Mahakarya Sang Pemenang

Sesi Latihan Terakhir



Sesi Latihan Terakhir

0Twain menahan keinginannya untuk melangkah ke pinggir lapangan dan mencari tahu apa yang terjadi. Dia mengalihkan pandangannya dari kerumunan itu dan kembali memfokuskan perhatiannya pada sesi latihan. Dia masih tidak paham kenapa Michael muncul di lapangan latihan, tapi dia merasa bahwa dia akan mendapatkan jawabannya di akhir sesi latihan.      

Twain mengira dirinya berhalusinasi ketika dia melihat Michael ditengah kerumunan orang. Dia bertanya-tanya apakah dirinya kembali melakukan perjalanan lintas waktu. Apa dia kembali ke tahun 2003? Bukankah itu artinya aku terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berakhir? Itulah yang dia pikirkan.      

Dia memandang para pemain yang sedang berlatih di lapangan dan menghembuskan nafas lega setelah dia melihat Bale yang sudah dewasa. Kalau dia melakukan perjalanan kembali ke tahun 2003, Bale jelas takkan ada di hadapannya.      

Akhirnya Twain bisa sedikit rileks dan memfokuskan semua perhatiannya pada sesi latihan setelah yakin bahwa dirinya tidak melakukan perjalanan waktu ke masa lalu.      

Media diberi waktu 15 menit untuk mengambil gambar sesi latihan. Tapi, 15 menit itu terlalu pendek dan tidak cukup bagi sebagian besar reporter. Mereka ingin tetap tinggal dan mengambil lebih banyak gambar, tapi penjaga keamanan Wilford segera muncul di hadapan mereka.      

Tak punya pilihan lain, para reporter mengemasi peralatan mereka dan meninggalkan kompleks latihan. Lalu mereka menunggu diijinkan masuk ke dalam kompleks pelatihan untuk yang kedua kalinya dimana mereka bisa melakukan wawancara diluar lapangan latihan. Para fans Forest, di sisi lain, bisa terus berada di pinggir lapangan. Aturan '15 menit' itu tidak berlaku untuk mereka.      

Salah satu kekhawatiran yang muncul adalah salah satu reporter bisa menyamar seperti penggemar hanya agar bisa tetap berada di dekat lapangan latihan. Tapi, berdasarkan pengalaman Twain sebagai seorang manajer selama satu dekade, kemungkinan terjadinya hal itu sangatlah rendah.      

Hanya ada satu sesi latihan yang direncanakan untuk hari ini karena besok adalah hari pertandingan. Para pemain akan berlatih di pagi hari lalu beristirahat sepanjang sore. Setelahnya, tim akan menginap di hotel dan kemudian bersama-sama pergi ke stadion keesokan harinya.      

Para pemain akan mempraktekkan taktik bola mati untuk sesi latihan hari ini. Taktik bola mati sangatlah berguna ketika tim ingin memecahkan kebuntuan di lapangan dan para pelatih juga akan selalu menjadwalkan sesi latihan yang membuat para pemain mempraktekkan taktik bola mati mereka sebelum bertanding.      

Tapi, sesi latihan tidak berjalan lancar hari ini. Para pemain sering melakukan kesalahan, dan ini mengakibatkan sesi latihan jadi tidak efektif. Salah satu pemain yang sering melakukan kesalahan adalah Gareth Bale. Dia sering gagal mengirim bola ke titik yang seharusnya selama latihan, dan ini membuat rekan setimnya harus berlari ke depan dengan sia-sia, lagi dan lagi.      

Kenapa dia tampil seburuk ini?     

Twain memutuskan untuk menghentikan latihan sejenak. Dia ingin mencaritahu apa yang terjadi dengan Bale.      

"Bale," Dia melambaikan tangannya pada pria berjulukan 'Monyet Kecil' itu dan memintanya mendekat.      

Bale menundukkan kepalanya dan berlari ke arah Twain.      

"Ada apa? Kepalamu ada di awang-awang,"     

"Er... bukan apa-apa..."     

"Apa kau bertengkar dengan pacarmu?"     

"Tidak, aku tidak bertengkar..."     

"Kalau begitu katakan padaku apa yang terjadi. Apa ada sesuatu yang tidak kuketahui?"     

Bale menundukkan kepalanya dan ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat kepalanya dan memandang Twain. "Pikiranku teralihkan setiap kali aku memikirkan bagaimana ini akan jadi sesi latihan terakhirmu, boss..."     

Twain tidak tahu dia harus tertawa atau menangis mendengar kata-kata Bale. Jadi, akulah sumber masalahnya, pikirnya.      

Dia melihat lapangan di hadapannya. Semua pemain memandang ke arah mereka berdua karena latihan dihentikan untuk sementara. Disaat itulah dia baru merasakan emosi yang sama seperti yang dirasakan Gareth Bale tampak jelas di mata semua pemainnya.      

Sebenarnya, Twain menyesalkan bagaimana ini akan menjadi sesi latihan terakhir dalam karir manajerialnya. Tapi, dia menyingkirkan pikiran itu setelah sesi latihan dimulai. Bagaimanapun juga, hari ini sama seperti hari-hari yang lain. Mungkin akan ada sedikit lebih banyak reporter daripada biasanya, tapi semua hal lain tetap sama.      

Tapi, pasti ada orang-orang yang tidak ingin melihatnya pergi...      

Twain segera sadar bahwa jenis emosi semacam ini seharusnya tidak muncul selama latihan. Ini hanya akan mempengaruhi efektivitas sesi latihan secara negatif. Sangatlah penting bagi para pemainnya untuk mempraktekkan taktik bola mati mereka karena taktik ini bisa menjadi faktor kunci dalam memenangkan pertandingan esok.      

Bale masih berdiri di depan Twain dengan kepala tertunduk. Dia terlihat seperti seorang anak yang baru saja melakukan hal yang salah. Tapi kesalahan apa yang diperbuatnya?     

Twain melihat ekspresi lembut di wajah Bale dan menghembuskan nafas panjang.      

"Ikuti aku," katanya pada Bale sambil melangkah ke arah para pemainnya.      

Bale menyeret kakinya dan mengikuti Twain dengan patuh.     

Dua asisten manajer dan enam pelatih melihat Twain berjalan mendekati mereka, tapi tidak ada yang mengatakan sepatah kata pun. Tony Twain biasanya tidak ikut campur dalam pekerjaan mereka, karena semua yang harus dilakukan dalam sesi latihan hari ini sudah diputuskan dalam pertemuan mereka hari Senin kemarin. Tapi, kalau dia menghentikan sesi latihan karena ada sesuatu yang ingin dikatakannya, maka itu pasti hal yang sangat penting.      

Twain melangkah ke dalam lingkaran yang dibentuk para pemainnya dan berdiri di tengah. Bale, disisi lain, berhenti di dekat Aaron Mitchell. Mitchell sedikit membungkuk dan bertanya padanya dengan suara lirih, "Hey, little monkey. Apa yang ditanyakan boss padamu?"     

"Dia ingin tahu kenapa aku tampil buruk."     

Mitchell mengelus dagunya. "Kau memang tampil buruk hari ini."     

"Kau juga." Bale menyodok tulang rusuk Mitchell.      

Mitchell tergelak.      

"Apa yang kau katakan padanya?" tanya Mitchell dengan suara pelan setelah dia selesai tertawa.      

"Aku memberitahu boss aku tampil buruk karena ini adalah sesi latihan terakhirnya bersama kita."     

Mitchell terdiam setelah mendengar jawaban Bale. Dia mungkin akan mengutarakan jawaban yang sama kalau dia yang ditanya barusan itu.      

"Apa dia mengatakan sesuatu padamu?" tanya Mitchell setelah terdiam sejenak.      

"Dia memberitahuku untuk 'mengikutinya'." Bale menunjuk ke arah Tony Twain yang berdiri di tengah lingkaran.      

Keduanya memandang ke arah Twain.      

Boss mereka berdiri di tengah-tengah mereka semua. Lalu dia mengangkat tangannya untuk menandakan bahwa ada sesuatu yang ingin dia katakan.      

"Guys, aku bisa melihat sesuatu di mata kalian." Twain akan membuat pidato dadakan di hadapan para pemainnya, dan ini mungkin pidato terakhirnya selama sesi latihan.      

"Kalian salah kalau kalian merasa seperti itu. Apa kalian tahu apa yang kalian lakukan sekarang? Ini adalah sesi latihan dan kita punya pertandingan yang sangat, sangat penting besok... Jangan katakan padaku ada beberapa diantara kalian disini yang menganggap pertandingan besok tidaklah penting karena kita sudah berada di enam besar."     

Twain menoleh ke kiri dan kanan untuk mengamati para pemain di sekitarnya.      

"Kalau kalian punya waktu luang untuk berpikir bahwa ini akan menjadi sesi latihan terakhirku dengan kalian, itu hanya membuktikan bahwa kalian merasa bisa memenangkan pertandingan besok dengan mudah, atau kalian tidak peduli dengan hasil pertandingan besok. Keduanya adalah hal yang tidak kuinginkan dari kalian semua!"      

Twain berhenti sejenak untuk mengatur nafasnya. Sinar matahari cukup terik hari ini dan lapisan tipis keringat terbentuk di dahinya. Twain merasa sedikit kehabisan nafas saat dia berdiri dibawah terik matahari. Kondisi fisiknya kembali mengingatkannya bahwa dia telah mengambil keputusan yang tepat untuk pensiun.      

"Aku tahu beberapa dari kalian belum lama berada di Forest dan bukan bagian dari tim yang memenangkan Treble beberapa tahun yang lalu. Sebenarnya, hanya ada sedikit pemain dari tim itu disini sekarang. Aku bisa memahami bagaimana perasaan para pemain senior itu." Twain memandang ke arah Bale. Dia tidak yakin apakah itu kebetulan, sebuah aksi yang disengaja, atau sebuah kebiasaan, tapi Mitchell berdiri di sisi kiri Bale dan Joe Mattock di sisi kiri Mitchell. Pemain yang berdiri di belakang Mattock adalah Agbonlahor, dan pemain yang berdiri di sisi kanan Bale adalah Nkoulou. Gago berdiri di sisi kanan Nkoulou dan Chris Cohen berdiri di depan Gago. Satu-satunya pemain yang tidak berdiri bersama mereka adalah George Wood. Dia berdiri di seberang mereka, bersama para pemain baru di tim.      

"Tapi justru karena aku memahami bagaimana perasaan mereka itulah maka aku merasa sangat kesal. Apa kalian semua ingat kata-kata yang tertulis di dinding terowongan pemain? 'Kemenangan adalah yang terpenting!' Itulah filosofi Nottingham Forest. Apa kalian semua sudah lupa?"     

Twain menatap mata para pemain senior di tim. Dia ingin melihat sesuatu yang berbeda dari apa yang dilihatnya sebelum ini.      

Bale melangkah maju. Dia dan Wood telah bermain paling lama dibawah pimpinan Twain dan mereka juga pemain yang paling berpengalaman. Tapi, Wood takkan mau mengatakan apa-apa tentang hal ini, dan karenanya peranan itu jatuh ke bahu Bale.      

"Tapi boss... bukan berarti kami ingin kalah dalam pertandingan, atau berpikir bahwa kami bisa memenangkan pertandingan dengan mudah. Hanya saja... kami sedikit teralihkan ketika kami berpikir bagaimana ini akan jadi sesi latihan terakhirmu bersama kami... Yeah, itu saja."     

"Lalu bagaimana kau bisa meyakinkanku bahwa kau tidak akan teralihkan dalam pertandingan besok? Kita akan memainkan pertandingan terakhir dalam karir manajerialku besok, ingatlah itu. Itu jauh lebih penting daripada sesi latihan terakhirku, bukan?" Twain mengedip kocak ke arah Bale. Tapi, Bale tidak tersenyum.      

Beberapa pemain baru di tim tertawa setelah mereka mendengar kata-kata Twain barusan. Mereka jelas tidak memahami boss.      

Twain tidak keberatan dengan suara tawa itu. Dia masih menatap Bale dengan intens. Dia ingin Bale memberinya jawaban yang bisa membuatnya merasa puas.      

Jenis jawaban seperti apa yang bisa diberikan Bale? Mungkinkah dia mengatakan 'Kurasa kami tidak akan melakukan kesalahan seperti itu, boss'? Boss-nya jelas tidak akan mempercayainya, dan kata-kata itu bisa membuatnya marah. Boss-nya boleh saja bersikap lebih lembut sekarang, tapi tidak ada yang berani meremehkannya. Kata-kata yang diucapkannya di hari pertama setelah dia kembali ke tim masih segar di benak semua orang –'Kalau ada diantara kalian yang mengira aku sudah tua, ayo maju!'      

Kata-katanya itu sangat kuat dan menggema di hati setiap pemainnya.      

Twain hanya menyembunyikan ambisinya dibalik penampilan luarnya yang ramah. Dirinya yang berapi-api di masa lalu bisa tiba-tiba muncul lagi kalau ada sesuatu yang memprovokasinya.      

"Aku tidak bisa menjamin bahwa fokus kami takkan teralihkan dalam pertandingan besok, boss..." Dibawah tatapan tajam Twain, Bale memilih untuk mengakui bahwa dia memang salah.      

"Kalau begitu aku ingin kalian melupakan tentang bagaimana ini akan menjadi 'sesi latihan terakhirku'." Twain melambaikan tangannya dengan acuh tak acuh. "Aku ingin kalian semua berlatih seperti yang biasa kalian lakukan. Kalau aku melihat perhatian kalian teralihkan selama latihan, aku tidak ragu untuk mengeluarkan nama kalian dari starting lineup atau daftar pemain untuk pertandingan besok."     

Twain melangkah menuju Kerslake dan menepuk bahunya setelah menyelesaikan kata-katanya itu. "Aku menyerahkan sisanya padamu, David."     

"Jangan khawatir, Tony. Aku akan menangani semuanya dari sini," kata Kerslake pada Twain.      

Twain melangkah menjauh dari kerumunan dan berdiri di pinggir lapangan. Dia kembali menjadi penonton.      

Dia melirik sekilas ke sisi timur lapangan latihan. Para fans masih ada disana dan sepertinya mereka membahas sesuatu dengan gembira. Mereka pasti menganggap insiden barusan itu menarik.      

Sudut bibir Twain terangkat. Lihat saja para fans. Mereka semua bertindak normal. Seharusnya para pemain itu belajar dari mereka...      

Michael Bernard jelas menjadi pusat perhatian diantara para fans Forest. Semua orang mengerumuninya. Michael tidak mengatakan apa-apa saat dia berdiri diantara para fans. Sulit untuk dibayangkan bahwa dulu dia adalah ketua kelompok hooligan dan pemimpin fans Forest lebih dari satu dekade yang lalu. Dia memakai kaos, celana panjang dan sepatu bot kulit, dan dia terlihat seperti pekerja kantoran lainnya.      

Akan lebih baik lagi kalau dia membawa tas koper, pikir Twain.     

Dia jelas harus pergi dan menemui Michael setelah sesi latihan ini berakhir. Tapi... mungkin dia tak akan bisa langsung bertemu dengannya setelah ini.      

Twain memikirkan tentang sekelompok reporter yang pasti masih berdiri diluar kompleks pelatihan saat ini. Dia pasti akan sibuk selama beberapa waktu ketika para reporter itu tahu mereka bisa memasuki lokasi ini lagi...      

※※※     

Tim akhirnya bisa berlatih dengan normal setelah Twain memarahi mereka. Tidak satupun dari para pemain itu yang berani kehilangan konsentrasi dibawah pengawasan Twain sekarang. Bahkan, semua orang bekerja lebih keras daripada sebelumnya karena tidak ada yang ingin ditinggalkan dari pertandingan sepenting ini hanya karena mereka kurang berkonsentrasi selama latihan. Twain tidak ingin para pemain itu memikirkan tentang bagaimana besok adalah pertandingan terakhir dalam karir manajerialnya, tapi mustahil bagi mereka untuk tidak memikirkan tentang itu. Para pemain tahu bahwa mereka tidak punya pilihan lain kecuali menekan pikiran-pikiran itu untuk saat ini. Mereka harus mengubah emosi dan pikiran mereka menjadi semangat untuk pertandingan esok hari.      

Para pemain ingin agar Twain berbicara pada mereka usai sesi latihan berakhir, tapi Twain hanya melambaikan tangannya dan menolak permintaan mereka.      

"Aku sudah mengatakan semua yang harus kukatakan untuk saat ini. Aku hanya akan mengulangi apa yang telah kukatakan kalau aku harus bicara lagi sekarang. Aku tidak ingin membuang-buang waktu kalian. Aku ingin kalian semua mandi dan ganti pakaian sekarang! Jangan sampai kalian sakit!" Dia baru akan berbalik dan melangkah ke arah para reporter sebelum kemudian menambahkan, "Oh, ya. Biar kukatakan ini. Kalian semua tampil sangat bagus dalam sesi latihan barusan."     

Twain tidak melangkah ke arah para penggemar. Dia tahu para reporter yang gelisah itu takkan membiarkannya pergi begitu saja.      

Seperti yang diduganya, dia langsung di kelilingi para reporter setelah dia melangkah keluar dari pintu masuk lapangan latihan.      

Mikrofon, perekam, dan ponsel yang tak terhitung banyaknya diulurkan ke arahnya.      

"Pertandingan terakhir dari karir manajerial Anda akan dilangsungkan besok. Apa ada hal yang ingin Anda katakan tentang ini, Tn. Twain?"     

"Aku merasa baik-baik saja. Terima kasih."     

"Bagaimana pendapat Anda tentang peluang Anda mengalahkan tim Mourinho?"     

"Aku tidak tahu, itu bukan keputusanku. Kalian sebaiknya bertanya pada Tuhan. Satu-satunya hal yang kutahu adalah aku ingin menang."     

"Manchester United akan mempertahankan gelar Liga Premier mereka selama mereka bisa menang atas kalian..."     

"Aku tahu itu. Fakta bahwa aku masih bisa menghadapi situasi yang menarik seperti ini sebelum aku pensiun membuatku merasa sangat senang," Twain tersenyum. Senyumnya tulus karena situasi ini memang sangat menarik baginya. Dia bekerja keras untuk mencegah timnya berada dalam situasi dimana mereka akan bergantung pada belas kasihan Manchester United, tapi dia sama sekali tidak menduga bahwa situasinya akan terbalik dan Manchester United-lah yang bergantung pada belas kasihan timnya.      

Twain bukanlah jiwa pemurah yang akan menunjukkan simpati pada orang lain ketika mereka membutuhkannya. Justru kebalikannya. Dia adalah pria keji yang dengan senang hati akan menendang Mourinho ke dalam jurang.      

Memang benar bahwa dia sempat minum bersama Mourinho di Brasil sebelum ini, tapi itu semua terjadi di masa lalu. Dia telah kembali bekerja sebagai manajer dan Mourinho adalah lawannya di pertandingan berikutnya. Hanya itu yang penting sekarang.      

"Apa Anda merasa sedikit sedih mengingat hari ini adalah sesi latihan terakhir Anda dengan para pemain?"     

Kalau reporter itu mengajukan pertanyaan ini pada Twain kemarin, kemungkinan besar dia akan menganggukkan kepala sebagai jawaban. Tapi, Twain sudah merasakan kesedihan dan keengganan untuk pergi itu kemarin, dan dia tidak ingin berkutat dengan perasaan yang sama hari ini. Selain itu, dia sudah berusia 50 tahun. Tidak ada lagi hal yang tidak bisa dilupakannya setelah mencapai usia ini.      

Dia menggelengkan kepalanya dan berkata, "Saat ini, benakku dipenuhi pikiran tentang pertandingan esok hari. Aku tidak memikirkan apa-apa lagi sekarang."     

Hari ini ada lebih banyak reporter daripada biasanya dan sebagai akibatnya, ada lebih banyak pertanyaan untuk dijawab. Dengan sabar Twain berusaha menjwab setiap pertanyaan yang diajukan padanya. Dia tidak kehilangan kesabaran atau menjauh pergi seperti yang dilakukannya di masa lalu. Emosinya jauh lebih baik daripada dulu.      

Para reporter berkerumun di sekeliling Twain dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan selama kurang lebih 20 menit. Mereka baru berhenti melakukannya setelah Twain melambaikan tangannya dan menolak untuk diwawancara lebih jauh.      

Para pemain sudah meninggalkan lapangan latihan saat itu. Sebagian besar penggemar yang berdiri di sisi timur lapangan latihan juga sudah pergi.      

Twain menoleh ke arah para fans yang masih tinggal di belakang dan dia tidak melihat Michael diantara mereka. Sepertinya dia akan harus mampir ke bar Burns nanti. Yah, dia punya banyak waktu luang sore nanti. Tidak perlu terburu-buru melakukan itu.      

Tepat ketika Twain berbalik untuk melangkah ke arah tempat parkir, tiba-tiba saja dia mendengar seseorang memanggil namanya dari belakang. Suara itu terdengar sangat familiar.      

Twain berbalik dan melihat Michael Bernard berdiri dibawah sebuah pohon di tepi jalan!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.