Mahakarya Sang Pemenang

Mengaku



Mengaku

0Ketika Tony Twain kembali ke Nottingham dengan Piala FA Cup, semua orang tahu apa tujuannya yang berikutnya. Pada titik ini, dia hanya akan menyia-nyiakan dua gelar juara sebelumnya kalau dia tidak memenangkan Treble.      

Seperti halnya usai pertandingan turnamen liga, Twain memberikan satu hari libur kepada tim setelah memenangkan gelar juara sehingga para pemain dan pelatih bisa beristirahat sebelum mereka siap menghadapi lawan yang kuat.      

Setelah memenangkan dua gelar juara, Tony Twain kembali menjadi fokus perhatian media. Para reporter masih tidak ingin melepaskan kesempatan untuk berada dekat dengannya dan mewawancarainya. Meski dia sedang berlibur, masih ada beberapa reporter yang ingin mewawancarainya.      

Pierce Brosnan adalah salah satunya. Dia memiliki satu kelebihan dibandingkan reporter lainnya – dia punya nomer ponsel pribadi Twain dan dia bisa menghubunginya kapan saja dimana saja, sementara reporter lain tidak memiliki keistimewaan itu. Twain tidak menyukai media. Meski dia tidak akan sukses dan arogan kalau bukan karena media, dia masih tidak mau memberikan kesempatan kepada media. Oleh karenanya, saat media lain ingin mewawancarai sang manajer, Tony Twain, secara eksklusif, mereka hanya bisa mengajukan permohonan kepada klub dan menunggu jawaban. Permohonan mereka biasanya tidak mendapatkan respon positif, jadi Twain disebut-sebut sebagai "manajer yang paling sulit diwawancara di Inggris" dan berada di peringkat pertama dalam "daftar manajer yang paling tidak disukai" di kalangan reporter.      

Brosnan berencana untuk menghubungi Twain melalui ponselnya hari ini untuk meminta sebuah wawancara eksklusif.      

Tapi dia sudah berusaha menghubunginya tiga kali berturut-turut sejak pukul 8 pagi dan ponsel Twain dimatikan.      

Brosnan menggelengkan kepalanya dengan bingung. Dia berpikir sejenak dan hanya bisa memikirkan alasannya pasti karena Twain masih di tempat tidur bersama istrinya, baik sedang tidur atau bercinta dan karenanya dia tidak menyalakan ponselnya.      

Kelihatannya memang sulit untuk mewawancarai pria itu...      

※※※     

Brosnan mengira Twain sedang berolahraga pagi dengan istrinya. Tapi sebenarnya dia salah.      

Pada pukul delapan pagi, Twain keluar rumah sendirian sementara Shania masih tertidur lelap setelah menghabiskan malam yang penuh gairah.      

Walaupun Shania sudah bangun, Twain takkan mengajaknya serta. Karena untuk tempat yang dituju Twain dan urusan yang perlu diselesaikannya, dia tidak ingin diganggu orang lain, bahkan oleh istrinya, orang yang paling penting dalam hidupnya. Agar tidak diganggu orang lain, dia mematikan ponselnya.      

Tempat yang ditujunya berada di selatan Nottingham, dekat Clifton. Seperti bagian utara Nottingham, ada hutan lebat yang cukup besar disini. Dibelakang sebuah gereja yang berada diatas bukit terdapat sebuah pemakaman yang tersembunyi dari pandangan.      

Gavin Bernard, penggemar pertama dalam hidup George Wood, beristirahat disini.      

Sebenarnya, Twain sudah datang kemari belum lama ini. Meski dia orang Inggris, dia masih belum melupakan beberapa kebiasaan tradisional Cina yang berakar kuat di dalam dirinya. Sebagai contoh, setiap tahun selama Festival Qingming, dia akan datang kemari dan memberikan persembahan untuk Gavin. Di hari itu, Twain selalu meluangkan waktu untuk melakukan perjalanan kemari. Kalau tim harus melakukan pertandingan tandang pada hari Festival Qingming, dia akan datang sehari sebelum atau sesudah pertandingan. Orang-orang di sekelilingnya tidak mengerti kenapa dia memilih untuk mengunjungi Gavin di waktu-waktu ini, karena tidak ada Festival Qingming di penanggalan negara Barat.      

Kembali lagi kemari dalam waktu kurang dari sebulan, Twain membawakan dua kabar baik untuk Gavin.      

"Juara turnamen liga dan FA Cup." Twain berdiri di makam Gavin dan berkata padanya, "Semua orang diluar sana hampir gila karena senang. Apa kau tahu sudah berapa lama Nottingham Forest tidak memenangkan FA Cup? Lima puluh lima tahun. Sudah setengah abad. Hah, jujur saja, aku tidak memikirkan tentang hal ini sebelum pertandingan itu. Tapi saat para reporter bertanya tentang ini usai pertandingan berakhir, aku baru tahu bahwa kita sudah lama sekali tidak pernah memenangkan piala FA Cup. Tapi semuanya baik-baik saja sekarang. Lima puluh lima tahun kerinduan itu sudah berakhir. "     

"Apa kau menonton dua pertandingan itu? Sangatlah sulit untuk memenangkan turnamen liga. Aku hampir menyerah... Jujur saja, aku hanya akan mengatakan ini padamu, Gavin. Tidak ada orang lain yang tahu... Aku benar-benar ingin menyerah di tiga menit terakhir itu. Aku bahkan sudah memikirkan bagaimana caranya menghadapi para reporter yang menjengkelkan itu. Soal makan meja?! Aku bisa makan meja yang terbuat dari kue coklat dengan mudah. Lagipula, aku tidak mengatakan apa-apa tentang material meja itu! Ha!"     

Twain tertawa puas.      

"Sangatlah melelahkan menjadi seorang manajer. Aku hampir berakhir dibawah sana untuk menemanimu. Tapi aku ini pria tangguh. Banyak sekali orang yang ingin agar aku mati tapi aku menolak untuk itu. Jadi, aku masih hidup dan aku akan terus memenangkan gelar juara untukmu. Tapi..." Twain berpikir sejenak, "Ada sesuatu yang terpendam di dalam hatiku selama hampir setahun, dan aku tidak memberitahu siapapun, bahkan istriku. Sekarang aku akan memberitahumu, karena aku tahu kalau kau tidak akan memberitahu siapapun... Aku akan memberi mereka kejutan besar saat waktu itu tiba!"     

Twain menoleh ke sekeliling. Tidak ada orang lain di pemakaman kecil itu kecuali dirinya. Angin bertiup dari hutan melewati pemakaman itu dan suara gemerisik dedaunan adalah satu-satunya suara yang terdengar.      

Twain berlutut di satu kaki dan memegang nisan seolah dia sedang mengelus kepala Gavin. Dia menunduk dan menggerakkan bibirnya disamping nisan, tapi tidak ada suara yang keluar.      

Setelah itu, dia bangkit berdiri sambil tersenyum dan kemudian berkata, "Bagaimana menurutmu? Aku sangat menantikan ekspresi terkejut mereka. Tapi aku harus minta maaf padamu.. Yah, toh kau tidak akan menjadi ketua klub Nottingham Forest. Kalau kau bisa melakukannya, aku pasti masih berada di posisi itu meski aku sudah berusia sembilan puluh delapan tahun. Kadang-kadang aku menantikan hari itu dan aku merasa gembira dengan hanya membayangkannya di benakku."     

Twain memiringkan kepalanya sedikit, seolah dia sedang membayangkan tentang masa depan itu.      

"Tapi..." Dia mengalihkan pandangan dan kembali terfokus pada batu nisan. "Aku hanya bisa membayangkannya di benakku."     

"Tinggal satu gelar juara lagi." Twain menghela nafas panjang, "Tiba-tiba saja aku merasakan lelah yang baru muncul belakangan. Apa kau juga merasakannya, Gavin? Saat kau berlari maraton dan melihat garis akhirnya sudah dekat, tapi tubuhmu tidak terasa nyaman – kau tidak mau berlari lagi, kakimu sudah kehabisan energi, kau bahkan tidak bisa bernafas dan seolah-olah hanya bisa berhenti. Karena kau sudah lelah."     

Twain duduk di tanah, berhadap-hadapan dengan nisan.      

"Aku benar-benar tidak mau berlari lagi, tapi aku hanya bisa mengatakannya padamu disini. Aku hanya bisa mengeluh padamu. Kalau aku benar-benar jatuh sebelum mencapai garis akhir, aku akan membunuh diriku sendiri. Tak peduli bagaimana hasil akhir pertandingan berikutnya, setidaknya aku tidak boleh menyerah sampai akhir pertandingan. Kau tahu, Gavin? Banyak orang memperhatikanku. Para pemainku, para kolegaku, bosku, para fansku, lawan-lawanku... Banyak sekali mata yang memperhatikanku dan aku tidak boleh membuat kesalahan. Para pendukungku pasti akan kecewa kalau aku membuat kesalahan sementara lawan-lawanku akan bertepuk tangan gembira. Kau pasti akan bertanya kenapa aku harus memusuhi begitu banyak orang, bukan? Aku tidak bisa memperbaiki temperamenku yang buruk. Aku benar-benar tidak bisa berpura-pura... menjadi orang baik. Karakter yang hangat sama sekali tidak cocok untukku. Aku ini ekstrim. Entah itu aku yang mati atau mereka yang mati... Aku sudah berusia empat puluh lima tahun dan masih bertingkah seperti anak kecil."     

"Yah, sebenarnya aku tidak setua itu..." Twain terbatuk. Dia merasa tidak nyaman setelah dia menyatakan usianya. "Aku akan memberitahumu sebuah rahasia kecil, yang tidak diketahui siapapun bahkan orang yang paling dekat denganku sekalipun. Aku... yah..." Dia mengangkat kepala dan memandang berkeliling. Masih tidak ada orang lain disana. "Aku berasal dari ruang dan waktu yang berbeda. Di dalam ruang dan waktu itu, aku bukan manajer Forest. Aku bahkan bukan orang Inggris. Aku sangat biasa, dan aku juga tidak mengenalmu. Kalau aku tidak datang kemari, kau tidak akan berbaring disini, bukan?"     

Twain menggelengkan kepalanya dan berkata, "Lebih baik kita tidak membicarakan tentang itu. Aku akan kehilangan semangat juangku setelah bicara terlalu banyak tentang beberapa hal."     

Saat dia masih mengobrol dengan Gavin sambil duduk di tanah, seseorang memasuki pintu masuk pemakaman.      

※※※     

George Wood membeli seikat bunga di luar gereja dan meminta sebuah kartu. Dia menulis di atasnya dengan tulisan tangannya yang bengkok, "Untuk Gavin, George-mu."     

Hanya tulisan "George" yang terlihat bagus, karena dia sudah terlatih dalam memberikan tanda tangannya kepada fans.      

Saat dia menulis di kartu itu, dia ingat bagaimana Twain menertawakan tulisan tangannya yang buruk.      

"Lihatlah kata-kata yang kautulis. Itu lebih buruk daripada tulisan tangan anak sekolah dasar!"     

Wood memasukkan kartu itu ke dalam buket dan membawa buket itu lalu baru akan melangkah keluar dari toko bunga.      

Pada saat inilah pemilik toko bunga itu bertanya padanya dengan suara pelan, "Apa kau benar-benar George Wood?"     

Saat Wood melangkah masuk ke dalam toko bunga, si pemilik toko mengira dia berhalusinasi.      

Wood tidak banyak berkata-kata. Dia hanya mengambil beberapa bunga lili, meminta sebuah kartu, membayar dan pergi. Seluruh kejadian ini berlangsung kurang dari semenit dari sejak dia melangkahkan kakinya ke dalam toko dan hanya mengucapkan dua kalimat.      

"Tolong beri aku buket bunga lili dan sebuah kartu."     

"Terima kasih."     

Wood tidak punya kebiasaan memakai kacamata hitam untuk menyembunyikan identitasnya saat dia bepergian. Tapi dia juga tidak mengambil inisiatif untuk menunjukkan siapa dirinya. Pemilik toko bunga itu mulanya tidak bereaksi karena dia tidak berpikir George Wood akan benar-benar datang ke toko bunganya yang kecil ini. Baru setelah Wood pergi dia bisa bereaksi.      

"Apa yang dia lakukan disini?" Dia mengerutkan kening dan bergumam heran.      

※※※     

Saat Wood melangkah ke dalam pemakaman, dia melihat ada seorang pria sedang duduk di depan makam yang menjadi tujuannya, seolah dia sedang mengatakan sesuatu.      

Setelah mendekatinya, dia mengenali pria yang duduk di tanah itu sebagai bossnya.      

Twain baru menyadari bahwa Wood ada di dekatnya. Tidak satupun dari mereka yang terkejut melihat yang lain ada disini.      

Twain bangkit berdiri dan memberikan jalan kepada Wood. Wood melangkah maju untuk meletakkan buket bunga itu di depan nisan, dekat dengan buket yang diletakkan Twain disana.      

"Apa kau mau aku memberimu sedikit privasi?" Twain baru akan pergi lebih dulu.      

Wood menggelengkan kepalanya dan berkata, "Tidak. Aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan."     

"Kau tidak punya perasaan, George." Twain mulai menggoda George.      

Tanpa diduga, Wood menjawab, "Aku tidak tahu harus mengatakan apa."     

Twain menatap kosong sesaat lalu mengibaskan tangannya. Dia berkata, "Kalau begitu, ayo kita pergi. Aku akan memberimu tumpangan pulang."     

Wood mengangguk.      

Kedua pria itu melirik sekilas ke arah nisan batu Gavin Bernard di saat yang bersamaan lalu berbalik untuk pergi.      

"Apa kau tidak akan membeli mobil, George? Kau sudah jadi bintang besar sekarang. Orang-orang mungkin akan menertawakan seorang bintang besar yang tidak punya mobil."     

"Aku tidak terlalu membutuhkannya sekarang."     

"Kau benar-benar punya ekspektasi rendah dalam hidup... Apa kau tidak akan mencari seorang kekasih? Berapa usiamu saat ini, George?"     

"Dua puluh tujuh."     

"Dua puluh tujuh dan kau masih tidak ingin mencari seorang kekasih. Apa kau mau orang-orang mengatakan kalau kau gay?"     

"Aku menyayangi ibuku."     

Twain menoleh sekilas untuk memandang Wood dan tidak mengatakan apa-apa lagi.      

Tidak akan ada orang yang percaya kalau seorang bintang sepakbola berusia dua puluh tujuh tahun masih melajang. Tapi ini bisa diduga dan masuk akal kalau membicarakan tentang George Wood. Kelihatannya hanya ada ruang untuk satu orang wanita di dalam hidupnya dan itu adalah ibunya. Anak dengan kompleks Oedipus tidak akan pernah bisa membayangkan bagaimana rasanya memiliki wanita lain untuk berbagi cinta. Bahkan Twain punya keyakinan kuat bahwa akan jadi pemandangan yang sangat aneh kalau suatu hari nanti ada seorang wanita yang bukan ibunya berdiri di sisi Wood...      

※※※      

Saat dia mengantarkan Wood pulang, Twain bertemu dengan Sophia.      

Sophia tampak senang bisa bertemu Twain. Wajahnya bahkan memerah. Dia ingin Twain tinggal untuk makan siang, tapi Twain harus menolaknya karena dia harus pulang ke rumah dan menghabiskan waktu bersama istrinya. Shania pasti sudah membuatkan makan siang dan sedang menunggunya pulang.      

Sophia sedikit kecewa, tapi ekspresi itu segera ditutupinya.      

Twain bahkan tidak sempat masuk ke dalam rumah. Dia selalu berada dalam suasana hati yang rumit setiap kali dia berhadapan dengan Sophia. Dia tahu bagaimana perasaan Sophia terhadapnya, tapi dia adalah seorang pria beristri, dan dia merasa tidak pantas baginya untuk berduaan dengan Sophia. Agar Sophia tidak terus menaruh harapan padanya, kadang dia sengaja menjaga jarak. Itu jelas akan sedikit melukai hati Sophia. Tapi itu lebih baik daripada berbohong pada Sophia.      

Saat Sophia mendesak Twain untuk tinggal dan makan siang bersama, Wood hanya berdiri di sampingnya dan tidak mengatakan apa-apa.      

Twain mengingat kata-kata Wood dan merasa aneh. Dia tidak berlama-lama disana dan segera berpamitan pada ibu dan anak itu.      

Di hatinya, dia berharap Sophia dan George akan hidup bahagia.      

※※※     

Pierce Brosnan menelepon sepanjang hari. Tapi, ponsel Twain selalu dimatikan. Dia merasa bingung. Ponsel Twain jarang dimatikan. Bahkan pada pukul dua atau tiga dini hari, biasanya Twain masih bisa dihubungi. Tentu saja, tidak heran kalau dia akan diomeli olehnya setelah panggilan telepon itu tersambung dan kemudian ditutup olehnya.      

Dia memikirkan berbagai kemungkinan di kepalanya. Semakin dia memikirkannya, semakin parah jadinya maka dia memutuskan untuk tidak memikirkannya.      

Panggilan teleponnya baru tersambung setelah pukul 9 malam.      

Ketika akhirnya dia mendengar suara yang terdengar bukanlah pesan "nomer yang Anda tuju sedang tidak aktif", melainkan nada tunggu 'biip-biip-biip-biip', dia bisa merasakan dorongan kegembiraan.      

"Aku mencoba menghubungimu sepanjang hari, Tony!" Brosnan berseru senang di telepon.      

"Apa kau berusaha merayuku? Sayangnya, aku tidak suka pria, Tn. Reporter," Twain bercanda dengan Brosnan.      

"Aku ingin memintamu melakukan wawancara. Sekarang setelah kau menjadi manajer yang paling dicari, aku khawatir aku sudah terlambat, dan kau akan direbut media lain..."     

"Aku bukan merchandise... Baiklah, aku janji, tapi tidak sekarang, besok maupun lusa... Aku tidak akan menerima wawancara apapun sampai final Liga Champions. Aku sudah menolak semua permohonan wawancara yang diajukan melalui klub. Kau juga bukan pengecualian meski kita punya hubungan baik."     

"Apa itu supaya kau bisa mempersiapkan diri menghadapi final Liga Champions dengan tenang?"     

"Tentu saja. Sebenarnya, aku membantumu, Tn. Reporter. Setelah aku memenangkan Liga Champions, akan sulit bagimu untuk meminta wawancara dariku." kata Twain dengan serius di telepon.      

Twain bersikap sombong, tapi Brosnan tidak peduli, selama Twain menjanjikannya wawancara.      

"Yah, itu bagus. Aku hanya ingin mengkonfirmasikan ini... Kalau begitu, aku akan meninggalkan kalian berdua untuk ..." Brosnan segera menutup ponselnya setelah dia mendengar suara tawa Shania di ujung telepon yang lain.      

※※※     

Shania tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa saat dia melihat wajah datar Twain yang berusaha bersikap sombong.      

Twain meletakkan ponselnya dan membuka tangannya ke arah Shania.      

Shania segera mendekat dan bersandar di pelukan suaminya.      

"Kemana kau mau pergi musim panas ini, Shania?" Twain mencium lembut rambut Shania dan bertanya.      

"Bukankah kau akan sibuk? Bukannya BBC memintamu untuk mengomentari Piala Dunia di Afrika Selatan? Setelah Piala Dunia berakhir, tim akan kembali berlatih, bukan?" tanya Shania dengan heran.      

Twain tersenyum dan berkata, "Siapa yang bisa menebak apa yang akan terjadi di masa depan? Kemana kau mau pergi?"     

Shania meringkuk di pelukan Twain dan memejamkan matanya sambil menikmati belaian Twain dan bergumam, "Kemana saja tidak masalah, selama aku bersama Paman Tony..."     

Twain membelai rambut Shania dengan sayang dan tidak mengatakan apa-apa.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.