Mahakarya Sang Pemenang

Panjang Umur Yang Mulia Raja



Panjang Umur Yang Mulia Raja

0"Disaat seperti ini masih ada orang-orang yang mencari tiket..." Di dalam rekaman kamera, sejumlah fans Forest berdiri diluar stadion Crimson dan memegang papan bertulisan "Aku butuh tiket".      

"Rasanya seperti final Piala Dunia."     

"Semua ini hanya untuk melihat kembalinya Tony Twain, dan sulit sekali untuk mendapatkan tiket... Meski sudah meninggalkan tim Forest lebih dari empat tahun yang lalu, Twain masih mempertahankan popularitasnya."     

"Kalau hasil yang diperoleh tim Forest tidak terlalu buruk di tahun-tahun belakangan ini, mungkin takkan ada begitu banyak orang yang merindukannya."     

"Itu tidak enak didengar. Kalau kita berpikir seperti ini, seandainya saja dia tidak pergi, Nottingham Forest takkan pernah mejadi lelucon besar di Liga Premier. Dan dia pasti akan bisa memenangkan gelar juara dan trofi. Itulah sebabnya kenapa kita memilih pertandingan ini untuk disiarkan secara nasional. Dengan adanya Twain, ratingnya akan tinggi."     

Dua anggota kru televisi BBC sedang duduk di van siaran, mengawasi monitor dan mengobrol.      

Di hadapan mereka terdapat banyak monitor kecil, dan lusinan diantaranya menunjukkan setiap sudut stadion. Di monitor yang menunjukkan pintu masuk stadion dan alun-alun, para pencari tiket terlihat ada dimana-mana.      

Di dalam stadion, para fans sudah memasuki stadion lebih dari satu jam sebelumnya. Mereka menggantung spanduk di tribun Robin Hood sebagai persiapan untuk pertandingan yang akan segera dimulai.      

※※※     

Pierce Brosnan menyadari sesuatu.      

Sejak dia menjadi reporter olahraga untuk Nottingham Evening Post, dia telah menghadiri semua pertandingan kandang Nottingham Forest. Tapi, situasinya saat ini membuatnya merasa spesial karena dia melihat banyak fans tua berambut putih diantara kerumunan yang memasuki stadion. Sebagian besar fans ini adalah para pria tua yang mengikuti tim Forest selama berdekade-dekade. Mereka telah menyaksikan tahun-tahun penuh kejayaan dan juga masa-masa gelap tim Forest.      

Tapi, sejalan dengan bertambahnya usianya, dia jarang melihat mereka datang ke stadion untuk menonton pertandingan beberapa tahun belakangan ini. Meski mereka selalu membeli tiket musiman, mereka tidak punya energi untuk pergi ke stadion. Tempat itu, yang penuh suara bising dan semangat yang menggebu, adalah musuh utama kesehatan mereka yang sudah lanjut usia.      

Tapi, hari ini, dia melihat banyak fans berambut putih di pintu masuk stadion.      

Sebuah media dari London berada di pintu masuk, melakukan wawancara spontan. Mereka juga menyadari para fans berusia lanjut yang datang bersama-sama.      

"Di usia Anda saat ini, bukankah akan lebih baik untuk menonton pertandingan di rumah?" seorang reporter wanita muda menghentikan beberapa pria tua dan menyorongkan mikrofonnya.      

Beberapa pria tua itu saling berpandangan dan tersenyum lebar, menunjukkan celah di gigi mereka.      

"Kami berada disini untuk melihat seorang teman lama," yang paling jangkung diantara mereka menjawab.      

"Seorang teman lama?" reporter wanita itu menganggapnya aneh. Dia bukan berasal dari Nottingham dan tidak mungkin dia bisa paham bagaimana perasaan para fans Nottingham Forest tentang Twain.      

Melihatnya tampak bingung, seorang penggemar tua yang bertubuh pendek dan gemuk tersenyum ke arahnya dan berkata, "Nona muda, kau bukan orang lokal, ya?"     

Reporter wanita itu menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Aku orang London."     

"Kalau begitu kau juga pasti bukan penggemar Tony Twain, ha! Selain Tony, siapa lagi yang bisa menjadi teman lama di Nottingham Forest?"     

Melihat reporter wanita itu seolah tersadar, beberapa pria tua meletakkan lengan diatas bahu satu sama lain dan menyanyikan lagu yang dituliskan para fans Nottingham Forest untuk Tony Twain bersama para fans lain di sekeliling mereka. Lalu mereka melangkah menuju ke terowongan pintu masuk stadion.      

".... Kita punya cyborg dan dia punya jantung bertenaga nuklir! Dia tidak pernah lelah dan jelas tidak menerima kekalahan... Dia dibenci banyak orang tapi kami mencintainya! Karena dia bisa membawakan gelar juara dan musuh membencinya, membencinya! Tony, Tony! Seorang b*jingan, dicintai dan dibenci banyak orang, ha ha ha!"      

"Lagu itu terdengar aneh.." Reporter wanita itu bergumam sambil mengerutkan kening. "Itu benar-benar tanpa nada. Itu hanya teriakan.."     

"Seperti itulah adanya," seorang pria disampingnya berkata. "Itu hanyalah beberapa hal yang diteriakkan para fans dari tribun ditambah sedikit melodi. Para fans berpikir tidak ada melodi yang pantas untuk menggambarkan Tony, jadi mereka hanya mengekspresikan perasaan mereka dengan cara yang paling sederhana."     

Reporter wanita itu memandang pria yang berbicara tanpa diundang itu dengan tatapan tidak percaya.      

Si pria hanya mengulurkan tangan ke arah reporter wanita yang tampak bingung dan berkata, "Pierce Brosnan. Aku adalah reporter dari Nottingham Evening Post, dan aku mengenal Tony Twain lebih baik daripada reporter lain. Senang bertemu denganmu."     

※※※     

Kalau Twain tahu Brosnan akan merayu seorang gadis dengan menggunakan namanya sendiri, raut wajahnya pasti akan terpesona.      

Tapi, saat ini dia tidak sedang dalam kondisi memikirkan orang lain. Dia terfokus pada pertandingan timnya di kandang sendiri.      

Apa dia gugup? Tidak, tapi jantungnya berdetak lebih kencang karena penuh semangat.      

Ini seperti sebuah perjalanan ke kampung halamannya, yang telah ditinggalkannya satu dekade yang lalu. Ini adalah kali pertamanya sebagai manajer Nottingham Forest, mengarahkan pertandingan di Stadion Crimson. Sebelumnya, dia berada di Stadion Crimson sebagai manajer timnas Inggris. Meski para fans memberinya banyak dukungan saat itu, perasaannya tidak sama seperti sekarang.      

Tim Inggris jarang meminjam Stadion Crimson. Stadion kandang timnas yang sesungguhnya adalah Stadion Wembley.      

Sekarang Stadion Crimson adalah stadion kandangnya.      

Dulu, dia harus mengencangkan ikat pinggang selama beberapa tahun untuk membangun stadion ini. Dia pergi ke berbagai belahan dunia untuk mencari pemain murah dan harus menjual para pemain luar biasa yang telah dikembangkannya dengan susah payah sebagai ganti dana untuk klub. Tapi, ketika stadion baru itu selesai dibangun, dia belum pernah memimpin tim Forest bertanding disini, yang menjadi sesuatu yang disesalkannya.      

Sekarang dia akan menebusnya. Dia akan melatih dan memimpin timnya di stadion yang telah dibangun dengan segenap jiwa raganya hingga akhir musim.      

"Sudah saatnya kita pergi, Chief," Eastwood berdiri di samping Twain dan memanggilnya. Dia melihat Twain tampak termenung barusan. Apa yang sedang dipikirkannya?     

"Hah? Oh... Para pemain sudah turun semua?" Twain mendongak menatap Eastwood, si asisten manajer, di hadapannya.      

"Ya, mereka semua sudah di bus."     

Twain bangkit dan mengenakan mantelnya.      

"Ayo kita pergi, Freddy."     

※※※     

"Tony Twain sudah menaiki bus. Bus perlahan mulai bergerak meninggalkan hotel... mengarah ke Stadion Crimson... Kami akan terus mengikuti dan melanjutkan liputan ini untuk para pemirsa," reporter televisi yang menunggu diluar hotel berbicara dengan penuh semangat ketika dia melihat ke arah kamera. Di belakangnya, bus merah Nottingham Forest meninggalkan hotel. Jaraknya hanyalah sepuluh kilometer dari hotel ke stadion, tapi mobil polisi membantu membersihkan jalan. Bus merah itu dikelilingi mobil para reporter, yang mengikuti dan merekam perjalanan mereka. Pemandangan seperti ini tidak pernah lagi dilihat pemain Forest selama bertahun-tahun. Mereka semua tahu siapa fokus pengejaran para reporter.      

Twain, duduk di deretan paling depan, sedang mengobrol dengan suara rendah bersama Kerslake dan Eastwood.      

Melalui jendela di sisi kiri, mereka bisa melihat atap merah stadion Crimson.      

"Selamat datang kembali, Chief!" Eastwood angkat bicara sambil menunjuk ke arah stadion Crimson di depan.      

Kerslake, disampingnya, juga tertawa. Dia akhirnya pulang ke rumah.      

Bus merah itu menimbulkan kegaduhan ketika memasuki alun-alun di depan stadion. Para petugas polisi yang bertanggungjawab menjaga ketertiban di lokasi hampir tidak bisa bertahan karenanya. Para fans yang masih belum memasuki stadion, serta para fans yang menunggu untuk mendapatkan tiket, berbondong-bondong menuju bus Nottingham Forest. Mereka meneriakkan nama Tony Twain.      

"Tony! Tony! Tony! Tony!"     

"Selamat datang kembali, Tony!"     

"Bukankah menyenangkan bisa pulang ke rumah, Tony?"     

"Tony, kami mencintaimu!"     

 ...      

"Sudah lama aku tidak melihat kegilaan seperti ini..." gumam Eastwood sambil memandang para fans yang tampak penuh semangat diluar sana.      

Thiago Silva memandang keluar jendela dengan ekspresi suram. Dia adalah pemain bintang yang populer di tim Forest, tapi kegembiraan yang ditimbulkan oleh penampilannya tidak akan pernah bisa dibandingkan dengan semua ini.      

Dia ingat beberapa waktu yang lalu ketika para pemain lama itu membicarakan tentang Twain, mereka seringkali merujuknya sebagai "Sang Raja, Yang Mulia Raja." Saat itu, dia mencibir mendengarnya, mengira bahwa itu hanyalah promosi diri Twain dan bahwa pria itu hanyalah orang yang suka menyombongkan prestasinya sendiri.      

Tapi, melihat pemandangan hari ini, wajah-wajah para fans itu... Itu hanya sejumlah kecil kerumunan massa diluar stadion. Lebih banyak lagi fans yang sudah berada di dalam stadion, menunggu disana.      

Apa aku bisa menang melawan pria itu? Apa aku bisa mengharapkan peluang seperti itu? pikirnya.      

Sebuah benih keraguan tumbuh di benaknya, menantang pemikirannya sebelum ini.      

Tidak!     

Tidak lama kemudian dia sudah kembali tenang. Semakin banyak fans yang memujanya, semakin banyak yang menyukainya, semakin besar pula pukulan yang akan mereka rasakan setelah dia kalah dalam pertandingan kandang ini, dan semakin besar pula kekecewaan mereka terhadapnya. Disini adalah keseimbangan antara surga dan neraka. Mereka bisa mengirimnya ke surga, tapi mereka juga bisa membiarkannya pergi ke neraka.      

Meski Silva tidak memahami bahasa Mandarin dan sama sekali tidak tahu tentang budaya Cina, sungguh luar biasa dia bisa memahami prinsip "air yang menopang kapal juga bisa membalikkan kapal itu."     

※※※     

Bus diparkir di dekat pintu masuk dan para pemain turun satu persatu. Mereka dikeliling oleh para reporter dan fans, dan para petugas polisi berjuang keras untuk menghentikan kerumunan yang terlalu bersemangat. Twain masih berada diatas bus, menunggu semua orang turun lebih dulu. Kalau dia menjadi orang pertama yang turun, para pemain di belakangnya takkan bisa keluar dari sana. Situasinya akan jadi kacau.      

Situasi yang seperti sekarang. Twain, dikawal oleh empat petugas polisi, mendesak kerumunan menuju ke pintu masuk di terowongan. Di sepanjang jalan, orang-orang berusaha menjangkau ke arahnya dengan menggunakan mikrofon, ponsel, tape recorder, dan peralatan wawancara, berusaha untuk menyentuhnya. Jalur itu hanya sepanjang sepuluh meter, tapi sangat sulit bagi Twain untuk melintasinya....      

"Bagaimana rasanya kembali ke rumah, Tony?" Ketika akhirnya dia tiba di pintu masuk terowongan, terdengar suara seruan nyaring di belakangnya.      

Dia tidak menoleh ke belakang. Dia hanya mengangkat tangan kanannya dan mengacungkan jempolnya. Lalu dia segera masuk ke dalam atas desakan para polisi.      

"Itu benar-benar gila... seperti bintang rock yang datang kemari untuk konser!" Seorang reporter wanita muda yang cantik hanya bisa berseru sambil memandang semua keramaian di hadapannya.      

Berdiri disampingnya, Brosnan tersenyum dan berkata dengan sedikit bangga, "Manajer paling sukses di sepanjang sejarah sepakbola Inggris telah pulang, jadi tentu saja para fans akan menyambutnya."     

Reporter wanita itu menoleh ke arahnya.      

"Tapi kau takkan bisa membayangkan bagaimana mereka menyambut manajer yang sukses itu, ha!" Brosnan tertawa. "Ketika dia muncul untuk yang pertama kalinya, yang diterimanya adalah cemoohan dan acungan jari tengah."     

Reporter wanita itu menggelengkan kepalanya dengan lembut dan berkata, "Itu sulit untuk dibayangkan..."     

Brosnan menunjuk ke arah para fans yang masih menolak untuk pergi dan berkata, "Bagi mereka, Tony itu sinonim dengan seluruh era. Dari mulai tahun 2003 hingga 2018, 15 tahun penuh memori ada disini."     

Selagi berbicara, dia juga terbenam dalam ingatannya sendiri. Saat itu, dia adalah reporter intern yang kasar dan tidak sabaran. Dia adalah pria muda berusia 24 tahun yang baru saja lulus perguruan tinggi. Dia tidak tahu apa-apa dan tidak punya pengalaman. Dia diejek dan dicemooh oleh Tony Twain di sebuah konferensi pers. Mereka hampir saja menjadi musuh. Siapa yang mengira bahwa dia akan menuliskan otobiografi pria itu di masa depan?     

Si reporter wanita memandang pria paruh baya itu. Matanya tidak fokus dan memandang ke kejauhan. Senyum samar terlihat muncul di sudut bibirnya.      

"Itu termasuk ingatanmu juga, bukan, Tn. Brosnan?"     

Brosnan kembali memfokuskan matanya dan mengangguk ke arah reporter intern muda yang baru saja lulus dari perguruan tinggi, sama sepertinya dulu.      

"Ya, Nona Alina. Ingatan masa mudaku."     

※※※     

"Serangan balik defensif, guys!" Twain mengepalkan tinjunya di ruang ganti dan menggunakan kesempatan ini untuk mengulangi poin-poin yang dibahas di pertemuan taktis kemarin kepada para pemainnya. "Bola-bola panjang! Jangan pedulikan kritikan orang-orang awam itu. Kalian tahu apa yang sangat kita butuhkan saat ini. Bukan kerjasama ofensif yang terlihat bagus dan bukan operan-operan mengesankan dengan tumitmu, melainkan gol dan kemenangan! Middlesbrough akan menekan lini tengah kita. George, kau akan mendapatkan perhatian ekstra dari mereka..." Twain menunjuk Wood, yang sedang mengganti pakaiannya.      

Wood mengangguk dan melanjutkan memakai jerseynya.      

"Jadi, aku minta kalian tidak menguasai bola terlalu lama di lini tengah. Ada resiko yang besar kalau mengoper bolanya lebih dari tiga kali di lini tengah. Aku tidak ingin melihat pemandangan dimana kalian mengoper bola kesana kemari di lini tengah dan kemudian mengopernya ke kaki lawan untuk membuat mereka menyerang balik. Entah itu George atau Fernando, maksudku Gago, kita harus memperkuat lini belakang di permainan ini. Jangan terlalu sering mengoper bola melewati garis tengah lapangan. Gunakan operan-operan panjang untuk menyusun serangan. Dua sayap..."     

Dia juga menunjuk ke arah dua gelandang, Chris Cohen dan Wijnaldum, yang mengisi starting lineup hari ini.      

"Tugas kalian hari ini adalah yang terpenting. Kalian harus terus berlari bolak balik. Selama menyearng, kalian harus bergerak maju. Selama bertahan, kalian harus bergerak mundur. Kalau kalian tidak bisa melakukannya, aku akan mengganti kalian! Bagaimanapun juga, aku masih punya banyak orang disini yang ingin diturunkan."     

Terdengar suara tawa di ruang ganti.      

Twain juga tertawa. Suasananya sangat harmonis. Tidak ada tanda-tanda kegugupan. Ini adalah suasana pra-pertandingan yang dia inginkan.      

"Kedua striker...." Kali ini dia menghentikan gerakan tangannya. Dua orang yang memandang Twain sekarang adalah Mitchell dan Balotelli. Mereka adalah striker starter untuk pertandingan ini. "Aaron, kau harus berusaha mendorong lini pertahanan belakang lawan agar maju ke depan, tekan mereka ke depan gawang untuk menciptakan cukup ruang untuk Balotelli."     

Twain tidak menipu Balotelli. Dia memberikan cukup kepercayaan bagi Balotelli di dalam pertandingan, serta tanggungjawab yang sesuai dengan itu.     

"Mario, berkat penampilanmu yang naik turun di musim-musim sebelumnya, lawan kita tidak akan menjagamu dengan ketat..." Mendengar komentarnya itu, beberapa orang khawatir Balotelli akan merasa kesal, tapi menghadapi godaan Twain, Balotelli tertawa keras bersamanya dan tidak peduli dengan apa yang dikatakan Twain. Itu adalah pemandangan yang langka. Biasanya, Balotelli sangatlah sensitif dan sangat peduli dengan penilaian orang lain terhadapnya. Kalau ada yang berani mengatakan bahwa dia adalah seorang pemain impor dengan kemampuan buruk, dia pasti akan membuat orang itu membayarnya. Sekarang, dari apa yang terlihat, sepertinya boss sudah menghadapi tantangan ini di ruang ganti. "Dan mereka akan mengira kau akan bermain di sayap kanan. Pertandingan ini adalah peluang untuk membuktikan dirimu lagi, mate. Kita semua tahu kau adalah pemain jenius, tapi orang-orang lain diluar sana tidak berpikir begitu. Tunjukkan pada mereka apa yang kau punya! Kau adalah 'Super Mario'!"     

Akhirnya, dia mulai menyinggung lini pertahanan belakang.      

"Guys, kalian adalah bek starter untuk pertandingan ini. Kalianlah kunci dari permainan." Twain berdiri di depan empat bek starter, dari bek kiri Joe Mattock, bek kanan Nkoulou dan bek tengah Sakho dan Jorgensen.      

"Aku ingin kalian menjaga zona pertahanan kalian. Bek belakang tidak diijinkan membantu serangan dan bergerak maju. Kecuali untuk tendangan bola mati, jangan gunakan penjagaan jarak dekat. Tapi, kalian harus berhati-hati saat bertahan di lini belakang – jangan bergerak membabi buta untuk menghilangkan ancaman. Pertahanan adalah sumber dari serangan. Semua serangan berasal dari pertahanan. Kalian bukan hanya bek yang bisa mematahkan serangan lawan, tapi kalianlah orang pertama yang bisa menghentikan serangan mereka. Karena itu, aku tidak ingin merasa khawatir kalian akan menyia-nyiakan peluang untuk menyerang. Setelah merebut bola, operkan ke gelandang dan biarkan mereka yang menyusun serangan."     

"Tidak masalah, boss." Mattock menjawab Twain mewakili para bek.      

Twain menyatukan tangannya dan berkata, "Hanya itu saja yang perlu kukatakan. Kalau aku bicara lebih banyak lagi, kalian akan membenciku karena terlalu bertele-tele. Terakhir, aku ingin kalian tahu satu hal: meski kita kalah di putaran liga yang terakhir, itu bukan alasan untuk menyerahkan diri kita pada keputusasaan di putaran liga kali ini. Bagaimanapun juga, permintaanku pada kalian sangatlah sederhana – aku tidak mau apapun kecuali kemenangan."     

※※※     

Setelah Twain mengatakan semua itu, masih tersisa sepuluh menit sebelum pertandingan dimulai. Dia membiarkan para pemain beristirahat dan diminta untuk melangkah keluar.      

Orang yang memintanya untuk bertemu diluar bukanlah anggota staf, melainkan ketua klub, Edward Doughty.      

Disampingnya berdiri seorang pria muda yang kelihatannya masih berusia dua puluhan.      

"Putraku, Bob. Majulah dan temui idolamu, Tony Twain," Edward menarik pria muda disampingnya, menunjuk ke arah Twain sambil berbicara padanya.      

"Halo, halo! Tn. Twain, aku adalah penggemarmu..." Pria muda itu bergegas maju untuk menjabat tangan Twain.      

"Ah, halo, Bob..." Twain agak tidak terbiasa dengan antusiasme yang ditunjukkan putra ketua klub.      

Edward juga kelihatannya sadar bahwa Twain merasa agak canggung. Dia segera menarik putranya dan berkata, "Kalau kau menginginkan tanda tangan, tunggu sampai pertandingan usai. Pergilah naik duluan, aku masih ada urusan disini."     

Bob tampak takut menentang ayahnya. Dia berbalik dan melangkah pergi dengan enggan.      

"Ayahmu juga orang pertama yang memperkenalkanmu padaku. Dia benar-benar berbeda darimu saat itu." Sambil memandang sosok Bob yang semakin menjauh, sikapnya kembali normal. Dia tersenyum saat berbicara tentang masa lalu. Lima belas tahun yang lalu, Edward Doughty bahkan tidak bisa membedakan antara "seorang manajer" dan "seorang pelatih". Dia tidak tahu apa-apa tentang sepakbola. Dan sekarang, Bob Doughty adalah penggemar beratnya...      

Selain itu, ketika Nigel Doughty memperkenalkan Edward pada Twain, dia sudah bermaksud untuk pensiun dari garis depan dan membiarkan putranya mengambil alih. Sekarang dia mengikuti langkah ayahnya dan memperkenalkan putranya kepada Twain. Mungkin ini untuk menjelaskan kepada Twain bahwa putranya akan mengambil alih klub di masa depan. Hanya saja...      

Kenapa dia memperkenalkan putranya padanya dan bukan pada manajer baru musim depan? Mungkinkah dia masih menganggap Twain bisa membantu putranya?     

"Dia jatuh cinta pada sepakbola berkat dirimu, Tony. Sejak kau menjadi manajer Forest, dia jatuh cinta dengan olahraga ini setelah menonton beberapa pertandingan Forest bersamaku."     

Twain tertawa geli dan berkata, "Apa kau memintaku keluar dari ruang ganti hanya untuk memperkenalkan putramu padaku, Edward?"     

"Tentu saja tidak. Sebenarnya, aku mencarimu untuk urusan lain. Tapi, dia tahu tentang itu dan ingin ikut bersamaku... Jadi begini, Tony. Kau tidak perlu keluar bersama tim. Kau seharusnya keluar sekarang."     

Twain mengira itu agak aneh dan bertanya, "Kenapa? Masih terlalu awal untuk memulai pertandingan..."     

"Kami sudah menyiapkan sebuah upacara penyambutan yang istimewa untukmu, jadi kau harus tampil sendiri, Tony." Edward memandang Twain sambil tersenyum.      

"Upacara apa?"     

"Kau akan segera tahu, Tony. Ayolah, semua orang menunggumu."     

Twain memandang ke arah ruang ganti. Dia berbalik dan berjalan kesana. Dia membuka pintu dan memberikan beberapa instruksi pada David Kerslake, asisten manajer yang berdiri di dekat pintu, memintanya untuk mengumpulkan tim dan bersiap untuk tampil di lapangan. Lalu dia mengikuti Edward Doughty dan berjalan bersama ke arah terowongan yang mengarah ke lapangan.      

Segera setelah dia berjalan pergi, para pemain juga melangkah keluar dari ruang ganti atas desakan Kerslake, dan berjalan menuju ke terowongan, bersiap untuk berbaris sebelum memasuki lapangan.      

※※※     

Ketika Twain mencapai pintu masuk terowongan, hanya ada tiga wasit yang menunggu disana. Saat mereka melihat Twain berjalan menghampiri, salah satu diantara mereka mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Twain.      

Bagaimanapun juga, Twain adalah manajer yang memimpin tim Inggris memenangkan Piala Dunia. Fakta itu saja sudah membuatnya layak untuk dihormati.      

Twain berjabat tangan dengan wasit dan menemukan Edward masih ada di sampingnya. Lalu dia menoleh dan bertanya, "Bukan ini yang kaumaksud saat kau bilang 'upacara penyambutan yang istimewa', kan?"     

Edward menggelengkan kepalanya dan menepuk pundak Twain lalu berkata, "Pergilah dan kau akan tahu. Kau harus melakukannya sendiri, Tony. Maaf, tapi aku tidak bisa menemanimu..."     

Twain kembali memandang Edward Doughty. Doughty menyuruhnya terus maju, jadi dia melangkah keluar dengan bingung. Tentu saja, dia tidak lupa membuat tubuhnya agak membungkuk – dia khawatir seseorang akan menuang air padanya dari tribun...      

Itulah satu-satunya upacara penyambutan istimewa yang bisa dibayangkan olehnya, mengingat dia punya daya imajinasi yang buruk...      

Tapi, bukan itu yang terjadi. Tidak ada balon air. Twain, yang melangkah keluar dengan leher dipendekkan, memandang ke tribun di kiri dan kanannya. Dia hanya melihat para fans yang antusias.      

Sementara itu, musik yang diputar di siaran langsung stadion tiba-tiba saja berhenti dan sebuah suara yang terdengar lawas berteriak dengan penuh semangat, "Dan sekarang! Mari kita sambut.... Yang Mulia Raja!!"     

Seolah itu adalah sinyal suar, suara sorakan menggemuruh terdengar di dalam stadion Crimson sebelum suara itu memudar. Semua fans di stadion bangkit berdiri, menghadapi ke arah pintu masuk lapangan dan berseru dengan lengan terangkat tinggi, "Panjang Umur Yang Mulia!"     

Twain menoleh ke belakang dengan takjub dan melihat Edward melakukan hal yang sama seperti para fans itu.      

"Panjang Umur Yang Mulia!"     

Suara sorakan itu terdengar semakin keras.      

Itu memang sebuah upacara penyambutan yang istimewa...      

Twain kembali tersadar. Dia melambai untuk berterima kasih kepada para fans di tribun dan kemudian melangkah ke dalam stadion dengan kepala terangkat tinggi.      

Sejalan dengan setiap langkahnya, suara sorakan itu terus berlanjut.      

Mendengar sorakan seperti itu, dia tidak perlu berpura-pura rendah hati melainkan hanya perlu menerimanya dengan jujur. Dia layak mendapatkan sebutan itu, dan dia berhak mendapatkan kekaguman para fans karena dia memang Yang Mulia Raja disini!     

Suara sorakan itu terus berlanjut saat Twain berjalan ke tengah lapangan. Para pemain, di sisi lain, baru saja tiba di pintu masuk lapangan. Mereka sudah mendengar seruan para fans dan melihat boss berada di tengah-tengah lapangan. Para pemain lama, tidak tampak terkejut, berkumpul bersama dan menunjuk ke arah Twain sambil tersenyum. Sementara itu, para pemain yang belum pernah bermain untuk Twain benar-benar terpana.      

Kali ini, diatas tribun Robin Hood, sebuah spanduk raksasa digantung. Kata-kata di spanduk merah itu ditujukan untuk Twain:     

Selamat Datang Kembali, Yang Mulia!     

"Ini benar-benar pemandangan yang sulit dipercaya," seru komentator televisi. Dia merasa seolah sedang bermimpi. Bagaimana mungkin ini terjadi di lapangan sepakbola? Di sebuah era semakin meningkatnya komersialisasi sepakbola, berapa banyak orang yang bisa menimbulkan sapaan setulus ini?     

"Pertandingan ini adalah highlight untuk putaran turnamen liga kali ini, dan Tony Twain adalah highlight dari semua highlight!" Di tengah sorakan yang memekakkan telinga ini, komentator itu harus meninggikan volume suaranya seolah-olah seseorang baru saja mencetak gol untuk tim tuan rumah.      

"Aku punya firasat seandainya Tony Twain mengumumkan bahwa dia akan mencalonkan diri menjadi Perdana Menteri Inggris, dia pasti akan mendapatkan lebih dari separuh suara di Nottingham dan dia bahkan tidak perlu melakukan kampanye untuk itu!"     

"Bahkan jika Ratu hadir disini, aku khawatir dia takkan bisa mengambil fokus perhatian semua orang dari Twain.... Tidak, bahkan Paus juga tidak bisa."     

"Ingat malam penobatan sepuluh tahun yang lalu? Memang benar bahwa 'Yang Mulia' bukanlah ciptaannya sendiri, atau hal yang dibesar-besarkan oleh media. Twain memang Yang Mulia Raja disini!"     

"Meski banyak orang membencinya, dia masih menikmati perlakuan sebagai raja disini. Dia melakukan hal yang benar dengan kembali ke tim. Tony! Lihatlah betapa banyaknya orang yang memujamu. Kau seharusnya tidak menghabiskan hari-harimu dengan pensiun, ha!" John Motson tertawa.      

Berdiri di tengah lapangan, Twain berputar di tempatnya dan melambai sebagai ucapan terima kasih kepada para fans Forest di tribun. Dia berterima kasih pada mereka karena mempersiapkan "upacara penyambutan yang istimewa" untuknya. Jujur saja, dia merasa tersentuh. Meski dia sudah meninggalkan tim lebih dari empat tahun yang lalu, para pengagumnya masih mencintainya dan jenis kecintaan seperti inilah yang menjadi alasan utama kenapa dia akhirnya memutuskan untuk mengakhiri masa pensiunnya dan kembali ke tim Forest.      

Manusia adalah makhluk yang emosional. Bahkan meski Edward Doughty dan Allan Adams telah menyakitinya, para fans dan tim Forest sama sekali tidak bersalah. Kembalinya dia ke tim bukanlah untuk Edward Doughty dan bukan untuk menghasilkan uang. Dia hanya tidak tega melihat para fans, yang dulu berteriak padanya dari tribun, "Hey, Tony! Bawakan piala kejuaraan yang lain!", menjadi sedih. Hati nuraninya sudah jelas tentang keputusannya ini.      

Oleh karena itu, di hadapan sorakan liar para penggemar, tak terelakkan dan dia sudah bertindak benar dengan menerima posisi ini.      

Diantara kerumunan yang bersorak itu adalah Big John, Skinny Bill dan semua kelompok orang yang familiar dengan Twain. Pria-pria tua berambut putih yang tadi dilihat Brosnan, dan bahkan beberapa fans Middlesbrough, juga mengikuti fans Forest untuk memujanya. Di mata semua fans Inggris, pria itu mungkin memang layak menjadi 'Yang Mulia Raja'...     

Sorakan nyaring itu terus berlanjut selama lima atau enam menit dan bisa didengar dengan jelas diluar stadion.      

Para fans di alun-alun yang tidak bisa masuk ke dalam stadion juga bergabung dengan mereka di dalam stadion dan menyerukan "Panjang Umur Yang Mulia!", menyebabkan orang-orang yang lewat memperhatikan pemandangan itu.      

Suara sorakan itu perlahan mereda dan berakhir saat Twain melangkah menuju area teknis tim tamu untuk berjabat tangan dengan manajer tim tamu, Tony Mowbray.      

Ketika para reporter yang penasaran meminta pendapat Mowbray usai pertandingan tentang pemandangan sebelum pertandingan hari itu, Mowbray berkata sambil tertawa, "Hanya ada satu 'Tony' hari ini, tapi itu bukan aku."     

Dia memang benar. Dia sepenuhnya menjadi aktor pendukung hari ini. Meski dia ingin menjadi tokoh utama sebelum pertandingan dimulai, harapan itu hilang setelah dia melihat pemandangan itu.      

Di dalam pertandingan, tim Nottingham Forest jelas dipengaruhi oleh pemandangan yang mereka lihat tadi. Seluruh tim membuang tampilan suram dan bersinar dengan semangat juang yang mencengangkan sekaligus menakutkan. Dengan bola-bola panjang Twain, serta pengaturan taktis dan pemain yang tampil luar biasa, tim ini berhasil menunjukkan daya gempur yang kuat.      

Selain itu, ada keriuhan besar yang diciptakan oleh 60,000 fans.      

Middlesbrough menyerah setelah melakukan perlawanan selama 17 menit di tengah keriuhan yang sebanding dengan pesawat jet lepas landas.      

Mereka kebobolan tiga gol oleh Nottingham Forest di babak kedua dan benar-benar dihabisi dengan skor 0:3 di kaki Nottingham Forest yang seolah terlahir kembali.      

Usai pertandingan, media melontarkan lelucon tentang bagaimana mereka akan dikenal oleh anak cucu mereka sebagai tim yang mengalami sendiri kembalinya Yang Mulia Raja, Tony Twain. Ketika momen klasik Liga Premier disebutkan di masa depan, pasti akan ada liputan tentang Middlesbrough.      

Pierce Brosnan bahkan menggunakan caption berikut ini usai pertandingan:     

Aku datang, aku melihat, aku menaklukkan.      

Tidak ada yang menyangkal pandangan ini, karena memang itulah yang terjadi.      

Semua suara-suara keraguan dan argumen tentang Tony Twain dan bagaimana "Twain telah melewati masa jayanya", "Twain tidak lagi penting" menghilang. Media di seluruh dunia dengan suara bulat menyanyikan pujian mereka. Media besar dan kecil, komentator dan juga para pakar/pundit terkenal, telah menyatakan bahwa Tony Twain dan Nottingham Forest telah kembali. Dibawah kuku besi mereka, lawan mereka hanya akan bisa memohon ampun. Middlesbrough sedang sial tapi juga merasa terhormat bisa menjadi korban pertama, digunakan sebagai pengorbanan oleh Twain.      

Meski Nottingham Forest masih berada di peringkat ke-16 di klasemen liga usai kemenangan ini, bahkan tim-tim level atas mulai merinding.      

Orang-orang tidak bisa lagi tertawa dan merasa yakin bahwa mereka akan menang ketika melawan tim Forest. Serigala-serigala yang berkeliaran di hutan itu kembali memamerkan taring mereka. Tony Twain dan tim Nottingham Forest-nya bukanlah lelucon. Sebaliknya, mereka yang dulu bersumpah untuk meremehkan mereka sekarang justru menjadi lelucon. Tapi, Twain tidak membalas mereka yang dulu menertawakannya di media.      

Raja telah kembali, dan semua orang harus memberi hormat baik itu yang berada jauh maupun dekat.      

Tapi, Twain hanya tersenyum dan tetap terlihat tenang.      

Sebenarnya, menyingsingkan lengan bajunya untuk ikut berperang dan meninju wajah musuhnya hanya akan menurunkan statusnya...      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.