Mahakarya Sang Pemenang

Senja dan Fajar di Wilford



Senja dan Fajar di Wilford

0Twain berdiri di lapangan latihan nomor 2 di Wilford. Hutan yang lebat ada di depan matanya dan bayangan selang-seling dedaunan hutan terlihat di kakinya. Latihan hari itu sudah berakhir dan para pemain juga sudah pergi, tapi ada satu orang yang masih berlatih di lapangan latihan.      

Twain berdiri di pinggir lapangan dan memperhatikan pria yang sedang berlatih.      

Pemandangan ini terasa familiar baginya.      

Ditemani sisa cahaya matahari terbenam dibawah langit merah yang mulai temaram, kompleks Wilford seolah disekat-sekat oleh bayangan hutan di sisi barat. Seluruh lapangan latihan itu tenang. Tidak ada suara lain yang terdengar kecuali bunyi bola ditendang dan bola yang membentur tiang gawang, jaring maupun pagar kawat. Hanya sesekali terdengar suara burung. Ini benar-benar kontras dengan keramaian yang terjadi di siang hari.      

Saat dia masih muda, dia selalu ada disini untuk menonton pria di depannya ini berlatih berulang kali. Dulu, pria itu masih seorang bocah.      

Dalam sekejap mata, lebih dari sepuluh tahun telah berlalu. Dia sendiri sudah hampir pensiun, dan pria di hadapannya kini menjadi pembawa-standar di tim. Di lokasi yang sama lebih dari satu dekade yang lalu, apakah Tony Twain memikirkan tentang masa depan?     

Saat Twain masih merenung, pria di lapangan itu melangkah menghampirinya, keringatnya mengucur deras.      

"Apa yang kau lihat?" tanyanya.      

"Mengagumi pemandangan," jawab Twain. Dia masih terus memandang Wilford, yang diselimuti cahaya senja. "Bukankah ini terlihat seperti sebuah lukisan cat minyak? Aku masih ingat kau pernah menendang bolanya ke sungai di lapangan latihan tim pemuda. Saat itu juga senja dan langitnya gelap. Bola itu tidak lagi bisa ditemukan setelahnya. Ha!" Dia tertawa sambil berkata, "Tidak banyak waktu yang tersisa bagiku untuk menikmati pemandangan ini."     

George Wood berbalik dan mengikuti pandangan Twain. "Bukankah selalu terlihat seperti ini selama enam belas tahun terakhir?" Dia sudah terbiasa melihat ini karena dia selalu tinggal lebih lama setiap hari dan memberi dirinya latihan ekstra. "Tetaplah disini kalau kau masih belum cukup melihatnya."     

Twain menggelengkan kepalanya dan berkata, "Jauh di mata dekat di hati. Kalau aku tetap tinggal, aku takkan merasa pemandangan ini indah. Aku hanya akan menyepelekannya. Aku sudah berada di Wilford selama dua belas tahun dan baru sadar bahwa tempat ini sangat indah. Dulu, aku selalu datang dan pergi dengan terburu-buru."     

Keheningan timbul diantara kedua pria itu. Twain masih mengagumi pemandangan yang ada di hadapannya. Sebenarnya, pemandangan Wilford ini tidak seindah itu, tapi di dalam benak pikirannya, dia merasa tersentuh.      

Apa Twain mengira senja ini indah karena dia telah mencapai puncak karir melatihnya? Matahari, yang pernah memancarkan cahaya dan panas tanpa batas, kini terbenam di barat.      

"Pergilah mandi dan ganti bajumu. Jangan sampai kena flu," kata Twain pada Wood disampingnya, memecah kesunyian.      

Wood tidak membantah dan mengangguk. Dia berbalik dan melangkah pergi.      

Pada saat dia selesai melakukannya, dia menemukan Twain masih berada di lapangan latihan. Dia ingin mampir dan berpamitan padanya sebelum pergi tapi dia tidak menduga kalau Twain akan menghentikannya.      

"Apa kau pernah memikirkan kapan kau akan pensiun, George?"     

Wood menatap kosong dan kemudian menggelengkan kepalanya. Dia berkata, "Tidak. Aku masih belum merencanakannya. Tapi itu takkan terjadi saat aku berusia 40 tahun,"     

Mendengarnya mengatakan itu, Twain tertawa dalam hati.      

Dia hanya menyinggung usia itu tanpa pikir panjang dan tidak mengira Wood akan menganggapnya serius.      

"Aku tidak akan menyarankan kau terus bermain sampai berusia 40 tahun. Kau pasti lebih mengetahui situasinya daripada aku. Tapi, pastikan untuk mengundangku saat kau akan pensiun. Aku harus melihat sendiri seperti apa adegan pelepasan kapten tim terhebat di sepanjang sejarah Nottingham Forest saat itu."     

Wood terdiam sesaat dan seolah teringat sesuatu. Butuh waktu sejenak sebelum dia berkata, "Mungkin tidak akan lebih baik dari milikmu."     

"Apa hebatnya pensiun seorang manajer?" Twain mengabaikannya dan berkata, "Ketika pertandingan berakhir esok lusa, semuanya akan berakhir dengan sebuah konferensi pers."     

Wood sama sekali tidak tahu seperti apa jadinya ketika seorang manajer akan pensiun karena dia tidak mengalaminya sendiri. Menurut aturan konvensional, dia seharusnya pensiun lebih awal daripada si manajer, karena normal bagi manajer untuk bekerja selama 20 tahun sementara tidak mudah bagi seorang pemain untuk tampil selama itu.      

Keheningan kembali muncul diantara keduanya.      

Twain tidak ingin bicara lagi sementara Wood sedang memikirkan sesuatu.      

Setelah beberapa waktu, ketika awan kemerahan di langit barat mulai semakin gelap, Wood membuka mulutnya dan berkata, "Kurasa kau sedikit berbeda dari dirimu di masa lalu..."     

"Di masa lalu? Sedikit berbeda?" Twain tidak paham dengan kata-kata Wood barusan.      

"Apa kau merasa temperamenmu jauh lebih baik daripada sebelumnya, karena usia?"     

"Ha!" Twain tertawa. "Apa ini karena kau tidak lagi melihatku sering memulai pertengkaran belakangan ini? Dan karena aku tidak memarahi orang lain di depan wajah mereka?"     

Twain dan Mourinho sama-sama menahan diri menjelang pertandingan melawan Manchester United. Selain "saling menyapa" satu sama lain di awal, tidak ada berita atau provokasi aktif lainnya. Tidak ada pula yang disebut-sebut sebagai perang psikologis. Ini membuat media merasa sangat kecewa.      

Wood tidak mengatakan apa-apa, tapi bisa diduga kalau memang itulah maksudnya.      

"Aku sudah bertengkar selama bertahun-tahun, aku sudah bosan," Twain melambaikan tangannya.      

"Tapi aku tidak tahu kenapa..." Wood ragu sejenak seolah dia tidak tahu harus mengatakan apa, dan akhirnya dia melanjutkan. "Aku lebih suka dirimu sebelumnya... kau sangat energik. Semua orang menyukainya." Kata 'semua orang' ini bukan semua pemain Forest, melainkan beberapa pemain 'lama' yang tersisa di dalam tim, seperti misalnya Gareth Bale, Joe Mattock, Agbonlahor, Mitchell... dan lain sebagainya. Itu adalah kelompok pemain yang mengikuti Twain mendominasi dunia sepakbola sebelum dia pensiun sebelum ini.      

Twain menoleh untuk memandang Wood. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Dia hanya mengulurkan tangan dan menyentuh lengan Wood.      

Pensiun tidak ada artinya baginya. Dia hanya sedikit enggan meninggalkan para pemain yang telah dikembangkannya sendiri. Belakangan ini, para pemain menggunakan setiap peluang yang ada untuk berinteraksi dengannya. Dia tahu apa yang mereka pikirkan. Tidak ada yang ingin berpisah dengannya.      

Tapi, semua hal yang bagus harus berakhir.      

Twain tidak ingin melanjutkan percakapan melankolis ini, jadi dia mengajukan pertanyaan yang menarik minatnya. "Bagaimana hubunganmu dengan Nona Vivian?"     

"Tidak banyak yang bisa diceritakan," Wood jelas mencoba menghindar dari pertanyaan itu.      

Twain menduga ada sesuatu tapi tidak mengatakannya. Dia kembali mengubah topik pembicaraan.      

"George, apa kau sudah ada rencana malam ini/"     

"Tidak," jawab Wood.      

"Yah, kalau begitu pulanglah bersamaku malam ini."     

Wood melirik Twain.      

"Shania pergi ke Paris hari ini dan sedikit sepi tanpa dirinya di rumah. Teresa akan sangat senang bertemu denganmu."     

Shania meninggalkan Inggris pagi ini dan terbang ke Paris untuk mempersiapkan pagelaran busana terakhirnya serta menghadiri sebuah pesta ucapan terima kasih untuknya. Tapi, kehidupan sosialnya sudah jauh lebih tenang dibandingkan sebelumnya. Mungkin itu karena semua orang sudah tahu bahwa dia akan meninggalkan dunia modeling dan hiburan, maka mereka tidak lagi menganggapnya sebagai selebriti, dan dengan begitu hanya ada sedikit orang yang sengaja mendekatinya.      

Ini jauh lebih baik. Shania sangat menyukainya. Dia sendiri tidak menikmati semua aktivitas sosial itu. Seringkali, dia melakukannya karena tuntutan pekerjaan dan undangan teman yang tak bisa ditolaknya. Di kali lain, dia akan tetap tinggal di rumah saat ada waktu luang, dan bukannya berjalan-jalan mencari kamera lalu pamer. Meski dia dan istri Beckham, Victoria Beckham, adalah teman baik, dia dan Victoria adalah dua orang yang benar-benar berbeda.      

Setelah Shania pergi, Twain merasa lebih kesepian dan Teresa juga sangat merindukannya. Shania ingin membawa Teresa ke Paris, tapi Teresa harus pergi ke sekolah, jadi dia tetap tinggal di rumah ditemani pengasuhnya.      

Twain tidak khawatir dengan putrinya. Pengasuh yang dipekerjakannya sangatlah bagus dan dia yakin Teresa akan dirawat dengan baik.      

Hanya saja dia masih merasa kesepian.      

Itulah sebabnya dia mengundang Wood ke rumahnya malam ini, meski Wood orang yang pendiam dan tak banyak bicara. Dia juga tidak tahu bagaimana caranya bermain dengan anak-anak. Tapi entah kenapa, Teresa suka berada bersama 'kakak' Wood-nya. Dia akan sangat senang ketika ada Wood.      

Twain tidak bisa melihat sisi lucu Wood, jadi dia tidak paham kenapa Teresa sangat menyukai George Wood yang berwajah galak itu.     

Kalau bukan karena keduanya memiliki selisih usia yang sangat jauh, Twain akan mencemaskan kemungkinan putrinya jatuh cinta dengan Wood di masa depan... Eh, itu benar-benar penyimpangan yang besar.      

Ketika Twain menyinggung tentang Teresa, Wood tidak bisa menolak. Dia mengangguk dan menerima undangan Twain.      

"Apa kau mau bertanya apakah Nona Vivian mau ikut denganmu juga?" tiba-tiba saja Twain bertanya.      

"Dia bekerja lembur..." Wood sadar kalau dia baru saja kelepasan bicara.      

Twain tertawa senang.      

Ditengah tawanya, dia menoleh dan menepuk bahu Wood, memberinya isyarat agar mereka pergi sekarang.      

Wood tidak langsung bergerak melainkan melihat Twain berjalan lebih lebih dulu. Dia melihat punggung pria itu sedikit membungkuk. Mungkin itu karena dia sedang tertawa?     

Cahaya senja yang terakhir ditelan cakrawala, dan Wilford yang tenang terselubung malam. Hembusan angin bertiup dan pepohonan di belakang mereka berdesir. Angin menggerakkan rambut dan pakaian kedua pria itu. Wood tidak bisa menahan diri untuk memandang ke arah hutan yang hitam pekat di belakangnya sementara Wood berjalan terus tanpa menoleh lagi.      

※※※     

Teresa, yang menunggu kepulangan ayahnya sedikit lebih lama dari biasanya, menghapus kerutan di keningnya setelah dia melihat Wood mengikuti ayahnya masuk ke dalam rumah.      

Ditemani Wood, Teresa menghabiskan malam pertama tanpa ibunya dengan gembira. Pada saat Teresa pergi tidur, itu sudah pukul 11 malam. Twain ingin Wood menginap di rumahnya karena toh ada banyak kamar tamu di rumahnya. Tapi, Wood menolaknya. Dia masih ingin pulang ke rumah.      

Tidak bisa berbuat apa-apa, Twain harus mengantarkan Wood keluar.      

Di pintu gerbang halaman, saat mereka menunggu bus, Twain bersikap seperti seorang ayah dan berterima kasih pada Wood. Dia juga memberitahu Wood bahwa dia mengijinkan Wood datang terlambat 15 menit di sesi latihan esok hari.      

Tapi, di sesi latihan keesokan harinya, George Wood masih menjadi pemain pertama yang tiba untuk latihan.      

※※※     

Hari di Wilford dimulai cukup pagi. Kabut semalam mulai memudar dibawah sinar matahari. Lapisan kabut yang melayang dari hutan ditiup angin ke setiap sudut Wilford dan juga ke atas Sungai Trent.      

Kali ini, Wilford masih cukup tenang dan hanya para staf yang tiba lebih awal, bersiap untuk memulai pekerjaan hari itu.      

Tony Twain juga datang cukup pagi seperti mereka. Bukannya pergi ke kantornya, dia langsung menuju lapangan latihan dan menghirup dalam-dalam udara segar di pagi hari.      

Anggota staf tampak sibuk di satu sisi lapangan dan menyapa Twain ketika mereka melihatnya tanpa menghentikan pekerjaan yang mereka lakukan. Twain berjalan sendirian diantara lapangan latihan. Menginjak rumput yang basah, keliman celana dan sepatu kulitnya pasti akan segera basah kuyup.      

Dia tidak mempedulikannya dan tetap fokus pada apa yang dia lakukan.      

Setelah selesai memutari lapangan latihan Tim Pertama, dia pergi ke lapangan latihan tim cadangan dan tim pemuda. Dia memeriksa seluruh lapangan itu lalu kembali ke kantornya untuk beristirahat. Sementara itu, para pemain mulai berdatangan, bersiap untuk memulai sesi latihan pagi.      

Ini adalah hari terakhir latihan sebelum pertandingan tim Forest dan sesi latihan terakhir Tony Twain dalam karir kepelatihannya.      

Pada saat Twain pergi ke kantornya untuk beristirahat, sudah ada banyak reporter berkumpul diluar kompleks pelatihan Wilford karena ingin menyaksikan "pelajaran terakhir" Tony Twain. Meski mereka hanya punya waktu 15 menit untuk mengambil gambar, itu tidak menyurutkan antusiasme mereka.      

Pierce Brosnan melihat Carl Spicer di tengah kerumunan. Dia tidak terlalu senang melihat pria yang telah begitu gigih ingin menjatuhkan Twain. Karena dia melihat Spicer, mungkin ada baiknya dia menghampiri dan mengejeknya sebentar.      

"Hey, Carl," dia menyapanya dengan hangat seolah keduanya adalah teman lama yang sudah saling kenal selama bertahun-tahun.      

Spicer jelas tahu siapa Brosnan, jadi dia juga tahu bahwa pria itu menyapanya bukan untuk mengenang masa lalu.      

"Well, well, bukankah ini Tn. Pierce Brosnan, reporter yang ditahbiskan Twain?" Spicer merespon dengan sinis.      

Julukan itu, yang digunakan di lingkungan media untuk mengejek Brosnan, bukanlah sebuah pujian.      

Brosnan tidak marah, tapi malah tersenyum dan berkata, "Sepertinya suasana hatimu sedang bagus, Carl. Apa itu karena orang yang paling kaubenci akhirnya akan mengucapkan selamat tinggal?"     

Spicer tidak ragu lagi dan mengangguk. Dia tidak pernah menyangkal bahwa dirinya tidak menyukai Twain, yang jauh lebih baik dibandingkan dengan para munafik yang terlihat memuji Twain di depan tapi mengutuknya di belakang punggungnya.      

Melihat Spicer memakan umpannya, Brosnan tertawa puas sambil berkata, "Aku hanya bertanya-tanya... Begitu Tony pensiun, siapa target yang bisa kaulecehkan dan bagaimana kau bisa mempertahankan rating acaramu itu?"     

Ekspresi di wajah Carl Spicer langsung membeku. Dia bukan orang bodoh. Dia langsung tahu bahwa Brosnan menjebaknya. Tapi, dia tidak bisa menjawab pertanyaan semacam itu. Dia memang mengandalkan ucapannya yang melecehkan Twain sampai akhirnya dia menjadi terkenal dan membawakan acara khusus di televisi. Dan setelah Twain pensiun, siapa yang akan ditargetnya? Melecehkan seseorang juga sebuah seni. Dia tidak akan bisa menarik begitu banyak penonton hanya dengan melecehkan Tom, Dick atau Harry yang bukan siapa-siapa.     

Mencari sosok seperti Tony Twain di dunia sepakbola Inggris, dan bahkan di dunia sepakbola internasional, yang sangat kontroversial sekaligus menerima begitu banyak penghargaan dan sangat populer di kalangan semua orang, sangatlah langka.      

Mourinho mungkin hampir bisa dikatakan sebagai manajer yang seperti itu. Tapi, melecehkan orang asing sepertinya takkan bisa menuai banyak perhatian di Inggris. Pengaruh Mourinho di Inggris tidak sebanding dengan pengaruh Tony Twain.      

Meski Spicer membenci Tony Twain yang sombong dan licik, yang telah sering mempermalukannya, dia juga harus mengakui satu fakta, yang menghinanya sekaligus membuatnya marah: bahwa setelah Tony Twain pergi, dia takkan bisa bertahan!     

Itu sudah bukan rahasia lagi. Semua orang di kalangan media tahu bahwa Carl Spicer mendapatkan posisinya saat ini dengan melecehkan Twain. Beberapa orang sangat merendahkannya, bahkan meski mereka sama-sama membenci Twain.      

Banyak orang tertawa saat mereka melihat ekspresi Spicer. Melihat orang lain mempermalukan diri mereka sendiri adalah sebuah hiburan umum bagi banyak orang di seluruh dunia. Bahkan pria-pria terhormat di Inggris juga termasuk di dalamnya.      

Setelah Brosnan menunjukkan poin memalukan Spicer, dia mengabaikan pria itu dan kembali fokus pada latihan tim.      

Spicer juga berkulit tebal – setelah bertengkar dengan Twain selama bertahun-tahun, dia pasti sudah bunuh diri seandainya dia tidak berkulit tebal. Setelah rasa malu itu berlalu, dia berdiri diam disana seolah tidak ada yang terjadi dan terus mengarahkan para krunya untuk menyorot Tony Twain.      

Acara yang dipandunya bukanlah tentang latihan tim Forest. Hanya akan ada Tony Twain, sendirian, di dalam pandangannya. Ini juga menegaskan betapa benarnya Pierce Brosnan.      

Hanya Tony Twain yang terlihat di mata Carl Spicer, sementara mata Tony Twain memandang seluruh dunia.      

※※※     

Tony Twain, yang matanya memandang seluruh dunia, akhirnya muncul di depan kamera para reporter.      

Hari ini dia memakai kaus kasual dan celana jins berwarna biru gelap, yang terlihat berbeda dari pakaian yang biasa ia kenakan saat mengarahkan pertandingan di pinggir lapangan. Jika dibandingkan dengan para manajer yang sudah biasa memakai pakaian olahraga saat melatih timnya, dia tidak terlihat seperti seorang manajer sejati. Tapi, tidak ada yang terkejut, karena Tony Twain sudah seperti ini selama enam belas tahun terakhir. Orang-orang tidak lagi bertanya-tanya dengan apa yang mereka lihat.      

Twain muncul di hadapan publik, memakai kacamata hitam, dan menimbulkan keributan. Para penggemar di sisi timur menyerukan nama Twain dengan keras dan suara sorakan hanya mereda setelah Twain melambai ke arah mereka.      

Tidak ada reporter yang terkejut melihat pemandangan seperti itu. Mereka sudah terbiasa menyaksikan pengaruh Twain.      

Mereka hanya menginstruksikan jurnalis foto dan operator kamera untuk menangkap setiap momen itu.      

"Ini adalah sesi latihan terakhir Tony Twain! Jangan mengambil gambar lain, fokus saja padanya!"     

Twain tidak peduli bagaimana orang lain mengambil gambarnya. Dia sudah terbiasa dengan itu, meski medan pertempuran pagi ini sedikit lebih besar dari biasanya...      

Tapi, dia memang layak mendapatkan perhatian seperti ini.      

Satu hal yang bagus tentang Twain adalah dia realistis. Dia akan menerima pujian yang memang layak diterimanya. Dia tidak pernah berusaha menonjolkan diri.      

Tidak ada yang bisa dia lakukan di lapangan latihan. Dia hanya menonton sebentar dan melihat penampilan para pemain yang tampak normal. Kerumunan reporter disana tidak mempengaruhi mereka... tapi, dia tidak bisa tahu apa yang normal dan apa yang tidak karena saat itu semua orang sedang berlari mengelilingi lapangan untuk pemanasan...      

Twain mengamati mereka sejenak sebelum mengalihkan perhatiannya ke area lain. Sisi timur dipenuhi banyak fans, lebih banyak dari biasanya. Semua fans itu sudah bertekad untuk meminta tanda tangan dan foto bersama Twain usai latihan berakhir.      

Mata Twain mengamati sekilas kerumunan itu, tapi tiba-tiba saja pandangannya terpaku ke satu titik.      

Dia menatap seorang pria di tengah kerumunan. Dia menunjukkan ekspresi ganjil di wajahnya, campuran antara senang dan terkejut.      

Siapa yang dilihatnya sampai-sampai membuatnya melupakan segalanya?     

Di tengah kerumunan itu, Big John, Skinny Bill dan teman-teman mereka yang lain mengelilingi seorang pria.      

Pria itu adalah Michael Bernard, yang dulu pernah ditemui Twain di Los Angeles!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.