Mahakarya Sang Pemenang

Selamat Datang Kembali, Tony



Selamat Datang Kembali, Tony

0Sebenarnya, taktik tim nasional Inggris sangatlah mirip dengan taktik yang digunakan Nottingham Forest. Tidak hanya menggunakan serangan balik defensif, kunci dari serangan kilat terletak pada sayap, dimana pemain sayap akan sangat berperan dan terobosan yang sederhana dan cepat dari lini tengah juga sangat konsisten. Kemampuan tim Inggris dalam positional play tidak terlalu bagus, yang sejauh ini masih belum bisa diatasi oleh Eriksson, McClaren ataupun Capello sekalipun.      

Setelah Capello menangani tim Inggris, dia telah menggunakan beragam cara untuk memperkaya gaya permainan tim Inggris dalam hal positional play, tapi metode itu tidak terlalu berhasil. Dibandingkan dengan para pemain Latin dan Eropa dari Italia, Portugal, Spanyol dan Perancis, para pemain di tim Inggris memiliki kemampuan olah-kaki yang kasar. Fakta ini tidak berubah meski Liga Premier Inggris telah berkembang selama bertahun-tahun.      

Sekarang setelah Twain mengambil alih tim Inggris, dia tidak tergesa-gesa untuk menunjukkan kemampuan positional play tim Inggris di pertandingan ini. Cara yang paling mudah dan paling efisien adalah membuat timnya kembali ke jalur yang familiar - menggunakan sundulan bola atas, dua pemain sayap, dan koordinasi antara sayap dan lini tengah yang dilengkapi tembakan panjang. Bermain seperti ini memang tidak enak ditonton, tapi fans Inggris tidak peduli tentang ini. Toh, tidak semua fans Inggris adalah fans Arsenal.      

Kelebihan dari bermain seperti ini adalah timnya lebih familiar dengan taktik ini dan Twain juga tidak perlu terlalu mengkhawatirkan hasilnya. Mengingat kemampuan para pemain Inggris di tim saat ini, mereka mungkin tidak bisa memainkan taktik yang terlalu rumit. Di sisi lain, para pemain Nottingham Forest lebih terkoordinasi. Bahkan setelah manajer mereka berubah, kekuatan tim tidak mengalami penurunan drastis.      

Twain berusaha mengatasi perubahan lingkungan dengan jalan tetap konstan. Taktik yang dikembangkan sebelum pertandingan membuat semua pemain Inggris merasa sangat familiar - semua ini adalah fitur-fitur terbaik dalam latihan yang telah mereka terima sejak mereka masih muda...      

※※※     

Ada perbedaan besar antara stadion Crimson dan stadion City Ground. Ruang ganti pemain dan terowongan di stadion City Ground tampak kumuh meski sudah pernah direnovasi di tahun 1990an untuk menjadi tuan rumah Liga Champions UEFA. Mereka terlihat usang setelah digunakan selama hampir dua dekade jika dibandingkan dengan stadion Crimson yang modern.      

Twain mendorong pintu ruang ganti hingga terbuka dan melangkah keluar. Dia harus muncul di lapangan lebih dulu daripada para pemainnya.      

Melangkah di terowongan yang luas dan terang, dia berbelok ke arah aula.      

Aula-nya hampir dua kali lipat lebih besar daripada yang ada di stadion City Ground. Lantai marmer yang halus seperti cermin, memantulkan semua hal di permukaannya. Twain memandang ke bawah dan mengamati sejenak dengan kepala sedikit dimiringkan. Lalu dia berbelok ke kanan dan melangkah ke terowongan yang digunakan khusus untuk mengarah ke lapangan.      

Terowongan yang ini lebih lebar daripada yang ada di depan ruang ganti. Dari yang bisa dilihat Twain, dua Jeep Hummer bisa dikendarai berdampingan disini. Hanya melihat detil ini saja, tidak heran kalau klub Nottingham Forest dilanda krisis finansial sebelumnya - anggaran untuk membangun stadion sebagus ini tidaklah kecil.      

Dinding sebelah kiri dicat dengan emblem tim Nottingham Forest - sebuah pohon oak putih besar dengan latar belakang merah. Di dinding sebelah kanan, terdapat sebuah kalimat yang tertulis disana: Selain kemenangan, itu masih kemenangan!     

Itu adalah saran Twain saat itu. Dia ingin menggunakan frase ini untuk menginspirasi para pemain Forest. Mereka hanya perlu menolehkan kepala mereka dan mereka bisa melihat tulisan itu sebelum pertandingan kandang, jadi mereka bisa mengingat tradisi Nottingham Forest.      

Sayangnya, dia sudah meninggalkan tim dan tidak tahu apakah idenya itu akan terus digunakan.      

Twain berhenti melangkah di terowongan saat memandang frase itu dan termenung.      

Diatas terowongan para pemain di stadion Anfield, terdapat tulisan: "Ini Anfield." Frase itu adalah gagasan dari godfather The Reds (julukan untuk Liverpool) yang terkenal, Shankly. Dia ingin setiap tim yang datang kesana untuk bertanding, tahu dengan jelas siapa lawan yang mereka hadapi. Stadion itu adalah neraka bagi mereka. Dan sekarang banyak pemain Liverpool akan menyentuhkan tangan mereka ke kalimat itu sebelum mereka memasuki lapangan untuk keberuntungan. Itu sudah menjadi tradisi.      

Saat Twain masih menjabat sebagai manajer Forest, dia juga ingin menggunakan metode ini untuk mengingatkan para pemainnya bahwa pengejaran kemenangan akan selalu menjadi tradisi di Nottingham Forest, baik itu di era Clough ataupun di era Tony Twain.      

Suara langkah terdengar dari belakang. Des Walker menyusul Twain dan melihat kata-kata yang sama di dinding.      

"Jelas ada sentuhan 'ala Tony Twain'" katanya sambil tertawa.      

Twain mengabaikan godaan Walker. Dia hanya berbalik dan melangkah ke arah lapangan sambil berkata, "Ayo."     

Sebelum Twain melangkah keluar, dia sudah bisa melihat media yang berkumpul disana dan menunggu di pintu keluar terowongan. Jumlah media yang ada saat ini jauh melebihi jumlah media untuk pertandingan persahabatan biasa. Reporter yang hadir terlalu banyak meski memang klub Forest sengaja mengatur kampanye publisitas untuk event ini.      

Twain jelas tahu alasan dibalik kedatangan mereka semua. Langkahnya melambat dan dia membiarkan Des Walker, yang berjalan dekat di belakangnya, untuk menyalipnya.      

Dari tempatnya berdiri saat ini, dia bisa melihat banyak media yang hingar bingar. Ada apa lagi disana yang tidak bisa dilihatnya, menunggunya?     

Detak jantungnya tiba-tiba meningkat dan dia jadi lebih gugup daripada saat dia bertanding di final Liga Champions.      

Dia tidak peduli dengan ejekan dan cemoohan serta sumpah serapah musuhnya. Tapi dia tidak bisa mengabaikan perlakuan yang diberikan para pendukungnya kepadanya.      

Sayangnya, dia tidak bisa terus bersembunyi disini dan tidak pergi keluar. Dengan begitu banyak media yang menyorotnya, dia tidak ingin mereka tahu bahwa dia punya sisi lemah.      

Dia membenahi kerah setelannya. Aksinya ini tampak berlebihan karena pakaiannya tampak rapi tanpa cela.     

Lalu dia melangkah keluar.      

Momen setelah sosoknya terlihat di bidang pandang para reporter; kilatan lampu kamera mulai menyala. Lalu saat dia melangkah keluar dari terowongan dan muncul di hadapan puluhan ribu orang, kilatan lampu itu bergabung menjadi satu cahaya besar dan bunyi tombol kamera terdengar tanpa henti di telinganya.      

Twain masih bisa mempertahankan ekspresi wajahnya di depan para reporter. Dia melangkah ke area teknis tim tuan rumah dengan penuh percaya diri.      

Des Walker tidak bisa menutup mulutnya yang terbuka lebar saat dia melihat apa yang terjadi. Dia ingin mengingatkan Tony bahwa dia salah arah...      

Para fans yang melihat ini dari tribun juga tertawa terbahak-bahak.      

"Ah ha, apa yang kita lihat disini? Tony Twain menuju ke tempat yang salah! Ha ha! Ini kejadian langka. Jangan bilang padaku kalau dia masih mengira dirinya adalah manajer Nottingham Forest?" Komentator yang bertanggungjawab untuk pertandingan ini terdengar geli.      

David Kerslake, yang duduk di area teknis tim tuan rumah, tampak malu saat dia melihat Twain berjalan langsung ke arahnya. Sebaliknya, Eastwood terus memandangnya dengan penuh minat. Dia ingin melihat bagaimana caranya chief mengatasi kesulitan ini.      

Sebenarnya, setelah Twain melangkah kesana, dia tahu dia salah arah – dia sudah terbiasa berjalan ke area teknis tim Nottingham Forest. Untuk sesaat, dia lupa dengan statusnya saat ini. Tapi dia tidak langsung berbalik dan berjalan ke arah yang berlawanan. Itu akan terlalu kentara. Jadi, dia terus berjalan dan memikirkan cara untuk menghadapi situasi ini.      

Saat dia melihat Martin O'Neil dari kejauhan, Twain sudah menawarkan untuk menjabat tangannya lebih dulu. Dia terlihat seolah dia ingin berjabat tangan dengan manajer O'Neil.      

O'Neil juga bangkit berdiri dan melangkah ke arah Twain saat dia melihatnya melakukan itu. Kedua pria itu berjabat tangan di depan kerumunan media.      

"Ternyata itu hanya untuk berjabat tangan," Komentator terdengar sangat kecewa.      

Suara tawa di tribun menghilang saat mereka melihat Twain dan O'Neil saling berjabat tangan. Mungkin mereka yang tadinya berharap bisa menonton pertunjukan merasa ini terlalu membosankan.      

Tapi para reporter punya gagasan lain – apa ini dianggap sebagai serah jabatan formal antara manajer lama dan baru Forest? Mereka bahkan membantu menuliskan dialognya:     

Twain: Kuserahkan timku padamu. Jangan mengecewakanku.      

O'Neil: Tenanglah, tujuan kami masih tetap menjadi juara!     

Tapi kedua pria itu tidak bertukar kata-kata. Mereka hanya saling berjabat tangan. Lalu O'Neil memberi jalan menuju area teknis di belakangnya, menduga bahwa Twain mungkin tidak hanya ingin menyapa dirinya saja.      

Tanpa berkata-kata, Twain melangkah ke arah asisten manajer, Kerslake, setelah dia melepaskan tangan O'Neil.      

Kerslake juga ingin berjabat tangan dengan Twain seperti yang dilakukan O'Neil, tapi dia sama sekali tidak mengira kalau Twain akan memeluknya.      

Saat dia memeluk Kerslake, Twain tidak mengatakan apa-apa dan hanya menepuknya punggungnya keras-keras. Lalu dia melepaskan Kerslake, yang masih terkejut, dan mengarah ke Eastwood.      

Eastwood tidak bersikap sekaku Kerslake. Sambil tertawa dia memeluk Twain dan bahkan berbisik di telinganya, "Semoga beruntung, chief."     

Begitulah, Twain berjabat tangan dan memeluk semua orang di staf pelatih Nottingham Forest, sementara media mengikuti jalannya peristiwa ini dan memfilmkan semuanya.      

"Dia jauh lebih mirip boss disini daripada Martin O'Neil. Lihat saja sikapnya yang tenang..." John bergumam dari tribun.      

"Dia tidak akan bisa tenang sebentar lagi!" Bill berteriak disampingnya.      

John mengabaikannya dan bangkit berdiri di kursinya lalu bertepuk tangan untuk Twain.      

Tidak banyak orang yang seperti John di stadion. Lebih banyak fans yang mencemoohnya seperti yang dilakukan Bill.      

Mereka masih belum bisa melupakan apa yang dilakukan Twain dua bulan lalu.      

Setelah memeluk dan berjabat tangan dengan semua pelatih Forest, Twain melangkah ke arah area teknis tim tamu yang dikelilingi para reporter. Kali ini, suara cemoohan para fans terdengar semakin intens dan nyata.      

Dengan begini, Twain yang berjalan ke kursinya menjadi sasaran badai cemoohan keras dari tribun.      

Kerslake memandang Twain dengan prihatin dan memandang ke sekelilingnya. Dia sudah menduga ini akan terjadi saat Twain kembali, tapi dia sama sekali tidak mengira tim Forest akan terbelah sampai sejauh ini.      

Komentator juga sedikit terkejut saat dia bergumam, "Dengarkan semua cemoohan itu. Semuanya diarahkan untuk satu orang..."     

Siaran langsung televisi mengambil gambar Twain dari jarak dekat, dimana Twain mengerucutkan bibirnya dan sama sekali tidak melirik para fans di tribun. Matanya tampak tidak fokus seolah sedang memandang ke kejauhan.      

"Sayang sekali. Inilah sambutan yang diberikan kepada mantan raja tim Forest. Ha!" Carl Spicer menyindir dari tribun. Dia jadi punya topik diskusi untuk programnya malam ini.      

Beberapa fans yang lebih ekstrim tidak hanya mencemooh Twain tapi juga mengacungkan jari tengah mereka dan meneriakkan sumpah serapah.      

Wajah Twain tetap tanpa ekspresi dan disampingnya, Walker memandangnya dengan tatapan khawatir. Dia takut jantung Twain tidak tahan dengan provokasi semacam ini. Tapi Twain tidak roboh. Dia tetap berdiri tegak di tempatnya dan membiarkan suara cemoohan itu terdengar diatasnya. Dia juga membiarkan reporter di sekelilingnya mengambil gambar tanpa henti.      

"Aku yakin dia pasti menyesal karena tidak memakai kacamata hitamnya saat dia keluar dari terowongan." Spicer menatap set televisi di dekatnya, yang menayangkan gambar Twain dari jarak dekat.      

Dunn, yang melihat semua ini dari tribun, hanya bisa menghela nafas pelan.      

※※※     

Suara cemoohan terus terdengar, dan para pemain yang menunggu di terowongan mendengarnya dengan jelas. Mereka semua berkumpul dua-dua dan tiga-tiga untuk berdiskusi.      

"Apa yang terjadi diluar sana?"     

"Siapa yang tahu?"     

"Ehm... Yah, itu semua karena boss."     

"Semua desisan itu untuknya? Tidak mungkin!" Para pemain Forest tampak sangat terkejut. Mendengar desisan dan cemoohan terhadap Tony Twain di stadion kandang Nottingham Forest itu sama seperti revolusi siklus orbit komet Hale-Bopp, yang hanya melintasi Bumi satu kali dalam tiga ribu tahun.      

Para pemain Forest sangat terkejut sehingga ucapan mereka jadi lebih keras. Para pemain Inggris di samping mereka juga mendengar semua cemoohan itu dengan jelas dan mereka jadi semakin tertarik. Kedua tim, yang tadinya berdiri dalam dua baris, kini berbaur bersama. Mereka tidak bisa disalahkan karena suara cemoohan dari luar memang terdengar spektakuler.      

Saat tim Forest bermain di stadion City Ground, setelah seluruh tribun utama, yang hanya bisa menampung sekitar tiga puluh ribu orang, mendesis bersama-sama, momentum itu bisa membuat setiap tim tamu merasakan tekanan psikologis yang sangat besar. Sekarang di stadion Crimson, kapasitas enam puluh ribu orang seolah melipatgandakan volume cemoohan itu.      

Saat tim tamu berkunjung kesini, suara cemoohan dari enam puluh ribu orang akan diarahkan pada sebelas pemain yang bertanding. Dan sekarang karena semua cemoohan itu ditanggung oleh satu orang saja, maka seseorang hanya bisa membayangkan betapa kuatnya tekanan itu. Para pemain tidak bisa membayangkan seberapa lama mereka bisa bertahan kalau mereka berada di posisi Twain.      

※※※     

Twain masih berdiri tanpa bergerak di depan area teknis.      

John memandang semua sosok keras kepala di sekelilingnya. Mayoritas orang-orang mencemooh Twain seolah hidup mereka tergantung atasnya. Dia tahu apa yang akan dilakukannya tidak akan disambut baik, tapi dia masih harus melakukannya. Kalau tidak, itu akan mengusik nuraninya.      

Dia mengumpulkan beberapa rekan yang memiliki pandangan sama sepertinya. Dia mengambil kain merah dari ranselnya dan menyerahkan ujung kain itu ke salah satu rekannya. Sementara dia menarik ujung yang lain.      

Kedua orang itu berdiri saling terpisah dan menarik kain itu hingga jarak tertentu. Dengan hentakan tangan mereka, sebuah spanduk muncul di tribun utama.      

Selamat datang kembali, Tony!     

"Hey, John!" Bill menatap temannya dengan marah. Dengan melakukan ini, John telah menyabotase aksinya.      

"Jangan ganggu aku, Bill. Kau cemooh saja sesukamu; aku akan melakukan apa yang kuinginkan. Kita berdua tidak perlu saling menghalangi satu sama lain." John mengabaikan tatapan tajam Bill dan terus memegang spanduk itu sambil berdiri di kursinya.      

Direktur siaran televisi juga melihat adanya spanduk baru di tribun. Tidak seperti slogan di berbagai tempat lain yang menghina dan mengejek Twain, spanduk itu memuat sapaan yang hangat dan menarik perhatian.      

Tidak ada yang tahu apakah Twain melihatnya, tapi kamera televisi meliputnya lebih dulu.      

"Kelihatannya dia tidak benar-benar sendirian," kata komentator setelah melihat spanduk itu.      

"Tony," Walker, yang melihat spanduk itu, mendorong Twain dengan lembut agar dia melihatnya.      

Twain menolehkan kepalanya dan melihat spanduk John. Sudut bibirnya terangkat. Ada perubahan ekspresi yang terlihat jelas di wajahnya untuk pertama kalinya dan kali ini dia tersenyum.      

Lalu dia tidak lagi mempedulikan para reporter yang mengambil foto dirinya. Dia berbalik dan duduk di area teknis.      

※※※     

Saat para pemain melangkah keluar dari terowongan, suara cemoohan pada Twain akhirnya berhenti.      

Karena ini adalah pertandingan untuk merayakan pembukaan stadion baru tim Forest, pengaturan dalam hal kemunculan tim tidak sama seperti yang dilakukan di pertandingan biasa. Tim Inggris keluar lebih dulu, diikuti oleh para pemain Nottingham Forest. Siaran stadion akan mengumumkan nama-nama setiap pemain setelah mereka memasuki lapangan, sehingga memicu respon yang hangat dari para fans.      

Para fans Forest mendedikasikan sorakan mereka kepada tim pemenang Treble dan setiap pemain Forest yang muncul di lapangan menerima sorakan yang menggelegar.      

Sebagai kapten tim, George Wood menerima sorakan paling keras, tapi dia masih tetap acuh tak acuh dan tidak menanggapi suara sorakan para fans.      

Pemain terakhir yang berlari keluar adalah bek tengah, Pepe, yang akan berpasangan dengan bek tengah asal Brasil, Tiago Silva, dalam starting lineup. Para fans juga memberinya tepuk tangan dan sorakan keras, tapi dia tidak melambai ke arah para fans seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan setimnya sebelum ini. Dia berlari dengan kepala terangkat tinggi.      

Sebelum dia berlari memasuki lapangan dan berkumpul dengan rekan-rekan setimnya, dia berbelok dan berlari langsung ke arah area teknis tim tamu.      

Lalu, dibawah tatapan ribuan pasang mata, dia melakukan aksi yang tidak pernah diduga oleh siapapun – dia membuka lengannya dan memeluk Tony Twain yang sama sekali tidak menduganya.      

Suara sorakan langsung menghilang. Stadion Crimson yang besar itu tiba-tiba saja jatuh ke dalam kesunyian yang canggung.      

"... Pepe memberikan pelukan tak terduga bagi Tony Twain. Kelihatannya dia juga membisikkan sesuatu di telinga Twain..." Komentator tidak mengerti apa yang terjadi dengan Pepe. Belakangan ini, siapapun yang bukan orang bodoh bisa melihat kebencian fans Forest kepada Twain. Kalau begitu, kenapa dia mau mengambil resiko menyinggung semua fans Forest untuk menyapa Twain dengan hangat. Kenapa dia mau melakukan itu? Mungkinkah dia tidak ingin terus berada di tim ini?     

Twain juga tampak terkejut di tayangan televisi. Dia bukan terkejut karena Pepe memeluknya, melainkan karena apa yang dibisikkan Pepe di telinganya.      

"Maafkan aku, boss." Pepe berbisik di telinganya. Saat itu, stadion tiba-tiba sunyi, dan suaranya bisa didengar jelas di telinga Twain. Dia berkata, "Aku sudah memutuskan untuk pergi dari sini. Setelah pertandingan ini, aku akan pergi ke Milan, Italia. AC Milan, itulah perhentianku berikutnya..."     

Mendengar kata-kata Pepe, Twain tiba-tiba saja merasa bahwa pertandingan final hidup mati di Liga Champions dua bulan lalu terasa seperti mimpi...      

"Aku tahu kenapa kau meninggalkan tim, jadi aku juga tidak mau tinggal disini lebih lama lagi. Terima kasih, boss. Terima kasih. Tahun-tahun dimana aku bermain untukmu adalah pengalamanku yang paling berharga."     

Pepe sudah selesai berbicara dan dia memeluk Twain keras-keras sebelum akhirnya melepaskannya lalu berlari kembali ke lapangan. Tidak ada orang yang bersorak untuknya kali ini. Kalau dia mendengarkan dengan seksama, dia bisa mendengar ada beberapa cemoohan disana sini.      

Twain masih duduk di kursi kulitnya dan menatap kosong ke arah Pepe, yang kembali ke timnya.      

"Pepe! Kau benar-benar melakukannya!" Gareth Bale menatapnya dengan mata terbelalak saat bek tengah itu kembali ke tim.      

"He he. Apa kau pikir aku hanya bercanda?" Pepe yang sudah kembali bersama timnya tersenyum bangga dan berkata, "Aku selalu melakukan apa yang sudah kubilang akan kulakukan!"     

Saat Pepe menyombongkan diri tentang 'prestasi'nya kepada rekan setimnya, Edward Doughty di podium klub memandang punggungnya dengan ekspresi muram. Ini adalah pertama kalinya seseorang di dalam tim menantang wewenangnya secara terbuka. Ini adalah tanda yang berbahaya. Tadinya, dia tidak akan mempertimbangkan tawaran untuk Pepe dari tim-tim besar. Bagaimanapun juga, dia adalah salah satu inti pertahanan tim Forest. Tapi sekarang dia harus mengubah pikirannya. Setelah memenangkan Treble, Pepe yang berusia tiga puluh satu tahun masih bisa mendapatkan harga yang bagus. Kalau dia menunggu setahun lagi, dia mungkin takkan bisa menjualnya meski dia ingin melakukannya...      

Twain tidak perlu mendongakkan kepalanya ke tribun di belakangnya untuk melihat ekspresi wajah Edward Doughty, si ketua klub, saat ini. Ketika para fans di stadion mencemooh Twain, Edward pasti merasa sangat senang karena itu artinya para fans tidak mengarahkan kebencian mereka pada klub melainkan pada Twain. Dengan begini, tekanan yang dirasakannya sudah hilang. Tapi aksi Pepe barusan menunjukkan bahwa ada orang di dalam tim yang tidak senang dengan manajemen senior di klub. Itu adalah perkembangan yang berbahaya. Ruang ganti pemain mulai mengalami keretakan.      

Jurnalis foto yang berkumpul di depan Twain akhirnya bubar. Target mereka saat ini adalah para pemain. Berkat mereka, Twain bisa memandang para pemain Forest sambil duduk di kursinya.      

Para pemain Forest berdiri dalam formasi untuk mengambil foto tim. Itu bukan foto tim yang diambil oleh setiap klub sebelum musim laga dimulai. Tapi itu mungkin menjadi foto tim terakhir dari era Tony Twain yang masih komplit.      

Apa yang lebih memilukan daripada menyaksikan runtuhnya dinasti yang dibangunnya sendiri dari pinggir lapangan?     

Twain berpikir sejenak dan tidak bisa menemukan jawabannya.      

Patung-patung berukir indah yang terbuat dari marmer, istana mewah berhiaskan permata yang dibangun dengan bata dan tiang dari giok, dekorasi berlapis emas dan perak, semuanya seolah sudah kehilangan vitalitas hidup. Sepotong demi sepotong mulai runtuh, jatuh ke tanah dan pecah berkeping-keping. Warna yang tadinya cemerlang mulai meredup dan kehilangan kilaunya. Tidak lama lagi, semuanya akan lapuk menjadi pasir. Dengan hembusan angin yang lain, bahkan pasir pun takkan terlihat lagi di tanah.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.