Mahakarya Sang Pemenang

Hanya Ada Satu Tony Twain



Hanya Ada Satu Tony Twain

0Tidak perlu mengatakan lebih dari yang diperlukan tentang setiap situasi sebelum pertandingan terakhir ini karena itu tidak ada bedanya dari apa yang terjadi di pertandingan-pertandingan penting sebelum ini. Satu-satunya perbedaan adalah sebagian besar fans yang datang untuk menonton pertandingan hari ini tidak memakai jersey Forest dengan nama dan angka pemain tertentu. Melainkan, mereka memakai jersey khusus yang berwarna merah atau putih.      

Kaus jersey khusus untuk acara ini sudah dijual di toko suvenir Nottingham Forest sebelum Twain mengadakan konferensi pers yang mengumumkan bahwa dia akan kembali pensiun di akhir musim nanti. Kaus itu berwarna putih atau merah. Bagian depan kaus itu terlihat seperti jersey Nottingham Forest, sementara bagian belakangnya memiliki dua set angka. Angka "12" di bagian atas mewakili 12 tahun yang dihabiskan Twain untuk melatih tim Forest dan "12" di bagian bawah mewakili 12 gelar juara yang dimenangkan Twain. Diatas kedua set angka "12" ini terdapat nama Tony Twain.      

Hampir setiap penggemar yang dilewati kamera akan membalikkan badan untuk menunjukkan dua set angka "12" dan nama Tony Twain, lalu mengacungkan jempol mereka.      

Sebagai seorang reporter, Pierce Brosnan juga mengenakan kaus ini saat melakukan liputan langsung pertandingan.     

Tim Twain sedang melakukan pemanasan di dalam stadion sementara para penggemar mengantri diluar untuk memasuki stadion.      

Kedua tim melakukan pemanasan sedikit lebih awal hari ini karena putaran terakhir turnamen liga harus dimulai di waktu yang bersamaan, dan Nottingham Forest FC juga mempersiapkan upacara perpisahan kecil-kecilan untuk Twain sebelum pertandingan dimulai. Jadi, mereka hanya bisa membuat waktu pemanasan dilakukan lebih awal.      

Para fans yang memasuki stadion langsung sibuk mencari sosok Twain di bawah tribun, tapi mereka tidak menemukan apa yang mereka cari. Twain dicegat oleh Edward Doughty di pintu ruang ganti pemain dan masih belum keluar dari sana.      

"Tony, kau hanya punya waktu 15 menit di ruang ganti," Edward mengingatkan Twain, karena takut kalau dia terlalu bersemangat dalam berbicara pada para pemainnya, dia akan melupakan hal itu. "Kita harus memulai pertandingan di waktu yang sudah dialokasikan atau kita akan dikenai sanksi. Kau tahu pertandingan ini sangat sensitif-waktu..."     

Twain melambaikan tangannya dengan tidak sabar. Kenapa Edward begitu cerewet hari ini? "Aku tahu, bukankah itu hanya persaingan untuk mendapatkan gelar juara liga? Tim kita jadi terlihat seperti memainkan pemeran pendukung."     

Edward tertawa. Di mata banyak orang, tim Forest memang memainkan pemeran pendukung hari ini. Manchester United juga memainkan pemeran pendukung. Tokoh utama yang asli adalah pria yang ada dihadapannya saat ini.      

Ketika samar-samar dia mendengar siaran langsung di luar yang mengingatkan bahwa waktu pemanasan sudah hampir berakhir, Edward berpamitan pada Twain dan berbalik untuk melangkah pergi.      

Twain, disisi lain, kembali ke ruang ganti untuk menunggu para pemainnya kembali dari lapangan jadi dia bisa mengucapkan beberapa patah kata terakhir pada mereka. Edward khawatir 15 menit tidak akan cukup bagi Twain. Tapi, Twain bukan lagi Twain yang sama seperti dulu, yang suka berbicara panjang lebar dan membangkitkan semangat para pemainnya. Tidak ada lagi yang perlu dikatakan olehnya. 15 menit sudah lebih dari cukup baginya.      

※※※     

Ketika kedua tim yang melakukan pemanasan mulai meninggalkan lapangan dan memasuki terowongan, layar besar di Stadion Crimson menghapus logo kedua tim dan display waktu elektronik sehingga hanya menunjukkan warna hitam polos.      

Pada saat ini tidak banyak kursi kosong yang tersisa di tribun. Para fans diluar stadion juga semakin berkurang ketika jumlah penonton di tribun semakin meningkat. Beberapa orang yang tidak punya tiket telah pergi ke pub terdekat, menunggu untuk menonton siaran langsung di televisi.      

Setelah pemain Forest yang terakhir telah meninggalkan lapangan dan memasuki lapangan, tribun penonton sudah penuh dan hanya ada sedikit fans yang masih terlihat di pintu masuk. Layar besar, yang berwarna hitam sejak awal, menyala sesaat dan kemudian satu kata terlihat di latar belakang yang gelap.      

"Hey."     

Lalu satu kata berwarna putih itu memudar dan menyatu dengan latar belakang.      

Layar itu menyala lagi dan perlahan mulai terang. Siluet Tony Twain terlihat di layar.      

Suara sorakan keras terdengar di tribun.      

Imej itu kembali memudar dan diikuti dengan gambar Tony Twain dan Edward Doughty. Keduanya berjabat tangan di tengah layar dan sebuah dokumen terbuka ditempatkan di atas meja. Itu adalah foto perpanjangan kontrak pertama Twain dengan klub.      

Setelah gambar itu memudar, sebuah kalimat muncul di latar belakang hitam:     

"Itu adalah kontrak terbaik di sepanjang sejarah klub."     

Kalimat itu menuai sorakan dan tepuk tangan meriah dari tribun.      

Ketika para fans mendongak memandang dua layar besar di kedua sisi stadion, anggota staf membawa piala yang sudah dibersihkan ke dalam lapangan, satu demi satu piala yang berkilauan. Piala-piala yang beraneka bentuk itu diangkat dengan hati-hati dan ditempatkan ke atas rumput di lingkaran tengah.      

※※※     

Di ruang ganti, Twain sedang memberitahu para pemainnya tentang misi pertandingan ini.      

"Apa aku berbohong pada kalian tentang apa yang kukatakan kemarin?" tanya Twain.      

Satu per satu, para pemain yang duduk di sekelilingnya menggelengkan kepala mereka.      

Melihat jawaban mereka, Twain tertawa dan berkata, "Bagus sekali. Dengarkan, guys. Pertandingan ini hanyalah pertandingan liga biasa bagi kita. Tapi, lawan kita sedang berada dalam tekanan besar. Ini adalah pertandingan dimana mereka tidak boleh kalah. Haruskah kita membantu mereka dan menyerah di pertandingan ini? Tentu saja tidak! Aku tidak akan bicara omong kosong. Kalian semua adalah pemain profesional. Kuharap kalian bisa melihat kata-kata di dinding saat kalian memasuki lapangan."      

Setelah mengatakan ini, Twain mengulangi pengaturan taktis yang sudah ditetapkan semalam. Dia ingin memastikan semua pemain di lapangan tahu apa yang harus mereka lakukan.      

"Tidak ada yang baru tentang taktik kita, dan rival lama kita seharusnya sudah mempelajari taktik itu. Tapi apakah mereka bisa menangkalnya setelah mempelajari taktik kita dengan seksama adalah masalah lain..."     

Twain merentangkan tangannya dan mengangkat bahu.      

※※※     

Rekaman Twain yang memimpin tim memenangkan setiap kejuaraan ditayangkan di layar besar.      

Dari mulai EFL Cup yang pertama hingga gelar juara Liga Champions UEFA terbaru, tiap piala memiliki segmen pendek-nya masing-masing.      

"... Meski kita harus memanjat! Kita juga akan memanjat naik!" Sebuah lapangan hijau muncul di layar dan para pemain Forest sedang duduk di lapangan dengan Twain membungkuk di tengah-tengah mereka. Dilihat dari dekat, banyak diantara para pemain itu yang tampak asing. Sebagian besar orang sudah hampir melupakan nama-nama mereka sekarang dan Twain dalam rekaman itu terlihat masih sangat muda. Ini adalah rekaman sebelum adu penalti di final EFL Cup tahun 2004. Saat itu, sejumlah pemain meninggalkan tim setelah tim Forest dipromosikan ke Liga Premier. "Kalah di tahap terakhir tidak berbeda dari kalah di tahap pertama. Kita masih akan tetap dianggap pecundang! Kita harus menang! Kita harus menang!" Twain di dalam rekaman itu meraung dengan tangan terkepal. Penampilannya ini menginspirasi tidak hanya para pemain di rekaman itu tapi juga para penonton yang melihatnya 15 tahun kemudian.      

Suara sorakan dan tepuk tangan meriah terdengar untuk waktu yang lama.      

Tapi, adegan yang lebih menggetarkan masih belum ditayangkan.      

Layar itu kembali menyala. Bendera Liga Champions UEFA berkibar ditiup angin di Stadion Olympic, Athena. Detik berikutnya, Albertini menggunakan tendangan pisang untuk menjebol gawang AC Milan. Para fans Forest di tribun bersorak untuk gol itu seolah-olah mereka ada disana. Beberapa diantara mereka bahkan meneriakkan nama Albertini, "Demi! Demi!"     

Hanya ada satu penyesalan di pertandingan ini. Karena Twain tidak ingin menganggapnya khusus, dia selalu menganggapnya sebagai pertandingan liga biasa. Oleh karena itu, dia tidak mengirimkan tiket kepada teman-teman lamanya sebelum pertandingan, seperti yang dilakukannya di pertandingan final kejuaraan apapun. Tidak ada yang tahu apakah teman-teman lamanya itu bisa datang kali ini...      

Di tribun, seorang pria menyenggol temannya dengan sikunya dan berkata, "Hey, mereka memanggilmu, Demi."     

※※※     

"... Taktik Nottingham Forest tidak berbeda dari biasanya. George Wood dan Chen Jian pasti akan menjadi penghubung di lini tengah. Kalian harus mengawasi mereka dengan ketat. Lini tengah dan belakang kita harus bergerak maju dengan berani dan mencegat bola dengan ganas di lini tengah. Kita tidak boleh memberi mereka terlalu banyak ruang dan waktu untuk merebut bola. Selama kita bisa mengacaukan mereka, peluang kita untuk menang pasti akan meningkat tajam."     

Di dalam ruang ganti untuk tim Manchester United, Mourinho menganalisa taktik tim Forest dan menjabarkan taktik mereka sendiri.      

Tidak seperti suasana meriah dan penuh suka cita diluar sana, suasana di dalam ruang ganti pemain tim tamu ini begitu berat sehingga hampir bisa dipotong dengan pisau. Semua orang mendengarkan manajer mereka dengan seksama karena khawatir melewatkan satu kata yang diucapkannya.      

Semua orang jadi seperti ini karena pertandingan ini sangatlah penting bagi Manchester United. Mereka telah gagal dan dikalahkan di Liga Champions dan FA Cup musim ini. Mereka hanya bisa bersaing untuk mendapatkan kehormatan sebagai juara di turnamen liga. Kalau mereka tidak menang, mereka benar-benar akan mengakhiri musim ini dengan tangan kosong.      

Mereka tidak tahu apakah mereka bisa dikatakan beruntung atau tidak.      

Lawan di putaran terakhir turnamen liga ini adalah Nottingham Forest, jelas bukan tim yang lemah. Tapi, tim Forest sudah menyelesaikan tujuan mereka di musim ini lebih awal dari jadwal dan karenanya mereka mungkin bermain lebih santai.      

Tapi, ini adalah penampilan terakhir Tony Twain... Mungkinkah tim Forest mentolerir kekalahan di pertandingan ini dan merusak suasana yang ada?     

Mourinho tidak tahu apa yang ada di benak para pemainnya. Dia hanya mengulangi taktik yang akan digunakan dalam pertandingan ini lagi dan lagi, sementara di waktu yang bersamaan berusaha mengurangi tekanan di bahu para pemainnya agar mereka tidak terlalu banyak berpikir, mempertahankan kebiasaan atau kenormalan mereka dan memperlakukan pertandingan ini sebagai pertandingan liga biasa.      

Jujur saja, Mourinho sendiri tidak percaya dengan apa yang dia ucapkan terkait pertandingan ini adalah pertandingan liga biasa. Ada alasan lain di baliknya, selain masalah tim mana yang akan meraih gelar juara liga.      

Itu karena ini adalah pertandingan terakhir Tony Twain. Meski dia berada di ruang ganti, dia bisa menebak apa yang sedang terjadi diluar sana. Sebentar lagi, akan ada acara singkat yang dipersiapkan secara khusus untuk Twain. Para pemainnya sudah menerima permintaan dari klub Forest untuk ikut bergabung dan berbaris di pintu keluar terowongan untuk menyambut Twain saat dia muncul nanti.      

Benar-benar prosesi yang besar! Bahkan pertandingan terakhir Ferguson sebelum dia pensiun tidak memiliki rangkaian acara semacam ini...      

Timnya sudah menyetujui permintaan itu, tapi dia tidak akan berada disana untuk bertepuk tangan dan menyambut Twain saat dia muncul. Dia harus memberi penghormatan kepada Twain? Langkahi dulu mayatku!     

※※※     

Setelah kedua tim menyelesaikan persiapan pra-pertandingan mereka dan melangkah keluar dari ruang ganti lebih awal, layar besar di atas tribun masih menayangkan sebuah film dokumenter tentang Twain.      

Kali ini adalah pertandingan final Liga Champions tahun 2006. Di dalam pertandingan itu, Nottingham Forest, yang kekurangan satu pemain sejak menit ke-18, berhasil unggul satu gol hingga menit ke-76. Pada akhirnya, Barcelona mencetak dua gol berturut-turut dan tim Forest kehilangan piala kejuaraan karena adanya penurunan kebugaran yang terlihat nyata. Pertandingan itu menjadi pukulan berat bagi Twain dan tim Forest-nya yang masih muda.      

Kali ini, konten yang terlihat di layar tidak pernah terlihat di media publik manapun.      

Itu adalah video tentang kemarahan Twain di ruang ganti usai pertandingan.     

"... Rasa malu seorang pecundang? Medali perak b*suk!?!" Kalau konten semacam ini dirilis di media publik, akan ada banyak sensor terhadap bahasa kasar yang digunakannya dan yang bisa didengar hanyalah suara bip yang berkelanjutan. Tapi, versi yang ditayangkan di Stadion Crimson ini tidak disensor. Sama sekali tidak pemblokiran atau pemrosesan kata-kata. Itu adalah Twain yang asli.      

"Hanya ada satu juara. Untuk apa medali perak itu? Toko rongsokan? Pergi keluar sana untuk tersenyum dan berperan sebagai figuran untuk si pemenang? Untuk membuat gelar juara mereka terlihat lebih cemerlang? Untuk menjilat mereka?! Aku tidak mau pergi! Bukankah Barcelona itu hebat? Biar saja mereka yang menerimanya!"     

Lalu, setelah layar berubah, Twain mengulurkan lengannya dan mengacungkan tiga jari di hadapan banyak reporter. "Ini adalah piala Liga Champions ketiga di sepanjang sejarah Nottingham Forest, terima kasih!"     

Detik berikutnya, Twain naik ke atas panggung dengan wajah muram untuk menerima medali perak. Lalu dia melangkah turun dan langsung menuju pintu masuk terowongan pemain, dimana dia menggantungkan medali perak itu di leher seorang ball boy muda. Setelah melakukan ini, dia melangkah ke dalam terowongan dan menghilang dari mata publik, tidak peduli dengan bagaimana insiden itu terlihat di mata semua orang yang hadir.      

Melihatnya melakukan itu, para fans di stadion Crimson tidak menganggap manajer mereka bersikap kasar dan tidak tahu terima kasih, melainkan justru bersorak lebih keras lagi. Beberapa orang bahkan bertepuk tangan sambil menghentakkan kaki mereka untuk menyoraki penampilan Twain.      

Mereka menyukai Tony Twain yang kasar dan tak bisa diatur. Mungkin pria lain akan bertindak dalam cara yang lebih sopan, tapi Twain sangat cocok dengan keinginan publik. Nottingham dipenuhi orang-orang dengan kepribadian yang membenci pihak berwenang. Mereka semua adalah orang-orang yang tinggi hati, mulai dari Robin Hood sampai Brian Clough. Tony Twain juga tidak terkecuali. Tidak ada yang terkejut dengan tingkah laku Twain. Menurut mereka, manajer semacam ini adalah manajer terbaik.      

Bagaimana mungkin dia bisa memenangkan 12 piala kejuaraan selama 12 tahun karir kepelatihannya tanpa sikapnya yang membenci semua pihak berwenang di seluruh dunia?     

Apa ada yang menganggap dia arogan? Orang itu pasti pecundang!     

※※※      

Ditengah suara sorakan, para pemain dari kedua tim mulai berlari keluar. Bukannya langsung memasuki lapangan, mereka berbaris di kedua sisi terowongan, menunggu tokoh utama untuk melangkah keluar.      

Layar besar di tribun kembali berubah gelap, dan sebuah kalimat muncul perlahan diatasnya:      

"Mari kita sambut...."     

Para fans yang melihat kalimat itu berteriak serempak, "Yang Mulia Raja!!!"     

Ditengah raungan "Yang Mulia Raja", Twain melangkah keluar dari terowongan.      

Dia melihat para pemain dari kedua tim berbaris menunggunya, dan juga ketua klub, Edward Doughty, yang berdiri di belakang piala kejuaraan yang diletakkan di lingkaran tengah. Tentu saja, dia juga melihat ada banyak tanda-tanda dan poster yang tergantung di tribun Robin Hood.      

Dia mengangkat tangannya dan melambai ke arah semua orang. Dia melangkah di tengah tepuk tangan para pemain kedua tim dan berjalan terus hingga mencapai piala di lingkaran tengah sebelum akhirnya berhenti.      

Layar hitam dan kata-kata diatasnya sudah hilang, digantikan oleh sebuah gambar 'penobatan' Tony Twain setelah dia kembali ke Stadion City Ground usai berhasil mempertahankan gelar juara Liga Champions. Di dalam gambar itu, dia berpakaian jubah kerajaan berwarna merah dan putih, memegang mahkotanya tinggi-tinggi dan menghadap ke arah tribun utama stadion yang berkilauan, dihiasi cahaya berkelap kelip yang berasal dari kilatan lampu kamera.      

Edward Doughty menyerahkan mikrofon nirkabel pada Twain, menariknya agar berdiri di belakang piala, dan kemudian bergerak mundur.      

Para reporter berkerumun di depan semua piala itu dan membentuk tiga barisan. Di baris pertama, orang-orang berbaring di lapangan dan memegang kamera di tangan mereka. Orang-orang di baris kedua berlutut dengan satu kaki, membawa kamera. Orang-orang di baris ketiga dipenuhi mereka yang berdiri dibelakang baris pertama dan kedua dan sibuk dengan tripod mereka.      

Pada saat mereka selesai melakukan apa yang mereka lakukan, terdengar serangkaian bunyi shutter kamera yang ditekan.      

Bagi para reporter, khususnya bagi mereka yang berbaring, dengan 12 piala beragam ukuran ditempatkan di depan Twain, itu memberikan tampilan yang mengesankan.      

Setelah dia menunggu para reporter selesai mengambil gambar, Twain memegang mikrofonnya. Ketika mereka semua melihat aksinya, semua orang di stadion perlahan mulai tenang tanpa ada yang perlu mengingatkan. Suara sorakan menggemuruh, yang datang silih berganti sebelum ini, perlahan memudar dan akhirnya menghilang. Semua orang menunggu untuk mendengar apa yang akan dikatakan Twain.      

Tadinya Twain mengira bahwa dia sudah sering melihat pemandangan seperti ini dan karenanya takkan terpengaruh olehnya. Tapi, saat dia baru saja akan mengatakan sesuatu, dia menemukan tenggorokannya tercekat karena emosi yang meluap dalam dirinya.      

Dia segera menutup mulutnya. Dia tidak ingin 60,000 penonton disini mendengar suaranya yang gemetar. Itu akan memalukan.      

Meski begitu, dia tidak melarikan diri. Siaran televisi berteknologi tinggi segera menyorot wajah Twain dari jarak dekat. Matanya yang berkaca-kaca bisa dilihat oleh semua orang.      

Melihatnya seperti ini, teriakan-teriakan terdengar di tribun: "Tetaplah tinggal, Yang Mulia!"     

Mendengar teriakan itu, Twain hanya melambaikan tangan mereka dan meminta mereka tenang. Ketika semuanya kembali tenang, dia mengatur emosinya dan berkata ke mikrofon, "Terima kasih..."     

Setelah mengucapkan dua kata itu, dia tidak lagi bisa mengendalikan emosi dalam suaranya.      

Saat ini, Twain baru sadar betapa dia tidak ingin meninggalkan semuanya di belakang. Dia bahkan tidak bisa mengucapkan 'selamat tinggal'.      

Saat dia berjuang untuk berbicara, tidak ada yang mengatakan apa-apa. Mereka semua menunggu dengan tenang.      

Twain menundukkan kepalanya dan terdiam sejenak. Akhirnya dia bisa mengendalikan emosinya lagi.      

Dia berdehem dan berkata, "Terima kasih, kalian semua. Terima kasih."     

Sebagai tanggapan, lengan-lengan yang tak terhitung banyaknya melambai ke arahnya dari tribun penonton.      

Siaran langsung di stadion mulai memutar lagi yang dulu pernah digunakan untuk mengantarkan kepergian Albertini. Itu adalah lagu berjudul 'Time to Say Goodbye' dari Sarah Brightman dan Andre Bocelli.      

Ketika lagu itu diputar, seorang pria di tribun juga menyeka sudut matanya. Dia mengingat masa lalunya bertahun-tahun yang lampau.      

"Sudah saatnya mengucapkan selamat tinggal, Tony..." desahnya.      

"Aku merasa bangga dan terhormat karena bisa melatih tim ini selama 12 tahun. Aku bangga dan terhormat karena aku hanya melatih tim sepakbola Nottingham Forest sepanjang hidupku. Bukan aku yang membentuk Nottingham Forest. Kalianlah yang membentuk diriku," Twain melambaikan tangannya ke arah para fans di tribun dan para pemain yang berdiri di pinggir lapangan.      

Tepuk tangan yang meriah terdengar.      

"Hari ini adalah pertandingan terakhirku dan kuharap kalian menikmati..." Dengan ini, dia berhenti sejenak.      

Semua orang mengira dia akan mengatakan, ".... pertandingannya."     

Tapi, Twain menoleh ke sisi yang lain dan menemukan Mourinho di balik kerumunan orang. Rival lamanya itu tidak menunjukkan ekspresi apa-apa.      

"... kuharap kalian menikmati kemenangan Nottingham Forest sepenuhnya."     

Twain memandang Mourinho dan tertawa.      

Setelah dia mengatakan itu, ekspresi di wajah Mourinho memang berubah, dan dia tidak lagi terlihat tenang seperti sebelumnya.      

Usai menyindir rival lamanya, Twain berada dalam suasana hati yang baik. Kemurungan yang menyertai suasana perpisahan ini tidak lagi mempengaruhinya.      

Twain mengangkat tangannya lagi dan melambaikannya.      

"Setelah 90 menit, kita akan mengucapkan selamat tinggal lagi! Selamat tinggal, guys!"     

Setelah mengatakan ini, Twain menurunkan mikrofonnya dan terus berdiri di lingkaran tengah untuk melambaikan tangannya. Suara sorakan yang meriah terdengar dari tribun. Para pemain berdiri di pinggir lapangan dan menonton boss mereka dibanjiri sorakan. Mereka juga bertepuk tangan untuknya. Gareth Bale bahkan bersuit. Kini mereka semua dipenuhi motivasi dan semangat juang. Mereka ingin pertandingan segera dimulai jadi mereka bisa mengoyak Manchester United hingga berkeping-keping.      

Siapa pemilik gelar juara liga itu?     

Apa hubungannya gelar itu dengan kami? Kami hanya ingin mempersembahkan kemenangan bagi manajer terhebat di sepanjang sejarah Nottingham Forest sebagai hadiah perpisahan!     

Kau adalah perwujudan kemenangan, godfather para juara. Di pertandingan terakhir ini, hanya kemenangan yang cocok untukmu, boss.      

※※※     

Twain sudah melangkah keluar dari lapangan. Para anggota staf memindahkan 12 piala kejuaraan kembali ke ruang piala dan para reporter juga kembali ke tempat mereka masing-masing. Para pemain dari kedua tim kembali muncul dan suara sorak sorai di tribun perlahan berhenti.      

Sederet kata muncul di dua layar besar stadion:     

Hanya ada satu Tony Twain!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.