Mahakarya Sang Pemenang

Epilog: Saat Usiaku Enam Puluh Tahun



Epilog: Saat Usiaku Enam Puluh Tahun

0Cahaya kuning lampu kristal di langit-langit tidak bisa menerangi seluruh bar. Tapi, di akhir musim gugur yang hampir selalu hujan, cahaya itu bisa memberikan sedikit kehangatan di dalam hati.      

Banyak orang yang datang ke bar dengan dekorasi kuno ini. Mereka berkumpul dalam kelompok tiga atau empat orang untuk mengobrol tentang hari itu atau mungkin juga tentang hal-hal lain. Tapi, mata semua orang sering melirik ke pintu seolah mereka sedang menunggu seseorang yang khusus.      

Musik yang menenangkan sedang diputar di dalam bar. Itu adalah sebuah lagu lama, When I'm Sixty Four dari Beatles.      

Ketika aku sudah tua dan kehilangan rambutku.      

Bertahun-tahun dari sekarang.      

Apa kau masih akan mengirimiku Valentine?     

Ucapan ulang tahun, sebotol anggur.      

---     

Suara-suara di bar itu tidak terlalu bising, jadi suara lembut the Beatles terdengar jelas. Semua orang menjaga suara mereka tetap rendah dan mengobrol dengan suara pelan.      

Diluar pintu terdapat tanda – Tutup.      

Dengan kepala dipenuhi rambut putih, Kenny Burns yang agak bungkuk duduk di balik bar kayu yang sudah agak rusak, memegang gelas di satu tangan dan lap di tangan yang lain.      

Matanya memandang lurus ke depan, menembus jendela kaca gaya-lama yang tertutup selapis embun, untuk melihat keluar.      

Sebuah situs konstruksi sudah mulai menggali tanah di seberang jalan. Pagar putih dirobohkan ke tanah dan tampak kotor sehingga tampilan awalnya tidak lagi bisa dibayangkan. Sebuah mesin penggali diparkir di sisi jalan. Hujan sedikit deras hari ini dan pekerjaan di situs konstruksi itu dihentikan untuk sementara.      

Setahun yang lalu, tempat itu adalah deretan bangunan tempat tinggal dua-lantai.      

Kabarnya sebuah supermarket besar akan dibangun disini dua tahun lagi. Di belakang Forest Bar juga ada sebuah situs konstruksi dimana beberapa bangunan tinggi akan dibangun untuk kantor-kantor baru. Wilford telah menjadi pusat pembangunan baru di Nottingham.      

Bar di sudut jalan ini telah berdiri sendiri cukup lama diantara dua situs konstruksi, dikelilingi mesin-mesin konstruksi. Tempat ini seperti sebuah pulau terpencil yang dikelilingi monster mekanik.      

Terdengar suara raungan mesin mobil diluar pintu, diikuti suara mobil yang berhenti. Mendengar suara itu, orang-orang di dalam ruangan tidak lagi berbicara dan mengalihkan pandangan mereka ke pintu masuk.      

Orang yang mendorong pintu bar hingga terbuka adalah seorang wanita. Semua orang agak kecewa pada mulanya, tapi kemudian mereka semua berdiri.      

"Nyonya," Mereka semua menyapa penuh hormat pada wanita yang berdiri di pintu.      

"Kalian semua mengejutkanku, tiba-tiba saja berdiri seperti itu..." Si pembicara mendorong pintunya terbuka tapi tidak langsung masuk. Dia hanya berdiri disana untuk menunggu seseorang.      

Melihatnya seperti ini, semua orang juga ikut menunggu. Setiap orang menjulurkan leher mereka dan menatap keluar pintu, penuh rasa ingin tahu.     

Orang kedua yang muncul di pintu adalah Wood. Wood mengambil alih pekerjaan si wanita dan menjaga pintunya tetap terbuka. Sementara si wanita melangkah keluar.      

Meski mereka masih belum melihat pria itu, semua orang sudah mendengar suaranya yang familiar dan agak serak itu.      

"Jangan memegangiku. Apa aku terlihat tidak bisa jalan sendiri?"     

"Baiklah, baiklah, kau boleh membimbingku kalau kau mau. Berpegangan saja di tanganku dan itu sudah cukup. Jangan membuatnya terlihat seolah kau sedang membimbing seorang pasien..."     

Sebelum suara itu memudar, pemilik suara itu muncul di pintu.      

Ketika sosok yang sedikit bungkuk itu melangkah masuk, semua orang di bar membuka mulut mereka dan berteriak, "Boss!"     

Melihat pemandangan di hadapannya, pria tua itu membuka mulutnya dan tertawa. Dia mengangkat tangannya dan berkata, "Lama tidak bertemu, guys."     

Seluruh bar menunggu pria itu – Tony Twain akhirnya tiba disini.      

Wanita yang membimbingnya tentu saja istrinya, Shania.      

※※※     

Twain melepaskan topi bertepi lebar gaya kuno yang ia kenakan dan Wood mencoba menangkapnya, tapi Shania berhasil mendapatkannya lebih dulu. Lalu, sebuah syal abu-abu dan jas hitam juga diserahkan padanya. Shania pergi menggantung pakaian itu dan Twain duduk di kursinya, dikelilingi orang-orang. Dia mengangkat gelas berisi air soda di meja dan berkata, "Aku tidak minum alkohol. Kalian lakukan saja apa yang kalian mau."     

Setelah itu, semua orang menghampirinya, mereka ingin bercakap-cakap dengannya.      

Orang pertama yang berhasil melakukannya adalah Kenny Burns, pemilik bar, seorang pria yang jauh lebih tua dibandingkan semua orang yang hadir disana.      

Dia berjalan pelan ke arah Twain, menarik sebuah kursi dan duduk diatasnya. Setelah melihat ini, semua orang lain perlahan mulai mundur teratur.      

"Lihat dirimu, kau jadi begitu tua," Twain mendengus ke arah Burns.      

"Kau juga tidak lebih baik, Tony," Burns memandang pria di hadapannya. Rambutnya jauh lebih putih daripada sebelumnya, tapi dia tampak bersemangat. Warna kulit Twain tampak kemerahan, dan terlihat lebih kuat daripada dirinya.      

Tapi, setelah dipikir-pikir lagi, dia sendiri berusia 75 tahun sementara Tony masih 60 tahun, 15 tahun lebih muda darinya. Memikirkan ini, bukankah dia juga penuh semangat dan sehat saat dia masih berusia 60 tahun? Orang-orang akan selalu menua. Itu sudah menjadi hukum alam.      

"Aku hampir tersesat tadi. Area ini sudah banyak berubah. Ha!" Twain tertawa.      

Ketika dia duduk di mobilnya dalam perjalanan kesini tadi, dia mulai tertawa melihat pemandangan lingkungan disini dan bar Burns. Tidak satupun dari Shania ataupun Wood, yang menyetir mobil, tahu kenapa dia tertawa. Tentu saja, mereka takkan tahu. Mereka mungkin takkan pernah tahu tentang ini sepanjang sisa hidup mereka. Melihat Forest Bar dikelilingi mesin konstruksi dan sebuah situs konstruksi yang sudah digali, kata "bertahan" tiba-tiba saja muncul di benak Twain. Dalam pandangan Twain, Kenny Burns jelas mencoba bertahan disini. Bangunan yang ada di sekitar bar sudah dihancurkan, hanya bar itu yang tersisa. Tapi, kabarnya adalah bar itu juga tak bisa lepas dari nasib untuk dirobohkan.      

"Ada perencanaan ulang untuk area ini," kata Burns sambil memandang ke luar jendela dimana terdapat mesin penggali disana. "Setelah semuanya usai, bar-ku akan ditutup."     

Twain tidak terkejut mendengarnya. Dia mengangguk dan berkata, "Dan apa yang akan kaulakukan?"     

"Aku akan pulang,"     

Mendengarnya mengatakan itu, Twain terdiam sejenak dan baru sadar bahwa rumah Burns bukan disini, melainkan di Skotlandia. Dia telah tinggal disini selama bertahun-tahun dan ini membuat banyak orang mengira dia berasal dari Nottingham...     

Stadion City Ground sudah dihancurkan dan kompleks pelatihan Wilford juga sudah dihancurkan. Sekarang bar ini juga akan dihancurkan. Semua yang telah menyaksikan tahun-tahun yang telah berlalu mulai menghilang satu per satu di depan matanya. Twain tiba-tiba saja terdiam.      

Burns tahu apa yang dipikirkan Twain. Dia menepuk meja dengan ringan. "Untungnya, bar dan lapangan bisa dirobohkan, tapi kenangan tidak bisa dihilangkan."     

Setelah dia mengatakan itu, Twain tersenyum. Dia memikirkan tentang sebuah lagi. Burns jelas tidak pernah mendengar algu itu, tapi maknanya persis sama. Dia mengangguk dan berkata, "Kenangan itu masih disana. Dimana John dan yang lainnya?"     

Dia juga masih mengingat para fans.      

"Sekarang mereka sudah tidak segila dulu. Bagaimanapun juga, sekarang mereka jadi lebih tua. Sekarang adalah giliran anak-anak mereka untuk jadi gila. Tapi mereka tidak datang kemari. Anak-anak muda bilang tempatku terlihat suram dan tidak cocok untuk anak-anak muda."     

Twain tertawa. Bar Burns memang terlihat kuno dan usang. Meski dia menjaganya tetap bersih dan rapi, dia tidak bisa menghilangkan perasaan kuno seperti kertas foto yang menguning dan film lama. Ini tidak banyak berubah dari sejak dia datang kemari untuk yang pertama kalinya, kecuali ada lebih banyak foto kelompok yang menunjukkan dirinya memimpin tim memenangkan gelar juara di tahun-tahun yang lalu. Tapi, foto-foto kelompok itu kini juga terlihat agak pudar.      

"Sudah lama sekali aku tidak melihat mereka..."     

Twain bergumam pada dirinya sendiri.      

Hari ini adalah kunjungan pertamanya ke bar setelah sepuluh tahun berlalu. Ada perasaan bahwa berbagai hal tetap sama, tapi orang-orang telah berubah.      

Sejak dia pensiun sepuluh tahun yang lalu, dia melakukan perjalanan keliling dunia bersama istrinya. Mereka tinggal di Pantai Barat Amerika Serikat selama beberapa waktu dan menghabiskan beberapa waktu pula di Nottingham. Mereka bahkan sempat tinggal di Cina dan orang-orang yang tidak mengenal mereka mengira bahwa keduanya sudah tinggal di Cina selama bertahun-tahun.      

Seperti yang dinyatakan dalam media, hidup Twain di masa pensiun ini cukup bebas. Kalau bukan karena ada masalah kesehatan di awal tahun lalu, dia mungkin masih terus melanjutkan hidupnya yang bebas dari kecemasan.      

"Kadang mereka akan bertanya tentangmu," kata Burns sambil memandang mesin penggali di luar jendela. "Sekelompok pria tua akan berkumpul bersama dan membicarakan tentang dirimu. Aku melihat John memarahi putranya, menampar kepalanya dan memarahinya karena bicara omong kosong tentang hal-hal yang tidak dialaminya, ha..."     

Twain penasaran dengan apa yang dikatakan putra John.      

"Itu bukan apa-apa. John muda hanya berkata kalau Dunn juga sama bagusnya sepertimu."     

Mendengar ini, Twain tertawa geli.      

"John memarahinya karena itu. Dunn hanya memenangkan dua gelar juara dalam sepuluh tahun. Itu jauh berbeda dengan 16 tahun dan 16 piala kejuaraan. Bagaimana mungkin dia sebagus dirimu? Pria-pria tua selalu suka mengenang masa lalu..."     

"Salah. Kalau mereka mulai mengenang masa lalu, itu artinya mereka sudah tua," Twain membenarkan ucapannya.      

"Bukankah saat ini kita juga mengenang masa lalu?"     

"Itu artinya kita juga sudah tua," jawab Twain.      

※※※     

Pepe dan Pique berhasil mengumpulkan beberapa orang dari lini pertahanan kala itu dan mereka datang untuk mengambil foto kelompok dengan Twain. Twain memberitahu mereka bahwa dia punya patung perunggu yang didirikan di luar stadion Crimson, yang selesai dibuat empat tahun lalu. Pepe mengatakan bahwa dengan adanya pria sungguhan di depan mereka, kenapa mereka mau pergi dan berfoto dengan patung? Kata-katanya disetujui oleh orang-orang yang lain. Setelah melakukan pemungutan suara, Twain menjadi kandidat utama untuk foto kelompok.      

Beberapa orang berdiri di depan kamera, mengerumuni Twain yang berdiri di tengah, dan tersenyum cerah dibawah kilatan lampu kamera.      

Dengan bantuan kakeknya, Pique bergabung dengan dewan direktur Barcelona dan diharapkan akan menjadi presiden klub.      

Pepe, yang bepergian antara Brasil dan Portugal, kini telah membuka restoran di kedua lokasi. Dia tidak lagi bekerja di bidang terkait sepakbola. Pepe terlihat lebih gemuk daripada sebelumnya dengan perut buncit dan tampak mencolok di tengah kerumunan. Wajahnya juga tampak lebih bulat.      

Gareth Bale, Rafinha, Akinfeev, serta Pepe dan Pique, lini pertahanan tim Forest di masa kejayaan mereka, berkumpul di dekat Twain, memberi kesan bahwa mereka telah kembali ke masa lalu. Pria Rusia itu telah kembali ke negara asalnya dan menjadi pelatih kiper untuk tim FC Lokomotiv Moscow. Saat ini dia adalah pelatih kiper untuk timnas Rusia. Sebagian besar pemain memilih pekerjaan terkait sepakbola ketika mereka pensiun.      

Rafinha, yang dipekerjakan oleh Arsenal, menjadi perekrut tim sepakbola Arsenal di Brasil, bertugas untuk menggali bakat-bakat Brasil untuk klubnya.      

Bale bergabung dengan FA Wales. Dia telah menjadi pemain paling sukses di Wales setelah Ryan Giggs. Masuk akal kalau dia bergabung dengan FA Wales. Penampilan nakal seorang 'monyet kecil' kala itu tidak lagi terlihat dari diri Bale. Berpakaian tanpa cela, dia sudah terlihat seperti seorang pejabat tinggi.      

Tapi, saat Twain memanggilnya 'monyet kecil', dia masih menjawabnya dengan senang hati.      

Setelah mereka dari lini pertahanan belakang sudah pergi, sejumlah kecil orang dari lini tengah bergerak mendekat. Twain tampak terkejut dan bertanya, "Apa kalian merencanakan semua ini? Apa kalian datang dalam gelombang?"     

Semua orang tertawa dan berkumpul di dekatnya. Mereka mengambil foto kelompok lagi.      

Ketika Ribery meninggalkan tim Forest waktu itu dibawah dugaan melarikan diri dari tim, bentrokan terjadi ketika semua orang bertemu kembali di lapangan. Sekarang, ketika masa lalu itu disinggung lagi, itu lebih terasa seperti "semuanya sudah dimaafkan dan dilupakan dengan senyuman." Hanya saja senyumannya masih terlihat jelek untuk dilihat karena bekas luka itu masih ada di wajahnya. Sejalan dengan bertambahnya usia, dia tidak lagi tampak menyeramkan. Sekarang dia menjalankan agensinya sendiri dan menjadi agen bagi sejumlah pemain Perancis. Dia sudah dianggap sebagai seorang pebisnis sukses. Di tim Nottingham Forest, saat ini ada satu pemain Perancis yang diwakilinya sebagai agen.      

Kedua pria itu mengambil giliran pertama dan kemudian semua orang ikut berfoto bersama Twain. Ada foto kelompok dan foto tunggal. Twain memanfaatkan kesempatan selama berfoto bersama ini untuk mengobrol singkat dan bertanya kabar semua orang.      

Semua pria itu, yang pernah mengguncangkan stadion dan mengamuk di dunia sepakbola Eropa, telah pensiun dan menjadi pria-pria paruh baya yang gemuk. Beberapa diantaranya masih saling berhubungan satu sama lain, sementara orang-orang lain hanya bertemu lagi karena pertemuan ini. Sebagian besar diantara mereka memiliki mata pencaharian dan karir yang berbeda dari sebelumnya. Tapi hari ini, di dalam bar yang akan segera dihancurkan, mereka menggunakan kembali identitas lama mereka sebagai pemain Nottingham Forest dibawah bimbingan Tony Twain.      

Setelah melakukan foto kelompok, mereka masih terus mengobrol bersama dalam kelompok tiga atau empat orang, mengenang kembali peristiwa sepakbola yang mereka rindukan selama bertahun-tahun atau mengobrol tentang hari-hari masa lalu yang luar biasa di lapangan.     

Twain tidak ikut berpartisipasi. Dia duduk bersama istrinya, Shania, memandang semua yang terjadi di depan matanya dan merasa sangat puas.      

Tiba-tiba saja dia teringat sesuatu yang sudah nyaris terlupakan olehnya. Biasanya dia tidak memikirkan tentang itu.      

Kalau dia mengingatnya dengan benar, itu terjadi pada bulan Mei 2004, ketika dia menghadiri pesta yang mirip dengan ini. Tapi, tokoh utama saat itu adalah Brian Clough dan para pemainnya. Mereka sedang merayakan ulang tahun ke-15 dalam memenangkan Liga Champions. Saat itu, melihat orang-orang berbicara dengan arogan dan mengenang masa-masa tahun 70an, dia merasa sangat iri karena hanya bisa melihatnya sebagai orang luar. Dia punya fantasi di dalam benaknya bahwa suatu hari nanti, dia juga bisa duduk disini bersama mantan pemainnya dan mengenang hari-hari mereka menjadi raja di Eropa.      

Sekarang fantasinya itu menjadi kenyataan. Lokasinya masih tetap sama, tapi orang-orangnya yang berbeda.      

Sebagai asisten manajer tim juara waktu itu, Dunn juga diundang untuk hadir. Sekarang dia adalah manajer Nottingham Forest dan dia sengaja mengambil cuti untuk menghadiri pertemuan ini. Saat ini, dia sedang duduk menyendiri, mengobrol dengan kolega lamanya. Twain menemukannya. Dia tidak tahu apakah dia masih berbagi visi yang sama dengan mereka setelah semua waktu yang telah berlalu.      

Dia bangkit berdiri dan berjalan menghampiri mereka. Dia duduk di dekat para pelatih.      

"Guys, aku senang melihat kalian semua ada disini."     

Semua orang bangkit berdiri untuk menunjukkan rasa hormat ketika mereka melihat Twain datang menghampiri. Mereka baru duduk setelah Twain duduk.      

Twain melihat sekeliling dan bertanya, "Dimana Freddy?"     

"Oh, dia. Dia bilang dia menganggap dirinya sebagai pemain dan pergi untuk mengenang masa lalu bersama rekan-rekan setim lamanya," David Kerslake, yang lebih tua daripada Twain, menunjuk ke samping dan Twain melirik sekilas. Benar saja, Eastwood sedang duduk bersama Ribery dan membicarakan tentang entah apa.      

Dia nyengir dan mengalihkan pandangannya.      

"Kalian semua sudah tua."     

"Bukankah kau juga sama, Tony?" pria besar itu membalasnya.      

Sebagian besar dari orang-orang ini melanjutkan pekerjaan mereka di tim Forest, dan merupakan kelompok yang jarang berubah. David Kerslake masih menjadi asisten manajer untuk tim Forest, sementara Eastwood menjadi manajer untuk tim pemuda.      

"Bagaimana dengan kedua putrimu, Tony?" seseorang diantara mereka bertanya.      

Segera setelah dia mendengar pertanyaan itu, dia jadi semakin bersemangat. Dia membusungkan dadanya dan berkata bangga dengan kepala terangkat tinggi, "Teresa tumbuh menjadi gadis yang cantik. Sementara untuk Liv... Untungnya, dia lebih mirip ibunya."     

Terdengar tawa diantara kerumunan.      

Teresa sudah berusia 14 tahun, dia cantik dan lemah lembut. Kapanpun Twain melihatnya, Twain merasa kasihan pada orangtua kandung Teresa – bagaimana mungkin mereka tega menelantarkan putri mereka yang cantik itu?     

Liv adalah putri bungsu Twain, bayi yang dilahirkan Shania di tahun dia pensiun. Usianya sekarang hampir mencapai sepuluh tahun. Tidak seperti Teresa yang lemah lembut dan pendiam, Liv sangat aktif dan penuh semangat, dengan karakter seperti gadis Barat pada umumnya, sangat mirip ibunya.      

Yang membuatnya senang, Liv dan Teresa memiliki hubungan yang baik. Liv tidak pernah menggertak atau menindas kakak perempuannya yang tertutup, lemah lembut dan pemalu. Ini mungkin ada kaitannya dengan contoh yang diberikan oleh dirinya dan Shania – setelah Liv lahir, Teresa khawatir dia akan kehilangan kasih sayang kedua orang tuanya, tapi pasangan itu justru semakin melimpahinya dengan kasih sayang.      

Yang membuatnya kesal, Liv lebih suka tinggal di Pantai Barat Amerika Serikat yang cerah dibandingkan dengan Inggris yang dingin. Karakternya mirip seperti orang Amerika dan dia kadang terlalu bersemangat. Untuk membuat gadis kecil itu senang, keluarganya menghabiskan lebih banyak waktu jauh dari Inggris, jadi Twain harus melepaskan pekerjaannya di stasiun televisi BBC5. Saat ini dia hanya menerbitkan artikelnya sendiri di surat kabar dan media online, tapi dia tidak menggantungkan pendapatan dari sana untuk hidup.      

Ada sebuah motif egois dalam diri Twain yang tak pernah diberitahukannya pada siapapun. Dia ingin kedua putrinya menyukai Cina, jadi negara itu adalah tempat dimana dia menghabiskan sebagian besar waktunya selain di Amerika Serikat dan Inggris. Dia sangat merindukan Cina, terutama sekarang setelah dia semakin tua. Mungkin jiwa orang Cina di dalam tulang belulangnya yang menyebabkan ini terjadi. Mungkin ini seperti dalam pepatah yang mengatakan "Di usia tua, seorang ekspatriat akan pulang ke rumah."....     

Bagaimanapun juga, dua hartanya ini, kedua putrinya, adalah sumber kebanggaan utama Twain. Baginya, prestasi gemilang selama 16 tahun karir kepelatihannya dan semua piala juara yang diperolehnya itu sudah kuno dan tidak layak untuk dibicarakan lagi. Boleh jadi para fans Forest dan pemain di klub merasa bangga dengan semua piala juara yang pernah dimenangkan Tony Twain. Mungkin juga banyak orang masih mengingat kenangan masa legendaris Twain selama 16 tahun itu. Atau mungkin, media mengeluh bahwa para pemain bintang saat ini ibarat badut yang bermain di galeri dan bahwa mereka merindukan 'badut' yang paling menyebalkan dari semuanya... tapi Twain tidak peduli. Dia merasa bahwa kehormatan terbesar dan piala juara terbaik di hidupnya adalah memiliki keluarga yang bahagia, istri yang penuh kasih, dan dua putri yang sehat dan cantik. Ketika dia bertransmigrasi 26 tahun yang lalu, dia kehilangan keluarganya. Tapi, waktu itu dia tidak peduli karena dia merasa dia masih muda, dan saat itu adalah saat yang tepat untuk fokus pada karirnya. Saat ini dia merasa dia telah berjalan memutar membentuk satu lingkaran besar. Apa tujuan utama dari karirnya? Untuk membuat keluarganya tidak perlu merasa khawatir, untuk hidup tenang dengan orang-orang yang dikasihinya...      

Tuhan membuatnya memahami ini ketika dia berusia 50 tahun, dan membutuhkan waktu sepuluh tahun baginya untuk semakin menghargai ini.      

Tidak ada hal lain dalam hidup yang lebih penting daripada keluarganya. Ini akan tetap begitu sampai hari kematianya.      

Twain sangat bersemangat memberitahu pria-pria tua yang tak dilihatnya selama bertahun-tahun tentang betapa cantik dan cerdasnya kedua putrinya.      

Memang, dia memamerkan keluarganya sendiri. Tapi, tidak ada yang berpikir dia tidak boleh melakukan itu.      

Melihat bagaimana dia tampak penuh semangat dan sehat, pria dengan semangat yang sama lebih dari 20 tahun lalu kembali muncul di hadapan semua orang. Tidak ada yang merasa keberatan dengan itu.      

Betapa menakjubkannya itu.      

David Kerslake mengangkat gelasnya ke arah Twain dan berkata, "Melihatmu begitu senang, aku..." Dia memandang ke arah kolega-kolega di sekelilingnya dan kemudian kembali memandang Twain untuk menambahkan, "Tidak, kami semua merasa sangat senang."     

Twain mengangkat gelas berisi air soda di tangannya dan bersulang untuk pria-pria tua yang mengangkat gelas mereka satu per satu.      

"Terima kasih, kalian semua."     

Ada orang lain yang juga bersulang untuk Twain, yang mana Twain sangat familiar. Tapi, pria itu tidak mengatakan apa-apa. Ada sedikit keletihan di sudut matanya dan sedikit uban di kedua pelipisnya. Kerutan di dahinya tampak semakin jelas. Melihatnya seperti ini memberikan kesan ilusi bagi Twain tentang aliran ruang-waktu yang bergerak mundur dan juga cerminan dirinya. Dia melihat sendiri bagaimana penampilannya di usia 40an jika dia tidak bertransmigrasi.      

Dia adalah manajer Nottingham Forest saat ini, si pria Cina, Dunn. Dia adalah saudara baptisnya, yang mana dia bertukar tubuh dan jiwa dengannya.      

Ketika dia melihat Twain memandang ke arahnya, Dunn balas tersenyum.      

Twain berpindah duduk dan pergi ke samping Dunn. Dia menurunkan suaranya dan mengajukan pertanyaan di telinga Dunn, "Apa Pa dan Ma baik-baik saja?"     

Dunn mengangguk samar, "Mereka sangat sehat."     

Setelah mendengar jawaban itu, Twain mengangkat kepalanya dan ada seulas senyum di wajahnya. Lalu kedua pria itu saling pandang tanpa mengatakan apa-apa.      

Meski dia melakukan perjalanan keliling dunia, Twain masih memperhatikan segala hal yang ada kaitannya dengan tim Forest. Tapi, dia tidak pernah mengevaluasi tim Forest di forum publik manapun. Saat berhadapan dengan manajer Forest yang sedang menjabat pun dia masih tetap sama dan tidak mengatakan apa-apa.      

Ini sama seperti saat dia melatih tim Forest untuk yang pertama kalinya. Tak peduli apakah dia melakukannya dengan baik atau tidak, Brian Clough tidak akan mengatakan apa-apa. Selain memberitahunya agar tidak terlalu stress atau terlalu berbangga diri, dia takkan menyinggung hal-hal lain tentang prestasinya.      

Dia sangat tidak dewasa kala itu. Tapi, Dunn bukanlah seseorang yang tidak dewasa. Dia tahu apa yang bisa dan tidak bisa dilakukan. Bukankah dia bekerja dengan cukup bagus di tim Forest selama sepuluh tahun terakhir? Meski dia hanya memenangkan dua gelar juara liga, dia telah memperkuat pondasi yang tidak dicakup oleh Twain sebelum ini.      

Dibawah kepemimpinan Dunn, Nottingham Forest secara bertahap mulai melepaskan diri dari pengaruhnya. Kisah Burns adalah salah satu cerminan yang bagus tentang ini. Fans sepakbola generasi baru merasa bahwa Dunn sudah melakukan pekerjaannya dengan baik. Bukankah itu adalah reward terbaik atas sepuluh tahun karir kepelatihannya?     

Ini bagus. Dirinya tidak harus keluar dan berkomentar untuk menunjukkan kepada dunia luar tentang pengaruh yang masih dimilikinya di Nottingham Forest. Orang yang sudah pensiun sebaiknya tetap pensiun. Kalau tidak begitu, akan lebih baik seandainya dia terus melatih. Twain membenci perilaku pengecut yang ingin menjadi sosok terhebat di klub tapi masih mengkhawatirkan kegagalannya dalam melatih.      

Oleh karenanya, saat mereka saling pandang tanpa bicara, Twain tidak mengatakan "Kau sudah bekerja dengan baik" atau "kau tidak cukup bagus". Dunn juga tidak mengambil inisiatif untuk membicarakan tentang prestasi yang dicapainya selama dia melatih tim. Dia masih punya harga diri.      

Twain mengangkat gelas di tangannya ke arah Dunn dan berkata, "Selamat ulang tahun ke-10, Dunn."     

Dunn membalas sulangan itu dan berkata, "Aku berharap kau selalu sehat, Tony."     

※※※     

Saat langit mulai mendung dan hujan diluar semakin deras, antusiasme di dalam bar mulai menghangat. Semua orang mengobrol dengan gembira dan suara-suara di bar perlahan mulai terdengar semakin keras, menenggelamkan suara musik yang diputar. Tidak hanya Twain, tapi beberapa orang diantara mereka sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun. Mereka semua sibuk dengan hidup dan karir mereka setelah pensiun dan biasanya tidak punya kesempatan untuk berkumpul bersama dan mengobrol seperti ini.      

Pertemuan untuk peringatan lima kali juara Liga Champions ini memberikan kesempatan bagi mereka untuk melakukan itu. Tentu saja, mereka harus menghubungi teman-teman di masa lalu itu untuk bisa mengobrol, bertanya tentang kehidupan mereka, mengenang tahun-tahun yang mereka habiskan dalam turnamen, mengobrol tentang orang-orang dan hal-hal yang menarik. Bahkan perseteruan di masa lalu telah menjadi kenangan yang sangat hangat dalam konteks sore ini.      

Dibawah situasi ini, Twain memutuskan untuk pulang ke rumah.      

Dia mengetuk meja di hadapan istrinya dan berkata padanya, "Ayo kita pulang."     

Shania cukup terkejut dan bertanya, "Tidakkah kau masih ingin tinggal sedikit lebih lama? Bukankah ada banyak hal yang ingin kaukatakan pada mereka?"     

"Tadinya memang begitu, tapi setelah aku melihat mereka, tiba-tiba saja aku merasa tidak punya apa-apa untuk dikatakan. Melihat mereka saja sudah cukup menyenangkan. Bagaimanapun juga, aku sudah cukup lama melihat mereka dan sekarang aku agak lelah."     

Shania tahu Twain memang lelah, jadi dia mengangguk dan setuju. "Ayo kita berpamitan pada mereka sebelum kita pergi."     

Keduanya bangkit berdiri dan tiba-tiba saja menarik perhatian semua orang yang hadir.      

"Dia masih memulihkan diri dari penyakit serius yang dideritanya, jadi dia tidak punya energi sebanyak kalian, guys," Shania memberitahu semua orang.      

Twain mengerucutkan bibirnya dan berkata, "Jangan dengarkan dia. Penyakitku adalah sesuatu yang terjadi tahun lalu. Aku cukup sehat sekarang."     

"Nyonya benar, boss. Anda harus mendengarkan kata-katanya," kata seseorang di tengah kerumunan.      

"Yeah, Tony. Jaga kesehatanmu supaya kita bisa bertemu lagi dalam sepuluh tahun." Semua orang mengulurkan tangan dan melambai ke arah Twain sambil membuat rencana untuk mengadakan reuni lagi sepuluh tahun dari sekarang.     

"Oke, kita akan bertemu lagi dalam sepuluh tahun." Twain memakai mantel luarnya dengan bantuan Shania dan melilitkan syal di lehernya. Terakhir, dia mengambil topinya, memegangnya di tangan dan melambai pada semua orang.      

George Wood, yang tadinya sedang mengobrol dengan rekan setimnya, menyeruak maju dari kerumunan dan berkata, "Aku akan mengantar kalian pulang."     

Shania menggelengkan kepalanya dan berkata. "Aku akan menyetir. Tidak mudah bagimu untuk bisa bertemu dengan semua orang. Tinggallah untuk bersenang-senang lebih lama lagi."     

George Wood sudah pensiun empat tahun lalu pada usia 38 tahun. Sebagai kapten terhebat di sepanjang sejarah Nottingham Forest, upacara pelepasannya hampir sebanding dengan upacara pelepasan Twain. Adegan itu begitu sensasional dan menyentuh hati dimana seorang pria tangguh seperti Wood tampak meneteskan air mata ketika tiba waktunya untuk mengucapkan selamat tinggal dan bahkan suaranya tercekat emosi beberapa kali. Twain berada di boks stadion dan menyaksikan semua ini dengan mata kepalanya sendiri. Matanya sendiri juga basah ketika 60,000 orang menyerukan nama "Saint George".      

Pensiunnya George Wood sepenuhnya mengakhiri era keemasan Nottingham Forest. Pemain terakhir yang dikenal Twain telah meninggalkan panggung sepakbola. Mulai saat itu, seseorang hanya bisa melihat kembali sejarah ketika periode penuh kejayaan Nottingham Forest disinggung-singgung.     

Di musim panas setelah pensiun, Wood menikahi Vivian, perawat yang dicintainya selama lebih dari enam tahun, dan membentuk keluarga baru. Sekarang putra mereka sudah berusia tiga tahun dan mereka hidup bahagia.      

Sekarang, Wood terlihat seperti seorang pria berkeluarga yang mapan. Sikapnya yang tidak dewasa benar-benar sudah hilang.      

Setelah Wood mendengar kata-kata Shania, dia mengalihkan pandangan ke Twain.      

Twain mengangguk dan berkata, "Dengarkan dia, George. Bahkan aku juga harus mendengarkannya, ha-ha!"     

Pria besar itu kembali tertawa. Wood menyerah dan melangkah minggir. Ketika Twain melewatinya, Wood berkata dalam suara rendah, "Aku akan menemuimu lagi dalam beberapa hari."     

"Yah, bawa pula istrimu dan juga putramu," Twain mengangguk lembut.      

Ketika dia berjalan menuju pintu dengan dibantu Shania, Twain memakai topinya dan setelah dia berpakaian lengkap, dia mengangkat tangannya untuk melambai ke arah semua orang dan berkata, "Tidak perlu mengantarku. Diluar sedang hujan deras. Selamat tinggal, guys. Senang rasanya melihat kalian semua masih sehat dan aktif. Aku benar-benar senang, ha-ha!"     

Ditengah suara tawanya itu, Twain berbalik, dan Shania membukakan payung untuknya, menaungi mereka berdua dibawahnya. Keduanya melangkah ke tengah hujan. Hujan yang membentur payung menimbulkan bunyi gemertak dan air yang menggenang di sisi jalan mencerminkan keduanya. Kerumunan orang itu berkumpul dan melihat Shania membawa payung dengan satu tangan sambil berusaha menopang Twain. Tidaklah mudah membuka pintu mobil dengan satu tangan. Beberapa orang bergegas maju untuk membantu. Pada akhirnya, Wood mengambil payung dari Shania sementara Bale menopang Twain. Eastwood membukakan pintu mobil untuk Twain dan berkata, "Boss, tolong masuklah ke mobil."     

Shania tidak perlu melakukan apa-apa. Dia hanya berdiri disamping Twain dan tersenyum ke arahnya. "Kau lihat kan, benar-benar upacara perpisahan yang megah."     

Twain menoleh untuk memandang Eastwood, yang membukakan pintu untuknya, dan kemudian tersenyum. Lalu dia memandang kembali ke pintu bar, yang sudah penuh sesak dengan orang-orang. Semua orang berdiri dibawah naungan atap dan memandang ke arahnya.      

Twain melambai ke arah mereka dan mengisyaratkan agar mereka kembali masuk ke dalam. Lalu dia berbalik dan masuk ke dalam mobil.      

Eastwood menutup pintu mobil untuk Twain sementara Wood menaungi Shania dengan payung dan mengantarnya berputar ke pintu di sisi pengemudi dan membantunya masuk ke dalam mobil.      

Shania menurunkan jendela mobil dan mengulurkan tangan untuk mengucapkan selamat tinggal pada mereka semua. "Selamat tinggal, terima kasih, semuanya!"     

Semua orang melambai dan balas mengucapkan selamat tinggal.      

Kemudian mesin mobil dinyalakan dan perlahan bergerak melalui mesin-mesin konstruksi yang diparkir di kedua sisi jalan, memercikkan air di tepi jalan. Ketika mobil itu bergerak menjauh dari pandangan semua orang, hanya lampu belakang kuning yang terlihat jelas di tengah hujan dan akhirnya, lampu itu pun menghilang ditengah hujan dan kabut.      

Hujan masih turun dan memercik di tanah. Para pemain masih berkumpul di pintu, memandang ke arah dimana boss menghilang.      

Setelah beberapa waktu, Bale bertanya, "Boss pergi begitu saja?" Tampaknya ada nada tak percaya dalam suaranya.      

"Yah, dia sudah pergi," jawab Wood. "Ayo kita kembali ke dalam dan melanjutkan."     

Meski mengatakan itu, dia tidak bergerak. Semua orang juga masih berdiri di pintu dan terus memandang ke arah mana Twain pergi.     

Burns tidak ikut mengantar sampai ke luar. Dia berada di dalam bar dan melihat adegan kepulangan Twain melalui jendela yang sudah tertutup embun. Orang-orang berdesakan diluar dan bar, yang baru saja terasa panas dan berisik, kini terasa kosong dan tenang.      

Musik yang diputar di stereo baru saja menyelesaikan satu putaran dan kembali lagi ke lagu pertama.      

Kau juga akan jadi lebih tua, dan kalau kau mengucapkan kata itu,      

Aku bisa tinggal bersamamu.      

Aku bisa berguna, memperbaiki sekring.     

Ketika lampumu padam.      

Kau bisa merajut sweater di dekat perapian.      

Minggu pagi pergi berjalan-jalan,      

Berkebun, membersihkan ilalang.      

Siapa yang bisa meminta lebih banyak?     

Apa kau masih membutuhkanku, apa kau masih mau memberiku makan?     

Ketika aku berusia enam puluh empat...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.