuk nongkrong dan minum sama-sama di bar Burns – tentunya Dunn masih minum minuman non-alkohol. Twain akan mengobrol dengan Big John, Skinny Bill dan anggota geng yang lain lalu pulang ke rumah bersama Dunn.      

Hidup itu sederhana.      

Tapi, kalau dia sedang tidak sibuk atau sedang tidak minum dan bersama teman-temannya, Twain akan merasa sedikit kesepian. Rumahnya tidak bisa dianggap kecil dan tidak ada orang lain disana. Setiap malam sebelum dia pergi tidur atau menuju ke kamar mandi untuk buang air kecil, dia akan harus melewati kamar Shania. Kadang-kadang dia akan berhenti sebentar untuk melihat ke dalam.      

※※※     

"Hey, Tony. Apa kau mau minum-minum malam ini?" Usai latihan, Kerslake mengajak Twain dengan hangat. Dunn juga memandang ke arahnya.      

Tanpa diduga, Twain menggelengkan kepalanya dan menolak tawaran itu. "Ada yang harus kulakukan. Aku tidak bisa pergi. Kalian saja yang pergi."     

Kerslake memandang Dunn dan baru saja akan membuka mulutnya saat Dunn berbicara, "Kalau begitu, aku akan langsung pulang ke rumah." Dia sama sekali tidak tertarik dengan bar. Dia hanya pergi kesana karena Twain ingin pergi kesana, dan mereka bisa mengobrol bersama. Karena hari ini Twain tidak mau pergi, maka dia tidak perlu pergi ke tempat yang tidak terlalu disukainya.      

Kerslake menghela nafas panjang, "Baiklah. Karena kau tidak mau pergi, apa yang akan kulakukan disana sendirian?"     

Twain tergelak, "Kau sebaiknya pulang ke rumah dan menghabiskan waktu dengan istrimu, David! Seorang pria yang sudah berkeluarga seharusnya tidak pergi ke bar sepanjang waktu."     

Kerslake hanya mengangkat bahu dan melangkah pergi. Twain memandang Dunn, "Kau juga sebaiknya pulang."     

Dunn mengangguk dan berbalik untuk melangkah pergi tanpa bertanya tentang apa yang akan dilakukan Twain.      

Apa yang ingin dilakukan Twain? Sebenarnya, dia masih akan pergi minum, tapi di lingkungan yang berbeda. Dia tidak ingin pergi ke bar Burns hari ini, karena ada terlalu banyak kenalannya disana. Seseorang akan selalu datang menghampirinya untuk mengobrol sambil membawa minuman. Dia tidak akan bisa diam disana selama satu menit.      

Kenapa dia tiba-tiba memutuskan untuk minum alkohol di bar yang berbeda? Karena dia tiba-tiba saja teringat bahwa besok adalah hari ulang tahunnya, ulang tahun Tony Twain.      

Dia sudah tinggal di Inggris selama lima tahun, dan tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya. Tahun pertamanya adalah karena dia tidak ingat dengan ulang tahun si pemilik tubuh ini. Ingatannya yang hilang pada tahun itu cukup serius dan dia tidak bisa mengingat banyak hal. Sekarang dia ingat beberapa diantaranya dan masih tidak bisa mengingat sisanya. Tapi, semua itu adalah ingatan jangka panjang dan tidak terlalu mempengaruhinya kalaupun dia tidak mengingatnya. Dalam tiga tahun terakhir, dia tahu bahwa ulang tahun Tony Twain adalah tanggal 9 September, tapi dia tidak mau repot-repot merayakannya. Di satu sisi, itu adalah ulang tahun orang lain. Di sisi lain, dia selalu sangat sibuk. Saat dia mengingat ulang tahunnya, biasanya itu sudah terlewat. Seiring waktu, dia terlalu malas untuk memikirkan tentang hal-hal yang bermakna seperti misalnya ulang tahun.      

Tidak semua orang menganggap serius hari ulang tahun. Twain ingat bahwa sebelumnya dia tidak pernah peduli dengan hal-hal semacam ini. Orang tuanya akan mengurusnya saat dia masih tinggal di rumah. Saat dia sendirian di kota lain untuk kuliah dan bekerja, dia tidak pernah merayakan ulang tahunnya – dia hanya punya sedikit teman dan rasanya konyol kalau dia membeli kue ulang tahun dan meniup lilinnya sendiri. Dia hanya harus mengingat tanggal dan tahun kelahirannya. Tidak perlu melakukan banyak hal mewah untuk merayakannya.      

Dia menduga Dunn dan dirinya adalah jenis orang-orang yang tidak peduli tentang ulang tahun, karena dia tidak pernah melihat Dunn merayakan hari ulang tahunnya sejak dia datang ke Nottingham. Omong-omong, ulang tahun Dunn adalah 8 Agustus, yang sudah terlewat. Hari itu bersamaan dengan pembukaan ajang Olimpiade. Twain sempat bercanda saat itu bahwa pesta ulang tahunnya bahkan diarahkan oleh sutradara Zhang Yimou. Dunn tidak meresponnya, yang membuat Twain merasa kalau dia sudah menceritakan lelucon norak lagi.      

Tapi tahun ini, Twain, yang tidak peduli dengan hari ulang tahunnya, tiba-tiba saja memikirkan tentang itu.      

Karena dia baru saja ingat kalau besok, tubuh yang ditempatinya ini akan berusia empat puluh tahun...      

※※※     

Empat puluh tahun!     

Itu adalah usia yang menakutkan.      

Twain masih memikirkan tentang ini saat dia duduk dan minum sendirian di sebuah bar di pusat kota Nottingham, yang belum pernah dikunjunginya.      

Sebelum ini, dia tidak pernah peduli dengan usianya. Bisa dikatakan bahwa setelah pindah kemari, dia selalu merasa usianya seharusnya dimulai dari dua puluh enam tahun. Dengan begitu, dia hanya akan berusia tiga puluh satu tahun ini. Masih banyak orang-orang muda yang belum menikah pada usia ini di Cina.      

Kenyataan itu kejam. Dia bisa merasakan tubuhnya mulai menua perlahan, yang terjadi secara alami dan tidak bisa dihentikan. Dia juga tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Meski di dunia sepakbola, media dan yang lainnya masih menganggapnya sebagai "manajer muda" dan mengatakan bahwa dia "muda dan menjanjikan", sepakbola adalah dunia yang spesial. Disini, seorang pemain berusia 30 tahun dianggap sebagai "seorang veteran".      

Empat puluh tahun itu benar-benar tua.      

Seperti pepatah Cina yang mengatakan: Di usia tiga puluh, aku berdiri tegak. Di usia empat puluh, aku tak punya keraguan.      

Seseorang yang berusia tiga puluh tahun seharusnya sudah menetap dan mengembangkan karirnya. Dia sekarang berusia empat puluh tahun dan masih lajang – sejak saat ini dia harus melihat dirinya sebagai seseorang yang sudah benar-benar telah hidup selama empat puluh tahun.      

Dia merasa kalau dia harus mulai memikirkan tentang "sebuah keluarga".      

Kamar bujangan yang berantakan itu perlu dibersihkan. Dia tidak bisa selalu mampir untuk makan di bar Burns usai kerja. Masturbasi dan wanita panggilan tidak selalu bisa menemani seseorang seumur hidup... Yang lebih penting lagi, dia bukan jenis orang yang tidak ingin menikah, bukan homoseksual, bukan frigid, tidak pernah dilukai oleh wanita saat dia masih muda, bukan pula psikopat, anggota "pasukan romansa dan anti-masyarakat", juga tidak menentang konsep masyarakat, wanita ataupun keluarga. Tapi dia tidak punya tempat untuk menenangkan hatinya yang kesepian. Di malam yang sunyi ini, dia merasa menderita.      

Belakangan ini saat mereka minum-minum bersama, Kerslake akan selalu melihat ke arah arlojinya saat sudah waktunya. Lalu dia akan mengoceh dan mengeluh tentang bagaimana istrinya akan mengomelinya kalau dia pulang terlambat. Meski dia banyak bicara tentang bagaimana "dia tidak bisa minum sepuas hati karena itu akan memicu masalah dengan seorang wanita di rumah", dia akan selalu mengucapkan selamat tinggal pada Twain dan bergegas pulang untuk menemani istrinya.      

Twain bertanya pada Dunn sebelum ini. Apakah Kerslake ingin tinggal dan minum beberapa gelas lagi, atau apakah dia ingin pulang untuk menghabiskan waktu dengan istrinya?     

Dunn memikirkannya dan menggelengkan kepala sambil mengatakan kalau dia tidak tahu.      

Twain menganggap Kerslake tidak bisa memahami perasaan seseorang yang tidak punya keluarga. Saat memikirkan tentang keluarga, Twain merasa terganggu. Dia menelan seteguk alkohol berwarna kuning keemasan itu ke dalam tenggorokannya.      

Dia sadar bahwa lingkungan sosialnya sangatlah kecil. Selain sepakbola, hanya ada lebih banyak sepakbola. Dulu dia menganggap tidak ada yang salah dengan ini. Inilah kehidupan yang dia inginkan. Sekarang saat dia ingin menemukan seorang wanita di lingkungan sosialnya yang telah dikenalnya dan mau menemaninya menghabiskan sisa hidupnya, dia tidak bisa menemukan wanita itu – 99.9% orang-orang di dalam kehidupannya adalah pria.      

Sebenarnya, Dunn juga sama sepertinya, tapi Dunn masih muda dan baru saja berusia dua puluh tujuh tahun. Masa depannya masih panjang. Dia punya banyak waktu untuk merencanakan hidupnya dan bertemu dengan orang yang disukainya. Untuk pertama kalinya, Twain merasa waktunya sempit. Sepuluh tahun akan berlalu begitu saja dan dia akan berusia lima puluh tahun, setengah abad... Sebelumnya dia tidak pernah memikirkan tentang usia ini. Sekarang dia merinding saat memikirkannya.      

Bagaimana mungkin ada seorang wanita yang menginginkan seorang pria paruh baya berusia empat puluh tahun dengan karakter eksentrik dan temperamen yang buruk?     

Ini adalah bar yang ramai, bukan karena ada banyak orang yang mengobrol dengan suara keras, melainkan karena suara musik yang keras dan pria serta wanita muda menghabiskan waktu mereka bersenang-senang. Ini bukan pub tradisional melainkan sebuah pub yang lebih bergaya dan lebih muda, mirip seperti diskotik.      

Twain memilih tempat ini secara acak. Dia tidak suka dengan musik yang berisik seperti ini, yang tidak menyentuh hati seperti lagu-lagu yang dinyanyikan di tribun stadion City Ground. Tapi dia bisa membuat dirinya tuli terhadap musik dan kebisingan disana. Dia hanya duduk sendirian di sudut, menenggak minumannya gelas demi gelas. Dia merasa terganggu oleh beberapa hal dan kalau dia merasa terganggu, dia akan minum sampai dia mabuk, lalu masalah itu pasti akan hilang.      

Dalam kondisinya ini, dia masih berhasil menarik perhatian seseorang di sudut tempatnya minum.      

"Boleh aku duduk disini?" Suara seorang wanita terdengar di telinga Twain.      

Twain menatapnya. Itu adalah seorang wanita dengan rambut coklat dan kulit putih. Dia memegang gelas anggur dan tersenyum sambil duduk di sampingnya. Twain tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena dia sudah mabuk dan pandangan matanya buram.      

Dia tidak asing lagi dengan ucapan pembuka seperti ini, yang sering diterimanya dalam sejumlah kesempatan. Lawan bicaranya pasti wanita cantik yang berpakaian seksi. Mereka akan duduk sambil tersenyum saat ada orang yang mengundang mereka untuk minum, dan kemudian orang itu bisa melakukan apapun yang dia inginkan...      

Twain sedang tidak mood. Dia tidak datang ke bar yang asing ini untuk melampiaskan kebutuhan fisiknya. Tapi saat dia melihat rambut wanita itu berwarna coklat, dia merasa ragu dan berubah pikiran.      

"Bukannya kau sudah duduk disini, nona?"     

Wanita itu tersenyum.      

"Kau sangat cantik, nona." Itu adalah pujian palsu, dan semacam refleks karena insting. Twain akan selalu mengatakan ini saat dia bertemu dengan wanita yang mengambil langkah pertama. Saat ini dia tidak bisa melihat tampilan wanita itu karena dia sudah terlalu banyak minum dan juga karena cahaya yang remang-remang. Apa yang tertangkap oleh matanya adalah bidang luas berwarna putih – wanita itu hanya memakai sedikit pakaian.      

"Apa ada masalah, nona cantik?"     

"Aku penasaran tentang kamu. Boleh?" wanita itu tertawa.      

"Itu bisa dianggap sebagai alasan." Twain mengangguk, kemudian menyipitkan mata sambil memandang ke arah wanita itu dan bertanya, "Apa kau tahu siapa aku?"     

Wanita itu memandang ke sekeliling. Pria dan wanita masih berpesta ditemani suara musik yang keras.      

"Apa hubungannya identitasmu dengan kita berdua di malam seperti ini?"     

Keduanya saling pandang dan tersenyum. Ah, ada saling pengertian...      

※※※     

Suara mesin mobil terdengar di jalanan diluar rumah. Setelah beberapa saat, bunyi kunci diputar menggema di dalam rumah yang gelap dan pintu depan akhirnya terbuka. Cahaya lampu jalan di luar menyorot ke dalam, dan dua sosok jangkung muncul di pintu.      

"Ini rumahku. Agak sedikit berantakan.. kuharap kau tidak keberatan, ha." Twain memanjangkan ucapannya karena mabuk sambil menunjukkan bagian dalam rumah kepada wanita yang sedang dipeluknya. "Kau tahu, inilah yang sebenarnya bagi pria paruh baya yang masih lajang...."     

Twain melemparkan sepatu kulitnya dan mulai meraba-raba dalam gelap untuk menyalakan lampu di dalam rumah.      

Saat dia baru saja menyalakan lampu, suara lain yang familiar tiba-tiba saja terdengar dari belakangnya.      

"Kehidupan malammu benar-benar penuh warna, Paman Tony."     

Twain memutar kepalanya dengan terkejut, dan menemukan Shania-nya sedang berdiri di tangga, menatap dingin pada dirinya dan wanita cantik dan modis yang ditemuinya di bar dan sedang berada di pelukannya...      

Ini adalah pemandangan yang aneh. Twain mengira dia terlalu mabuk dan melihat serta mendengar hal-hal yang tidak ada. Dia memandang Shania dan ganti memandang wanita dari bar di sampingnya yang tampak bingung dengan apa yang tiba-tiba saja terjadi.      

Twain merasa otaknya yang sudah dipenuhi alkohol bereaksi sedikit lambat.      

"Oh... apa... yang terjadi...?" Setelah beberapa saat, dia baru bisa mengucapkan kalimat ini.      

"Kelihatannya kau baik-baik saja. Aku lega. Selamat tinggal, Paman Tony. Selain itu, sekarang sudah lewat tengah malam, selamat ulang tahun." Shania mengambil ranselnya dari kamar dan melangkah turun. Dia melambaikan tangannya ke arah dua orang itu dengan ekspresi dingin dan langsung menuju ke pintu. Tak lama setelahnya terdengar suara mesin mobil yang dinyalakan dan sebuah Jip Mercedes putih terlihat melintas dari ambang pintu rumah Twain.      

"Dia, dia..." Wanita itu menunjuk ke arah Shania yang berjalan pergi, tampak terkejut dan bingung.      

Angin dingin dari luar pintu berhembus, dan ada selapis tipis keringat di dahi Twain – Dia mulai sadar.      

Shania datang khusus untuknya dari luar negeri. Hanya saja.. kenapa semuanya jadi begini?     

Kali ini, wanita itu memandang ke arah Twain dengan ekspresi terkejut dan bingung. Twain baru sadar kalau dia masih memeluk wanita itu sampai sekarang. Dia segera melepaskannya dan berkata, "Maaf, maaf... Aku tidak tahu apa yang terjadi. Tapi malam ini aku tidak bisa..." Sambil berbicara, dia menarik keluar beberapa lembar uang dari dalam dompetnya dan menyerahkanya pada wanita itu.      

Wanita itu melihat tindakan Twain dan wajahnya berubah dingin. Dia menatap Twain dan berbicara dalam nada suara yang sama sekali berbeda dari yang digunakannya di bar, "Kurasa kau salah. Aku bukan pelacur, Tn. Tony Twain."     

Setelah mengatakan itu, wanita itu berbalik dan meninggalkan rumah Twain. Seperti Shania, dia naik ke mobilnya dan pergi begitu saja.      

Pada saat ini, Dunn, yang mendengar suara-suara di sebelah rumahnya, datang untuk melihat. Saat dia memasuki rumah, dia menemukan rumah itu kosong kecuali Twain yang berdiri sendirian di dekat pintu, tercenung seolah-olah dia adalah pilar bangunan.      

"Apa yang terjadi? Dimana Shania?"     

Twain menoleh memandangnya, "Kau tahu? Apa kau melihatnya?"     

"Setelah aku pulang, aku melihat lampu menyala di rumahmu. Aku datang untuk melihat karena penasaran. Aku sama sekali tidak mengira Shania akan datang. Aku ingin meneleponmu dan memintamu untuk pulang. Tapi dia bilang kalau dia ingin mengejutkanmu dan tidak mengijinkanku menghubungimu... Dia khusus datang kemari untuk ulang tahunmu dan mengatakan kalau dia ingin memberimu hadiah ulang tahun... Omong-omong, dimana dia?" Sambil berbicara, Dunn memandang sekeliling untuk mencari Shania.      

"Berhentilah mencari. Dia sudah pergi." Twain duduk di sofa dengan tangan menutupi wajahnya dan menggosoknya dengan keras. Dia berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri.      

"Apa yang terjadi?" Dunn juga merasa kalau kali ini suasananya terasa salah.      

"Aku tidak tahu." Twain merentangkan tangannya dan berkata, "Ringkasnya, aku pergi minum dan membawa pulang seorang wanita. Lalu aku melihat Shania. Setelah itu, Shania pergi dan wanita itu juga pergi saat aku akan memberinya uang."     

Dunn memandang Twain dengan tatapan aneh lalu bertanya, "Berapa banyak yang kau minum, Tony?"     

"Aku tidak tahu. Aku tidak menghitung."     

Dunn menghela nafas panjang dan duduk disamping Twain, bergumam, "Inilah sebabnya kenapa aku benci minum alkohol..."     

Kedua pria itu duduk diam di sofa. Pintu rumah masih terbuka lebar dan angin diluar berhembus masuk, membuat mereka sedikit kedinginan.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.