Mahakarya Sang Pemenang

Tn. Coppell yang Baik Bagian 1



Tn. Coppell yang Baik Bagian 1

0

Untuk membuktikan bahwa dia benar-benar mencintai budaya Cina, serta untuk memiliki semacam bukti telah "belajar sendiri", Tang En pergi ke semua toko buku lama dan baru di Nottingham sore itu. Dia membeli semua buku tentang Cina yang bisa dia temukan, tak peduli apakah buku itu ditulis dalam bahasa Cina, Inggris, Prancis, atau Jerman.

Setelah membawa pulang banyak sekali buku ke rumahnya, Tang En merasa kesal. Dia tidak bisa menemukan tempat untuk menyimpan mereka. Dua lemari di rumah Tony Twain sudah penuh dengan item-item yang berhubungan dengan sepakbola, mulai dari surat kabar hingga majalah, hingga beragam data yang dikumpulkan oleh Tony sendiri. Sama sekali tidak ada tempat untuk buku-buku baru. Tang En tidak ingin memindahkan data, yang sudah disusunnya dengan sangat hati-hati. Jadi, dia tidak punya pilihan kecuali menumpukkan semua buku itu di lantai.

Lagi pula, sejak dia tiba, rumah itu selalu berantakan. Dia sudah terbiasa hidup sebagai bujangan dan tidak berpikir ada yang salah dengan itu.

Tapi, saat Yang Yan datang keesokan harinya, dia terkejut melihat semua buku yang tersebar di lantai. Di akhir pelajaran pertama, waktu yang dihabiskan untuk pelajaran itu sendiri termasuk minimal, karena kebiasaan "membantu" Yang Yan muncul dan dia membantu Tang En merapikan kamarnya.

Tang En bertugas sebagai asisten Yang Yan, dan pria itu hanya tergelak tiap kali dia melihat Yang Yan menghela nafas dan menggelengkan kepalanya.

"Kau tahu... seorang pria lajang yang tinggal sendirian cenderung seperti ini. Ah! Sebenarnya, kau tidak harus melakukan ini. Aku bisa mempekerjakan seseorang untuk melakukannya."

Yang Yan sudah selesai merapikan ruang tengah dan akhirnya bisa beristirahat sebentar. Dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Aku tidak terbiasa memberi pelajaran di lingkungan seperti ini, jadi... sudahlah, karena aku juga sudah selesai membereskan semuanya."

Tang En tersenyum malu, tapi dia benar-benar menikmatinya jauh di dalam hatinya.

Yang Yan berdiri di pintu kamar tidur dan berkesempatan melihat gambar yang tergantung di dinding. Dia telah melihatnya di koran sebelumnya, dan hal itu memicu rasa penasarannya. Dia melangkah masuk untuk mengaguminya.

Tang En menyaksikan siluet Yang Yan. Sejak awal SMP, gadis itu telah menjadi sasaran kasih sayang banyak orang. Dia pengertian dan suka membantu, dan kelihatannya tak memiliki kekurangan apapun. Pada saat itu, Tang En masih kutu buku yang keras kepala dan mudah marah. Tapi, pubertas adalah sesuatu yang dialami setiap remaja, dan bahkan Tang En juga berfantasi tentang menerima kasih sayang dari gadis populer. Tapi, dia tidak pernah menduga bahwa harinya akan tiba dimana situasi seperti ini akan terjadi – pacar yang didambakan semua orang, merapikan dan membersihkan rumahnya, dan dia bisa menghabiskan waktu sendiri bersamanya.

Satu-satunya hal yang disayangkan adalah, meski Yang Yan masih tetap Yang Yan, tapi dia bukan lagi Tang En, teman sekelasnya. Bukan karena Tang En tidak berpikir untuk mengatakan identitas aslinya kepada Yang Yan, tapi pikiran itu hanya terlintas di benaknya selama beberapa detik, sebelum langsung ditolak. Pertama-tama, dia tidak yakin jika kisah perpindahan tubuh dan lintas waktu akan bisa diterima dengan baik oleh gadis itu. Kedua, dia tidak tahu apakah dia akan kehilangan pekerjaannya, jika ada orang yang mengetahui kebenarannya. Bagi dirinya saat ini, dia mengerti bahwa meski dia menjadi pengangguran, dia masih bisa mengandalkan bantuan kesejahteraan yang disediakan oleh pemerintah. Tapi, menjadi manajer sepakbola telah adalah pekerjaan impiannya dan bukan hanya pekerjaan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Karena itu, berhadapan dengan teman sekelasnya yang sangat familiar, Tang En hanya bisa bertindak seolah-olah mereka baru saja bertemu. Perasaan ini benar-benar tak tertahankan, terutama selama beberapa kejadian ketika ada keheningan yang canggung diantara mereka berdua. Pada saat-saat seperti itu, Tang En ingin mengobrol dengan Yang Yan tentang beberapa kejadian yang terjadi selama masa SMP mereka — meskipun hanya ada beberapa kejadian yang bisa diingatnya.

Kembali menggunakan akal sehatnya, Tang En memutuskan untuk memasuki ruangan dan bermaksud membantunya. Berjalan ke kamar tidur, dia menemukan bahwa Yang Yan tidak sedang sibuk, melainkan malah berdiri di bawah foto itu, mengaguminya dengan kepala terangkat.

"Erm, ini hadiah untukku dari kantor surat kabar tertentu, yang memperbesar foto itu sebelum memberikannya kepadaku."

"Ini sangat indah," kata Yang Yan. "Pilihan latar belakang, komposisi, warna, timing, makna... semuanya sangat baik."

"Aku merasakan hal yang sama. Satu-satunya alasan kenapa aku memutuskan untuk menyimpannya, adalah karena orang yang ada dalam foto itu adalah aku dan bukan orang lain."

Yang Yan menoleh dan tersenyum pada Tang En. "Tuan Twain, Anda benar-benar bukan orang yang rendah hati."

Tang En mengangkat bahu. "Di dunia sepakbola profesional, hal yang paling tidak dibutuhkan adalah kerendahan hati."

Berbicara tentang sepakbola, Yang Yan jadi sedikit tertarik. Itu karena, setelah berada di Inggris selama dua tahun, dia baru saja menemukan bahwa banyak orang di sekelilingnya sebenarnya adalah penggemar sepakbola, banyak dari mereka termasuk penggemar fanatik. Sejak dulu Yang Yan selalu menganggap sepakbola sebagai sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan hidupnya, seolah-olah itu adalah dunia yang sama sekali berbeda. Tapi, secara bertahap, perspektifnya ini mulai berubah.

"Kalau begitu kualitas apa yang paling dibutuhkan?"

"Keyakinan. Keyakinan bahwa kau jauh lebih luar biasa daripada yang lain. Keyakinan bahwa kau adalah yang terbaik. Kau harus bekerja untuk mencapai tujuanmu berdasarkan pada dua keyakinan itu."

"Anda tidak takut kalau percaya diri yang berlebihan bisa menjadi kesombongan?"

"Kalau kau memiliki kemampuan untuk mendukung kepercayaan diri itu, maka tak ada yang salah dengan menjadi sombong. Di dunia sepakbola, ada banyak sekali pemain yang memiliki kepribadian seperti ini. Kalau kau tidak punya kemampuan, tapi kau tetap sombong, maka kau hanya perlu menunggu kejatuhanmu. Orang-orang seperti itu tidak layak dikasihani. Mereka sudah didiskualifikasi secara otomatis dari dunia sepakbola oleh aturan-aturan di dalamnya, dan karenanya kita tidak perlu lagi mengkhawatirkan mereka."

Yang Yan duduk di kursi, sambil masih terus melihat ke arah foto besar itu. Dia berkomentar, "Dari apa yang baru saja Anda katakan, saya merasa sepakbola itu seperti dunia binatang, di mana yang kuat adalah pemenangnya."

Tang En menjentikkan jarinya. "Kau sangat benar. Sepakbola profesional pada dasarnya adalah dunia yang keras dan kejam, di mana yang paling kuat adalah pemenangnya. Mereka yang memiliki kemampuan akan bisa bertahan hidup, mereka yang tidak memilikinya akan mati. Disini, tidak ada kepercayaan dengan air mata dan tidak perlu ada simpati dan menghibur orang lain. Ini murni merupakan dunia seorang pria."

Mendengar kalimat terakhir itu, Yang Yan menoleh dan bertanya, "Dunia yang tidak memperbolehkan wanita untuk masuk ke dalamnya?"

Kalau Tang En tidak mengerti arti di balik kata-kata itu, maka dia pasti akan terlihat seperti orang bodoh. "Tidak! Tentu saja wanita diperbolehkan! Kami menyambut baik setiap wanita yang sukasepak bola untuk bergabung. Di mata massa, sepakbola terkait erat dengan dua hal. Satu adalah musik, dan yang lainnya adalah keindahan."

"Tapi aku tidak cantik ..." Yang Yan mengangkat bahu dan mengerutkan bibir.

"Apa yang baru saja kukatakan? Di dunia sepakbola, kerendahan hati tidak dibutuhkan. Apa kau ingin memasuki dunia ini?"

Yang Yan menatap Tang En yang tampak serius, dan tersenyum. "Baiklah, aku cantik, orang paling cantik di seluruh dunia!"

Setelah meneriakkan kata-kata itu, keduanya tertawa.

Tang En memutuskan untuk memberanikan diri saat suasana sedang mendukung. "Kalau kau mau, kau bisa menonton pertandingan timku. Kau tidak harus membeli tiket, aku punya beberapa."

Yang Yan tersenyum dan berkata, "Kalau saya tertarik, saya akan menghubungi Anda."

"Baiklah. Aku punya sedikit saran untukmu. Kalau kau ingin menikmati kesenangan yang diperoleh dari sepak bola dan memahami rahasia mengapa ini sangat menarik, kau harus..." Tang En berhenti di sini, dan menunggu Yang Yan untuk bertanya. Tapi, dia melihat bahwa Yang Yan hanya menatapnya dan kelihatannya sama sekali tidak berniat untuk membuka mulutnya. Melihatnya seperti itu, Tang En hanya bisa menyerah.

"Baiklah... Kau harus punya tim yang kau dukung. Kalau kau menonton pertandingan sepakbola dari sudut pandang netral, seringkali pertandingan itu akan membosankan dan tidak sesuai dengan harapanmu."

"Kenapa bisa begitu?"

"Biasanya hampir semua penggemar sepakbola yang netral hanya suka melihat gol indah dan pelanggaran luar biasa, tapi itu sepakbola yang ideal." Tang En akhirnya memberikan pelajaran tentang minat di dalam sepakbola kepada penggemar pemula itu. Jadi siapa yang memberi pelajaran kepada siapa sekarang... "Situasi sebenarnya adalah, kalau semua pertandingan dimainkan seperti itu, orang-orang yang ada di posisiku akan harus pensiun. Karena di sebagian besar situasi, bermain seperti itu tidak akan bisa memenangkan pertandingan. Lalu apa gunanya ada manajer sepakbola profesional? Gunanya adalah untuk memimpin timnya sendiri menuju kemenangan. Jadi, kalau kau ingin merasakan pengalaman paling menawan dari sepakbola, kau harus memilih tim untuk didukung dan mendedikasikan seluruh pikiran dan tubuhmu untuk itu. Dengan begitu, ketika kau menonton pertandingan mereka, kau akan merasakan gembira dan sedih sesuai dengan penampilan mereka. Dan itu adalah pengalaman yang sangat menyenangkan. Tak peduli apakah mereka menang atau kalah, semuanya akan sama. Rasa sedih dan kecewa setelah mengalami kekalahan, kegembiraan setelah menang, serta rasa senang ketika tim berhasil lepas dari kesulitan yang dialami."

Tang En melihat foto di dinding dan bergumam, seolah-olah dia kembali ke hari dimana mereka berhadapan dengan Wimbledon. Beberapa jam setelah pertandingan, Tang En masih berada dalam kondisi terguncang dan tak percaya. Tapi, detak jantungnya yang terasa semakin cepat itu menyenangkan. Itu seperti mengkonsumsi narkoba. Setelah kau kecanduan, kau takkan pernah bisa melupakannya.

Yang Yan sadar bahwa tatapan Tang En telah beralih darinya, kelihatannya dia tenggelam dalam pikiran di benaknya. Berdiri di depan Yang Yan, rambut Tang En sedikit berantakan, dan bajunya juga tidak dikancingkan dengan benar. Satu sisi lengan bajunya digulung hingga siku, sementara sisi lainnya tidak dikancingkan dan terbuka lebar. Rumahnya juga sangat berantakan. Gambaran ini sama sekali tidak seperti "gentleman" yang digambarkan oleh teman-temannya.

Manajer sepakbola yang sopan, yang santun, yang tidak sopan, dan yang liar, serta pria lajang yang tak terurus... yang mana dirinya yang sesungguhnya?

Selain itu, yang benar-benar membingungkan Yang Yan adalah dia bisa melihat bayangan orang lain di dalam dirinya. Terkadang, hanya selama sepersekian detik, ia tampak sangat, sangat mirip dengan orang itu. Tapi pada kenyataannya, mereka adalah dua orang yang sama sekali berbeda. Yang satu orang Inggris, sementara yang lainnya adalah orang Cina.

"Baiklah kalau begitu. Saya akan memilih tim Anda. Mulai sekarang, saya adalah penggemar Nottingham Forest."

Tang En menurunkan pandangan dan menatap Yang Yan, yang memberinya senyum memikat.

"Kalau begitu, aku memikul tanggung jawab besar."

"Kenapa?"

"Karena aku punya pendukung baru. Dan sebagai manajer tim, aku tidak bisa mengecewakan pendukungku. Erm ... Apa menurutmu itu adalah kata-kata yang memalukan?" Ketika Tang En mengatakan ini, dia melihat bahwa Yang Yan masih tertawa. Apa dia menertawakannya?

Yang Yan menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Tidak, saya pikir ini luar biasa. Tuan Twain, saya yakin Anda tidak akan mengecewakan pendukung Anda."


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.