Mahakarya Sang Pemenang

Tirai Terakhir



Tirai Terakhir

0Ketika wasit meniup peluitnya tiga kali, stadion Crimson seolah mendidih. Mereka berhasil memberikan satu hadiah perpisahan untuk Twain, satu kemenangan terakhir, seperti yang mereka inginkan.      

Hanya para pemain dan fans Manchester United yang merasa sedih dan kecewa. Mereka tampak muram di tengah suasana gembira.      

Twain, yang ingin menjabat tangan Mourinho untuk melengkapi akhir dari putaran pertandingan ini, tahu bahwa Mourinho bukanlah pria yang sabar. Tapi, segera setelah dia bangkit berdiri, dia dipeluk David Kerslake yang ada di sampingnya. Asisten manajer itu tidak mengatakan apa-apa, hanya memeluknya.      

Sekelompok reporter berkerumun di dekat mereka dan mengambil gambar berkali-kali.      

Ketika akhirnya Twain bisa melepaskan diri dari pelukan Kerslake, dia menoleh untuk mencari Mourinho dan terkejut saat melihat pria itu masih berdiri disana menunggunya!     

Twain melepaskan diri dari media dan melangkah ke arah Mourinho dengan tangan terjulur.      

"Kukira kau sudah pergi, Tn. Mourinho."     

Mourinho, yang sudah kehilangan gelar juara, tidak terlihat bagus dan jelas berada dalam suasana hati yang buruk. Dia menjabat tangan Twain lalu melepaskannya.      

"Aku hanya tidak ingin kau menulis di dalam memoarmu bahwa Jose Mourinho adalah seorang pria yang kasar dan tak tahu berterima kasih. Aku harus pergi. Aku hanya ingin memberimu selamat setelah memenangkan pertandingan ini. Aku lega kau pensiun hari ini."     

Setelah mengatakan itu, Mourinho tidak peduli dengan reaksi orang lain yang ada disana, apalagi ekspresi di wajah Twain. Dia langsung berbalik dan meninggalkan stadion yang bising.      

Twain dikelilingi para reporter dan hanya bisa memandang punggung Mourinho yang berjalan menjauh. Dia merasakan campuran emosi saat ini. Dia tidak terlalu senang dengan kemenangan atas rival lamanya ini. Justru sebaliknya, dia merasa kasihan pada Mourinho.      

Seiring dengan langit yang semakin gelap, kilatan cahaya di sekelilingnya menarik Twain kembali ke kenyataan. Dia memandang para reporter di sekelilingnya, mengabaikan mereka, dan langsung melangkah ke lapangan. Di tengah lapangan, para pemainnya sudah menunggunya.      

Di tribun, 60,000 fans menyerukan namanya dengan keras.      

"Pertandingan sudah berakhir. Nottingham Forest menang dan Manchester United kehilangan gelar juara mereka. Tapi, tidak satupun dari semua ini yang penting sekarang. Hal yang penting bagi kita adalah seseorang yang sangat penting dan spesial akhirnya harus mengucapkan selamat tinggal..." kata John Motson, komentator pertandingan ini, dengan penuh emosi.      

Dia mengingat pertemuan pertamanya dengan Twain. Di stadion City Ground, Twain ditabrak jatuh oleh pemainnya sendiri di babak pertama yang berjalan membosankan dan kemudian dia meninggalkan lapangan. Dia menjadi bahan tertawaan di dunia sepakbola Inggris untuk putaran liga kala itu. Motson bertanggungjawab mengomentari pertandingan. Saat itu, dia tertawa terbahak-bahak sampai terbungkuk-bungkuk di kotak komentator dan mengoloknya tanpa ampun.      

Dia sama sekali tidak menduga kalau pada akhirnya dia justru berteman dengan Twain, dan menjadi sesama rekan komentator untuk pertandingan timnas Inggris atau menyaksikan pria muda itu menjadi salah satu manajer yang paling sukses di dunia dan menjadi godfather Nottingham Forest.      

Ditengah suara sorakan 60,000 orang, Twain melangkah ke tengah lapangan dan mengumpulkan para pemainnya.      

"Boss, tidak bisakah kau tetap tinggal?" Gareth Bale bertanya dengan air mata berlinang.      

Twain hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya.      

"Kurasa kesehatanmu sama sekali tidak bermasalah, sungguh. Kita akan bisa bermain bersama beberapa tahun lagi. Kita bisa pergi sama-sama saat itu. Bagaimana menurutmu?" Bale masih mencoba memohon dan tidak mau menyerah.      

Twain mengulurkan tangannya untuk menyentuh lengan Bale dan berkata padanya, "Saat aku mengucapkan selamat tinggal pada Demi dan yang lainnya, aku juga merasakan hal yang sama sepertimu. Tapi mereka tetap pergi. Inilah hidup. Kau harus selalu mengucapkan selamat tinggal. Ini bukan masalah besar. Lagipula, kita masih akan bertemu lagi, kan?"     

Bale menggigit bibirnya dan melangkah ke samping tanpa mengatakan apa-apa lagi.      

Balotelli memandang Twain, membuka mulutnya beberapa kali untuk mencoba bicara, tapi kemudian berhenti. Ketika Twain paham apa yang ada di benaknya, dia berkata padanya, "Tetap tinggal atau pergi, tidak jadi masalah, selama itulah yang kau mau. Kau adalah pemain jenius, Mario. Tapi seorang jenius tidak selalu cocok untuk segala situasi. Ketika aku pergi, sebaiknya kau juga menempuh jalanmu sendiri."     

Menepuk bahu Balotelli, Twain menoleh ke Mitchell.      

Dia mendongak untuk memandang wajah Mitchell. Bocah itu tampak seolah dia ingin menangis dan tertawa bersamaan.      

"Aaron. Aku ingin berkata kau seharusnya meningkatkan latihan kekuatanmu. Kuharap kau bisa lebih komprehensif..." Setelah mengatakan itu, dia tersenyum dan melanjutkan, "Kenapa aku masih mengatakan hal-hal semacam ini? Bagaimanapun juga, aku bukan lagi manajermu musim depan. Kalau kau tidak bisa menembus lini pertahanan yang dijaga bek-bek kuat itu, orang yang merasa khawatir bukanlah aku, ha!"     

Twain tertawa, tapi Mitchell malah menangis.      

Twain mengabaikan ingus dan air mata yang menuruni wajahnya. Dia menepuk bahu Mitchell. Dia menoleh dan mencari yang lain.      

Dia tidak ingin perpisahan ini terlihat sedih dan muram. Dia sudah berusia lebih dari setengah abad. Apa harus seperti ini?     

Oleh karena itu, dia hanya berbicara santai pada setiap pemain, mengatakan beberapa patah kata, dan berpindah ke orang berikutnya.      

Saat dia melakukannya, suara teriakan dari tribun terus terdengar. Tidak satupun dari 60,000 fans Nottingham Forest yang meninggalkan stadion. Para penggemar Manchester United sudah pergi dari stadion bersama dengan tim Manchester United.      

Dua layar besar di stadion mengulang kembali tayangan dokumenter Twain.      

Siaran televisi langsung terus berjalan.      

※※※     

Shania menunggu di ruang makeup sebelum tampil. Ini akan menjadi penampilan terakhirnya di atas panggung pagelaran busana. Tapi, pikirannya saat ini tidak terfokus pada pekerjaannya. Dia memegang ponsel di tangannya dan memutar liputan televisi. Itu adalah adegan perpisahan Twain di stadion Crimson.      

Berkat teknologi yang semakin canggih, dia bisa menonton televisi secara langsung disini. Dengan begini, dia menemani Paman Tony hingga akhir perjalanan karirnya.      

Suara komentator di ponselnya terdengar jelas.      

"Aku tidak ingin mengulangi prestasi Tony Twain saat ini. Aku hanya ingin menikmati pemandangan ini – lebih dari 60,000 fans tetap tinggal di tribun, tidak ingin pergi. Twain berada bersama para pemainnya. Dia berbicara pada mereka satu persatu.... Adegan ini mengingatkanku pada apa? Ini seperti seorang jenderal yang akan pensiun sedang menginspeksi pasukan dan perwiranya untuk yang terakhir kalinya. Dia berjabat tangan dengan mereka dan berterima kasih atas dukungan mereka serta kerja keras mereka selama bertahun-tahun..."     

Shania begitu asyik menonton layar ponselnya. Twain berada di tengah lingkaran, dikelilingi oleh para pemain sementara para reporter mengelilingi mereka semua. Para fans berada di tepi, menyanyikan lagu dan meneriakkan nama si tokoh utama hari ini.      

Penata rambut sedang mengutak atik rambutnya dan melakukan persiapan akhir. Ada model lain di ruang makeup itu, tapi Shania bersikap seolah-olah tidak ada orang lain disana dan tidak peduli bagaimana orang lain akan memandangnya.      

Adegan itu seharusnya menyedihkan, tapi Shania tersenyum, seperti pria yang ada di tengah layar ponselnya.      

"Baiklah, sayangku." Si penata rambut mengisyaratkan Shania agar mengangkat kepalanya dan melihat ke cermin untuk menilai keseluruhan efeknya.      

Sulit untuk dipercaya bahwa wanita di cermin itu berusia hampir tiga puluh tahun. Rambut panjangnya terurai panjang di bahunya. Dia terlihat muda, cantik, lincah dan genit dengan ujung rambut dikeriting.      

Shania mengatupkan bibirnya erat-erat lalu mematikan streaming siaran langsung di ponselnya.      

Sudah waktunya untuk tampil.      

※※※     

Twain melangkah menghampiri Wood. Dia adalah yang terakhir.      

Melihat kapten tim ini, Twain tidak tahu harus mengatakan apa. Wood adalah pria yang bijak dan patuh. Ada beberapa hal yang tidak perlu diulanginya, karena dia sudah mengatakan semuanya sebelum ini.      

Apa lagi yang tersisa untuk dikatakan?     

Memandang Twain berdiri di hadapannya, Wood juga tidak tahu harus mengatakan apa. Tapi, itu bukan berarti dia tidak punya sesuatu untuk dikatakan. Justru sebaliknya, dia punya banyak hal untuk dikatakan tapi tidak tahu harus mulai dari mana.      

Bahkan di saat perpisahan, dia masih canggung dalam menggunakan kata-kata.      

Dulu juga sama saat dia berhadapan dengan Demi, dan sekarang dengan Twain.      

Pada akhirnya, Twain tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya meletakkan tangannya di bahu Wood dan meremasnya dengan kuat.      

Setelah mengucapkan selamat tinggal pada para pemainnya, dia juga mengucapkan selamat tinggal kepada para pelatih, dimulai dengan dokter tim hingga ke asisten manajernya. Dia berjabat tangan atau memeluk mereka, satu per satu.      

Pada akhirnya, dia mendekati Freddy Eastwood dan bergumam di telinganya, "Dunn akan datang mengambil alih posisiku. Dia adalah manajer yang hebat. Tapi, dia membutuhkan asisten yang hebat. Kau akan tetap tinggal dan membantunya, kan?"     

Eastwood mengangguk setuju.      

Twain melepaskan pria itu setelah melihatnya berjanji dan menoleh ke Kerslake.      

"Entah kau mau pergi bersamaku atau tetap tinggal disini, itu pilihanmu, David."     

Kerslake memandang orang-orang di sekelilingnya dan berkata pada Twain, "Aku berubah pikiran, Tony. Nottingham Forest adalah tempat yang bagus. Aku akan tetap tinggal disini."     

Twain tertawa dan menepuk bahunya sambil berkata, "Pilihan yang tepat."     

Setelah melakukan semua ini, dia memberitahu kedua asisten manajernya, "Aku akan pergi ke konferensi pers dulu, jadi aku tidak akan pergi ke ruang ganti. Akan ada banyak reporter yang menghalangi jalanku hari ini. Kalian tidak perlu menungguku kembali. Kalian bisa langsung menuju hotel setelah para pemain selesai berkemas dan membubarkan mereka setelahnya. Sementara untukku, aku akan pulang sendiri."     

Kedua pria itu mengangguk bersamaan dan tidak keberatan dengan pengaturan yang dibuat Twain.      

Melihat keduanya setuju, Twain melangkah keluar lapangan dengan penuh percaya diri. Setelah dua langkah, dia menoleh ke belakang dan para pemain serta pelatih masih berdiri di sana seolah tak berniat untuk pulang.      

Twain melambai ke arah mereka dan berkata, "Pergilah, jangan sampai kalian sakit."     

Lalu dia kembali melanjutkan langkahnya dan kali ini tidak menoleh lagi.      

Di sepanjang jalan, teriakan para fans sangat memekakkan telinga. Bendera dan spanduk dengan foto dirinya di tribun berkibar tanpa henti. Di siaran stadion, Sarah Brightman dan Andre Bocelli bernyanyi dengan nada tinggi "... Saatnya mengucapkan selamat tinggal...."     

Twain melangkah ke pintu masuk terowongan. Di belakangnya semua pemain dan pelatih masih diam tak bergerak. Di depannya, terdapat sekelompok besar reporter yang membawa kamera dan perekam video, mengambil gambar sambil mengikuti langkahnya. Kilatan lampu kamera menerangi jalan dibawah kakinya dan membuatnya berwarna putih menyilaukan.      

Ketika dia berjalan menuju pintu masuk terowongan, banyak fans di kedua sisi tribun tiba-tiba saja melemparkan confetti. Potongan kertas warna warni itu membuat Twain mendongak ke atas. Dia melihat beberapa wajah yang familiar di tengah kerumunan.      

Michael Bernard, Big John, Skinny Bill dan bahkan pemilik pub, Kenny Burns juga ada disana. Saat dia melihat Burns, tiba-tiba saja dia merasa tertarik. Dia berhenti melangkah dan bertanya, "Selama bertahun-tahun, kau hanya meninggalkan pub ketika stadion City Ground akan dihancurkan. Kenapa kau datang hari ini?"     

Burns membalasnya dan berkata, "Sebuah era runtuh sejalan dengan runtuhnya stadion City Ground. Kepergianmu juga memiliki makna yang sama, Tony."     

Twain berhenti bicara dan melambai ke arahnya dan semua orang lainnya. Dia terus melangkah menyusuri terowongan di tengah hujan confetti.      

※※※     

Joe Mattock mendesah, "Ini adalah terakhir kalinya aku melihat boss muncul di hadapanku dalam kapasitasnya sebagai manajer..."     

Wood berdiri di depan tim. Ketika dia mendengar kata-kata Mattock, tiba-tiba saja dia ingin berlari menyusul Twain, tapi sampai Twain menghilang ke dalam terowongan bersama kerumunan reporter yang mengikutinya, dia tidak mewujudkan keinginannya itu.      

Tiba-tiba saja dia merasa dirinya pemalu, dan bukan seorang pria tangguh.      

Dia adalah pengecut yang tidak bisa menunjukkan perasaannya dengan bebas di hadapan semua orang.      

Dia tidak sehebat Mitchell, yang bahkan meneteskan air mata di hadapan Twain, atau Bale, yang bertanya langsung pada Twain, "Tidak bisakah kau tetap tinggal?"     

Sebagai kapten tim, dia benar-benar kurang dalam hal ini....     

Setelah melihat Twain menghilang sepenuhnya dari pandangan, suara David Kerslake terdengar. Biasanya dia bersuara keras, tapi kali ini suaranya terdengar pelan.      

"Ayo kita kembali, guys. Kembali untuk mandi, ganti pakaian, dan pulang. Liburan kalian sudah dimulai."     

Ketika para pemain mulai melangkah keluar dari lapangan, Wood mendongak dan melihat para fans di tribun juga perlahan mulai meninggalkan stadion. Tapi, dia tahu mereka akan berkumpul di alun-alun depan stadion. Kepergian seorang pria yang spesial itu tidak akan berakhir seperti ini.      

Dia melepaskan ban kapten dari lengannya, memegangnya di tangan dan melangkah keluar lapangan bersama rekan-rekan setimnya.      

※※※     

Michael Bernard, yang melangkah keluar dari stadion, tidak berniat ikut tinggal meski ada banyak orang berkumpul di alun-alun. Mereka masih meneriakkan nama Twain dan adegan itu sangat antusias.      

"Ayo kita kembali ke pub untuk minum, guys," kata Michael pada teman-temannya.      

"Bukankah kau ingin tetap tinggal dan mengantar Tony pergi?" Skinny Bill tampak bingung.      

"Kita sudah mengantarnya pergi," Michael menunjuk ke arah gerbang dan menambahkan, "Tony, yang akan keluar dari gerbang itu nanti, sudah lagi bukan Manajer Tony Twain. Aku ingin kembali untuk minum. Berteriak seperti itu tadi membuat tenggorokanku kering,"     

"Aku juga," kata Burns disampingnya.      

Kedua pria itu sangat dihormati diantara para penggemar. Karena mereka sudah mengatakan itu, tidak ada yang merasa keberatan.      

"Oke, ayo kita kembali dan minum untuk..." Big John tiba-tiba saja tidak tahu harus mengatakan apa.     

"Minum untuk 16 tahun terakhir dan untuk mengatakan selamat tinggal kepada orang-orang dan pertandingan selama 16 tahun itu," Michael mengangkat tangannya.      

Dia melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan pada Stadion Crimson.      

※※※     

Pierce Brosnan tidak punya waktu untuk merenung sendirian dan bersikap seolah "sebuah era sudah berakhir". Dia sangat sibuk setelah peluit akhir dibunyikan. Dia terlalu sibuk untuk berhenti dan merenung – bahwa ini adalah pertandingan terakhir Tony Twain!     

Sama seperti rekan-rekannya, dia menggunakan Tony Twain sebagai titik fokus dan mengikutinya dari timur ke barat di lapangan saat dia mengucapkan selama tinggal pada para pemainnya, mengucapkan selamat tinggal pada para fans, dan kemudian pergi bersama media lainnya ke aula konferensi. Sekarang, saat dia melihat Twain duduk di sebuah meja yang dipenuhi mikrofon, ponsel, perekam audio, dan peralatan perekam wawancara di hadapannya, dia punya sedikit waktu untuk memikirkan tentang setengah jam yang baru saja berlalu.      

Tim Forest memenangkan pertandingan melawan Manchester United. Tony Twain mempertahankan rekor kemenangannya atas Mourinho selama karir kepelatihannya. Semua ini bukanlah poin yang penting. Merenungkan lagi perpisahan Twain kepada para pemain dan staf pelatih di tengah lapangan tadi, dia merasa pengaruh Twain takkan berkurang meski dia telah pensiun. Justru sebaliknya, pengaruhnya disini mungkin akan menjadi lebih kuat.      

Cruyff masih tetap menjadi godfather Barcelona setelah dia pergi. Dia telah mempublikasikan beragam artikel dan komentar tentang Barcelona di media. Dia memuji Barcelona ketika mereka bermain bagus dan mengkritik mereka ketika mereka tampil buruk. Dia bahkan punya pendapat dalam hal-hal seperti pemilihan manajer baru, pemain mana yang harus dijual dan dibeli. Para pelatih Barcelona tidak bisa mengabaikan saran darinya...      

Tapi, tidak seperti pria Belanda itu, Brosnan merasa bahwa pengaruh Twain tidak akan bisa ditunjukkan melalui contoh-contoh diatas.      

Sebenarnya, dinilai dari sikap Twain setelah dia pensiun untuk yang pertama kalinya, dia tidak menyinggung-nyinggung tentang Nottingham Forest, seolah-olah klub sepakbola itu tidak pernah muncul dalam hidupnya. Dia tidak pernah ikut campur dalam kebijakan penyusunan tim Forest dan juga tidak mengomentari strategi yang digunakan tim Forest. Entah tim Forest tampil baik atau buruk, itu adalah urusan orang lain. Dia memang orang yang aneh seperti itu. Dia akan menggunakan sikap cueknya ini dalam mengekspresikan perasaannya untuk tim Forest. Semakin jauh jarak yang dipertahankan olehnya, itu akan membuatnya merasa bahwa kecintaannya pada tim itu murni.      

Tapi, meski demikian, melihat pemandangan hari ini, tempatnya di hati para penggemar Forest masih tetap tak tergoyahkan. Dia yakin semua ini akan tetap sama bertahun-tahun kemudian. Dia tidak harus mengatakan atau melakukan apa-apa. Tapi, selama ada seseorang yang menyinggung namanya, pengaruh yang tak terlihat itu akan mulai tampak.      

Robin Hood sudah meninggal lebih dari 900 tahun yang lalu dan pengaruhnya masih eksis sampai sekrang. Orang-orang telah bernyanyi tentangnya dan menuliskan kisahnya di dalam literatur, pertunjukan drama dan juga permainan. Tony Twain juga layak mendapatkan perlakuan yang mirip seperti ini, bukan?     

Brosnan, yang tenggelam dalam lamunannya, tersadar kembali ke realitas ketika petugas pers berkata, "Konferensi pers dimulai sekarang". Ruangan itu, yang tadinya cukup berisik, berangsur-angsur mulai tenang. Semua orang memandang penuh antisipasi dan menantikan Twain menyampaikan pidato perpisahannya.      

Mourinho sudah pergi. Saat sebagian besar reporter masih berada di lapangan, dia sudah diwawancara oleh beberapa media Manchester dan kemudian buru-buru pergi, meninggalkan panggung itu untuk Twain.      

Benar-benar lawan yang penuh pengertian...      

Twain memandang para reporter yang antusias di hadapannya dan berdehem. Isyarat ini saja sudah cukup untuk membuat mereka duduk tegak, mencondongkan kepala mereka ke depan dan menajamkan telinga mereka.      

Twain tertawa iseng.     

※※※     

Pagelaran busana itu sudah usai. Shania baru saja diantar keluar oleh si perancang busana untuk menutup pagelaran ini. Sekarang dia berdiri di depan papan iklan, sedang diawawancara oleh para reporter.      

"Ya, memang benar bahwasanya saya akan berhenti dari dunia modeling dan hiburan. Saya sudah mempertimbangkannya dengan matang sebelum mengambil keputusan ini," Shania mengakui fakta ini, yang sudah menjadi spekulasi sejak lama, kepada media untuk yang pertama kalinya.      

"Saya benar-benar pensiun dari industri ini dan saya tidak akan kembali lagi di masa depan nanti."     

Shania memainkan rambut coklatnya. Setelah menghapus makeup-nya, dia terlihat seperti orang yang berbeda dibandingkan dengan wanita cantik yang dingin di atas panggung. Sekarang, dia menunjukkan senyum lembut di wajahnya sambil berusaha menjawab semua pertanyaan dari para reporter tanpa menunjukkan sedikitpun ketidaksabaran.      

"Setelah pensiun, saya akan tinggal bersama suami saya dan putri saya sebelum memikirkan tentang masa depan... Mungkin saya akan menjadi perancang busana."     

Para reporter itu masih ingin tahu tentang alasan asli dibalik keputusannya ini. Bagi mereka, jawaban yang bisa ditemukan di dalam media itu tidak ada gunanya. Orang tidak akan pernah menemukan seluruh kebenarannya.      

"Alasan yang sebenarnya dibalik keputusan ini?" Bukannya menunjukkan bahwa dia sudah merasa kesal dengan pertanyaan yang diajukan oleh para reporter, Shania menunjukkan senyum yang bisa membuat hati pria manapun berdebar.      

"Itu sangat sederhana. Saya hamil."     

Ketika Shania mengatakan itu dengan santai, tidak ada yang bereaksi di dalam ruangan itu. Dengan ekspresi penuh antisipasi di wajah mereka semua, mereka menunggu jawaban yang sesungguhnya. Tidak ada yang sadar bahwa jawaban yang sesungguhnya sudah diberikan.      

"Ah..." Reporter yang mengajukan pertanyaan itu bereaksi paling cepat. Dia membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa melakukannya.      

Shania memandang para reporter di ruangan itu dan mengedip nakal. Ternyata menarik juga. Dia telah berhasil mengejutkan mereka semua.      

※※※     

"...Aku tidak punya apa-apa untuk dikatakan."     

Twain mengatakan ini pada para reporter yang antusias di aula konferensi Nottingham Forest di Stadion Crimson.      

"Aku tahu banyak orang menyukaiku dan banyak orang membenciku. Aku tidak pernah berpikir untuk mengubah pandangan kalian semua tentangku, bahkan hari ini. Bagaimanapun cara kalian mendeskripsikanku, kalian sebaiknya menuliskan hal yang sama untuk besok. Bagaimanapun juga, aku tidak akan membacanya. Besok, aku sudah pensiun."     

Twain merentangkan tangannya. Dia melihat banyak musuhnya di kerumunan reporter ini, seperti misalnya Carl Spicer dan Christopher Beesley. Dia tidak akan lagi berdebat dan mendendam pada orang-orang itu. Dia tidak perlu lagi menciptakan kehebohan dimana-mana. Dia tidak perlu menarik perhatian media untuk melepaskan tekanan dari para pemainnya. Mulai saat ini, dia bisa melepaskan beban berat di bahunya dan tidur dengan nyenyak.      

"Aku hanya ingin mengucapkan selamat tinggal pada kalian semua."     

Setelah mengatakan ini, Twain benar-benar berdiri dan melangkah pergi!     

Para reporter panik. Bagaimana mungkin mereka membiarkannya pergi begitu saja? Mereka sudah mempersiapkan begitu banyak pertanyaan. Bagaimana mungkin mereka bisa bertanya padanya setelah dia pergi? Setelah dia melangkah keluar dari pintu, dia bukan lagi manajer Nottingham Forest. Dia akan berada diluar jangkauan para reporter.      

Sekelompok reporter bangkit berdiri dari kursi mereka, menendang kursi mereka dan berusaha menghentikan Twain.      

"Aku masih punya pertanyaan, Tn. Twain!" Christopher Beesley mengangkat buku catatannya dan berteriak. Buku catatan itu penuh dengan kata-kata. "Anda tidak bisa pergi begitu saja. Konferensi pers masih belum berakhir!"     

"Aku sudah bilang kalau itu sudah berakhir," kata Twain sambil tersenyum pada reporter Liverpool Echo yang selalu berharap agar dia mati.      

"Tapi kami punya hak untuk mengajukan pertanyaan. Anda adalah tokoh publik..." Beesley masih berusaha menahannya.      

"Aku punya hak untuk menolak menjawab."     

Twain mengangkat bahunya.      

Carl Spicer tadinya ingin meneriakkan beberapa kata. Tapi, setelah melihat nasib Beesley, bibirnya gemetar sejenak dan dia tidak mengatakan apa-apa.      

Twain tidak langsung pergi dari pintu samping. Dia berjalan turun dari panggung dan mengarah ke pintu depan melalui jalan tengah diantara kursi-kursi para reporter, bermaksud untuk langsung pergi dari sana – jaraknya lebih dekat ke gerbang stadion.      

Satu per satu para reporter itu bangkit berdiri. Tapi, tidak ada yang benar-benar berani menghentikannya untuk mengajukan pertanyaan.      

Justru sebaliknya, semua orang dengan sengaja atau tidak sengaja memberinya jalan.      

Saat dia hampir tiba di pintu, Pierce Brosnan tiba-tiba saja berteriak, "Selamat jalan, Tony!"      

Dia mengangkat tangannya dan terhenti di tengah jalan, tadinya dia ingin melambaikan tangan sebagai isyarat selamat tinggal pada Twain sebelum sadar bahwa Twain sudah memunggunginya dan tidak melihatnya.      

Twain, yang mendengarnya, tidak menoleh ke belakang dan tidak berhenti melangkah. Dia hanya mengangkat tangan kanannya, melambai, dan membuka pintu untuk melangkah keluar.      

※※※     

Lobi di pintu utama stadion bisa dicapai melalui sebuah koridor pendek. Tanpa diduga, Twain menemukan seorang pria disana.      

"Tn. Fasal? Bukankah seharusnya kau berada bersama Shania?"     

Pria yang tersenyum dan berdiri di hadapan Twain adalah agen Shania, Fasal. Tidak heran Twain tampak terkejut dan mengajukan pertanyaan itu padanya. Selama Shania bepergian untuk urusan pekerjaan, Fasal akan selalu menjaga Shania. Lalu kenapa sekarang dia ada disini? Mungkinkah Shania sudah menyelesaikan pekerjaannya lebih awal dan kembali pulang?     

Memikirkan ini, Twain mencari-cari di belakang Fasal, berharap bisa melihat istrinya.      

"Tidak perlu mencarinya, Tn. Twain," Fasal tersenyum dan berkata padanya, "Shania masih di Paris. Kalau tidak ada halangan, saat ini dia pasti baru menyelesaikan pagelaran busana terakhirnya."     

"Kalau begitu kau..." Twain semakin bingung.      

"Aku ada disini untuk memberitahumu tentang kabar baik ini. Karena Shania masih belum bisa pergi, aku akan menjadi orang yang melakukannya. Aku khawatir kau tidak akan mempercayainya kalau mendengar kabar ini dari orang lain."     

Pada saat ini, Fasal memberikan selembar kertas pada Twain.      

"Hasil pemeriksaan kesehatan dari rumah sakit."     

Twain tampak terkejut saat dia mengambil kertas itu. Melihatnya sekilas, dia bisa membaca nama istrinya tertulis dalam kotak nama pihak yang melakukan pemeriksaan kesehatan.      

Sebelum dia bisa melanjutkan membaca, suara Fasal kembali terdengar, "Selamat, Tn. Twain. Istrimu hamil,"      

Bukannya mengangkat kepalanya untuk menatap Fasal, Twain menundukkan kepala dan menatap kosong ke arah kertas yang dipegangnya. Dia tidak bisa mempercayai berita yang didengarnya.      

"Dua bulan yang lalu, Shania melakukan pemeriksaan kesehatan. Dia hamil. Tapi dia tidak memberitahumu tentang ini agar tidak mempengaruhi pekerjaanmu dan menyembunyikannya sampai sekarang sebagai hadiah pensiunmu."     

Fasal memperhatikan bahwa tangan Twain, yang memegang lembar pemeriksaan kesehatan itu, gemetar. Tiba-tiba saja dia ingat bahwa pria di hadapannya ini pernah mengalami serangan jantung sebelumnya. Bagaimana kalau dia tidak bisa menerima kabar gembira ini dan kembali mengalami serangan jantung?     

Fasal sama sekali tidak berani memikirkan tentang kemungkinan itu. Dia segera memanggilnya, "Tn. Twain, apa kau baik-baik saja?"     

Barulah Twain mengangkat kepalanya dan menatap Fasal. Dia membuka mulutnya dan berkata, "Aku... baik... sangat baik..."     

Setelah mengatakan ini, dia menarik nafas dan melanjutkan, "Aku baik-baik saja, terima kasih sudah memberitahuku kabar baik ini, Tn. Fasal."     

Fasal mengira Twain akan sangat senang dan mengatakan banyak hal. Dia sama sekali tidak menduga Twain akan menyelesaikan kalimat itu dan buru-buru ingin pergi.      

Secara naluriah, dia bertanya, "Kau mau kemana, Tn. Twain?"     

"Aku harus pulang," kata Twain sambil melangkah keluar dari lobi.      

※※※     

"Kurasa seluruh kepolisian Nottingham ada disini!"     

Salah satu penggemar, yang berhenti didekat dinding manusia yang dibuat oleh petugas polisi, mengeluh.      

Orang-orang ini tidak bisa disalahkan karena mengeluh. Para fans tadinya berharap mereka bisa mendekati idola mereka. Tapi, para petugas polisi tetap berjaga-jaga dan mendorong mundur para fans, membentuk jalur selebar lima meter dari gerbang stadion sampai ke tempat parkir.      

Mengambil pelajaran dari insiden John Lennon, mereka tidak tahu apakah akan ada seorang penggemar yang fanatik dan cukup gila untuk membunuh Twain sebagai upaya membuatnya tetap tinggal disana selamanya hanya karena dia tidak mau membiarkannya pergi. Ini bukan lelucon, jadi petugas kepolisian lokal mengerahkan seluruh upaya mereka karena khawatir ada Mark David Chapman lain yang muncul diantara para fans.      

Ketika Twain muncul di hadapan seluruh massa, para fans di alun-alun bersorak keras. Mereka membuat kegemparan dan para petugas polisi yang ada disana terkejut dan kewalahan dengan aksi para fans itu.      

Twain tidak terkejut melihat pemandangan ini. Dia berdiri di atas undakan tangga dan melambaikan tangan ke arah para fans yang sangat bersemangat. Lalu dia menundukkan kepalanya dan melangkah turun lalu melewati jalur yang sudah bengkok disana sini.      

Stasiun televisi BBC5 menyiarkan pemandangan ini ke seluruh dunia.      

Ditengah sorakan puluhan ribu orang, sang raja berjalan menuruni undakan tahta dan berjalan menyusuri karpet merah menuju keluar istana. Dia meninggalkan mahkota di atas singgasananya. Istana yang megah itu tidak memberinya sedikitpun penyesalan, dan dia juga menutup telinga dari suara-suara rakyatnya.      

Di tengah kerumunan merah yang mengamuk, dia – berpakaian hitam – tampak begitu tenang. Dia melipat kertas di tangannya, memasukkannya dengan hati-hati ke dalam sakunya dan menepuknya lembut. Lalu dia mengeluarkan kacamata hitamnya, memakainya, dan melangkah pelan menyusuri kerumunan yang antusias.      

16 piala kejuaraan, pasang surut selama 16 tahun terakhir, hari-hari dimana dia dipuja oleh jutaan orang, serta argumen-argumen tanpa akhir di sekelilingnya, semuanya mulai ditinggalkan selangkah demi selangkah.      

Lebih dari seribu tahun yang lalu, penakluk Roma kembali ke rumah setelah meraih kemenangan-kemenangan dalam perang.      

Dia akan menikmati kehormatan dan kemuliaan disaat dia kembali dan juga parade keliling negeri.      

Akan ada banyak peniup terompet, musisi dan hewan-hewan buas eksotis dari negeri-negeri yang dia taklukkan.      

Akan ada banyak kereta kuda yang penuh berisi harta karun dan senjata rampasan.      

Si penakluk menaiki kereta kuda untuk kembali pulang dengan gemilang.      

Para tawanan perang duduk terbelenggu di bagian depan kereta kuda.      

Anak-anaknya, berpakaian jubah putih, berdiri bersamanya di dalam kereta kuda atau menunggangi kuda di dekatnya.      

Seorang budak, membawa mahkota emas, berdiri di balik si penakluk.      

Dia membisikkan sebuah peringatan di telinganya:     

Semua kejayaan hanya bersifat sementara seperti awan yang berarak.      

0


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.