Mahakarya Sang Pemenang

Pada Usia 50 Tahun, Aku Mengenal Mandat Surga



Pada Usia 50 Tahun, Aku Mengenal Mandat Surga

"Selamat ulang tahun, Paman Tony!"     

Ketika Twain membuka matanya di pagi hari, hal pertama yang didengarnya adalah istrinya, Shania, berkata lembut saat berbaring disampingnya.      

Tapi dia tidak bisa tersenyum. Sebaliknya, dia mendesah dan memandang Shania, yang meletakkan lengan diatas tubuhnya, dengan sedikit kesal. Dia berkata, "Ulang tahun ke-50, apa yang menyenangkan tentang itu..."     

Shania tersenyum lebar, "Aku tidak peduli. Itu menyenangkan selama itu adalah ulang tahun! Selamat ulang tahun, Paman Tony!" Dia mengulanginya, memberikan ciuman selamat pagi lalu Shania melompat bangkit dari ranjang.      

Pelayan dan pengasuh sudah mempersiapkan sarapan di lantai bawah. Karena ada seorang anak di keluarga itu dan mereka tinggal di vila yang besar, Twain tidak lagi bersikeras agar keluarga mereka tinggal sendiri disana. Teresa akan selalu takut ketika malam tiba; rumah itu terlalu besar. Meski semua lampu kamar dan koridor dinyalakan, dia masih takut ada monster yang tiba-tiba saja melompat keluar dari sudut ruangan. Jadi, mereka mempekerjakan seorang pengasuh dan pelayan yang tinggal bersama mereka disana, untuk menambah sejumlah vitalitas di dalam rumah.      

Dan setelah Twain dan Shania kembali ke Inggris bersama Teresa, rumah itu akan dibiarkan ditinggali pelayan dan pengasuh itu.      

Sebuah rumah memang dimaksudkan untuk ditinggali manusia. Kalau tidak, tak peduli seberapa bagus rumah itu, selama tidak ada orang yang tinggal di dalamnya, tingkat kerusakannya akan luar biasa. Selama ada orang yang tinggal disana, rumah itu akan bisa dibersihkan secara teratur dan karenanya terlihat bersih setiap hari.      

Memikirkannya di level ini, Twain tidak lagi peduli dengan privasi mereka...      

Twain juga ikut bangkit dari ranjang, berpakaian dan membersihkan diri. Dan Shania, yang sudah bangun lebih dulu, juga tidak punya kebiasaan menghabiskan waktu di depan meja rias. Selama dia tidak pergi keluar untuk melakukan aktivitas apapun, dia akan muncul dengan wajah segar, tanpa makeup apapun. Meski dia tampak sangat cantik dalam poster promosi, film, iklan dan panggung pagelaran busana, dia masih tetap cantik tanpa makeup. Twain memandangnya untuk waktu lama dan merasa bahwa Shania tanpa makeup tampak lebih cantik.      

Pada saat ini, Shania pergi untuk mengetuk pintu kamar putrinya.      

"Teresa, kau sudah bangun?"     

Ketika putrinya melompat bangun untuk membuka pintu, tiba-tiba saja dia dipeluk oleh Shania yang sudah menunggu di pintu. Shania menggelitik ketiaknya. Suara tawa putri kecilnya itu langsung mewarnai seluruh ruangan.      

Twain mengabaikan ibu dan anak yang sedang bermain-main disana dan pergi sendiri ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Karena kebiasaan, dia memandang bayanganya di cermin. Rambutnya masih hitam, tapi itu bukan asli. Dia menggunakan sisir untuk merapikan rambutnya, dan ada rambut putih yang terlihat dibawah permukaan yang hitam. Semua helaian rambut putih itu mencuat keluar. Sebenarnya, rambut seseorang yang berusia 50 tahun takkan terlalu menggambarkan usia mereka. Hanya saja manajer adalah sebuah profesi yang menggunakan otak dan harus menanggung tekanan mental yang luar biasa besar. Jadi, tidak heran kalau rambut mereka berubah putih lebih cepat daripada orang biasa.      

Twain menyentuh rambutnya yang seputih salju, dan tidak ada yang bisa dia lakukan. Penuaan tubuh tidak bisa dielakkan dengan keinginannya sendiri.      

Hanya saja terlihat ada lebih banyak kerutan di wajahnya dan dia juga tampak agak tertekan. Setelah bertransmigrasi kemari, meski dia memenangkan banyak gelar juara dan menikahi seorang wanita yang cantik, dia juga kehilangan beberapa tahun usianya tanpa alasan yang jelas dan tidak bisa memiliki anaknya sendiri. Dia hanya bisa mengadopsi anak. Ini benar-benar "sepadan dengan membayar untuk apa yang kau peroleh". Dia tidak tahu apakah semua gelar juara dan uang itu sebanding dengan hilangnya usia dan kemampuan untuk memiliki anak sendiri.      

Dia memercikkan air dingin ke wajahnya dan airnya berhamburan kemana-mana. Dengan begini, semua pikiran buruk di kepalanya juga tersiram pergi.      

Sarapan hari ini lebih melimpah dari biasanya. Tentu saja, para asisten rumah tangga itu telah diberi instruksi khusus oleh Shania dan mereka tahu bahwa hari ini adalah ulang tahun ke-50 kepala keluarga di rumah ini.      

"Apa kau punya rencana hari ini?" tanya Shania saat sarapan.      

"Tidak." Twain menggelengkan kepalanya. Dia memang cukup sibuk beberapa hari yang lalu dan akhirnya bisa bersantai hari ini. Selain itu, dia benar-benar bebas hari ini dan mungkin tidak ada yang bisa membuatnya sibuk selama beberapa waktu di masa depan. Twain merasa semakin tua usianya, semakin sedikit makna yang ada dibalik perayaan ulang tahunnya, jadi tidak ada keriuhan besar untuk mengundang orang-orang ke pesta ulang tahunnya. Kalau tidak, rumahnya akan berubah menjadi tempat pesta kelas atas di Hollywood.      

Mungkin beberapa orang suka menggunakan ulang tahun mereka untuk berteman dengan selebritis dan menggunakan kesempatan ini untuk mempromosikan ketenaran dan status mereka. Itu adalah hak istimewa mereka. Tapi Twain tidak suka melakukannya. Di waktu-waktu seperti ini, dia hanya ingin bersama orang-orang yang dikasihinya, meski hanya untuk menonton televisi dari sofa rumahnya. Itu jauh lebih baik daripada harus berurusan dengan semua bintang film itu. Bagaimanapun juga, dia adalah seorang manajer sepakbola dan tidak berasal dari lingkungan yang sama seperti para bintang Hollywood. Dia hanya menjadi bintang tamu dalam film karena senang melakukannya. Dia tidak harus membuat koneksi atau tunduk pada siapapun.      

Kurangnya semangat Twain membuat segalanya sulit bagi Shania. Suaminya itu seharusnya tidak menghabiskan ulang tahun tanpa keramaian sama sekali, bukan? Sekarang adalah ulang tahunnya yang ke-50. Berapa kali seseorang bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-50? Yah, hanya satu. Dia benar-benar enggan menghabiskan hari spesial semacam ini di rumah...      

Melihat Shania pusing sendiri, Twain menyarankan, "Jangan memikirkannya. Aku tidak mau pergi kemanapun."     

"Bagaimana mungkin kita melakukan itu? Bagaimana mungkin kau menghabiskan ulang tahunmu dengan tetap tinggal di rumah?"     

"Aku bisa pergi belanja bersamamu." Twain merentangkan tangannya.      

"Ini ulang tahunmu, bukan ulang tahunku. Bagaimana mungkin kau melakukan sesuatu yang aku inginkan?" Shania membelalakkan mata dan bertanya sambil menatap Twain.      

Dia tidak menduga Twain akan menarik senyumnya dan dia juga tidak menghindari tatapan Shania. Sebaliknya, Twain balas menatapnya dengan serius, seolah ingin melihat hatinya melalui matanya. Dia menatap Shania dengan tegas sampai istrinya merasa malu, lalu dia berkata, "Bagiku, hal yang terpenting bukanlah bagaimana aku merayakan ulang tahunku. Hal terpenting bagiku adalah dengan siapa aku menghabiskan ulang tahunku. Keinginan ulang tahunku adalah bersama denganmu, dan..." dia melirik putrinya, yang sedang sarapan disampingnya lalu melanjutkan, "Teresa. Tidak jadi masalah dimana aku menghabiskan waktuku. Menonton TV di rumah juga bagus, pergi ke supermarket untuk membeli beberapa barang juga bagus. Itu semua sama saja."     

Sebenarnya, masih ada beberapa kata yang tidak dia ucapkan. Tapi mengucapkannya hanya akan membawa sial. Dia takkan menyinggungnya di hari yang bahagia seperti ini. Yang penting adalah semuanya sudah jelas di dalam hatinya.      

Kata-kata Twain, yang diucapkan dari lubuk hati yang paling dalam, menyentuh hati Shania, tapi dia tidak menunjukkannya terang-terangan. Ada pemahaman yang tak perlu dikatakan diantara mereka, jadi tidak perlu ada tampilan yang berlebihan, seperti mata yang berkaca-kaca, berpegangan tangan, atau saling pandang satu sama lain tanpa mengatakan apa-apa... Dia hanya mengerucutkan bibirnya tanpa daya. Dia berkata, "Yah, hari ini adalah hari ulang tahunmu, jadi semua itu terserah padamu."     

Twain kembali tersenyum dan pergi bermain bersama putrinya, Teresa.      

Shania melihat ayah dan anak itu tampak rukun dan hanya bisa mendesah dalam hati. Paman Tony benar-benar sudah berusia lima puluh tahun... Itu membuatnya sedih kalau dia memikirkannya. Meski dia mengucapkan "Selamat Ulang Tahun" pada Paman Tony, sebenarnya suasana hatinya juga sama seperti suasana hati Paman Tony. Dia khawatir setiap ulang tahun hanya akan semakin bertambah sedih setelah mencapai usia 50 tahun.      

Shania pertama kali bertemu dengannya 15 tahun yang lalu, saat dia masih berusia 13 tahun, dan Paman Tony berusia 34 tahun. Terdapat kesalahpahaman setelah keduanya bertemu... Membayangkan kembali tampilan serigala Paman Tony saat itu, ketika dia melirik dadanya, Shania tidak bisa menahan diri untuk tertawa.      

Dia sama sekali tidak mengira bahwa dia akan terlibat dengan pria itu dan tidak pernah lepas darinya....     

Aku baru berusia 13 tahun saat itu. Bagaimana mungkin aku bisa jatuh cinta dengan paman paruh baya ini?     

"Apa yang kau tertawakan?" Twain mendengar tawa Shania dan memandang ke arahnya. Dia melihat Shania tersenyum, tapi matanya tidak terfokus. Dia jelas sedang melamun.      

"Ah... Aku memikirkan tentang pertama kalinya kita bertemu." Shania tidak menyembunyikannya dan langsung memberitahu Twain.      

Twain mengingatnya setelah istrinya itu menyinggungnya. Dulu dia pernah disangka orang mesum oleh wanita yang sekarang menjadi istrinya... Saat itu, dia baru saja kalah dalam pertandingan penting dan juga kehilangan enam bulan kerja keras yang dikerahkannya di musim itu. Michael meninggalkannya ke Amerika Serikat yang jauh, dan Gavin kecil meninggal dengan tragis di tengah kerusuhan para fans. Emosinya saat itu sedang kacau. Tapi karena bertemu dengan Shania yang aneh, suasana hatinya dengan cepat mulai membaik, seolah-olah awan gelap telah terangkat.      

Tiba-tiba saja Twain teringat dengan frase, "Seandainya waktu berhenti di momen kita bertemu untuk yang pertama kalinya."     

Hubungan antara dirinya dan Shania memang cukup sejalan dengan maknanya. Seolah-olah satu hari telah berlalu dan bukan 15 tahun. Seolah-olah mereka bertemu untuk yang pertama kalinya. Dia tidak pernah bosan dengan Shania, dan Shania juga tidak pernah bosan dengannya. Mungkin itu karena mereka menghabiskan lebih banyak waktu saling terpisah dan bukannya bersama selama 15 tahun terakhir?     

"Teresa bilang dia ingin pergi ke Hollywood dan melihat orang-orang membuat film. Toh, hari ini hari ulang tahunku dan tidak bagus juga selalu terkurung di dalam rumah." Twain memberitahu Shania tentang keinginan putri mereka. Sebenarnya, Teresa tidak ingin melihat ayah dan ibunya bertengkar, jadi dia sengaja mengatakan itu.      

Shania tidak merasa keberatan. Dia membawa Teresa ke lantai atas untuk berganti pakaian dan memakai makeup.      

Twain meninggalkan ruang makan dan duduk di ruang keluarga untuk beristirahat sejenak sambil menunggu kedatangan ibu dan anak itu.      

Dia tidak perlu menunggu lama. Karena mereka hanya akan pergi keluar untuk bermain-main, Shania hanya menggunakan sedikit makeup, sementara Teresa hanya mengganti piyamanya.      

Melihat Shania membantu Teresa menuruni tangga, Twain menyadari bahwa meski dia adalah anak adopsi, ada kemiripan fitur antara Teresa yang berambut hitam dan Shania yang berambut coklat gelap. Shania memiliki sedikit darah keturunan Cina, jadi mereka terlihat seperti ibu dan anak. Selama sisa hidup mereka, Twain tidak punya keinginan lain, selama keduanya tetap berada di sisinya. Toh, waktu takkan berjalan mundur, tak peduli seberapa enggannya dia. Dia sudah berusia 50 tahun. Karena itu, daripada duduk diam disini, mengenang bagaimana waktu seolah terbang dan mengeluh tentang bertambahnya usia, akan lebih baik untuk hidup dengan baik bersama istri dan anaknya.      

Ketika Shania melihat sekilas rambut Twain dalam perjalanan menuruni tangga, dia mengerutkan kening. "Apa kau tidak akan mengecatnya?"     

Twain menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak ada lagi pengecatan. Aku tidak akan mengecatnya lagi di masa depan."     

Shania terkejut dan berkata, "Apa kau baru saja mendapat wahyu, Paman Tony?"     

"Aku hanya baru menyadari satu hal," Twain memegang lengan Shania dan menambahkan, "Rambut seputih salju juga terlihat bagus,"     

※※※     

Sebenarnya, Twain tidak merasa tenang saat dia pergi keluar untuk bersantai. Ponselnya terus-menerus berdering menerima panggilan dari teman, seolah-olah mereka sudah merencanakan itu sebelumnya. Semua orang mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Michael, Wood, Brosnan, Dunn, Kerslake, Walker... Shania agak kesal. Dia tidak salah. Apa yang seharusnya menjadi waktu keluarga bagi mereka bertiga justru diganggu oleh serangkaian panggilan telepon.      

"Yah, tidak ada orang lain lagi yang akan menghubungiku." Twain tahu istrinya kesal. Pembicaraan mereka hanya berlangsung beberapa kata sebelum kembali diganggu oleh dering telepon, yang cukup mengganggu. "Aku akan mematikan ponselku."     

Dia mengangkat ponselnya dan berencana untuk mematikannya. Tapi, kebetulan, ponsel di tangannya kembali bergetar.      

Shania memutar matanya.      

"Baiklah. Kali ini, siapapun itu, aku akan mematikan ponselku." Twain melirik layar ponselnya, dan sebuah nama yang tidak familiar terlihat disana: Edward.      

Ketika nama itu terlihat di mata Twain, dia tidak memikirkan siapa orang itu. Dia baru akan mematikan panggilan dan kemudian mematikan ponselnya ketika jarinya melayang di atas tombol untuk mengakhiri panggilan. Tiba-tiba saja dia ingat siapa pria dibalik nama itu.      

Pertanyaannya adalah, kenapa dia menghubunginya? Dia dan ketua klub sudah tidak lagi berhubungan satu sama lain sejak dia mengakhiri kontraknya dengan klub di tahun 2014. Selain sempat menghubunginya satu kali dengan harapan dia akan kembali ke tim Forest, kedua pria itu sama sekali tidak saling berhubungan satu sama lain. Kenapa dia menghubunginya sekarang? Mungkinkah dia menghubunginya untuk mengucapkan "selamat ulang tahun"?     

Twain mengerutkan kening dan tidak bisa mengetahui alasannya. Lalu, dia bereaksi. Tidakkah dia akan tahu jawabannya setelah dia menjawab panggilan telepon itu?     

"Oh sial...." gumamnya sambil menekan tombol menerima panggilan.      

"Hey!"     

Ketika Shania melihat Twain mengangkat ponsel ke telinganya, dia membawa Teresa segera masuk ke dalam salah satu toko.      

"Selamat ulang tahun, Tony!" suara Edward Doughty terdengar di telepon. Tapi Twain tidak tahu bagaimana dia harus bereaksi.      

Mendengar suara yang begitu hangat, Twain tampak semakin bingung mengapa Edward menghubunginya.      

"Terima kasih... Edward." Dia sudah memikirkannya dan tidak memanggilnya "Tn. Doughty." Melainkan, dia menggunakan panggilan "Edward" yang lebih ramah. Meski dia dan Edward memiliki perbedaan ketika dia meninggalkan klub, insiden itu sudah empat tahun yang lalu, dan itu juga bukan perseteruan sampai mati. Apalagi yang tidak bisa dilepaskannya? Selain itu, bagaimana dia bisa mendapatkan begitu banyak gelar juara, sebagian diantaranya juga berkat bantuan Edward.      

"Kudengar kau pergi ke Los Angeles?" Edward Doughty tampak penuh semangat di telepon.      

"Ya, untuk bersama istriku. Dia juga merindukan putrinya." Twain tidak ingin terlalu banyak bicara dengannya; bukan karena dia merasa kesal dengan Edward tapi karena dia tidak ingin membuat istrinya menunggu terlalu lama. Kalau Shania tahu dia masih menelepon saat dia keluar dari toko bersama Teresa, dia pasti akan marah...      

Edward Doughty juga sepertinya merasakan nada suara Twain yang dingin. Dia hanya bisa menganggap Twain masih mendendam padanya karena telah mengusirnya saat itu.      

Dia tertawa getir, "Tony, apa kau masih mempersoalkan apa yang terjadi waktu itu?"     

"Hah?" Twain menatap kosong selama sesaat dan segera paham. Edward jelas salah sangka. "Oh, tidak juga. Yang lalu biarlah berlalu. Sebenarnya aku membeli tiket musiman setiap musim, dan kadang-kadang aku akan pergi ke stadion untuk menonton pertandingan."     

Edward jelas mengetahui ini karena dia melihat sosok Twain di pertandingan pertama tim Forest musim ini di tribun Stadion Crimson.      

※※※     

"Ibu, apa yang sedang kaulihat?"     

Teresa merasa sedikit aneh. Setelah ibunya membawanya masuk ke toko pakaian, dia tidak memilih pakaian seperti biasanya. Sebaliknya, dia menggunakan alasan "melihat-lihatlah sendiri" untuk berjalan ke sudut ini dan mengintip melalui jendela.      

"Tentu saja, aku melihat Ayah." Shania menyentuh kepala putrinya dan kembali mengintip.      

"Siapa yang menelepon Ayah?"     

"Ibu juga tidak tahu."     

Meski dipisahkan oleh jendela, Shania bisa melihat ekspresi Twain yang tidak tampak gembira seperti saat menerima panggilan telepon sebelumnya.      

Siapa yang menghubunginya?     

Meski Twain mengatakan yang berlalu biarlah berlalu, dia tidak lagi bisa menghindari topik ini, karena sudah disinggung. Topik ini tiba-tiba saja membuat Doughty merasa Twain sedikit menjauh darinya, karena nada suara pria itu di ujung telepon yang lain terdengar semakin dingin...      

Tapi sebenarnya, Twain khawatir Shania akan segera keluar dari toko. Kalau dia masih belum menyelesaikan panggilan teleponnya, dia akan berada dalam kesulitan.      

Sadar bahwa saat ini bukan waktu yang tepat untuk melakukan panggilan itu, tidaklah pantas baginya untuk berbicara lebih lama lagi. Jadi Edward Doughty dengan sopan mengucapkan selamat dan kemudian menutup telepon.      

Setelah dia menutup telepon, Twain merasa lega. Dia segera mematikan ponselnya dan memasukkannya ke dalam saku lalu menunggu Shania dan Teresa kembali dari berbelanja di toko.      

Tapi, ibu dan anak itu justru kembali dengan tangan kosong.      

"Kau tidak membeli apa-apa?" Twain bertanya dengan agak malu-malu.     

Shania menggelengkan kepalanya dan langsung bertanya, "Siapa yang menelepon barusan?"     

"... Edward. Edward Doughty." Twain sedikit ragu dan memilih untuk memberitahu istrinya yang sebenarnya.      

Shania tidak asing dengan nama itu. Dia mengerutkan kening dan berkata, "Apa yang dia inginkan dengan menghubungimu?"     

"Hanya untuk mengucapkan 'Selamat Ulang Tahun'." Twain mengangkat bahu.      

Shania memandang suaminya dengan curiga. Dia sangat mengenal suaminya. Kecintaannya pada sepakbola selalu melampaui segalanya. Kadang dia bertanya-tanya apakah pria itu mencintainya atau mencintai sepakbola...      

"Itu saja. Kami tidak mengobrol lama. Aku takut kau akan keluar dan melihatku masih mengobrol di telepon, jadi aku hanya bertukar beberapa kata dengannya." Twain segera menjelaskan karena takut Shania mencurigainya.      

Shania memandang Twain dan sudut bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyuman. Lalu dia menyandarkan tubuhnya di pelukan Twain, melingkarkan lengannya ke tubuh Twain sementara tangannya yang lain menggendong Teresa.     

"Aku lapar. Aku tahu toko es krim yang lezat. Ayo kita pergi!"     

※※※      

Twain, yang menghabiskan ulang tahun ke-50 dengan keluarganya, tidak kembali ke Inggris melainkan tetap tinggal di Los Angeles. Ketika istrinya sedang bekerja, dia menghabiskan waktu bersama putrinya. Ketika istrinya punya waktu luang, seluruh keluarga akan pergi keluar untuk bermain. Hari-hari berlalu dengan mudah.      

Orang-orang sering mengatakan bahwa pada usia tiga puluh tahun, seseorang akan berdiri tegak. Pada usia empat puluh tahun, dia tidak punya keraguan. Pada usia lima puluh tahun, seseorang akan mengenal mandat Surga.      

Twain yang berusia 50 tahun merasa bahwa inilah takdirnya.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.