Mahakarya Sang Pemenang

Keluarga George Wood Bagian 2



Keluarga George Wood Bagian 2

0

Tang En menatap terpana ke arah wanita itu sampai akhirnya dia bangkit untuk menyambutnya. "Halo, Tuan Manajer."

"Ah ... Oh, halo, Nyonya. Maafkan aku, aku tidak menyangka Anda masih begitu muda."

George Wood menatap galak ke arah Twain, lalu menoleh ke ibunya untuk menjelaskan. "Dia manajer tim Forest. Tadi aku pergi mencarinya. Aku ingin menjadi pemain sepak bola. Tapi dia menolakku dan membawaku pulang."

Tang En memandang ibu Wood sambil tersenyum lalu berkata, "Aku benar-benar minta maaf, Nyonya. Putramu belum pernah menerima pelatihan sepakbola reguler sebelum ini, dan dia sedikit lebih tua sekarang..."

Wanita itu menatap putranya dengan kelembutan dan kasih sayang yang tak terlukiskan di matanya. "George, maukah kau pergi membeli keju Mascarpone? Sudah lama aku tidak membuatkan makanan ringan untukmu. Aku ingin membuat tiramisu."

Wood kelihatan enggan untuk pergi. Ibunya mengeluarkan sehelai catatan dari saku celemeknya, meletakkannya ke tangan Wood, dan memberinya ciuman di kening. "Jangan khawatir; pergilah."

Baru setelahnya Wood berjalan menuju pintu. Sebelum pergi, dia menatap galak ke arah Twain. Tang En agak bingung dengan tatapannya. Bagaimana mungkin ekspresi remaja itu bisa berubah begitu cepat?

Setelah melihat putranya keluar dari pintu dan mendengarnya menuruni tangga, wanita itu menutup pintu ruangan. Dia tiba-tiba berjalan ke arah Twain, meraih tangannya, dan membawanya ke ruangan lain.

"Um, Nyonya ..." Tang En merasa bingung. Apa yang sedang terjadi?

Keduanya memasuki ruangan lain. Wanita itu menutup pintu dan tak lupa menguncinya. Tang En hanya bisa melihatnya saat ia dengan cepat melepas pakaiannya. Mungkin karena merasa gugup, gerakannya kaku. Tang En menatapnya dengan mulut ternganga, bahkan tak sempat berpikir untuk menghentikan apa yang dilakukan wanita itu.

Wanita ini memiliki kulit berwarna gandum yang sama seperti putranya, dan memiliki p*antat yang melengkung indah di balik pakaian terlalu besar yang dikenakannya….

Dia berdiri di hadapan Twain, lalu membuka lengannya dan berkata malu-malu, "Ayo, kita tidak punya banyak waktu."

Komentar ini membuat Tang En merinding. Dia menatap wanita itu sambil bergidik, lalu mengerutkan kening. "Apa artinya ini, Nyonya?"

Wanita itu berjalan menuju ranjang, berbaring di atasnya, melihat ke arah Twain dan berkata, "Saya harap Tuan akan memberi anak saya kesempatan, dan sebagai balasannya..."

Tang En melangkah maju dan menarik selimut untuk menutupi tubuh wanita itu. "Aku benar-benar minta maaf, tapi aku di sini bukan untuk seorang wanita, Nyonya." Tindakan wanita ini telah menghancurkan kesan indah yang dimiliki Tang En di benaknya. Dia berbicara dingin dan dengan nada yang lebih tegas.

Ucapan kasar itu menyentuh hati wanita itu. Dia tiba-tiba saja membungkuk di atas ranjang dan menangis. Tang En tadinya berniat untuk berbalik dan pergi, tetapi dia membeku ketika melihat wanita ini menangis di depannya.

Tang En tidak berpengalaman dalam hal cinta dan hubungan, dan dengan karakter yang dimilikinya, dia tidak tahu bagaimana caranya menghibur wanita. Dia hanya bisa berdiri tak berdaya berdiri di samping tempat tidur sambil berkata, "Jangan menangis, jangan menangis ... Aku benar-benar minta maaf, Nyonya. Bukannya aku tidak ingin memberi anakmu kesempatan ... Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Berhentilah menangis!" Dia tiba-tiba berteriak pada wanita itu. Cara itu berhasil. Wanita itu tiba-tiba berhenti menangis.

"Aku tidak tahu kenapa Anda melakukan ini. Tapi ini bukanlah transaksi untuk putra Anda. Aku merasa sangat menyesal tentangnya, tapi aku tidak bisa membiarkan putra Anda bergabung dengan timku. Dari sudut pandang seorang pemain pemula, dia sudah terlalu tua... Aku juga sangat bersimpati dengan situasi keluarga Anda. Tetapi sepakbola profesional bukanlah permainan jalanan. Kupikir akan lebih baik bagi Anda untuk membiarkannya pergi ke sekolah, lalu mencari pekerjaan setelah lulus."

Wanita itu menghapus air mata dari wajahnya. Dia tampak semakin menawan dengan wajah bersemu merah setelah menangis ...

Tang En melihat ekspresi elok namun sedih yang ditunjukkan wanita itu. Saat dia mengingat wanita itu berdiri telanjang di hadapannya, darah tiba-tiba mengalir ke kepalanya ... Bukan karena dia adalah Liu Xiahui modern; hanya saja dia belum siap mental untuk memiliki hubungan dengan seorang wanita asing yang baru dikenalnya. Sekarang setelah dia merasa cukup tenang, dia merasa bahwa wanita ini memang memiliki apa yang dibutuhkan untuk merayunya. Tapi sekarang jelas bukan waktunya untuk menjadi impulsif.

Sial! Dia mencoba mengendalikan dirinya dan membalikkan badan.

Wanita itu menatapnya dan senyum tiba-tiba muncul di wajahnya. Kemudian dia mulai berpakaian dengan tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi. "Tuan Manajer, saya belum tahu nama Anda."

"Tony Twain. Anda bisa memanggilku Twain." Biasanya orang-orang saling memanggil nama depan untuk mengekspresikan keakraban. Tetapi Tang En berasal dari Cina, dan itu adalah nama lengkapnya. Dia masih lebih terbiasa dipanggil "Twain," dan bukan "Tony."

"Tuan Twain, Anda pasti berpikir saya vulgar. Apakah saya benar?"

"Tidak, tidak begitu." Tang En menggelengkan kepalanya masih dengan tubuh membelakangi wanita itu.

Wanita itu menganggap jawaban Tang En sebagai upaya untuk menghibur dirinya. Dia menghela nafas. "Anda juga bisa melihatnya, betapa sulitnya bagi seorang wanita yang sakit-sakitan untuk membesarkan anak sendirian. Tidak mudah di tempat ini. Aku tidak meminta belas kasihan Anda. Bahkan, aku sebenarnya puas, karena Tuhan memberiku anak yang sehat dan kuat. Sekarang Anda bisa berbalik, Tuan."

Tang En berbalik dan menemukan wanita itu sudah berpakaian rapi dan duduk di tepi tempat tidur, menatapnya dengan mata cemerlang. Tang En merasa sedikit bersalah saat dia menatapnya.

"Aku bisa mengerti ... Nyonya, bisakah kita meninggalkan kamar ini dan berbincang? Aku tidak ingin putramu melihatku ada disini. Meski kita tidak melakukan apa-apa, ada beberapa hal yang akan sulit untuk dijelaskan."

Wanita itu tersenyum. "Baiklah. Tapi jangan cemas — perlu waktu empat puluh lima menit untuk berjalan pulang pergi ke supermarket terdekat yang menjual keju Mascarpone."

Ibu George Wood membuatkan secangkir teh hitam untuk Twain, lalu keduanya duduk di meja makan. Dia terus mengupas kentang yang akan digunakan untuk memasak makan malam dan sementara itu menceritakan kepada Twain tentang dirinya dan putranya.

Dari percakapan mereka, Tang En mengetahui bahwa George Wood memiliki kehidupan yang cukup keras. Ibunya, Sophia, adalah orang Jamaika, dan dia memiliki darah campuran Jamaika dan Brasil; kecantikan standar dari darah campuran. Ketika dia berusia tujuh belas tahun, dia jatuh cinta dengan seorang anggota kru kapal laut Inggris yang tinggi dan tampan. Hubungan itu berkembang menjadi kisah cinta yang menggebu-gebu dan keduanya dengan cepat melangkah menuju tahap pernikahan. Tetapi keluarga Sophia tidak menyetujui pernikahan mereka, jadi mereka mencarikan seorang calon mempelai pria bagi Sophia, putra dari keluarga yang memiliki bisnis di Jamaika.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah hal-hal klise yang terdapat di hampir semua novel romantis. Antara keluarga dan cinta, Sophia memilih yang terakhir, dan kawin lari dengan pacarnya, anggota kru, ke negara asing: Inggris. Selain itu, dia sudah hamil tiga bulan.

Pacarnya tidak menginginkan bayi ini, tetapi Sophia bersikeras untuk melahirkan. Karena itu, pasangan kekasih itu bertengkar untuk pertama kalinya. Di hari-hari berikutnya, mereka berdua terus-menerus berdebat. Pada akhirnya, sang pacar meninggalkan sejumlah uang bagi Sophia dan pergi untuk terus menjadi anggota kru yang bebas. Kemudian, Sophia melahirkan George Wood di rumah sakit kumuh di Southampton. "Wood" adalah nama belakang ayahnya. Sophia muda menggunakannya untuk mengingat cintanya yang tak terlupakan.

Karena kekurangan gizi selama kehamilan, ditambah fakta bahwa dia sering marah-marah, tubuh Sophia sangat lemah setelah melahirkan George. Meskipun begitu, ia harus bekerja di banyak tempat untuk mendapatkan uang demi menghidupi dirinya dan George kecil. Tetapi karena Sophia datang ke Inggris dengan visa turis dan memperpanjang masa tinggal setelah visanya berakhir, Sophia tidak terdaftar dalam sensus Inggris. Dengan kata lain, dia adalah warganegara yang tidak terdaftar; seorang imigran ilegal. Mustahil bagi imigran ilegal untuk bisa menemukan pekerjaan dengan upah yang cukup baik. Untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih baik dan rumah yang lebih murah untuk ditinggali, Sophia berkeliling dengan George kecil, mulai tinggal di Portsmouth, London, Birmingham, dan akhirnya Nottingham.

Tikus tak berperasaan yang dicintainya telah pergi; orang itu tak menghubunginya, dan menghilang tanpa jejak, seolah-olah dia tidak pernah ada di dunia. Sophia perlahan-lahan melupakannya dan mencurahkan seluruh cinta dan perhatiannya kepada putranya. Dengan cara ini, mereka saling mendukung satu sama lain selama tujuh belas tahun. Wood tahu tentang keberadaan ayahnya, tetapi dia memberi tahu Twain bahwa pria itu sudah mati. Tampak jelas betapa dia membenci ayahnya sendiri. George, yang lulus dari sekolah menengah pertama pada usia lima belas tahun, tidak melanjutkan ke sekolah menengah atas dengan tujuan untuk masuk ke universitas, dia juga tidak melanjutkan ke sekolah kejuruan di mana ia bisa belajar tentang bisnis. Dia memilih untuk langsung bekerja. Dia telah melakukan semua jenis pekerjaan seperti menjadi kasir supermarket, kurir pengiriman kilat, petugas pompa bensin, dan tenaga pindahan. Tetapi uang yang ia peroleh tidak cukup untuk satu keluarga dengan seorang ibu yang sewaktu-waktu membutuhkan perawatan medis. Tang En juga mengerti mengapa Wood ingin menjadi pemain profesional. Media selalu menggambarkan pemain profesional sebagai pemain muda dan orang kaya baru; siapa pun pasti akan merasa iri.

Tang En bisa melihat bahwa Sophia sangat lemah. Setiap kali dia berbicara lebih banyak dari biasanya, dia harus berhenti dan menarik napas dalam-dalam, dan terkadang akan batuk dengan keras. Dari deskripsinya yang singkat tentang masa lalu, Tang En tidak bisa membayangkan seberapa berat penderitaan yang sudah dialami oleh ibu muda itu. Tapi Tang En merasa yakin tentang satu hal yakni Sophia telah mengalami hal-hal yang sulit ditanggung oleh orang-orang kebanyakan.

Seseorang bisa membayangkan skenario ini; seorang wanita di masa mudanya yang penuh kerinduan akan cinta dan masa depan telah mengikuti kekasihnya ke Inggris yang tidak dikenal dengan rencana untuk memulai kehidupan baru. Dia punya mimpi dan cita-cita. Tetapi tujuh belas tahun kemudian, di depan Tang En, dia adalah seorang wanita yang telah teraniaya oleh kehidupan dan ditinggalkan dengan tubuh yang rusak. Sulit untuk menjelaskan perubahan dari seorang "wanita muda" menjadi seorang "wanita" dalam beberapa kata saja.

Mungkin karena topik pembicaraan yang terlalu berat, dan dia tidak ingin membuat Sophia terus mengingat masa lalunya yang sulit, Tang En mengambil inisiatif untuk mengubah topik pembicaraan ke subyek yang lebih ringan. Karena dia adalah manajer tim profesional, secara alami dia berbicara tentang pertandingan menarik yang terjadi beberapa hari yang lalu. Tang En tidak tahu apakah Sophia menyukai sepakbola, tapi dia kelihatan terpesona. Ketika Tang En berbicara tentang apa yang dia katakan kepada Roeder saat mereka berjabatan tangan dan ekspresi keheranan dan kemarahan manajer West Ham United itu, Sophia tertawa bersama dengan Tang En.

George Wood hampir membanting pintu hingga terbuka dan bergegas ke lantai dua dalam satu tarikan napas. Yang membuatnya terkejut, dia melihat ibunya sedang duduk di meja makan bersama Manajer Twain, mengobrol dengan santai. Ketika ibunya melihatnya muncul di pintu, dia melirik ke arah jam dinding dengan kaget.

"Hanya lima belas menit ... George, kamu tidak pergi ke supermarket?" Sophia bangkit berdiri untuk menyambut putranya.

Wood mengeluarkan kantong plastik dari belakang tubuhnya dan di dalamnya ada keju Mascarpone yang diminta ibunya.

Tang En memperhatikan bahwa wajah George terlihat kemerahan dan dia kehabisan nafas. Dia menahan senyum. Anak ini pasti lari ke sana dan kembali. Tapi untuk bisa menyelesaikan perjalanan sejauh empat puluh lima menit dengan lari lima belas menit berarti kebugaran fisik anak itu pastilah sangat bagus.

Setelah menatap arlojinya, Twain bangkit untuk pamit karena hari sudah larut dan dia harus kembali. Sophia tidak terlalu senang dengan gagasan dia tinggal untuk makan malam. Dia hanya meminta putranya untuk mengantarkan Tuan Twain. Orang asing yang terlihat kaya di daerah ini akan tampak seperti ATM berjalan. Siapa pun akan iri jika mereka melihatnya, dan akan berbahaya jika tidak ada orang lokal yang menemaninya.

Setelah mengucapkan selamat tinggal kepada sang ibu, Tang En berjalan menuju ke jalan utama, ditemani Wood.

Siang berlalu lebih cepat saat musim dingin, jadi sekarang sudah gelap. Lampu jalan sudah menyala. Harumnya aroma susu yang manis tercium dari rumah beberapa orang, dan daerah yang kacau ini akhirnya memiliki kehangatan. Hanya ada sedikit hooligan yang berkeliaran, dan anak-anak yang menginginkan uang masih ada di sana. Ketika mereka melihat Twain, mereka baru akan menghampiri untuk meminta uang. Tetapi ketika mereka melihat Wood, mereka menyeringai padanya dan mengacungkan jari tengah. Tang En sama sekali tidak bisa melihat kepolosan seorang anak dalam diri mereka.

Untuk bisa menemukan kepolosan di tempat seperti ini? Bahkan Tang En hanya tersenyum masam.

Melihat George Wood dengan kepala tertunduk ketika dia berjalan dengan diam, dan setelah mendengar semua cerita tentangnya, Tang En merasa bahwa anak ini lebih dewasa melampaui usianya. Tapi dia masih belum berhasil memasarkan dirinya sendiri kepada Tang En di Wilford.

"Hei, apa ada yang terjadi... antara kau dan ibuku?" Wood tiba-tiba bertanya.

"Ibumu sangat ramah, kami mengobrol tentang beberapa hal yang menarik. Aku memberitahunya tentang pekerjaanku dan dia sangat senang mendengarkanku. Selain itu, dia juga memberitahuku beberapa hal tentangmu."

Wood tampak lega. Tapi, kalimat Tang En berikutnya membuat Wood gugup lagi.

"Ibumu benar-benar cantik. Aku sama sekali tidak akan menduga bahwa dia memiliki anak berusia tujuh belas tahun."

Wood berhenti dan menoleh untuk menatap Twain. Dia berkata sengit padanya, "Jangan berpikiran macam-macam tentang ibuku!"

Dengan tangan terangkat, Tang En bertanya, "Bagaimana mungkin aku melakukannya?"

Pemuda yang sangat mempedulikan ibunya itu mendengus dan membalikkan badan untuk kembali menunjukkan jalan. Tapi geraman rendahnya masih terdengar jelas di telinga Twain.

"Kalau kau berani berpikiran macam-macam tentang ibuku, aku akan membunuhmu!"

Tang En tahu pemuda itu serius, dan bahwa dia mencintai ibunya lebih dari apapun.

"Kau boleh tenang. Aku masih ingin hidup lebih lama." Dia mengangkat bahu.

Ketika mereka tiba di jalan utama yang sibuk, Tang En berterima kasih pada Wood, tetapi Wood tidak meninggalkannya. "Aku bisa naik taksi untuk pulang. Kau juga sebaiknya pulang." Tang En merasa agak aneh.

"Ibuku memintaku untuk mengantarmu hingga ke mobil." Wood menggelengkan kepalanya.

Tang En tersenyum, dan tidak menolak kebaikan itu. Kedua pria itu berdiri diam di jalan yang dingin dan berangin. Mereka tidak melihat taksi untuk waktu yang lama. Wood melihat Twain memandang ke sekeliling dan bertanya-tanya, "Apa kau tidak punya reservasi?"

"Apa itu?" Tang En tampak bingung. Dia selalu mengulurkan tangan untuk memanggil taksi dari tepi jalan di negaranya. Mengapa dia harus memesan taksi di Inggris?

"Tidak akan ada taksi yang tersedia di jalan untukmu." Wood bahkan lebih tercengang. Apa pria ini benar-benar orang Inggris? "Itu karena bensin terlalu mahal. Kalau kau menginginkan taksi, kau harus menghubungi perusahaan taksi agar mereka mengirimkan taksi ke tempatmu, atau kau bisa langsung menghubungi sopir yang sudah dikenal. Apa kau benar-benar orang Inggris?"

Jadi begitu rupanya. Wajah Tang En memerah karena malu, tapi dia harus menjaga imejnya di depan anak itu, jadi dia membelalak pada Wood.

"Aku hanya sedikit teralihkan. Aku lupa. Sebenarnya, aku punya..." Dari sakunya, dia mengeluarkan kartu nama yang ditinggalkan oleh pengemudi taksi kemarin dan menekan nomor itu. Setelah mendengar Tang En menyebutkan namanya, si pengemudi terdengar sangat antusias meminta lokasi Tang En saat ini, dan kemudian mengatakan bahwa dia akan berada di sana dalam waktu lima belas menit.

Keduanya kembali menunggu tanpa bersuara lagi. Wood bukan orang yang suka berbicara lebih dulu, dan Tang En merasa tidak ada yang perlu dikatakan.

Sopir itu tepat waktu, dan mobilnya berhenti di depan Tang En dalam waktu lima belas menit. George Wood, yang telah menyelesaikan tugasnya, berbalik untuk pergi, tetapi dihentikan oleh Tang En.

Dia merobek selembar kertas catatan dari buku catatannya dan menuliskan nama dan nomor teleponnya, serta alamat kompleks pelatihan Forest. Lalu dia menyerahkannya pada Wood yang tercengang.

"Ambillah. Datanglah mencariku besok jam 9:30 pagi di alamat yang tertulis di sini. Kalau penjaga di gerbang bertanya, katakan saja aku memintamu datang."

Wood masih tidak bereaksi, dan dia tidak menjawab, jadi Tang En hanya menjejalkan kertas itu ke tangannya.

"Aku bisa memberimu kesempatan, tetapi terserah padamu apa kau bisa menjadi pemain terbaik di Inggris, Nak."

Setelah mengatakan itu, Tang En masuk ke dalam taksi dan menutup pintu. Si pengemudi, yang juga seorang penggemar, menyalakan mobil, lalu dengan cepat menyatu dengan arus lalu lintas seperti setetes air yang mengalir ke sungai.

Tang En melihat ke belakang dan melihat Wood masih berdiri seperti patung di bawah lampu jalan dan diterpa angin yang dingin. Di belakangnya terdapat Sneinton pada senja hari, dan di depannya ada pusat kota yang terang benderang. Di jalan raya A612, Manvers Street membelah kota ini menjadi dua dunia yang berbeda.

George Wood yang masih berusia tujuh belas tahun sangat ingin menghasilkan uang untuk bisa membawa ibunya keluar dari lingkungan itu. Tanpa pendidikan sekolah menengah, ia hanya bisa bergantung pada sepak bola jika ia tidak ingin mati di jalanan atau masuk penjara suatu hari nanti. Pengalaman hari ini telah membuat Tang En merasa bahwa sepak bola profesional cukup berbeda dari sepak bola Eropa yang ia perdebatkan dengan orang lain di pub atau kedai teh di negaranya. Sepak bola Eropa adalah sisi paling indah dari sebuah cabang olahraga, seperti dunia yang ada di sisi kiri jalan. Tetapi, sepak bola profesional, sangatlah jauh dari anggapan mempesona para penggemar di negaranya; ini adalah sisi yang sengaja dilupakan, tetapi sebenarnya eksis. Sisi ini brutal dan ulet, sama seperti sisi kanan jalan raya, daerah kumuh Sneinton.

Gerbang itu sudah terbuka, dan di bawah permukaannya yang indah, Tang En melihat kegelapan yang belum pernah dikenalnya sebelumnya.

Ini memang dunia yang benar-benar baru, pikirnya dalam hati.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.