Mahakarya Sang Pemenang

Rubah Tua Itu



Rubah Tua Itu

"Agbonlahor! YA! YA! YA! Agbonlahor!"     

Para fans Inggris di tribun melompat bangkit dari kursi mereka, mengangkat tangan tinggi-tinggi untuk menyemangati pahlawan pencetak-gol mereka. Rasanya seolah ada gempa bumi yang terjadi di stadion Bernabeu. Bahkan lensa kamera juga bergetar.      

Ditengah sorak sorai yang memekakkan telinga itu, Agbonlahor melepaskan diri dari pelukan rekan-rekan setimnya untuk berlari ke area teknis, dimana dia memeluk Twain. Semua orang tahu bahwa penampilannya di final ada hubungannya dengan Twain. Dan golnya ini adalah cara terbaik untuk membalas kepercayaan boss.      

"Aha! Penyesuaian tak terduga yang dilakukan Twain telah membuat orang-orang Italia itu tak bisa merespon! Di menit ke-24, kita berhasil unggul dengan satu gol! Bagus sekali, Agbonlahor! Bagus sekali, Twain!" John Motson tidak mempertanyakan keputusan Twain dalam komentar-komentarnya sebelum ini, jadi kali ini dia mengucapkan komentarnya dengan penuh percaya diri.      

Setelah selesai memeluk Twain, Agbonlahor menemukan Mitchell di tengah kerumunan dan bergegas memeluknya.      

"Gol ini untukmu, Aaron!" Agbonlahor yang sangat gembira berteriak di telinga Mitchell.      

Mitchell sedikit terkejut, tapi dia segera mengikuti suasana hati para pemain di sekelilingnya. Dia sedikit membungkuk untuk memeluk rekan setimnya itu, yang 21 cm lebih pendek darinya, dengan erat. Mereka adalah rekan setim ganda, di tim nasional dan di klub. Dia merasa mungkin karena hubungan mereka ini, Agbonlahor mengambil inisiatif untuk memeluknya setelah berhasil mencetak gol.      

"Bagus sekali, Flash! Cetaklah gol yang lain!" Mitchell memanggil Agbonlahor dengan nama julukan yang dia berikan untuknya.      

Twain merasa senang melihat adegan ini. Suasana di ruang ganti memang sangat harmonis. Timnya ini bersatu. Dengan tim seperti ini, dia tidak takut menghadapi lawan apapun.      

※※※     

Orang-orang Inggris bersorak atas keunggulan mereka, sementara orang-orang Italia hanya bisa terdiam.      

Lippi tidak marah karena kebobolan gol. Sebaliknya, apapun situasinya, sulit untuk bisa melihatnya menunjukkan emosinya di pinggir lapangan. Saat ini dia hanya duduk di area teknis. Matanya, yang tersembunyi di balik kacamata berbingkai emas, menatap ke arah lapangan. Dia sedang memikirkan tentang kesalahan yang mereka lakukan.     

Dia sama sekali tidak mengira Twain akan menurunkan Agbonlahor di starting lineup. Itu benar-benar tak terduga. Karenanya, dia tidak membuat pengaturan khusus untuk Agbonlahor dalam persiapan pra-pertandingan. Ini mengarah pada para pemainnya yang tidak tahu harus melakukan apa pada Agbonlahor di lapangan. Kalau pemain nomer 18 itu bermain sedikit lebih aktif, maka para pemainnya akan langsung tahu bahwa dia adalah pemain yang penting dan mereka pasti akan mengalihkan fokus pertahanan ke arahnya. Tapi, seperti yang terlihat, penampilan Agbonlahor sebelum ini tampak seperti orang yang berjalan sambil tidur, dan karenanya semua orang, termasuk dirinya, telah mengacuhkannya. Mereka mengira dia bukanlah ancaman dengan penampilan yang seperti itu...      

Sekarang kelihatannya Twain memang seorang master dalam hal pengendalian psikologis dan sangat pandai dalam menganalisa kondisi psikologis orang lain. Lippi sudah tahu apa yang dia rencanakan.      

Lippi harus mengakui bahwa dia membuat kesalahan empiris dan tidak menganggap serius saat mempelajari starting lineup Twain – James Vaughan memang tampil luar biasa di semifinal dan tidak ada kabar yang menyatakan bahwa dia cedera dalam latihan di beberapa hari terakhir, karena itulah dia menduga kalau Vaughan akan berada di starting lineup untuk game final ini. Dia sama sekali tidak menyangka Twain akan menentang semua tekanan yang ditujukan padanya dan menempatkan Vaughan di bangku cadangan.      

Lawannya ini memang menarik.      

Dia bangkit dari kursinya dan melangkah ke pinggir lapangan, membuat isyarat tangan kepada para pemainnya di lapangan.      

Dia ingin Chiellini meningkatkan penjagaannya terhadap Agbonlahor dan tidak memberinya kesempatan lain semudah itu. Dia yakin dengan kemampuan para bek Italia itu, selama mereka menganggap penting Agbonlahor, maka pemain itu takkan punya cukup ruang untuk memainkan bola.      

※※※     

Penyesuaian Lippi ini sesuai dengan perkiraan Twain karena kalau dia masih tidak peduli setelah melihat Agbonlahor mencetak gol maka itu artinya otak Lippi pasti sudah ditukar oleh alien.      

Dia tidak khawatir Agbonlahor akan dijaga ketat. Sekarang setelah mereka berhasil unggul dari Italia, tak jadi masalah meski penampilan Agbonlahor terlihat tidak efektif karena penjagaan yang ketat. Hal yang terpenting adalah mempertahankan keunggulan satu-gol ini dan menggunakannya untuk memancing orang-orang Italia itu keluar dari posisi mereka sehingga membuat pertahanan mereka tidak lagi solid.      

Dia hanya meminta timnya untuk memperhatikan pertahanan selama beberapa waktu ke depan.      

※※※     

Lippi tidak berniat untuk langsung berusaha menyamakan gol di babak pertama. Meski para pemainnya jelas akan bersemangat untuk menyerang balik setelah kebobolan gol, tidak ada gunanya bertindak impulsif.      

Alasan mengapa dia tidak terburu-buru menyamakan kedudukan adalah karena dia tahu bahwa keunggulan satu-gol itu akan menjadi sebuah beban psikologis yang besar bagi tim Inggris. Seperti sedang berlari maraton, tidaklah menguntungkan menjadi pelari terdepan sejak awal. Tidak ada pelatih yang membiarkan atlitnya menjalankan taktik semacam ini. Orang dengan kekuatan sejati untuk memenangkan gelar juara harus bersembunyi di kelompok kedua, mempertahankan tekanan terhadap pelari terdepan kapan saja dan menyalipnya di saat-saat terakhir.      

Pemikiran Lippi saat ini sama seperti para pelatih atlit lari jarak jauh. Dia telah melemparkan tekanan mental dari menjadi pelari terdepan kepada lawannya. Ini bukanlah pertandingan biasa. Ini adalah pertandingan final, pertandingan final Kejuaraan Eropa UEFA. Sejalan dengan berlalunya waktu, keunggulan satu hol akan menjadi sebuah beban psikologis yang besar bagi para pemain Inggris. Semua orang akan menganggap bahwa mereka benar-benar tidak boleh kebobolan gol. Kalau tidak, gelar juara pasti akan lepas dari tangan kita.      

Pemikiran ini akan semakin berat seiring berjalannya waktu sampai akhirnya tim Inggris akan runtuh.     

Lippi memutuskan untuk membuat penyesuaian selama jeda turun minum dan meningkatkan permainan mereka di babak kedua nanti. Saat itu, selama mereka bisa menyamakan kedudukan, keunggulan psikologis akan beralih ke kubu Italia dan pembalikan situasi yang signifikan akan terjadi di lapangan. Pada saat itu hanya akan ada sedikit waktu yang tersisa di dalam pertandingan. Semangat mereka akan meningkat, sementara tim Inggris akan mengalami pukulan besar. Pada akhirnya, kemenangan akan menjadi milik tim Italia.      

※※※     

Tim Italia menyusun sejumlah serangan setelah pertandingan dilanjutkan karena mereka ingin menyamakan kedudukan. Tapi, menghadapi pertahanan solid Inggris, yang sudah dipersiapkan sebelumnya, mereka tidak berhasil mengancam gawang lawan, jadi mereka kembali mundur.      

Twain tadinya merasa senang – orang-orang Italia itu akhirnya bergerak maju. Tapi, setelah sesaat yang menyenangkan, tidak butuh waktu lama baginya untuk melihat adanya masalah.      

Orang-orang Italia itu tidak panik meski mereka kebobolan gol di final lalu segera mengepung dan membombardir kotak penalti Inggris – meski itulah yang ingin dilihat Twain. Setelah melakukan beberapa serangan tanpa hasil, mereka kembali mundur dan menggunakan serangan balik defensif seolah-olah merekalah tim yang sedang unggul.      

Ini jelas erat kaitannya dengan pria tua berambut putih yang mengarahkan permainan mereka dari pinggir lapangan.      

Twain menundukkan kepalanya untuk berpikir keras dan mencoba mengetahui jalan pikiran Lippi.      

Seperti yang sering dia katakan kepada para pemainnya, "Keunggulan satu-gol adalah keunggulan yang paling tidak aman di seluruh dunia." Itu bukan gagasan asli darinya, melainkan hanya sebuah generalisasi yang berasal dari pengalaman. Semua manajer sepakbola di dunia juga mengetahui pemikiran semacam ini. Meski mereka berhasil unggul 1:0, mereka akan merasakan tekanan mental dari serangan gencar tim lawan yang mengepung gawang dan takut skor mereka akan disamakan kapan saja.      

Lippi pasti menganggapnya begitu, dan bermaksud memberikan tekanan psikologis ini kepada tim Inggris.      

Dari sudut pandang ini, bukan hal yang bagus untuk unggul lebih dulu...      

Seiring dengan berjalannya pertandingan, orang-orang Inggris mulai mengerahkan sebagian besar kekuatan mereka. Sementara orang-orang Italia yang lebih matang, di sisi lain, memiliki taktik yang lebih halus, mempertahankan jarak aman dari tim Inggris yang sedang unggul. Pada awalnya, itu adalah pertempuran skill dan kekuatan. Tapi, menjelang akhir, hal-hal seperti skill dan kekuatan tidak lagi penting. Mentalitas akan menentukan siapa juaranya.      

Kalau begitu, Twain akan membuat timnya terus memperkuat serangan dan membuat keunggulan satu-gol itu menjadi dua-gol!     

Twain melangkah ke pinggir lapangan, dan memandang ke dalam lapangan. Di saat inilah dia teringat: lini depan Inggris telah terbekukan setelah Lippi meminta Chiellini untuk meningkatkan penjagaannya terhadap Agbonlahor. Kalau dia ingin meningkatkan serangan, bagaimana dia bisa melakukan itu?     

Twain memaki dalam hati, "Rubah tua itu!"     

Agbonlahor memang bukan penyerang tengah sejati. Setelah dia dijaga ketat oleh bek lawan di kotak penalti, fungsi peranannya sebenarnya cukup kecil. Pada titik ini, Twain benar-benar merindukan Mitchell. Setidaknya, sundulan Mitchell akan bisa membantu timnya mengoyak pertahanan tim Italia.      

※※※     

Saat kedua manajer sedang beradu kecerdikan dari luar lapangan, sisa waktu sebelum akhir babak pertama berjalan seperti sebelum gol itu dicetak. Tim Inggris menyerang dengan gencar dan ingin mencetak satu gol lagi sebelum babak pertama usai, sementara orang-orang Italia memperkuat pertahanan mereka dan bertekad untuk tidak membiarkan orang-orang Inggris itu mendapatkan apa yang mereka inginkan.      

Hingga menit terakhir, Twain tidak bisa melihat timnya menjebol gawang lawan untuk yang kedua kalinya.      

Tim Inggris memasuki ruang ganti dengan keunggulan satu-gol. Orang-orang Italia, yang tertinggal satu gol, tidak terlihat frustasi. Wajah Lippi tampak tenang saat dia melangkah menuju terowongan pemain, membuatnya sulit untuk menebak apa yang dirasakannya di situasi ini.      

Komentator dari berbagai negara mengekspresikan optimisme mereka tentang tim Inggris.      

"Tim Inggris berhasil unggul satu gol! Di pertandingan final ini, kubu yang mencetak gol pasti memiliki keuntungan. Dan yang terpenting, mereka telah mempertahankan keunggulan ini hingga jeda turun minum!"     

"Taktik Inggris begitu sukses karena orang-orang Italia itu tidak mengira Agbonlahor akan menjadi pencetak gol bagi Inggris. Mereka telah lalai dalam menjaganya. Meski sekarang mereka menjaga pemain nomer 18 Inggris dengan ketat, kenyataannya adalah mereka tertinggal satu gol..."     

"Babak pertama ini benar-benar fantastis! Pertandingan ini tidak semembosankan seperti yang kuduga. Sikap proaktif Inggris telah mendapatkan rasa hormatku. Upaya keras mereka juga telah terbayar – memimpin dengan satu gol! Juara akan menjadi milik mereka yang berani, milik sepakbola ofensif!"     

Bahkan para fans Inggris juga merasa senang dengan hasil ini.      

Di tribun, Skinny Bill sangat gembira dengan hasil babak pertama dan berteriak, "Ini luar biasa! Kita benar-benar memimpin!"     

"Hey, Bill, apa maksudmu dengan itu? Jangan bilang kau meragukan kemampuan tim kita!" Seseorang disampingnya pura-pura marah.      

"Omong kosong, tentu saja, aku berharap kita memimpin! Aku hanya tidak menyangka kalau itu akan terjadi seawal ini! Selama kita mempertahankan hasil ini, kita bisa memenangkan gelar juara! Tony adalah yang terbaik dalam bertahan. Dibwah situasi seperti ini, dia pasti bisa memenangkan pertandingan! Tinggal satu jam sebelum kita memenangkan Kejuaraan Eropa UEFA untuk yang pertama kalinya dalam sejarah... Memikirkannya saja membuatku bergairah!" Bill tidak berbohong. Tubuhnya gemetar penuh antisipasi.      

"Tony benar-benar punya gagasan yang bagus dengan membiarkan Agbonlahor bermain sejak awal. Bahkan aku, seorang fan Forest, tidak menduganya. Kurasa Lippi dan yang lainnya juga pasti tidak menduganya. Kalau tidak begitu, kenapa tidak ada pemain yang secara spesifik menjaga Agbonlahor?"     

"Itu benar! Sebelum pertandingan dimulai, semua orang berbicara tentang Vaughan... Aku sudah lelah mendengar nama itu. Hasil terbaik adalah Inggris memenangkan Kejuaraan Eropa UEFA dan pemain Nottingham Forest kita yang mencetak satu-satunya gol, haha!"     

※※※     

Para fans dan komentator merasa sangat optimis, tapi Twain tidak begitu. Ketika dia melangkah memasuki ruang ganti pemain, semua pemain Inggris bisa melihat kerutan di antara alisnya. Tampak jelas bahwa bos mereka bukan tidak senang dengan keunggulan satu gol ini, melainkan terlihat mengkhawatirkan sesuatu.      

Para pemain tidak terlalu sering berpikir dalam dibandingkan dengan manajer karena mereka memang hanyalah pemain dan bertanggungjawab untuk menerapkan rencana taktis manajer di lapangan. Dengan cara lain yang tidak terlalu enak didengar, mereka adalah alat sementara manajer adalah tangan yang menggerakkan mereka. Manajer harus berpikir dalam dan memandang jauh ke depan. Kalau tidak, kapalnya mungkin akan menghantam karang yang terbenam di bawah permukaan dan akhirnya terdampar atau karam.      

Saat itu, tidak satupun dari para pemain yang bisa memikirkan tentang krisis apa yang akan mereka hadapi nanti. Mungkin itu tidak akan terjadi, tapi Twain sudah memikirkannya. Dia pasti harus mempertimbangkan semua kemungkinan tak peduli apakah itu akan terjadi atau tidak. Tugasnya adalah mencoba mencegah hal-hal buruk terjadi.      

"Kita berhasil unggul satu gol dan itu memang sangat bagus, guys. Masuk akal kalau seharusnya aku memuji kalian sekarang dan memberikan ucapan selamat pada kalian. Tapi aku tidak bisa melakukan itu." Twain menggelengkan kepalanya dan berkata, "Aku memikirkan tentang krisis yang mungkin akan kita hadapi di babak kedua nanti dan aku ingin kalian tahu bahwa unggul satu-gol jelas bukan hal yang bagus."     

Para pemain mengira manajer mereka akan mengatakan, "Unggul satu-gol adalah skor yang paling tidak aman di dunia," tapi dia tidak melakukannya.      

Twain melanjutkan, "Tim Italia sudah terbiasa untuk mendominasi dengan jalan menyerang balik setelah musuh menyerang. Ingatlah final Piala Dunia 2006 di Jerman, dimana Italia menyamakan kedudukan dibawah situasi tertinggal satu gol dan mengulur pertandingan hingga adu penalti lalu mengalahkan Perancis dan menjadi juara. Kita bisa belajar dari kesalahan tim Perancis dan kita tidak boleh merasa puas dengan skor saat ini. Di babak kedua nanti, kalau memang mungkin, aku ingin kalian mencoba mencari kesempatan untuk mencetak gol..."     

※※※     

"Kalian melakukan pekerjaan yang bagus, tuan-tuan." Lippi berada di ruang ganti pemain, berbicara kepada para pemainnya. Dia tidak terburu-buru. Nada suara dan gaya bicaranya sudah dikembangkan dengan baik. "Aku tidak mengejek kalian. Aku justru lega karena kalian hanya kebobolan satu gol dari Inggris di babak pertama. Sekarang sudah waktunya untuk memikirkan tentang serangan balik kita."     

"Di babak pertama tadi kita memberikan peluang bagi Inggris untuk mengambil bola sesuka hati di lini tengah kita, tapi itu takkan terjadi lagi di babak kedua. Kita harus mendapatkan kendali di lini tengah." Dia melirik De Rossi dan Aquilani. Kedua pria itu akan menjadi kuncinya.      

"Dua sayap mereka bergerak maju dengan cukup kuat. Kita akan memanfaatkan hal ini di babak kedua nanti. Paloschi, kau harus lebih sering berlari ke sayap di babak kedua nanti dan mendapatkan peluang untuk itu. Foti, kau tetap tinggal di tengah. Kita membutuhkanmu untuk membuat transisi di lini tengah yang bisa mendukung serangan dan mendorong mundur lini pertahanan belakang mereka untuk menciptakan ruang bagi lini tengah kita."     

Kedua penyerang itu mengangguk. Keduanya jarang terlihat di babak pertama, dan beberapa orang bahkan mengira mereka tidak diturunkan. Bagi mereka, 45 menit di babak pertama adalah siksaan yang sesungguhnya. Mereka ingin sekali melakukan sesuatu di babak kedua nanti. Ini adalah final Kejuaraan Eropa UEFA dan tidak ada yang ingin dianggap tidak berguna di pertandingan sepenting ini. Agbonlahor, bocah yang tadinya seperti sedang berjalan sambil tidur lalu kemudian menjadi pahlawan setelah mencetak gol, adalah bukti yang nyata.      

※※※     

"Di babak kedua, kita akan menghentikan serangan kita yang kuat dan menggantinya dengan serangan balik yang stabil."     

Tidak ada yang terkejut ketika Twain mengatakan itu. Itulah yang mereka tahu sehari sebelum pertandingan. Menurut rencana mereka, mereka akan berusaha mencetak gol untuk unggul di babak pertama, dan kemudian perlahan memperketat pertahanan di babak kedua untuk mulai memainkan serangan balik defensif. Tujuan mereka adalah mempertahankan keunggulan satu-gol ini atau mengambil keuntungan untuk meluncurkan serangan balik diam-diam dan memperbesar selisih gol disaat tim lawan bergerak maju untuk menyerang, ingin menyamakan kedudukan.      

Tim Inggris hanya menebak apa yang akan terjadi nanti. Ini bukan taktik yang aman.      

"Kita harus cepat saat melakukan serangan balik," Twain memandang Agbonlahor ketika dia mengatakan ini. Dia akan membiarkan Agbonlahor terus bermain di babak kedua dan tidak menggantikannya. Bocah itu punya kecepatan yang luar biasa, dan menjadi senjata yang sangat penting dalam melakukan serangan balik.      

"Gabriel," Twain memanggil namanya dan berkata, "Di babak kedua ini kau tidak perlu berada di lini depan lagi. Kau harus sering mundur ke belakang dan mengambil bola di lini tengah. Kita juga harus mengoper bola agak ke depan, jadi memberikan ruang bagi Agbonlahor dan Rooney untuk berlari. Tapi, kalau serangan balik kita terhalang, kalian harus langsung berhenti dan membiarkan bola tetap berada dibawah kaki kalian. Jangan membuang-buang kesempatan untuk menyerang."     

Mendengar Twain mengatakan ini, Agbonlahor tahu dia takkan digantikan terlalu awal, sementara Vaughan mungkin merasa kecewa karena berharap bisa bermain.      

James Vaughan tahu Agbonlahor akan terus dipercaya. Dia menunduk memandang jersey-nya. Ada kaos lain di baliknya yang bertulisan, "Kami bersamamu, Aaron," Itu sesuatu yang dipersiapkannya untuk Mitchell.      

Sekarang, kelihatannya itu mungkin tidak berguna. Dia bertanya-tanya sendiri apakah sebaiknya dia melepaskannya. Bagaimanapun juga, rasanya sedikit panas memakai dua lapis kaos seperti ini.      

Karena dia tidak bisa tampil, apa gunanya dia masih memakai kaos bertulisan kata-kata itu?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.