Mahakarya Sang Pemenang

Hey, George



Hey, George

Tiga hari kemudian, Nottingham Forest bertemu Charlton di stadion kandang. George Wood kembali ke starting lineup dan penampilannya tampak solid dan kuat. Dia telah menyapu bersih kondisinya sebelumnya, baik dalam hal bertahan dan menyusun serangan, membuat para pendukungnya berseru, "Saint George sudah kembali!"     

Pada akhirnya, berkat permainannya yang sempurna, tim Forest berhasil mengalahkan tim tamu, Charlton dengan skor 2:0 sehingga mereka bisa menikmati kemenangan pertama mereka dalam dua bulan. Usai pertandingan, media berspekulasi apakah kondisi ibu Wood sudah membaik sehingga memberinya motivasi untuk bermain dengan baik.      

Sebenarnya, saat Wood memberikan assist pada Mitchell untuk mencetak gol pertama di Stadion Crimson, ibunya masih koma di rumah sakit dan tidak sadarkan diri sepanjang hari.      

Twain mengira kalau Sophia kembali tak sadarkan diri, Wood pasti akan melewatkan pertandingan lagi. Tapi, Wood mengejutkannya dengan mengumumkan bahwa dia akan bermain di pertandingan dan sudah siap untuk itu.      

Sebelum dia tampil, Wood dan Twain bercakap-cakap secara pribadi, dan percakapan itu mengklarifikasikan beberapa hal bagi keduanya.      

"Aku masih kapten tim Forest dan tim membutuhkanku."     

Penampilan tim yang buruk sebelum ini juga mempengaruhi Wood. Untungnya, dia ingat bahwa dia masih kapten tim Forest.      

Ketika Twain mengira Wood akhirnya sadar dan akan mengubah pikirannya, Wood menambahkan, "Aku akan terus mempertahankan jabatanku sampai aku pensiun. Tapi aku akan mengumumkannya sesegera mungkin."     

Twain tahu Sophia tidak punya banyak waktu lagi. Dia sering mengalami koma belakangan ini dan tak sadarkan diri untuk waktu yang lama. Dokter dan perawat berjaga di ranjang rumah sakitnya 24 jam sehari dan selalu siap untuk melakukan perawatan darurat padanya kapan saja. Dia tidak ingin kehilangan Wood setelah dia kehilangan Sophia. Meski Wood mungkin tidak akan membunuh dirinya sendiri, apa bedanya antara Wood yang tidak bermain bola dan Wood yang meninggal dunia? Bagi seseorang seperti Wood, kalau dia tidak bermain bola, dia tak akan merasa dirinya eksis. Twain sama sekali tidak bisa membayangkan bagaimana Wood bisa tetap hidup kalau dia tidak lagi bermain sepakbola.      

Tapi, bahkan jika Wood tiba-tiba memutuskan untuk mengikuti jejask ibunya, Twain tidak akan terkejut...      

※※※     

Twain berdiri di pintu kamar pasien, tidak sadar bahwa dia telah menghalangi jalan banyak orang. Dokter dan perawat yang keluar masuk tanpa henti akan membenturnya, satu demi satu, tapi dia berdiri disana seolah dia tidak menyadarinya. Dia terus terpaku di tempat itu, memandang ranjang kosong di hadapannya.      

Itu dua hari setelah kemenangan tim Forest. Sophia berada dalam koma sepanjang hari dan hanya bangun sejenak. Kejadiannya terjadi larut malam, dan Wood berada diluar kamar, sedang beristirahat. Twain juga tidak berada di rumah sakit. Hanya Vivian yang ada bersamanya.      

Twain tidak tahu apa yang dikatakan Sophia kepada Vivian ketika dia bangun. Dia tidak tahu apa yang ada di benak wanita itu ketika dia bangun.      

Apakah dia merindukan kehidupannya, yang dipenuhi banyak rasa sakit dan sedikit kebahagiaan? Ataukah dia memiliki kesadaran baru, menyadari bahwa kematian sebenarnya adalah sebuah kelegaan? Mungkinkah dia benci harus berpisah dengan putranya, George? Hanya ada sedikit sekali orang di dunia ini yang dikhawatirkan olehnya...     

Berdiri di depan kaca jendela tebal, Wood memandang dalam diam ke arah para dokter dan perawat di dalam kamar saat mereka melepaskan peralatan yang digunakan ibunya. Buket bunga di dalam vas yang ada di meja samping ranjang tampak layu. Seorang perawat mengambil buket itu beserta vasnya.      

Sepertinya dia baru akan membuangnya seperti sampah biasa, tapi Vivian menghentikanya.      

Vivian mengeluarkan buket bunga itu dari dalam vas dan menemukan sebuah kartu yang terdapat di dalamnya. Dia mengeluarkannya. Kata-kata berikut tertulis diatasnya: "Putramu benar-benar pemain profesional. Bangunlah dan puji dia. Dia akan sangat senang, Sophia."     

Buket bunga itu dikirim Twain kemarin. Dari pesan itu, kelihatannya Twain tahu bahwa mood Wood masih belum membaik meski mereka telah memenangkan pertandingan. Dia berharap bisa membuat Wood sedikit lebih senang kalau ibunya memujinya. Hanya saja Sophia tidak melihat buket bunga itu ketika dia terbangun sebentar. Wood juga melewatkan kesempatan terakhir untuk mendengar suara dorongan dari ibunya. Ibunya takkan pernah lupa untuk tersenyum dan membelai kepala putranya sambil berkata, "George-ku adalah yang terbaik di dunia."     

Vivian memandang ke arah pergelangan tangan kirinya, yang masih agak merah. Itu adalah tempat dimana ibu Wood meraihnya. Larut malam itu, Sophia tiba-tiba saja terbangun, dan Vivian berada tepat disampingnya saat itu.      

Itu adalah momen kesadaran yang sangat singkat. Sophia bahkan tidak melihat siapa yang ada di depannya. Dia hanya mencengkeram tangan Vivian dan berbisik, "Aku tidak mau mati..."     

Bunga segar itu mengering secepat kehidupan wanita malang itu.      

※※※     

Shania menerima panggilan telepon dari Twain yang memintanya membawa Teresa kembali ke Nottingham untuk pemakaman Sophia.      

Edward Doughty sedang mempersiapkan kertas-kertas untuk Football Association Inggris dalam rangka mengajukan permohonan mengheningkan cipta selama satu menit untuk ibu Wood sebelum pertandingan liga tim Forest yang selanjutnya. Semua pemain Forest akan memakai ban hitam di lengan jersey mereka saat itu. Lawan tim Forest, Sunderland, sudah menyetujui permintaan mereka.      

※※※     

Wood memandang dirinya sendiri di depan cermin kamar mandi. Dia tidak pernah mengurus penampilannya selama berhari-hari. Rambutnya berantakan dan jenggotnya juga tak tercukur. Sekarang, dia melihat George Wood yang segar dan terlihat bersih di cermin. Dia telah merapikan rambut pendeknya dan dagunya juga dicukur bersih.      

Penampilannya tanpa cela, tapi matanya merah, menunjukkan bahwa orang di cermin itu sebenarnya sangat lelah.      

"George!"     

Agennya, Woox, memanggilnya dari luar.      

Wood mendorong pintunya terbuka dan melihat Woox membawa setelan jas hitam di tangannya sambil berkata padanya, "Ganti pakaianmu, sudah waktunya untuk berangkat."     

Woox, si pria tua terhormat, selalu memperhatikan penampilannya sendiri. Dulu dia adalah pemain besar di industri agensi hiburan, jadi penampilannya selalu berkelas dan modis. Tapi, hari ini dia membuang semua aksesoris yang tidak perlu, dan hanya memakai setelan hitam yang sangat biasa.      

Wood mengambil setelan itu dan memakainya. Dia keluar dari pintu bersama-sama dengan Woox.      

Setelah berada diluar dan memandang ke arah jalanan yang basah, Wood berhenti sejenak.      

Saat itu hujan.      

"Payung..." Woox mengira Wood mengkhawatirkan tentang cuaca ketika dia berhenti.      

"Tidak, aku tidak membutuhkannya." Wood kembali melangkah ke tengah hujan.      

※※※     

Twain sama sekali tidak khawatir putrinya akan melakukan sesuatu yang memalukan di pemakaman. Teresa yang pandai tampak serius setelah dia melihat kedua orang tuanya tampak muram.      

Itu adalah sebuah pemakaman pribadi dan tertutup. Sophia sendiri tidak punya saudara atau teman di Inggris. Keluarganya telah sejak lama memutuskan hubungan dan kontak dengannya, meski Wood telah berhasil membesarkan namanya sendiri di dunia sepakbola. Tidak ada kabar berita bahwa anggota keluarga dari Jamaika telah menghubunginya. Tapi dengan temperamen Wood, meski mereka datang kemari untuk memberikan penghormatan terakhir, Wood mungkin akan mengusir mereka keluar...      

Woox hanya mengundang Twain dan keluarganya, serta para dokter di Royal Hospital of Nottingham University. Mereka telah merawat Sophia dengan sangat baik selama masa tinggalnya di rumah sakit dan sangat teliti saat merawatnya. Meski mereka tidak berhasil menyelamatkan nyawa Sophia, mereka sudah melakukan yang terbaik. Selain itu, dia juga mengundang perwakilan dari Nottingham Forest FC dan teman-teman baik Wood di dalam tim.      

Perwakilan dari klub adalah ketua klub, Edward Doughty sendiri. Tapi, Twain menduga Doughty memiliki motif tersembunyi. Tujuan aslinya mungkin bukan untuk menghadiri pemakaman Sophia.      

Tim Wood diwakili oleh dua temannya, Gareth Bale dan Aaron Mitchell. Meskid ia populer di dalam tim, tidak banyak orang yang bisa dianggap sebagai teman baiknya.      

Pendeta mengakhiri eulogi di makam Sophia. "Dia orang yang baik, semoga dia beristirahat dengan tenang..."     

Twain berpikir dalam hati bahwa mengatakan kata-kata itu di setiap pemakaman adalah hal yang biasa bagi pendeta. Tapi, kali ini, pendeta itu benar. Sophia adalah orang yang baik, tapi sayangnya, hidupnya terlalu singkat. Belakangan ini, ketika Twain sendirian dan tidak melakukan apa-apa, dia akan membiarkan imajinasinya bergerak bebas. Apa tujuan dari kehidupan Sophia yang sulit di dunia ini? Sebelum Wood bertemu dirinya, hidupnya sangatlah menyedihkan. Dia jatuh cinta pada seseorang tapi dicampakkan. Dia membesarkan putranya sendirian dan akan melakukan apapun demi putranya, meski itu artinya harus menjual tubuhnya sendiri. Ketika dia akhirnya melihat putranya sukses setelah melalui banyak kesulitan dan tidak lagi perlu mencemaskan tentang penghidupan mereka, kesehatannya memburuk dengan cepat. Dia tidak bisa menikmati semua kesuksesan yang dihasilkan George. Sementara untuk kasih sayang keluarga, dia tidak merasakannya sebelum melahirkan Wood. Dia juga tidak memiliki hubungan romansa setelah Wood lahir. Kehidupan semacam ini pasti terlihat suram bagi kebanyakan orang, tapi Wood telah menjadi seluruh dunianya.      

Mungkin dia datang ke dunia ini hanya untuk menjadi ibu George Wood.      

Wood berdiri di samping makam, berterima kasih pada mereka yang datang ke pemakaman. Orang-orang berbaris untuk meletakkan bunga ke atas makam. Lalu mereka pergi memeluk Wood, mengatakan beberapa patah kata dan pergi. Keluarga Twain juga berbaris. Twain melihat sosok Vivian Miller diantara perwakilan rumah sakit. Dia memakai gaun hitam panjang hari ini. Keliman gaunnya basah kuyup karena hujan, tapi dia tidak menyadarinya. Setelah meletakkan bunga di tangannya ke atas gundukan makam, dia melangkah ke arah Wood.      

Dari tempat Twain berdiri, dia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Vivian dan Wood. Tapi, dia bisa menebaknya. Itu adalah kata-kata belasungkawa dan semacamnya. Sebagian besar orang akan berpaling dan berjalan menjauh setelah mereka mengatakan kata-kata itu. Tapi Vivian berdiri di belakang Wood dan tidak pergi.      

Sebenarnya, orang-orang yang berdiri disana memiliki hubungan dekat dengan Wood, seperti Bale dan Mitchell yang juga berdiri di belakang Wood untuk menemaninya. Tapi, hubungan antara Vivian dan Wood tidak sedekat itu.      

Twain kembali memandang Vivian. Ekspresi gadis itu sangat alami dan dia tidak terlihat canggung berdiri diantara ketiga pria itu.      

Edward Doughty juga menyelesaikan etiket yang diperlukan. Setelah menghibur Wood, dia tidak segera meninggalkan tempat itu melainkan masih bercakap-cakap dengan Woox. Mungkin, mereka sedang membahas tentang pensiunnya Wood. Setelah kepergian Sophia, orang terakhir yang bisa mengendalikan Wood sudah pergi. Dia pasti akan kembali ke niatnya semula. Edward Doughty tampak khawatir. Dia tidak berduka atas kematian Sophia melainkan khawatir tentang masa depan timnya.      

Setelah Shania meletakkan bunga yang ada di tangannya, dia melangkah menghampiri Wood. Ada jejak air mata di wajahnya karena dia baru saja menangis. Dari semua orang yang datang ke pemakaman, kecuali Wood dan Twain, mungkin dialah yang memiliki hubungan paling dekat dengan Sophia. Meski dia tahu bahwa Sophia pernah mencintai Twain, itu sudah menjadi masa lalu. Dia benar-benar sedih dengan kematian Sophia dan khawatir tentang bagaimana Wood akan menjalani hidupnya di masa depan – dia tahu Wood adalah orang yang seperti apa.      

Wood lebih tua darinya beberapa tahun dan dia selalu menganggapnya sebagai teman baiknya.      

Melangkah mendekati Wood, Shania tidak mengatakan beberapa patah kata tanpa makna seperti "Aku turut berduka" seperti orang-orang lainnya. Dia memeluk Wood dan terisak sambil berbisik di telinganya. Wood mengatupkan bibirnya dengan erat, berusaha mengendalikan emosinya, tapi matanya perlahan memerah saat Shania berbisik di telinganya.      

Pelukan itu cukup lama. Ketika akhirnya Shania menundukkan kepalanya dan melepaskan Wood, sekarang giliran Twain.      

Karena istrinya sudah memeluk Wood, Twain tidak perlu memeluknya. Dia hanya berdiri di depan Wood, dengan canggung menyadari matanya yang merah dan berusaha untuk mengatakan sesuatu.      

"Hey, George..."     

Tanpa diduga, Wood menyela kata-katanya dan bertanya dengan suara serak, "Apa kau akan mengatakan kata-kata bela sungkawa?"     

Twain merasa tidak nyaman, karena George melihat niatannya. Dia menyentuh hidungnya dan tidak tahu harus mengatakan apa.      

"Aku sudah mendengar terlalu banyak kata-kata bela sungkawa belakangan ini. Kalau kau benar-benar ingin membantuku, maka ambillah tindakan demi kebaikanku."     

Mengambil tindakan? Apa dia harus memeluknya seperti yang dilakukan Shania? pikir Twain.      

"Aku sudah kehilangan ibuku. Aku tidak mau kehilanganmu juga!" Suara Wood tercekat dengan emosi. Sungguh jarang melihatnya kehilangan kendali di depan semua orang. Tapi, isi kata-katanya justru lebih mengejutkan. "Setelah pemakaman ini usai, kau akan kembali ke Amerika, kan?"     

Twain sama sekali tidak menduga Wood akan mengatakan itu di situasi ini. Dia melihat tiga orang yang ada di belakang Wood. Aaron Mitchell dan Gareth Bale jelas tidak membayangkan Wood akan mengatakan kata-kata itu. Tapi, melihat wajah mereka, dia sadar bahwa mereka sangat tertarik dengan kata-kata Wood karena mereka tahu apa artinya itu. Nona Vivian Miller juga penasaran dengan hubungan antara Twain dan Wood.      

"Kau harus memulai hidupmu sendiri, George...."     

Twain hanya bisa mengatakan itu untuk menghindari pertanyaan Wood.      

Wood juga tidak mengatakan hal lain. Dia menutup mulutnya dan tidak lagi bicara.      

Twain merasakan suasananya agak canggung, dan dia tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya menepuk bahu Wood dan memutar tubuhnya untuk pergi.      

Seorang pria di belakangnya melangkah maju dan berkata pada Wood dengan suara pelan, "Aku turut berduka untukmu..."     

※※※     

Twain meminta Shania membawa putri mereka ke mobil lebih dulu. Dia ingin mendapatkan satu momen terakhir dengan Sophia. Melangkah ke batu nisan, dia menatap kata-kata yang diukir diatasnya: "Cinta sejatiku". Orang-orang yang tidak tahu mungkin menduga istri George Wood-lah yang dibaringkan untuk beristirahat disini...      

Ah, Sophia, aku benar-benar tidak tahu bagaimana menghadapi putramu. Bisakah kau membantuku sedikit? pikir Twain.      

Gerimis kecil membentur payung Twain dan menimbulkan suara dentum ringan. Foto Sophia di batu nisan yang tersenyum hanya memandangnya dalam diam.      

Twain juga terdiam saat tiba-tiba dia merasakan ada seseorang yang berdiri disampingnya. Dia menunduk kebawah dan melihat ujung sepatu orang itu, yang terkena lumpur dan ada rumput menempel disana.      

"Maaf. Aku tidak bermaksud mengganggumu, Tony." Itu suara Edward Doughty.      

"Ada perlu apa?" Sebenarnya, Twain bisa menebak tentang apa itu.      

"Kudengar Tn. Woox mengatakan bahwa kalau kau kembali, George takkan menyinggung tentang pensiunnya lagi. Apa itu benar?"     

Twain menoleh untuk memandang Edward, yang berdiri disampingnya. Pria itu menatapnya dengan seksama, mengantisipasi sebuah jawaban.      

"Ya, itu saran George." Twain tidak berbohong. Tidak enak rasanya berbohong di depan Sophia.      

"Bisakah aku mengundangmu lagi, Tony? Tolong kembalilah untuk memimpin Nottingham Forest. Kalau kau masih marah dengan hal-hal yang kulakukan padamu empat tahun lalu, aku ingin meminta maaf dengan tulus padamu. Aku akan menyetujui semua permintaanmu, selama kau kembali."     

Twain mendengus. "Supaya kau bisa menjual tim dengan harga yang bagus?"     

Edward menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku sudah memutuskan untuk tidak menjual klub."     

"Apa itu karena dorongan hati?"     

"Tidak, aku sudah memikirkannya matang-matang setelah aku mendatangimu hari itu. Aku tidak bisa terus menjadi ketua klub. Aku akan berusia enam puluh tahun ini, Tony. Kau selalu bilang kalau kau adalah pria tua, tapi aku sepuluh tahun lebih tua darimu. Putra sulungku adalah penggemar setia sepakbola. Dia tidak sepertiku. Dia telah mencintai sepakbola sejak kecil dan selalu tertarik untuk menjalankan sebuah klub sepakbola. Saat aku hanya ingin menjual tim Forest untuk mendapatkan harga yang bagus, aku tidak pernah memikirkan tentang dirinya. Aku berencana untuk meninggalkan klub dan membiarkannya mengambil alih. Dia mencintai sepakbola dan mungkin dia bisa melakukannya lebih baik daripada aku. Tidak dalam waktu dekat, tentu saja. Aku ingin tetap tinggal beberapa tahun lagi dan menebus tahun-tahun yang kusia-siakan. Lalu aku akan pensiun dengan tenang. Ketika saatnya tiba, kita bisa pensiun sama-sama. Bagaimana menurutmu?"     

Twain menatap mata Edward. Edward tidak bergeming, membiarkan Twain menatap tajam ke arahnya.      

"Aku tidak ingin berbohong di depan ibu yang luar biasa ini. Tony, aku sudah lelah dengan topik-topik yang tak terkait sepakbola dari kursi ketua. Aku lelah dengan orang-orang yang hanya ingin memanfaatkanku lalu pergi. Aku lelah kalah dalam satu demi satu pertandingan dan aku lelah melihat spanduk yang tergantung di tribun, menyerangku... Ketika kau masih ada, hal-hal seperti itu tidak pernah terjadi. Jujur saja, aku sudah lelah dengan empat tahun terakhir ini. Aku memohon padamu sekali lagi, kembalilah untuk melatih Nottingham Forest. Aku tidak bisa mengembalikan tim ke jalurnya sendirian."     

Ketua klub itu berbicara dengan rendah hati dan menunjukkan isi hatinya di hadapan Twain. Dia tidak lagi menunjukkan sikap bossy dan mendominasi seperti yang dilakukannya ketika dia memutuskan hubungan dengan Twain. Di tengah hujan gerimis, Edward Doughty, yang celana dan sepatunya dibasahi hujan, tampak menyedihkan dan putus asa di depannya.      

Twain tahu bahwa hari ini, Allan Adams tidak lagi ada di sisi Edward Doughty. Sepertinya persahabatan mereka sudah berakhir.      

"Biar kupikirkan dulu. Ini bukan hal kecil," Twain angkat bicara.      

Ketika Edward mendengar jawaban itu, wajahnya menunjukkan ekspresi terkejut. Twain sudah menolaknya dua kali sebelum ini.      

"Jangan terlalu senang dulu, Edward. Kalau istriku tidak setuju, aku takkan menentang keinginannya."     

"Ya, aku paham." Edward buru-buru mengangguk karena takut membuat Twain kesal.      

Memandang ketua klub itu, yang tidak lagi tampak mengesankan, Twain hanya menggelengkan kepalanya dan berbalik untuk pergi.      

※※※     

Setelah memasuki mobilnya, Twain tidak segera menyalakan mesinnya. Dia menoleh dan memandang ke arah putrinya, Teresa, yang memakai sabuk pengaman di kursi belakang dan Shania, yang duduk di kursi penumpang depan.      

"Kau pasti sangat lelah saat aku tidak di LA, karena harus bekerja dan mengurusi Teresa."     

"Tidak apa. Teresa sangat patuh. Kalau aku sedang sibuk, dia akan bermain sendiri. Aku membawanya ke lokasi syuting dan pagelaran busana. Dia sangat penasaran dengan semua yang ada disana.'     

Shania juga memandang ke arah Teresa yang selama ini berkelakuan baik.      

"Apa yang dibicarakan Edward Doughty denganmu?" Shania, duduk di mobil, juga melihat Twain dan Edward berbicara di depan nisan barusan.      

"Dia ingin aku kembali dan melatih Nottingham Forest." Sambil Twain mengatakan itu, dia juga mencari perubahan dalam ekspresi istrinya.      

"Apa kau menolaknya?" Tidak ada yang bisa ditemukan dari wajah cantik Shania.      

"Tidak... Tapi aku juga tidak bilang iya," Twain mengakui.      

Sudut bibir Shania tiba-tiba terangkat ke atas. Senyumnya mengandung sedikit godaan, yang sudah familiar bagi Twain. "Aku ingat apa yang dikatakan George padamu barusan," katanya. "Ada begitu banyak orang yang ingin kau kembali."     

Mendengar nada suaranya yang sedikit cemburu, Twain buru-buru berkata, "Kalau kau tidak setuju, aku akan menolak mereka. Lalu kita akan kembali ke Amerika."     

"Kalau begitu, Sophia pasti akan sedih, bukan? Bukankah dia mempercayakan Wood padamu?"     

Sebagai suaminya, Twain memberitahu istrinya segala hal yang terjadi selama dia berada di Inggris bersama Sophia. Karenanya, Shania juga tahu apa yang dikatakan Sophia pada Twain untuk yang terakhir kalinya.      

Twain sedikit ragu dan berkata, "Tapi aku tidak ingin mengecewakanmu..."     

Shania menguap dan berkata, "Tiba-tiba saja aku lelah dengan Kakek Tony yang tidak melakukan apa-apa selain membesarkan anaknya di rumah. Kalau kau ingin melakukannya, bilang saja iya. Kita pulang sekarang. Aku harus tidur sebentar. Aku masih belum pulih dari jet lag setelah kembali dari Amerika."     

Bukannya menyalakan mobilnya dengan patuh, Twain menoleh ke belakang dan berkata pada Teresa, "Teresa, maukah kau menutup mata?"     

Teresa tidak tahu kenapa, tapi dia menutup matanya dengan patuh.      

Shania juga bingung. Lalu Twain tiba-tiba menariknya ke dalam pelukannya dan menciumnya dalam-dalam.      

"Wow – oh..."     

※※※     

Bahkan ketika Bale dan Mitchell mengucapkan selamat tinggal pada Wood, Vivian tetap berdiri di belakangnya.      

"Apa kau tidak kembali, Nona Miller?"     

"Aku agak khawatir denganmu, Tn. Wood..." kata Vivian lembut. "Kau tidak berada dalam kondisi pikiran yang baik..."     

"Kita tidak sedang berada di rumah sakit," kata Wood tanpa basa-basi. Dia sedikit tidak sabaran. Perawat itu benar. Dia tidak berada dalam kondisi pikiran yang baik.      

"Ini bukan tentang pekerjaan. Aku bisa merasakan kau berjuang keras secara emosional beberapa hari belakangan ini, dan aku mengkhawatirkanmu..."     

"Aku bukan anak kecil lagi!" teriak Wood.      

"Meski kau lebih tua dariku, Tn. Wood, kau benar-benar tidak dewasa di mataku. Kau adalah seorang anak yang masih belum dewasa!" Vivian juga sedikit meninggikan suaranya dan membalas, tak mau kalah.      

Wood menoleh untuk memandang wanita muda itu, yang balas memelototinya. Itu seperti saat dia berusaha menerobos masuk ke dalam pintu kamar ruang rawat hari itu, dan Vivian menolak untuk mundur.      

"Kau butuh istirahat, Tn. Wood!" Vivian sama sekali tidak mau mundur.      

"Aku tidak memintamu menjadi perawatku."     

"Aku mengatakan ini karena... kepedulian sebagai teman."     

"Apa kita teman?" Wood balik bertanya.      

"Kurasa begitu," Vivian berdiri lebih tegak dan berbicara dengan berani.      

Di hadapan perawat yang telah merawat ibunya dengan penuh perhatian, tak peduli seberapa sulitnya itu, seberapa lelahnya dia dan tak peduli berapa banyak malam-malam tanpa istirahat yang dilewatinya tanpa mengeluh, George Wood benar-benar tidak bisa berbicara kasar atau berusaha mengusirnya. Dia adalah orang yang tahu berterima kasih. Kalau tidak, dia tidak akan mengikuti Twain selama ini.      

Tanpa daya, Wood hanya menghela nafas dan berbalik untuk berdiri di tempatnya, memandang foto ibunya di atas nisan. Dia tidak mengatakan apa-apa lagi.      

Di belakangnya, Vivian juga sama keras kepalanya dan berdiri bersamanya. Keduanya terlibat dalam sebuah pertarungan tekad dan ketahanan tanpa kata.      

※※※     

"Mau tahu apa yang kukatakan di telinga George saat aku memeluknya?" kata Shania, yang bersandar di kursi penumpang depan dalam perjalanan mereka pulang ke rumah.      

"Apa yang kau katakan?" Twain benar-benar tertarik karena dia membuat mata Wood memerah dengan kata-kata itu. Twain sendiri tidak punya kekuatan seperti itu.      

"Aku hanya menyanyikan beberapa frase sebuah lagu dan mengatakan beberapa kata," Shania bersenandung lembut.      

"Hey, George, jangan membuatnya jadi buruk... dan kapanpun kau merasakan sakit. Hey, George, hentikan. Jangan memikul dunia di pundakmu. Kau tahu itu orang bodoh yang berpura-pura keren. Hidup selalu punya masa surut... Hey, George, jangan membuatku sedih. Kalau kau menemukan seseorang yang kaucintai, pergilah sekarang dan cintai dia... Hey, George, waktu cepat berlalu, jangan menundanya lebih lama lagi. Jangan selalu mengandalkan orang lain, kau tahu? Kau bisa melakukannya... lakukanlah dengan caramu sendiri... Hey, George, jangan sedih. Ambillah lagu sedih dan buatlah jadi lebih baik. Ingatlah untuk mencintainya selamanya dan memulai hidup baru... untuk jadi lebih baik, lebih bahagia..."     

Itu adalah petikan lagu 'Hey, Jude' milik Beatles, dimana Shania menggantikan kata 'Jude' menjadi 'George'. Makna yang disampaikan lagu itu, menurut Shania, sangat cocok untuk peristiwa itu.      

Setelah dia selesai bersenandung, Shania menyisihkan sehelai rambut yang menutupi dahinya dengan lembut. "Lalu aku berkata padanya, 'Ibumu ingin kau mendengar itu, dan dia ingin masa depanmu lebih baik dan lebih bahagia. Jangan mengecewakannya, George."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.