Mahakarya Sang Pemenang

Masa Lalu Tony Twain



Masa Lalu Tony Twain

0

Karena masih belum buka, cahaya lampu di dalam bar masih belum dinyalakan. Jendelanya masih setengah tertutup oleh gorden dari luar. Dari sanalah sinar matahari berasal, sedikit mencerahkan ruangan yang tampak remang-remang.

Jenis lingkungan seperti ini tidaklah optimal untuk membaca buku atau surat kabar, tapi sesungguhnya, kedua orang di dalam bar itu tak perlu membaca buku ataupun surat kabar. Salah satu dari mereka berada dibalik konter bar, sementara yang lain duduk di kursi bar. Di hadapan keduanya, terdapat dua gelas tebal, dan bagian dalamnya berisi minuman keras berwarna kuning keemasan.

Jenis lingkungan yang sunyi dan berpenerangan redup semacam ini sangatlah optimal untuk mengobrol.

"Tony, apa kau tahu? Apa yang kaulakukan semalam benar-benar diluar kebiasaan, dan mengejutkanku," kata Burns sambil mengisi ulang gelas yang sudah kosong.

"Oh?" setelah meminum lima gelas whisky berturut-turut, bahkan seorang peminum berpengalaman seperti Tang En sudah sedikit mabuk.

"Kau sudah disini selama tujuh tahun, dan aku melihatmu saat kau pertama kali masuk ke klub. Saat itu kau masih sangat muda. Aku tak pernah melihatmu bertengkar dengan siapapun, dan temperamenmu juga tidak buruk, meski sedikit eksentrik. Meski begitu, kau selalu menyapa orang lain dengan senyum. Kumpulan orang-orang kemarin semuanya sedang mabuk. Kalau mereka sedang sadar, mereka takkan pernah mengatakan hal-hal semacam itu padamu. Tapi aku juga sama sekali tak menyangka kalau kau akan bereaksi begitu mengejutkan... gerakanmu tidak seperti gerakan seorang manajer tim sepakbola."

Tang En tertawa getir, karena dia tak menduga dirinya yang lama masih dianggap sebagai orang baik oleh orang lain. "Mungkin kau tidak salah... tapi aku tak terlalu ingat..." Tang En berpura-pura dan menyentuh bagian belakang kepalanya, lalu menunjukkan ekspresi kesakitan. "Aku... melupakan banyak hal." Tang En tiba-tiba menyadari bahwa dia mungkin punya bakat dalam berakting. "Aku tak terlalu ingat bagaimana aku melatih tim, jadi aku merasa sangat tidak familiar dengan tim Nottingham Forest. Pertandingan akan berlangsung lusa, tapi aku tidak tahu bagaimana aku bisa memimpin mereka..."

Tang En membenamkan kepalanya sambil mengernyit diantara lengannya yang terlipat di atas meja. Dia sadar bahwa dia sangat mendalami aktingnya sendiri. Hal ini tak hanya untuk menutupi dirinya yang asli, tapi juga sebagai manajer pengganti tim Nottingham.

Melihat ekspresi kesakitan Twain saat dia meletakkan kepalanya ke meja, Burns merasa bahwa insiden itu sepertinya lebih serius dari yang diperkirakan olehnya. "Apa kau barusan ingin mengatakan... kalau kau benar-benar lupa bagaimana caranya menjadi seorang manajer?"

"Kau bisa mengatakannya seperti itu," kata Tang En dengan kepala tertunduk.

"Ini buruk. Apakah pak tua Doughty tahu tentang situasi ini?"

"Aku tidak memberitahunya," Tang En menggelengkan kepalanya.

Burns mengetukkan jarinya ke konter bar, seolah sedang memikirkan jalan keluarnya.

Twain mengangkat kepala dan memandangnya. "Kenny, bisakah kau katakan padaku bagaimana aku melakukan tugasku sebagai manajer di masa lalu?"

Burns menepukkan tangannya dan berkata, "Itu ide yang bagus. Mungkin kau bisa mengingat beberapa hal setelah mengetahui dirimu sendiri di masa lalu. Hmmm, coba kulihat, kau datang ke tim Nottingham Forest sekitar tujuh tahun yang lalu..."

Fans sepakbola cenderung menggunakan sepakbola sebagai pengukur waktu, dan mereka mengukir tanda yang unik di dalamnya. Setelah itu, saat mereka mengingat sebuah tahun tertentu, mereka tak akan mengatakan apa yang mereka lakukan pada saat itu, mungkin karena mereka bahkan tak mengingatnya. Tapi, mereka akan bisa mengatakan padamu, dengan jelas dan penuh percaya diri, tentang tahun berapa sesuatu terjadi di industri sepakbola, kompetisi penting mana yang diselenggarakan, pemain mana yang mengejutkan dunia dengan penampilan mereka, pemain mana yang menjadi terkenal, dan bahkan mereka bisa memberitahumu tentang beberapa gosip yang menarik sebagai tambahannya.

Tang En juga orang semacam ini. Di tahun 2003, dia masih berusia 23 tahun dan baru saja lulus dari universitas. Melacak balik tujuh tahun kebelakang dari saat itu, Tang En masih seorang siswa sekolah menengah bawah di tahun 1996. Dia tidak ingat apa yang dilakukan oleh Tony Twain di tahun itu, tapi dia masih ingat musim panas itu. Itu karena Liga Champions UEFA kesembilan diselenggarakan besar-besaran selama musim panas tahun 1996, dan negara penyelenggaranya adalah Inggris. Dengan sembunyi-sembunyi berusaha tetap terjaga hingga larut malam hanya untuk menonton pertandingan sepakbola, Tang En menghabiskan uang sakunya untuk membeli surat kabar olahraga keesokan harinya dan membacanya berkali-kali untuk mengecek beragam informasi tentang pertandingan yang diselenggarakan di hari sebelumnya.

Pada saat internet masih belum lazim, dan siaran langsung telecast Cina masih baru, cara-cara dimana dia bisa mendapatkan informasi masih sangat terbatas. Tapi, hal itu tak menghentikannya untuk benar-benar jatuh cinta pada sepakbola mulai saat itu. Dia tahu tentang Gascoigne, meski pemain itu memang sudah terkenal. Dia bahkan tahu tentang Bierhoff, yang dianggap sebagai "bakat baru", meski usianya sudash 28 tahun. Zidane, yang kemudian menjadi penerima penghargaan Ballon d'Or, juga menjadi terkenal tahun itu. Dia juga mengenal banyak orang lain yang telah menemaninya selama sepuluh tahun berikutnya, dari mulai sekolah menengah bawah hingga sekolah menengah atas, kemudian di universitas dan bahkan setelah dia lulus dan terjun ke tengah masyarakat. Diantara mereka semua, terdapat beberapa orang pemain yang sudah pensiun sebelum Tang En melakukan perjalanan waktu ini, sementara beberapa lainnya masih berjuang di lapangan. Bakat baru dari masa itu telah menjadi tua. Mega bintang dari masa itu telah meninggalkan fokus Tang En, sementara pemain tak dikenal dari masa itu menjadi pemain inti di tim mereka. Mereka semua membentuk masa remaja Tang En, dan mereka semua seperti layaknya teman bagi Tang En, yang selalu menemaninya di setiap akhir pekan.

Dia tidak tahu bagaimana dia bisa mendeskripsikan perasaan-perasaan itu. Meski dia keras kepala dan tidak terlalu disukai orang lain, dia bisa menitikkan air mata bagi seseorang yang pensiun menjadi pemain sepakbola – tentu saja, dia akan melakukannya di tempat dimana takkan ada orang lain yang bisa melihatnya.

Oleh karenanya, tujuh tahun sebelum tahun 2003, itu adalah saat pertama kalinya dia menyimak sepakbola skala besar di level internasional; saat itu adalah pertama kalinya dia tertarik pada sepakbola dan kemudian menjadi penggemar setianya. Ini juga merupakan satu-satunya minat yang menemaninya sepanjang hidupnya sejak saat itu.

Di sisi lain Bumi, seorang pria muda lain dengan nama yang mirip dengannya mengalami titik balik dalam hidupnya. Lahir di sebuah kota kecil bernama Eastwood, pria muda bernama Tony Twain meninggalkan kota asalnya. Sama seperti Twain yang lain, dia juga mencintai sepakbola. Tapi, karena kondisi keluarga, karakternya berubah drastis, dan dia tak lagi ingin tinggal di kota asalnya karena hal itu membuatnya sedih. Oleh karenanya, dia memutuskan untuk meninggalkan rumah dan mencoba peruntungannya.

Untuk seorang pria yang pendiam seperti Twain, apa yang bisa dilakukan olehnya? Kemanapun dia pergi, tampaknya dia diikuti oleh hal-hal yang tak menyenangkan. Dia tidak disukai oleh orang-orang di sekelilingnya. Selain itu, dia juga tidak tahu apa-apa, selain kecintaannya pada sepakbola. Akhirnya, Tuhan memberinya kesempatan.

Musim panas tahun 1996, Inggris seolah memanas di tengah gelombang demam sepakbola. Negara ini, yang dulunya menutup diri dari sisa dunia yang lain, kembali membuka dirinya. Terletak di bagian tengah Inggris, Nottingham Forest menjadi pusat daya tarik bagi seluruh dunia. Setelah pernah mengalami rasa sakit karena didegradasi dari Liga Utama Inggris pada musim 92-93, mereka kembali lagi ke Liga Utama Inggris di tahun berikutnya. Setelah itu, mereka mengalami musim penuh kejayaan dan mendapatkan tempat ketiga yang membanggakan di musim 94-95. Mereka juga memenuhi kualifikasi untuk berpartisipasi dalam Liga Champions UEFA. Setelah vakum selama 11 bulan, tim Nottingham Forest sekali lagi kembali ke kancah sepakbola Eropa.

Masih bermandikan kejayaan masa lalunya di kancah laga Eropa, tim Nottingham Forest menghadapi sebuah permasalahan yang juga dihadapi oleh semua klub sepakbola berukuran kecil dan menengah. Mendapat godaan uang dari klub-klub sepakbola besar, mereka menjual bintang mereka, Stan Collymore, ke Liverpool, dengan harga £8.5 juta. Pada waktu yang sama, mereka membeli pemain sepakbola berkebangsaan Italia, Andrea Silenzi. Tapi, transaksi ini membuat mereka harus mengeluarkan biaya sebesar £1.8 juta. Saat Andrea masih berada di tim Turin, pria Italia berbadan jangkung dan bertulang besar ini mencetak 17 gol dan bahkan menjadi seorang pemain tim nasional. Tapi, tak ada yang mengira kalau dia hanya akan menjadi lelucon besar bagi tim Nottingham Forest musim itu.

Di rentang waktu inilah Tony Twain datang ke Nottingham Forest. Klub memiliki beberapa pengaturan personel baru dan mempekerjakan beberapa staf baru. Dengan mudah, Twain, yang mencintai sepakbola, memasuki kompleks latihan tim Nottingham Forest. Pekerjaan pertamanya adalah membersihkan lapangan sepakbola. Tapi, Twain tahu dimana posisi yang benar-benar diinginkannya, dan dia sangat memperhatikan cakupan kerja manajer. Dia seringkali mendengarkan dengan seksama percakapan mereka dengan para pemain, dan mulai memikirkan serta belajar tentang bagaimana melakukan hal tersebut. Tahun itu, dia baru berusia 27 tahun.

Upaya tim Nottingham Forest pada musim panas itu pada akhirnya hampir bisa dikatakan sia-sia. Setelah 11 tahun, mereka tidak bisa menyamai tempo laga Eropa. Meski mereka masih bisa masuk ke dalam delapan besar di Liga Champions, tapi mereka telah dipermalukan oleh Bayern Munich yang kuat, dieliminasi dengan skor 7:2. Pada waktu yang bersamaan, karena mereka berpartisipasi di dalam dua kompetisi yang berbeda, hasil yang mereka peroleh untuk Liga Inggris juga tak sesuai harapan. Setelah musim berakhir, mereka berakhir di posisi ke 9.

Dewan direktur yang kecewa memecat Manajer Frank Clark, yang telah membawa tim kembali ke Liga Utama Inggris. Kapten tim yang sudah berusia 34 tahun dan bermain sebagai bek kiri, Stuart Pearce, menjadi manajer pengganti bagi tim. Di tahun ini pula Tony bertemu dengan orang paling penting dalam hidupnya, Paul Hart. Tim Nottingham Forest mengontraknya dari tim pemuda Leeds United untuk mengambil posisi sebagai manajer tim pemuda Nottingham Forest. Dia adalah orang yang berulangkali muncul dalam mimpi Twain.

Paul Hart adalah manajer tim pemuda yang memiliki reputasi sangat bagus. Saat dia masih bekerja untuk Leeds United Football Club, dia telah membimbing sekumpulan pemain yang berharga untuk timnya: Jonathan Woodgate, Alan Smith, Paul Robinson, Harry Kewell.... melihat semua nama-nama ini, mereka semua adalah mahakarya Manajer Paul Hart.

Kedatangan Hart telah mengubah jalur hidup Tony. Hart, yang masih baru di dalam tim, kurang memiliki asisten yang bisa dipercaya. Dia kebetulan menyukai Tony Twain yang tampak jujur, dan selalu ingin belajar. Oleh karenanya dia menyarankan klub untuk memberikan kontrak baru pada Twain. Sejak saat itu, Tony menjadi asisten manajer Hart, salah satu dari empat asisten manajer tim pemuda Nottingham Forest, dan dia juga mulai melangkah di jalan untuk menjadi seorang manajer.

Hart menghargai Twain, yang serius, selalu ingin belajar, dan tak suka mengobrol. Apapun acaranya, Hart akan selalu membawanya serta. Tony telah belajar banyak dari manajer tim pemuda yang sukses itu.

Meski pelatihan untuk tim pemuda Nottingham Forest termasuk salah satu yang terbaik di Inggris, kedatangan Paul Hart membuatnya menjadi lebih baik lagi. Dia telah membimbing tim pemuda yang sangat bagus untuk Nottingham Forest, dan pemain yang paling bersinar diantara mereka semua adalah seorang pemuda bernama Jermaine Jenas.

Tim memiliki penampilan yang luar biasa di paruh pertama musim, menunjukkan kemampuan Pearce sebagai seorang manajer. Tapi, dewan direktur membuat kesalahan konyol yang lain. Mereka tidak mengontrak Pearce, melainkan malah mengundang Bassett untuk bersama-sama melatih tim. Perpecahan kekuasaan menyebabkan kekuatan tim mulai menurun, yang akhirnya mengarah pada degradasi tim ke Liga Satu di musim itu.

Setelah diturunkan ke Liga Satu, tim Nottingham Forest diambil alih oleh ketua klub yang saat ini menjabat, Nigel Doughty. Dia memutuskan untuk memberikan kepercayaan pada Bassett, yang memang tak mengecewakan. Setelah satu tahun, tim Nottingham Forest berhasil dipromosikan dengan sukses. Tapi, masa-masa indah itu hanya bertahan selama setahun, sebelum tim Nottingham Forest kembali didegradasi di musim 1999-2000, dan Bassett diberhentikan dari posisinya. Doughty menunjuk David Platt untuk mengambil peran sebagai manajer tim. Tapi, tim masih belum bisa pulih dari kemunduran mereka sejak saat itu, dan pada akhirnya tak berhasil kembali ke Liga Utama Inggris. Sejalan dengan berlalunya waktu, mereka semakin kehilangan ketajaman dan posisi puncak yang dulu pernah mereka miliki selama musim Liga Satu.

Musim panas tahun 2001 menjadi saksi Platt yang ditunjuk oleh Football Association Inggris sebagai manajer tim nasional pemuda Inggris. Sebagai akibatnya, dia mengundurkan diri dari posisinya sebagai manajer Nottingham Forest dan menyerahkannya pada Paul Hart, dimana kemudian Paul Hart menyerahkan posisinya sebagai manajer tim pemuda kepada Tony Twain – Di hadapan Doughty, Hart sangat merekomendasikan Twain, karena dia merasa Twain memiliki bakat untuk bisa menjadi seorang manajer yang sukses.

Jenas, yang dinilai tinggi oleh Hart, juga bergabung dengan tim pertama untuk berjuang bersama tim Nottingham Forest di Liga Satu.

Twain memang punya beberapa skill, meski sesungguhnya prestasi tim pemuda dibangun diatas pondasi yang ditinggalkan oleh Paul Hart. Selama kepemimpinannya sebagai manajer tim pemuda, terdapat beberapa pemain yang mulai menonjol di tim pemuda, dan mereka segera saja menjadi daya tarik tim. Misalnya, gelandang kiri Andy Reid, dan kapten tim pemuda, Michael Dawson menjadi bintang.

Tony Twain berharap dia akan bisa menjadi manajer tim pemuda yang sukses seperti Paul Hart. Dia menikmati perasaan menemukan satu atau dua harta karun diantara sekelompok besar anak-anak. Perasaan puas yang dirasakan dari melihat rumput yang dirawatnya menjadi pohon yang menjulang tinggi tidaklah lebih kecil jika dibandingkan dengan memimpin sebuah tim untuk mencapai kemenangan di Liga Champions UEFA.

Tapi, hidup damainya ini mengalami perubahan tiga hari sebelum ini.

Paul Hart bukanlah seorang manajer tanpa standar. Alasan kenapa tim menunjuknya sebagai pelatih di musim panas tahun 2001 adalah dengan harapan bahwa mereka akan bisa kembali merangkak naik ke Liga Utama Inggris. Untuk ini, mereka menginvestasikan sejumlah besar uang, dan bahkan mengambil pinjaman dari bank untuk melakukan rekonstruksi tim. Dari mulai media hingga fans, semua orang merasa percaya diri dengan masa depan tim ini. Mengutip kata-kata dari Nottingham Evening Post, "Ini adalah sebuah tim Liga Utama yang seharusnya tidak tinggal di Liga Satu." Kemampuan mereka luar biasa; gol-gol mereka juga banyak... Tapi, semua ini berubah drastis karena adanya bencana diluar arena laga sepakbola.

Sebelum ini, sebagai respon terhadap Sky plc yang menyiarkan Liga Utama Inggris, ITV telah menghabiskan sejumlah besar uang untuk membeli hak siar satu-satunya untuk beragam kompetisi memperebutkan piala sepakbola di Inggris selain Liga Utama. Tapi, daya tarik Liga Satu tak bisa menyaingi Liga Utama. Jadi, stasiun televisi telah menginvestasikan sejumlah besar uang, tapi mereka tak mendapatkan pengembalian dana yang mencukupi, dn membuat perusahaan memiliki hutang yang besar. Setelah itu, mereka tak bisa bertahan dan menyatakan diri pailit.

Saat gerbang kota mengalami kebakaran, ikan-ikan di parit benteng akan menderita. Dalam semalam, banyak sekali bos-bos dan manajer-manajer tim sepakbola dari level kompetisi bawah menyadari bahwa mereka membutuhkan uang tunai, dan mereka telah memicu timbulnya hutang yang besar. Ternyata menghabiskan sejumlah besar uang untuk mengontrak pemain bintang telah menjadi beban finansial yang paling berat bagi tim. Investasi tim Nottingham Forest selama pra-musim adalah yang paling besar, dan karenanya menjadi pihak yang paling terkena imbasnya di dalam krisis finansial ini. Setelah musim laga yang mengalami kegagalan, untuk bisa keluar dari krisis finansial, mereka tak punya pilihan lain kecuali menjual pemain dengan gaji tertinggi yang mereka miliki. Ini termasuk perwakilan dari tim pemuda, Jermaine Jenas. Dengan harga £5 juta, dia ditransfer ke Newcastle. Pada waktu yang bersamaan, hal ini menandai transfer pemain muda yang paling mahal di sepanjang sejarah sepakbola.

Transfer Jenas bukan hanya keputusan dari manajer saja, juga bukan merupakan niatan dari si manajer sendiri, melainkan ini adalah sesuatu yang tak terelakkan demi menghilangkan krisis finansial tim. Oleh karenanya, meski mendapat tawaran dari Liverpool, Arsenal dan Manchester United, dia pada akhirnya masih memilih ke penawar tertinggi, Newcastle. Melihat pemain favoritnya ditransfer, hal ini memberikan pukulan berat bagi Paul Hart. Ambisi awalnya menjadi sirna setelah Jenas ditransfer.

Sebagian besar pemain unggulan telah ditransfer, dan mereka yang ditinggalkan juga merasa cemas, bertanya-tanya dalam hati apakah mereka yang akan ditransfer di kesempatan berikutnya. Mereka yang kompeten mulai getol mencari kandidat rumah mereka berikutnya, dan pikiran mereka sepenuhnya teralihkan dari pertandingan. Penampilan tim semacam ini akan tampak jelas. Di paruh pertama musim 02-03, posisi tim Nottingham Forest berada di tengah klasemen. Untuk sebuah tim yang pernah berjaya di masa lalu, dan fakta bahwa mereka telah bermain di Liga Utama Inggris selama beberapa tahun terakhir, hasil semacam ini bukanlah sesuatu yang bisa membuat fans merasa puas.

Akhirnya, di hari ketiga sesudah Natal, Paul Hart yang telah mengalami banyak tekanan, memberikan surat pengunduran dirinya kepada Ketua Nigel Doughty. Setelah diskusi panjang antara keduanya, ketua mengabulkan permintaan Hart untuk mengundurkan diri dari posisinya. Sebagai sebuah bentuk kompensasi atas pengunduran dirinya, Hart merekomendasikan Tony Twain sebagai manajer Tim Pertama untuk menjadi penerusnya.

Doughty sudah familiar dengan Tony, dan memiliki kesan yang bagus tentangnya. Bagaimanapun, dia telah bekerja dengan tim ini selama tujuh tahun, menjalankan tugasnya dengan rajin dan tekun. Hasilnya dalam melatih tim pemuda selama dua tahun juga diakui oleh banyak orang lain. Sehingga, per 29 Desember 2002, ofisial tim Nottingham Forest mengumumkan bahwa manajer tim pemuda mereka, Tony Twain, akan menjadi manajer pengganti Tim Pertama hingga akhir musim.

Media dan fans memberikan perhatian yang sangat seksama terhadap pertandingan Liga Satu yang akan diarahkan oleh Tony untuk pertama kalinya. Tapi, siapa yang menduga bahwa Twain akan menjadi bahan tertawaan dalam pertandingan itu dan mendapat kekalahan 0:3 juga merupakan bukti lain bagi orang-orang untuk mulai menyalahkannya.

"... Tony, tak jadi masalah untuk kalah di sebuah pertandingan, karena semua manajer pernah mengalami kekalahan," Burns menghibur Twain, saat topik percakapan mulai menyinggung pertandingan kemarin. "Bagaimanapun juga, kau sudah menunjukkan penampilan yang bagus di tim pemuda, dan telah membuktikan kau pantas untuk posisi itu."

Twain juga mengingat adegan yang terjadi di pinggir lapangan kemarin, serta orang-orang yang ditemuinya malam itu di bar ini. Dia telah diolok-olok di televisi, dan bahkan juga diolok-olok oleh orang-orang di dunia nyata. Alasan yang paling mendasar atas olok-olok itu bukan karena dirinya meninggalkan lapangan setelah ditabrak oleh pemainnya sendiri, melainkan karena dia kalah dalam pertandingan. Karena dia kalah dalam pertandingan, dia dimaki, dijadikan bahan tertawaan, direndahkan pula. Kesalahan lain yang tak signifikan akan dibesar-besarkan hingga berkali lipat karena dia telah kalah dalam pertandingan tersebut.

"Kenny, aku tahu kau benar... Tapi aku hanya... benar-benar benci kalah!" Tang En meneguk minuman keras di gelasnya sebelum meletakkannya kembali ke atas meja dengan sentakan kuat. Dia terlihat seolah dia sudah mabuk.

Burns tak lagi menuangkan minuman untuknya, tapi dia berkata "Aku juga benci kalah. Tidak ada pemain sepakbola yang menyukai kekalahan. Tapi, ada beberapa hal yang harus kaualami. Ada perbedaan yang besar antara tim pertama dan tim pemuda. Menurutku, meski kau tak memiliki hasil untuk dibanggakan pada musim ini, takkan ada yang menyalahkanmu untuk itu. Aku tahu kau belum siap, tapi kita masih punya musim depan..."

Kata-katanya dipotong oleh bunyi pintu, dimana pintu bar didorong terbuka dan beberapa kepala terjulur masuk ke dalam ruangan.

"Hey, Kenny! Apa barnya sudah buka?"

Baru setelah dia dengan mendengar itu, Burns menundukkan kepalanya untuk melihat ke arah jam tangannya. "Oh, sial. Sudah sebelas empat puluh. Aku harus membuka bisnisku."

"Masuklah, kalian semua!" dia melambaikan tangan pada orang-orang yang berkerumun di pintu, sebelum kemudian membalikkan badan untuk menyalakan lampu.

Pintu terbuka, sekitar tujuh atau delapan orang melangkah masuk. Bar yang semula hening dan suram menjadi ramai dalam sekejap. Ruangan itu terlihat lebih terang karena keramaian di dalamnya. Para pelanggan mulai berbincang tentang beragam topik, sambil berjalan menuju ke konter bar untuk memesan minuman mereka.

Baru di saat itulah mereka melihat Twain, karena dia menelungkup di pojok bar. Seseorang berhasil mengenalinya. "Yo, yo! Lihat siapa yang ada disini? Paman Tony Twain, yang dijatuhkan oleh pemainnya sendiri kemarin di lapangan! Yo, yo! Tapi, sekarang di menelungkup sangat mabuk di Forest Bar! Yo, yo! Jangan bilang, inilah resep rahasia Nottingham Forest untuk mendapat kemenangan, di pertandingan selanjutnya?!" Seorang pemuda menari-nari di sekeliling dengan tindak tanduk dan aksen yang meniru penyanyi hip hop. Penampilannya menghibur orang-orang di sekelilingnya.

Tang En mendengar suara di belakangnya dan membalikkan badan. Dia memicingkan mata untuk melihatnya. Dia tak mengenal pria muda itu, tapi dari kata-katanya, dia mungkin ada disini kemarin malam.

"Kau hanya anak kemarin sore yang masih belum dewasa..." Tang En berjuang untuk berdiri. Meski usia mentalnya baru 26, tapi tubuhnya sudah berusia 34 tahun. Karenanya, dia bisa mengatakan ini tanpa merasa bersalah.

Melihat Twain yang berusaha berdiri dengan tatapan memusuhi, orang-orang yang masih tertawa mulai waspada. Mereka telah menyaksikan sendiri bagaimana dia bisa dengan cepat merubuhkan Michael yang jangkung kemarin malam. Saat pulang ke rumah dengan luka yang berdarah, Michael diomeli istrinya. Kini, dia bahkan tak berani mengunjungi bar, dan hanya bisa tinggal di rumah untuk membujuk istrinya. Hanya anak muda yang tak melihat kecepatan Twain kemarin malam inilah yang masih berani meremehkannya dan menunjukkan pose bertinju. Melompat-lompat, mulutnya berulang kali berkata, "Ayo kemari, baby! Jangan kaupikir aku takut padamu!"

Dong! Itu bukan suara hidung seseorang yang dihajar, melainkan bunyi gelas bir yang berat dihentakkan ke atas meja.

"Bir hitam Irlandia milik siapa ini?" tanya Burns sambil menunjukkan wajahnya diantara kedua orang itu.

Si anak muda itu dengan segera membuka kepalan tangannya, sebelum dia pergi untuk mengambil birnya. "Erm, punyaku..."

Burns menggoyangkan gelas anggur di hadapannya dan berkata, "Jangan menyebabkan keributan di tempatku." Setelah mendengar kalimat itu, semua orang lebih menjaga sikap dan perilaku mereka.

Tang En tak menyukai kelompok orang-orang ini. Melihat mereka memenuhi bar, dia merasa kalau dia harus segera meninggalkan tempat ini.

Burns mengantarkannya secara pribadi keluar bar, tapi sambil melakukan itu, dia menarik Twain ke sisi jalan dan berkata, "Tony, kupikir kalau saat ini kau tak tahu bagaimana melatih tim sepakbola, serta bagaimana mengarahkan pertandingan mereka... kau bisa memberikan semua itu pada asistenmu, sampai kau merasa kondisimu membaik."

Twain mengangkat kepalanya dan memandangnya, "Terima kasih, Kenny."

Burns tersenyum dan menjawab, "Jangan terlalu formal denganku. Selain itu, Michael dan gengnya bukanlah orang-orang jahat. Mereka adalah fans tim Nottingham Forest yang paling setia. Hanya saja penampilan tim dalam beberapa tahun belakangan ini terlalu buruk, dan karenanya mereka hanya patah semangat. Kuharap kau tak memasukkan ucapan mereka ke dalam hati. Kau akan melihat sisi manis mereka di pertandingan esok lusa."

Twain mengangguk, tak mengatakan apa-apa lagi.

"Lakukan pekerjaanmu dengan baik. Selamat Tahun Baru, Tony," kata Burns.

"Kau juga, Selamat Tahun Baru, Kenny..." Twain melambaikan tangan pada Burns, sebelum dia berbalik dan berjalan sempoyongan di pojok jalan.

Burns memandang sosok itu dan sedikit menggelengkan kepalanya, kemudian kembali ke bar.

"Aku sama sekali tak paham kenapa kau memperlakukan idiot itu dengan baik..." pria besar yang mengejek Twain untuk minum susu melihat Burns berjalan kembali ke bar, dan tak bisa menahan diri untuk tidak mengeluh tentang Twain.

Burns mengingat ekspresi Twain saat dia menelungkup di meja konter dan berkata kalau dia benci kalah. Itu memang 'rasa benci' yang sesungguhnya, tanpa ada upaya untuk menutup-nutupiinya. Dia menolehkan kepalanya dan melihat ke arah si pria gemuk lalu berkata, "John, kalau kau bicara omong kosong lagi, aku akan melarangmu minum disini."

"Wahhh, aku takkan melakukannya lagi!"

Tawa para pria dengan segera terdengar di seluruh bar.

Meski mereka dipisahkan oleh sebuah dinding, Twain masih bisa mendengar tawa yang menggemuruh di dalam bar. Saat itu, dia tidak berjalan sempoyongan, melainkan berjalan dengan cukup tegak. Dan karenanya, dia tidak terlihat seperti orang yang sedang mabuk.

Dia berdiri di tepi jalan, dan menunggu lampu hijau menyala. Pada waktu yang bersamaan, dia mengingat nasihat yang diberikan Burns padanya.

"Membiarkan asisten manajer melakukannya?" Itu adalah ide yang benar-benar bagus.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.